Share

bab 7. Hamil di Luar Nikah

Flash back on

"Alhamdulillah, kamu sudah bisa jalan pelan-pelan, Mas." Aku menyuguhkan teh dan sepiring pisang goreng di sore hari setelah seminggu mas Larsono pulang dari rumah sakit.

Mas Larsono tersenyum kecut. "Aku bingung bagaimana kita akan melanjutkan hidup setelah ini."

Aku menghela nafas panjang. Bingung juga.

"Apa kamu tahu, Nai, kakiku terasa ngilu bila menapak terlalu lama. Aku tidak bisa berdiri dan berjalan terlalu lama. Rasanya terlalu ngilu," keluh mas Larsono.

Aku terdiam. Memikirkan jalan keluar untuk masalah ini.

Sementara kami harus menebus sertifikat tanah milik Titin juga memberikan makan pada lima perut.

Huft, berat.

**

Dua bulan berlalu setelah mas Larsono keluar dari rumah sakit. Kakinya masih terasa ngilu untuk berdiri dan berjalan terlalu lama.

Dia pernah mencoba melakoni berbagai pekerjaan. Tapi tidak ada yang bisa bertahan lama. Pernah menjadi kuli angkut pasar, tapi kakinya terasa sakit. Pernah menjadi penjaga di toko milik sepupu tapi kakinya juga ngilu saat berjalan mengambil stok barang dari gudang untuk dipajang di toko.

Uang sisa dari gadai tanah sudah hampir habis, bukannya untung, kini justru hampir habis. Sementara Titin harus mengubur impiannya untuk bisa kuliah.

"Duh, jangan seperti ini dong Nai, lauknya! Masak tiap hari sambal kecap dengan kerupuk!" protes mertuaku. Wajahnya mengerut di ruang makan.

"Itu juga si Danang, kenapa cuma dikasih makanan instan dan teh di dot. Ck, beli aja susu formula. Kamu nggak punya uang ya?!"

Aku menghela nafas. "Ibuk kan tahu kalau setelah mas Larsono kecelakaan, keuangan kami oleng. Tolong ibu mengerti sedikit dong," sahutku. Terasa mulai emosi dalam nada suara.

"Heh, kamu kok nggak sopan sih dengan mertua. Kasar banget. Ibu hanya minta lauk yang lebih enak, kok dibentak?! Contohlah adik kamu si Titin, yang lemah lembut."

Ibu menunjuk Titin di depan rumah yang sedang menggendong Danang.

"Astaghfirullah, Buk. Jelas beda lah saya sama Titin. Saya rasa kalau Titin ada di posisi saya, dia juga akan galak."

Ibu diam sejenak. "Larsono, emang kamu nggak bisa cari kerjaan lain setelah diphk?"

"Kakiku kalau digunakan untuk jalan dan berdiri terlalu lama jadi sakit, Bu."

"Kalau begitu yang harus kerja ya Naimah dong."

"Tapi Bu, Danang gimana?"

"Danang kan ada Titin, ada saya, ada bapaknya juga. Kamu yang harus kerja. Lagipula Danang kan sudah selesai disa pih?!"

Aku menghela nafas. Bingung akan menyetujui atau menolak usulan mertuaku.

"Lagipula ya denger baik-baik, Nai. Dalam sebuah keluarga, Tuhan itu bisa saja menitipkan rejeki pada sang suami, bisa juga pada sang istri. Jadi kalau suami kamu belum dapat kerja, kamu dong yang harus maju. Masa ibu?"

"Nanti akan Naimah pikirkan," sahutku akhirnya.

"Yah harus segera dipikirkan lah. Kita butuh makan dan anak kamu butuh susu dan masa depan," kilah mertuaku.

"Tapi apa yang bisa Naimah lakukan? Kalau buka usaha, saya tidak punya modal, Buk. Kalau mencucikan baju tetangga, rata-rata mereka mencuci baju sendiri. Mereka juga tidak butuh asisten rumah tangga karena kebanyakan dari mereka adalah ibu rumah tangga atau buruh tani."

"Ck, kamu ini nggak pinter banget sih. Kemarin saat ibu belanja di warung ada selebaran tentang pemberangkatan T KW."

"Jadi T KW? Aku?" Aku mendelik, kaget.

"Iyalah kamu, masa ibuk? Masa Titin atau Larsono?" tanya mertuaku dengan gaya menyebalkan.

"Akan saya pikirkan nanti, Buk. Saya juga ingin melihat tumbuh kembang anak saya," sahutku membuat mertuaku mendengus.

"Kalau cuma lulusan SMA aja, tidak usah mimpi muluk-muluk dalam bekerja. Asal halal dan dapat uang banyak, mbok dilakoni!"

*

"Aku akan berangkat ke luar negeri, Mas," ucapku suatu malam. Keputusan ku membulat saat setiap hari melihat para penagih hutang datang menyantroni rumah dan membuat kami risih. Belum lagi tatapan tetangga yang menyiratkan entah rasa kasihan, entah rasa ji jik pada kami.

Mas Larsono hanya menghela nafas panjang.

"Kalau itu keputusan kamu, aku hanya bisa berharap kamu selalu beruntung dan mendapat majikan yang baik, Nai."

Aku mengangguk. "Tapi bagaimana dengan Danang dan Titin?"

