Share

bab 6.Awal Mula

Flash back on.

Hujan menderas yang membuat suasana menjelang Maghrib semakin terasa muram.

Aku melihat jam dinding yang menempel di tembok seraya menenangkan Danang yang baru saja disapih.

"Duh, kok belum pulang sih mas Larsono. Sudah hampir maghrib. Biasanya jam setengah lima sudah pulang," gumamku sambil menggendong Danang.

Mendadak ponsel ku berdering. Dengan cepat aku meraih ponsel di saku daster.

"Halo."

"Halo, Bu. Ini dari kepolisian. Apa ibu adalah keluarga bapak Larsono?"

"Iya, Pak. Saya istrinya." Hatiku mulai berdebar tidak karuan.

"Jadi begini, Bu. Suami ibu mengalami kecelakaan tunggal dan sekarang di rumah sakit Harapan Sehat. Diharap ibu segera kemari."

Aku terdiam. Tercengang selama beberapa detik.

"Halo, Bu. Bu. Ini dengan Bu Naimah bukan?"

"Astaghfirullah, iya Pak. Apa suami saya baik-baik saja?"

"Suami ibu sepertinya mengebut dan ban motornya selip karena melewati aspal yang berlubang dan terdapat air. Lalu terpental jauh menimpa trotoar.

Menurut dokternya harus dioperasi. Kami menemukan ponsel pak Larsono. Dan nomor ibu ada di daftar paling atas. Jadi diharap ibu segera datang kemari untuk menandatangani surat persetujuan operasi.

**

Aku menghela nafas panjang di depan ruang operasi. Masih teringat ucapan dokter padaku tadi.

"Suami ibu mengalami beberapa cidera tulang. Ada perdarahan organ dalam juga. Untung saja kepala dan tulang belakangnya tidak aman, tidak terkena benturan.

Tapi tulang kaki dan tulamh rusuk yang patah harus segera dioperasi dan dipasang pen. Biayanya sekitar 25 juta sampai keluar rumah sakit."

"Astaghfirullah, dapat darimana uang sebanyak itu? Sedangkan aku tidak punya BPJS."

Mendadak ponselku bergetar. Aku meraih dan membacanya yang seketika membuatku semakin linglung membaca pesan w******p dari Titin.

[Mbak, kata Bu guru, aku harus melunasi SPP satu semester dan membayar ujian Nasional sebagai syarat ikut ujian. Ini ada biaya perpisahan juga.]

Sebuah foto dikirim ke padaku berisi catatan biaya sekolah menjelang kelulusan sebanyak tiga juta. Astaghfirullah, apa yang harus kulakukan sekarang?

**

Aku hanya bisa menelan ludah saat mendengar keterangan dari pak Usman, teman mas Larsono sekaligus pemilik peternakan ayam negeri tempat suamiku bekerja.

Awalnya aku ingin meminjam uang padanya yang akan dibayar mas Larsono dengan cara potong gaji.

"Ayam di tempatku mengalami virus flu burung dan mati semua. Jadi kami ingin menghentikan usaha ini entah sampai kapan karena kami rugi jutaan rupiah. Jadi aku terpaksa menutup usaha dan memberhentikan para karyawan.

Maaf Mbak Naimah, saya tidak bisa menolong meminjam kan uang. Tapi uang gaji setengah bulan ini sudah ku transfer ke semua karyawan termasuk mas Larsono."

Aku tercekat. Gaji suamiku perbulan di peternakan ayam sebanyak 2,5 juta. Kalau setengah bulan yang ditransfer, berarti hanya 1,7 juta. Kemana hendak kucari biaya operasi dan syarat kelulusan Titin?

*

Aku menatap wajah Titin penuh harap. "Mbak mohon ya, Tin. Mbak nggak punya pilihan lain selain menggadaikan sertifikat tanah warisanmu."

Titin menghela nafas. Sepertinya dia juga bingung.

"Tin, kasihan mas Larsono. Dia butuh uang banyak untuk operasi. Kamu juga butuh biaya kelulusan kan?" tanyaku lagi.

Titin terdiam sejenak. "Iya sih. Selama ini aku berhutang budi pada mas Larsono dan juga mbak Nai. Kalian yang membiayai sekolahku. Tapi apa mbak sudah memutuskan mau digadai berapa tanahnya dan bagaimana cara bayar perbulannya?"

