Share

bab 5. Permintaan Larsono

Aku menyeringai. "Oh, ya. Kalau begitu akan kuadukan kamu juga. Manipulasi perceraian kita. Dengan sangat jelas selama lima tahun aku masih memberikan hasil keringatku padamu. Dan kamu tahu pasti aku kerja di negara mana. Tiap dua Minggu, aku sempatkan telepon, tapi kamu justru mengajukan cerai ghaib."

Terlihat raut wajah mas Larsono yang terkejut.

"Kamu kira aku bo doh dan akan menangis saja melihat kamu mempermainkanku, Mas? Jangan ngarep. Sori Mas. Dulu memang aku berpendapat kalau mematuhi suami itu merupakan kunci syurga sang istri dan aku pun setuju saat kamu menyuruhku ke luar negeri. Tapi sekarang, enggak akan lagi. Nggak sudi aku jadi sapi perahmu, Mas!"

"Oh, jadi kamu nggak akan menghapus dan nggak akan klarifikasi soal Titin dan aku?" tanya mas Larsono geram.

"Ya. Kenapa? Mau protes?"

"Kalau begitu siap-siap saja kamu kalau aku bawa pengacara dan mempolisikan kamu, Nai!"

"Polisi? Siapa yang akan ditangkap polisi, Buk?" tanya Danang takut.

Lihatlah mantan suamiku ini, telah gelap mata rupanya dia. Sudah mengambil semua hasil kerja kerasku, sekarang mencoba membuatku dipenjara.

"Oke. Silakan. Aku juga akan menuntut kamu untuk mengembalikan mobil dan toko sembako yang kamu bangun dengan jerih payahku."

"Kamu takkan bisa."

"Itu kan menurut kamu. Emangnya kamu aja yang bisa sewa pengacara? Aku juga bisa. Bahkan aku masih menyimpan bukti transfer semua gaji aku ke kamu. Gaji yang kukirimkan dan telah kamu gunakan untuk beli mobil, dan membangun toko. Kita lihat siapa yang akan memenangkan kasus harta gono gini ini, Mas!"

Mas Larsono terhenyak. Lalu sebelum dia sempat mengatakan apapun, ponselnya berbunyi. Gegas dia menerima panggilan di hadapanku dengan memanggil lawan bicaranya begitu mesra.

"Halo, Sayang."

Mas Larsono melirikku sambil menyeringai. Pasti Titin yang meneleponnya. Dia pikir, dia bisa membuatku cemburu? Tidak! Sekarang bahkan hatiku sudah mati rasa. Dan aku tidak peduli, dia mau salto, ketawa, atau berguling-guling di depanku.

"Astaga, masa Yang? Ada tulisan pelakor di toko sembako kita dan kamu nyaris dikeroyok tetangga?" tanya mas Larsono panik. Matanya mendelik lalu menatap tajam padaku.

Aku hanya membalas dengan melambaikan tangan dan menyeringai padanya.

"Pasti kamu yang telah menyuruh orang untuk meneror kami!!" seru mas Larsono setelah mengakhiri panggilan.

Aku mengedikkan bahu. "Hati-hati lho kalau menuduh orang tanpa bukti, bisa terjerat pasal pencemaran nama baik. Kamu kira aku nggak pernah baca tentang masalah-masalah viral di internet? Kamu salah, Mas!"

Mas Larsono terdiam sejenak. "Kalau begitu, hapus segera postingan kamu dan minta maaf pada kami!"

"Hm, boleh. Tapi ada syaratnya!"

"Katakan apa syaratnya!"

"Segera setelah kamu balik nama mobil dan toko dengan namaku, serta merelakan hak asuh Danang padaku, aku akan merelakan semuanya dan melakukan klarifikasi. Bagaimana, Mas?" tanyaku santai.

Mas Larsono mendelik.

"Wah, kamu benar-benar matre ya. Kok tega sih kamu mau mengambil semua asetku?" tanya mas Larsono membuatku terbahak-bahak.

"Hei, ngaca Mas! Kamu atau aku yang matre? Kamu atau aku yang keterlaluan?" tanyaku balik. "Itu kan semua hasil kerja keras aku di luar negeri. Gimana sih?"

Mas Larsono menyeringai. "Tapi kan tanah yang ditempati toko sembako itu tanah warisan milik Titin, bukan milik kamu? Apa itu tanah itu mau kamu rampas juga?!"

"Heh, Mas. Kamu ini benar-benar benalu dan gak tahu malu. Seharusnya kamu tahu diri, kalau aku yang menghidupi kalian selama ini, tapi ini balasannya? Aku meminta kembali aset itu karena untuk masa depan Danang."

"Danang akan ikut aku! Jadi semua aset tetap milikku karena sudah tertulis di sertifikat nya atas namaku." Mas Larsono mengepalkan tangannya.

"Wow, lucu sekali. Danang ikut kamu, katamu? Coba tanya pada Ibumu, Titin atau Danang, bagaimana perlakuan mereka pada Danang saat kamu enggak ada di rumah?" tanyaku sengit.

Mas Larsono terhenyak. "Apa maksud kamu?"

"Hm, kamu ini bo doh atau pura-pura bo doh? Nggak tahu apa pura-pura tidak tahu, hah?"

Mas Larsono hanya terdiam. Astaga, sepertinya dia benar-benar tidak tahu.

"Heh, dengerin aku ya Mas! Danang sudah cerita padaku tadi. Kalau saat ibu mu dan Titin sedang makan ayam, mereka memberikan lauk kerupuk pada Danang."

