LOGINBegitu motor berhenti di depan gerbang rumah, Alia segera turun tanpa banyak bicara. “Terima kasih,” ucapnya singkat, bahkan tanpa menatap Arhan.
“Lain kali saya bisa jemput juga, Bu,” balas Arhan santai, tapi Alia sudah melangkah cepat masuk ke halaman, tak memberi kesempatan lebih. Rumah itu terasa sepi seperti biasa. Mobil Rendra tak ada di garasi. Rumah besar peninggalan mertuanya itu sunyi, hanya suara jam dinding yang terdengar dari ruang tamu. Alia menaruh tas di meja, melepaskan sepatu, lalu berjalan pelan ke kamarnya. Setelah mandi air hangat dan mengganti baju, tubuhnya terasa sedikit ringan. Ia menatap wajahnya di cermin. Pucat. Tapi setidaknya tidak lagi berantakan seperti tadi di kampus. Ia berbaring di tempat tidur, menyalakan ponsel sekadar ingin membuka media sosial atau membaca berita ringan. Namun, baru saja layar menyala, muncul notifikasi pesan baru. Nomor tak dikenal, dan asing: “Sampai rumah, Bu? Jangan lupa istirahat. Saya nggak mau dosen pembimbing saya sakit.” Alia terdiam. Jantungnya berdebar. Ia membaca ulang pesan itu dua kali, memastikan matanya tidak salah lihat. Itu jelas gaya bicara Arhan. Tapi, darimana anak itu bisa dapat nomor pribadinya? Dengan cepat, Alia mengetik balasan: Alia: “Arhan, dari mana kamu dapat nomor saya?” Tak lama kemudian, balasan masuk. Arhan: “Hah? Saya juga nggak tahu, Bu. Tiba-tiba aja nomornya ada di kontak saya. Mungkin sistem kampus kali, ya?” “Hehe, kebetulan banget.” Alia menatap layar ponselnya lama. Alasan itu terdengar mengada-ada. Kampus memang punya data dosen, tapi tidak mungkin sembarangan mahasiswa bisa mengakses nomor pribadi dosen pembimbing. Ia mengetik lagi dengan nada tegas: Alia: “Arhan, saya minta kamu jangan hubungi saya lewat nomor pribadi. Gunakan email resmi kampus, seperti mahasiswa lain.” Tak ada balasan lagi. Hening. Alia menghela napas panjang. Ia menatap layar ponselnya sebentar, lalu dengan mantap menekan tombol blokir. Notifikasi kecil muncul: Kontak diblokir. Ia meletakkan ponsel di meja, menarik selimut, mencoba memejamkan mata. Tapi pikirannya masih gelisah—tentang Arhan, tentang hari yang kacau, tentang semua rasa tak nyaman yang menumpuk sejak seminggu lalu. Sementara itu, di kamar sempit di pinggir kota, Arhan sedang menatap layar ponselnya sendiri. Wajahnya diterangi cahaya biru dari layar, senyum puas terukir di bibirnya. “Dosen pembimbing yang paling kaku akhirnya juga bisa aku buat bingung,” gumamnya pelan sambil tertawa kecil. Ia tahu betul darimana nomor itu berasal. Dari sistem kampus yang ia retas dengan sedikit trik sederhana. Namun, saat ia hendak mengetik pesan lain, layar ponselnya tiba-tiba menampilkan tulisan kecil: Pesan tidak terkirim. Penerima telah memblokir nomor Anda. Senyum di wajah Arhan memudar. Beberapa detik ia hanya menatap layar itu tanpa suara, lalu mendesah panjang. “Ah, cepat banget ….” katanya pelan seraya melempar ponsel ke kasur, lalu bersandar di kursinya. Di wajahnya muncul ekspresi aneh—antara kesal, kecewa, tapi juga … tertarik. Baginya, Alia bukan lagi sekadar dosen pembimbing. Ia tantangan baru—dan Arhan tak pernah bisa menolak tantangan. Suara pintu utama terbuka pelan. Alia segera bangkit dari tempat tidur, menyeka sisa air di sudut matanya dan bergegas keluar kamar. Kebiasaannya selama ini—menyambut Rendra pulang—seakan sudah tertanam begitu dalam. “Ren, kamu baru pulang?” sapanya lembut, mencoba tersenyum walau lelah. Namun Rendra hanya melepaskan sepatu dan menaruh tas kerjanya di meja tanpa menatap Alia. “Lain kali nggak usah nyambut kalau aku nggak minta,” katanya datar. Alia tertegun. “Maksud kamu apa?” Rendra menoleh sekilas, wajahnya tegang. “Aku lagi nggak mau ngomong panjang. Lagian, kamu itu—kenapa sih nelpon aku berkali-kali tadi? Hampir aja aku dikeluarin dari rapat gara-gara ponsel bunyi terus.” Alia menelan ludah, suaranya pelan. “Maaf … aku cuma butuh bantuan waktu itu. Ban mobilku bocor dan aku bingung harus gimana.” Rendra mendengus, menyela cepat, “Udah, diam aja, Alia. Aku capek, jangan banyak alasan.” Alia terdiam, menunduk. Ia hanya menatap lantai ketika Rendra mengambil jaketnya, lalu melempar beberapa barang dari tas ke meja. “Itu berkas kerjaanku. Tolong rapikan,” katanya singkat sebelum berjalan menuju kamar mereka. Alia mengangguk pelan, meski Rendra sudah tak lagi menoleh. Suara pintu kamar tertutup membuat ruang tamu terasa makin sunyi. Ia menghela napas panjang, mencoba menahan rasa perih yang