"Kamu tidak usah khawatir. Aku akan menjaga mereka dengan baik."

"Kamu jangan selingkuh saat nggak ada aku ya, Mas!"

Mas Larsono tersenyum. "Aku janji nggak akan selingkuh. Kan ada sabun dan minyak goreng," tukas mas Larsono, seraya mengedipkan sebelah matanya.

"Ish!"

Aku memukul bahu mas Larsono pelan dan kamipun tertawa bersama.

"Lalu bagaimana dengan uang saku kamu? Apa kita masih punya tabungan?"

Aku melihat dua cincin yang melingkar di jari manis. Satu cincin adalah mas kawin. Cincin yang lainnya adalah warisan dari ibu.

Mata mas Larsono berkaca-kaca. "Maafkan mas ya. Belum bisa menjadi suami yang baik untukmu dan bapak yang baik untuk Danang."

"Semua ini musibah, Mas. Aku akan berusaha kuat menjalaninya asalkan kamu di sini setia."

Mas Larsono mengangguk. "Percayalah padaku, Nai!"

Mas Larsono pun merengkuhku dalam pelukannya.

*

Hari keberangkatan pun tiba. Tak hentinya aku menci um pipi gembil Danang. Hatiku sesak melihat tangisnya yang menyayat saat aku hendak pergi dengan travel yang sudah menungguku di depan rumah.

"Ck, nggak usah cengenglah. Kalau mau jadi ibu juga harus mau sengsara!"

Aku melirik ke arah mertuaku. Rasanya kalau tidak ingat bahwa dia adalah ibu dari suamiku, aku akan menyumpalkan sendal ke mulutnya.

*

Pov Titin.

Mbak Naimah telah bekerja selama tiga tahun di Taiwan dan uangnya ditransfer pada mas Larsono.

Yang luar bisa dari mas Larsono adalah dia bisa menghemat dan bisa memutar uang yang diberikan oleh mbak Naimah menjadi toko sembako di tanah warisan bagianku.

Aku juga tidak masalah dengan toko yang dibangun di atas tanah bagianku. Toh, aku juga akan ikut menikmati uang bagi hasilnya untuk uang jajan.

Bukan hanya itu, sertifikat tanah bagianku kini telah kembali. Dan mas Larsono juga mengubah teras depan rumah yang dulu hanya diisi gerobak bakso menjadi warung lesehan mungil.

Aku dan mas Larsono semakin akrab, kadang kami belanja untuk warung baksoku berdua. Tapi aku hanya menganggapnya hanya sebagai seorang kakak lelaki saja. Karena aku sudah punya kekasih yang tampan, Dimas. Anak kepala desa.

Tapi memang yang namanya usaha, kadang mengalami pasang surut. Seperti saat ini, warung baksoku yang sepi, mas Larsono, Danang dan mertua yang sedang berada di warung sembako yang berjarak 3 kilo dari rumah membuatku merasa kesepian.

Beruntung Dimas, anak kepala desa, pacarku sejak setahun yang lalu yang merupakan teman SMAku mampir ke rumah dan mengajakku ke kontrakannya.

Dengan senang hati, akupun menutup warung dan ikut dalam boncengan Dimas.

Dimas yang bekerja di perusahaan pecah belah dengan jarak empat puluh lima menit dari rumahnya memang memilih ngontrak dari pada bolak balik ke rumah orang tuanya. Karena dia ingin bebas daripada dikekang oleh papanya, kepala desa yang galak itu.

Aku sudah sering ke kontrakannya saat banyak teman-teman satu pabriknya disana. Tapi ini sekarang hanya ada kami berdua.

Awalnya aku yang hanya melihat tivi di ruang tengah, entah mengapa jadi 'ingin' melihat Dimas yang menyerangku perlahan.

"Aku takut hamil, Dim."

"Aku akan bertanggung jawab dan menikahi mu," sahut Dimas sambil menggendong ku ke kamarnya.

"Tapi papamu galak."

"Papa akan menurutiku, Tin. Percayalah padaku. Aku sangat mencintaimu dan aku juga tahu, kamu mencintai ku kan?"

Aku hanya mengangguk dan malam itu kami melakukannya dengan penuh cinta.

*

Aku hamil dan Dimas membawaku pada orang tuanya. Namun, alih-alih mereka menerimaku, aku ditolak mentah-mentah oleh keluarga mereka. Hatiku sangat sakit tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Dan bukannya melawan papanya dan mempertahankan aku, Dimas justru mentransfer uang lima juta ke rekening ku untuk biaya menyingkirkan bayiku.

Lelah menangis seharian membuatku haus. Dan saat tengah malam, aku keluar dari kamar menuju dapur.

Saat melewati kamar mas Larsono, aku mendengar suara aneh. Aku menajamkan pendengaranku dan aku yakin itu suara desa han.

Aku mengintip dari ventilasi kamarnya dan melihatnya melakukan seperti apa yang kupikirkan.

Mendadak sebuah ide melintas di kepala. Aku segera kembali ke kamar dan menelepon mas Larsono.

Tut ... Tut ... Tut

Klik.

"Halo."

"Halo, Mas. Aku bisa membantumu. Jangan melakukannya sendiri. Kamu mau kan kubantu?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Endhie Yusuf
gomballllllllll
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status