Mas Larsono tercengang. "Apa? Nggak mungkin!"

Aku tertawa.

"Nggak mungkin kamu bilang, Mas? Tanya aja sendiri pada Danang. Melihat ibu kamu dan Titin yang seperti itu, apa kamu pikir aku akan rela melepaskan Danang untuk diasuh mereka? Jangan mimpi!"

Aku menghela nafas panjang. Sementara mas Larsono masih tidak percaya pada penuturan ku.

"Sudahlah. Jangan baca melamun, Mas. Intinya kamu akan menyerahkan kembali hasil kerjaku nggak? Walaupun tanah untuk bikin toko itu adalah warisan bagian Titin, aku bisa kok membelinya," tukasku yakin.

"Sombong sekali kamu. Aku tidak akan pernah memberikan hasil kerja kerasku padamu lagi."

"Oh ya, kamu lihat saja nanti. Jangan terlalu yakin sekarang. Kalau begitu, aku pun tidak akan menghapus postinganku. Kamu akan lihat berapa menyeramkannya hukuman sosial oleh netizen. Inget itu baik-baik!"

Aku menatap tajam ke mata mas Larsono. Tak pernah kukira kami akan bermusuhan. Tak pernah kukira sikapnya yang dulu sangat mesra dan romantis, sekarang berbalik sadis dan menyerangku.

Mas Larsono menyeringai. "Baiklah. Kita lihat saja, Nai. Aku atau kamu yang menang dalam hal ini. Kurasa aku sudah tepat mengambil keputusan untuk menceraikan kamu."

Usai mengucapkan hal itu, mas Larsono pun meninggalkanku dan Danang. Danang memeluk pinggangku dan menyembunyikan wajahnya di balik punggung.

"Bu, apa bapak dan ibu bertengkar? Kenapa bapak dan ibu bertengkar?" tanya Danang lirih.

Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya sekuat tenaga. Mensejajarkan diri dengan tinggi Danang, kutatap mata anakku erat. Terlihat ada luka dan tanya di matanya.

Aku memeluk Danang erat. Nyaris menangis namun kutahan sekuat hati. Kurasa tak ada seorang pun istri di dunia ini yang ingin bekerja keluar negeri meninggalkan anaknya. Tak ada satu pun istri yang bermimpi akan bercerai dengan sang suami bila suaminya menafkahi dan mengayomi dengan baik. Tak ada satupun ibu yang bermimpi melihat anaknya terluka karena pertengkaran kedua orang tuanya.

Dan air mata itu pun luruh. Jebol juga pertahananku untuk pura-pura kuat di depan Danang. Aku sesenggukan di pundak Danang. Sakit sekali jika orang-orang yang telah kupercaya telah berkhianat.

"Buk, jangan menangis."

Danang melerai pelukan dan menghapus air mataku dengan tangan mungilnya.

Aku memeluk Danang dengan erat. "Mulai sekarang, hanya ada kamu dan Ibu ya Nang. Jangan cari bapak dan Tante kamu lagi. Dan satu hal kalau mereka mau ngajak kamu pergi, kamu harus ijin dulu pada ibuk. Mengerti kan?"

Danang mengangguk.

"Ya sudah, ayo sekarang kita masuk ke dalam rumah dulu. Ibu perlu bersih-bersih rumah dan menata barang ibu." Danang mengangguk dan mengikutiku.

*

Aku telah membalas satu persatu pesan yang masuk ke dalam ponselku. Luar biasa sekali antusiasme para netizen jika sudah berurusan dengan pelakor. Tak kusangka sudah ribuan orang membagikan dan berkomentar di postinganku.

"Buk, Danang sudah siap." Suara mungil itu membuatku memalingkan wajah dari layar Hp.

"Ya sudah. Ayo kita sarapan dahulu sebelum berangkat sekolah, Nak."

Aku menatap Danang yang termenung lama sambil menatap makanan di hadapannya.

"Kamu kenapa, Nak? Ada yang sakit?" tanyaku cemas.

Danang menggeleng. "Cuma kangen Bapak."

Aku menelan ludah dan mengelus punggung tangannya.

"Maafkan Ibu yang pergi meninggalkanmu ya. Sekarang kamu makan dulu. Nanti sekolah kamu telat."

Danang mengangguk lalu menyuapkan nasi goreng sosis ke mulutnya perlahan.

Jalanan tampak berbeda. Tapi bukan berarti aku lupa sama sekali dengan jalanan kota tempat kelahiranku.

Sekolah dasar tempat Danang bekerja merupakan tempat bersekolah ku dulu. Dan masih letaknya masih tetap. Kuajak Danang ke sekolah setelah sarapannya habis.

Beberapa mata wali murid tampak menatapku dengan aneh. Satu dua ibu-ibu tampak berbisik. Tapi tak ada yang berani menyapa.

Memang letak sekolah dasarnya hanya satu setengah kilometer dari rumah. Banyak anak tetangga juga bersekolah di sana. Kata Danang, kadang dia berangkat dengan Dodi, anak bungsu Bu Joko. Tapi pagi ini, biarlah aku yang mengantarnya ke sekolah.

Saat aku hendak pulang, salah satu dari ibu-ibu itu mendekat.

"Mbak Nai, bisa kita bicara sebentar?"

Aku menatap ke arah anak sulung kepala desa itu dengan heran.

"Ada apa, Mbak Lisa?"

"Ayo ikut saya sebentar, mbak Nai, ini soal anak Titin yang baru lahir.*"

Aku terhenyak sejenak.

"Oke, Mbak."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status