"Nanti setelah mas Larsono sembuh, kita pikirkan lagi bagaimana cara mengambil tanah mu lagi."

"Baiklah. Kalau begitu terserah mbak saja. Tapi aku berharap, tanah yang sudah menjadi bagian warisanku bisa kembali padaku."

"Tentu Tin. Mbak akan lakukan apapun untuk mengambil kembali sertifikat tanah itu. Yang penting mas Larsono bisa operasi dan kamu bisa lulus SMA," sahutku mencoba meyakinkan Titin meskipun aku juga ragu.

**

Aku menatap uang di dalam amplop dengan pandangan nanar. Setelah mencoba ke bank maupun ke pagadaian dengan membawa sertifikat tanah milik Titin, mereka mengatakan perlu meninjau dahulu dan uang akan ditransfer seminggu kemudian setelah pengajuan. Padahal operasi mas Larsono sudah selesai dan lusa boleh pulang.

Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku mengajukan sertifikat tanah seluas 200 meter pada pak Dani, pemilik bank keliling.

Dengan cepat pak Dani meninjau tanah milik Titin dan menghargainya 35 juta untuk tanah Titin yang harus kulunasi selama dua tahun.

Tanpa berpikir panjang, akupun bersedia dan uang 35 juta langsung kuterima cash di rumah Dani. Dan akhirnya aku bisa membayar operasi mas Larsono dan uang sekolah Titin.

**

Flash back off :

"Mbak, mbak Nai!" Lisa mengibaskan tangan di depan mukaku. Aku terkejut dan menatapnya.

"Astaghfirullah, ada apa?"

"Mbak melamun ya?"

Aku hanya mengangguk.

"Aku tahu apa yang mbak pikirkan sekarang. Semoga mbak diberi kesabaran dan keikhlasan."

"Aaminn. Oh, ya Mbak Lisa tadi mau bilang apa?"

Mbak Lisa menatap warung pecel di

depan sekolah.

"Mbak Nai, sudah sarapan?"

"Sudah."

Mbak Lisa tampak berpikir sebentar. "Kalau begitu, kita ngeteh aja di sana. Sekalian makan peyek. Boleh juga makan lagi. Karena apa yang akan saya sampaikan ini penting sekali."

Aku mengerutkan dahi. Bingung menerka apa yang akan dibicarakan mbak Lisa sampai ekspresi nya seserius ini.

"Baiklah."

Aku mengikuti langkah mbak Lisa yang berjalan cepat ke warung depan sekolah. Tak kuhiraukan beberapa pasang mata wali murid lainnya yang menatap kepergian kami penuh tanda tanya.

"Jadi ada apa, mbak?" tanyaku sambil mengaduk teh hangat di meja dengan sedotan.

"Ehem. Hm ... Gimana ya mulainya ngomong ..,"

Bukannya langsung menjawab, mbak Lisa justru tampak bingung.

Aku tersenyum. "Apa yang Mbak ketahui tentang bayi Titin?" pancingku.

"Hm, dulu Titin pernah diperkenalkan pada kami oleh Dimas, adikku. Mereka teman satu sekolah saat SMA."

"Ya lalu?"

"Saat itu Dimas baru saja bekerja di perusahaan pecah belah bagian staf yang ada di kecamatan sebelah. Sedangkan Titin jualan bakso di depan rumahnya."

"Lalu?"

"Papa menolak keinginan Dimas. Dengan alasan menginginkan menantu yang bekerja di kantoran dan sarjana."

Aku menelan ludah. Karena keterbatasan biaya, memang Titin harus menghentikan mimpinya kuliah dan berjualan sebisanya.

"Lalu suatu malam, saat saya hendak ke kamar mandi saya mendengar Dimas menelepon seseorang. Dan sangat jelas sekali ucapan Dimas terdengar oleh saya waktu itu, 'Tin, aku tidak bisa melawan papa. Bagaimana kalau bayi itu digugurkan saja. Uangnya aku transfer sekarang!"

Aku mendelik mendengar ucapan Mbak Lisa. Jadi Febi .... bukan anak mas Larsono?!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status