menekan dadanya. Baru saja ia hendak melangkah ke dapur untuk menyiapkan makan malam, suara keras tiba-tiba terdengar dari arah pintu depan. “Alia!” Suara itu lantang, tajam, dan penuh kemarahan. Ibu mertuanya baru pulang, masih mengenakan pakaian rapi sehabis menghadiri arisan. “Benar ya yang aku dengar tadi?” seru wanita itu sambil berjalan cepat mendekat. “Kamu pulang diantar laki-laki? Di depan rumah?!” Alia mematung. “Bu, tunggu dulu. Itu bukan seperti yang Ibu pikir—” “Jangan bohong!” potongnya keras. “Kamu pikir Ibu nggak tahu? Tetangga tadi cerita! Katanya kamu turun dari motor sambil senyum-senyum! Gimana coba orang ngelihatnya? Memalukan!” Alia mencoba tetap tenang. “Itu mahasiswa saya, Bu. Ban mobil saya bocor, jadi dia cuma bantu antar sampai depan rumah.” Namun sang mertua malah mendengus tajam. “Alasan! Dari dulu kamu selalu punya alasan. Kalau memang suamimu nggak cukup buatmu, bilang aja! Jangan bawa-bawa nama baik keluarga!” Kata-kata itu menampar hati Alia lebih keras dari apapun. Ia ingin menjawab, ingin menjelaskan dengan sabar, tapi tahu percuma. “Sudahlah, Bu. Saya capek,” katanya lirih. “Saya ke kamar dulu.” “Lari, ya? Biar nggak perlu dengar omongan Ibu?” Suara itu terus menggema di belakangnya, tapi Alia tak menoleh. Langkahnya pelan. Setiap pijakan terasa berat. Ia masuk ke kamarnya, menutup pintu perlahan, lalu bersandar di baliknya. Air matanya akhirnya jatuh. Tanpa suara, hanya isakan kecil yang tertahan di dada. Ia menutupi wajah dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar. Semua rasa lelah, sakit kepala, tekanan dari kampus, sikap dingin Rendra, dan tuduhan sang mertua. Semuanya menumpuk jadi satu. “Kenapa semuanya selalu aja salah …,” bisiknya pelan di antara tangis. “Padahal aku cuma berusaha ….” Dari luar, terdengar samar suara TV dinyalakan. Rendra rupanya sedang duduk di ruang tengah, mengambil sesuatu dari rak, seolah tak mendengar apapun dari balik pintu kamar. Bagi Alia, itu cukup untuk membuatnya sadar—malam itu, bahkan rumah sendiri tidak lagi terasa seperti tempat pulang. "Arhan?" Alia seolah bertanya sendiri saat melihat ponselnya berdering, meski dia kesal Arhan mendapatkan nomornya namun dia tetap menyimpan nomor tersebut karena urusan kampus. "Halo?" "Bu, Bisa keluar sebentar?" Alia spontan berdiri dan menyikap kain jendelanya dan benar ada Arhan didepan pintu gerbang rumah mereka. "Kenapa kamu ke sini?" Tanya Balik Alia masih di tepi jendela.Begitu motor berhenti di depan gerbang rumah, Alia segera turun tanpa banyak bicara. “Terima kasih,” ucapnya singkat, bahkan tanpa menatap Arhan.“Lain kali saya bisa jemput juga, Bu,” balas Arhan santai, tapi Alia sudah melangkah cepat masuk ke halaman, tak memberi kesempatan lebih.Rumah itu terasa sepi seperti biasa. Mobil Rendra tak ada di garasi. Rumah besar peninggalan mertuanya itu sunyi, hanya suara jam dinding yang terdengar dari ruang tamu. Alia menaruh tas di meja, melepaskan sepatu, lalu berjalan pelan ke kamarnya.Setelah mandi air hangat dan mengganti baju, tubuhnya terasa sedikit ringan. Ia menatap wajahnya di cermin. Pucat. Tapi setidaknya tidak lagi berantakan seperti tadi di kampus. Ia berbaring di tempat tidur, menyalakan ponsel sekadar ingin membuka media sosial atau membaca berita ringan.Namun, baru saja layar menyala, muncul notifikasi pesan baru. Nomor tak dikenal, dan asing:“Sampai rumah, Bu? Jangan lupa istirahat. Saya nggak mau dosen pembimbing saya s
Pintu ruang dosen itu terbuka pelan. Alia menoleh, sedikit waspada.Yang muncul adalah Bu Ratna, dosen senior yang belakangan sering menyapanya di lorong atau menemaninya makan siang. Wajahnya selalu ramah, dan entah kenapa kehadirannya selalu membawa sedikit rasa aman.“Alia, boleh Ibu masuk?” tanyanya lembut.“Oh, tentu, Bu. Silakan,” jawab Alia cepat sambil menegakkan duduknya.Bu Ratna melangkah masuk, menutup pintu perlahan lalu duduk di kursi depan meja Alia. Ia meletakkan tas kecil di pangkuan, menatap Alia dengan senyum hangat. “Kamu kelihatan capek,” katanya pelan. “Ada apa? Dari tadi Ibu lihat wajahmu murung.”Alia menghela napas panjang. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma … ya, tadi sempat kesal aja. Mahasiswa saya yang baru—Arhan—sikapnya agak … sulit dijelaskan.”Bu Ratna mengangguk pelan, seolah sudah menebak. “Ah, Arhan Dirgantara, ya?”Alia langsung menatapnya, kaget. “Ibu kenal?”“Iya,” jawab Bu Ratna pelan sambil menyandarkan punggung. “Dia memang agak beda dari mahasi
Sudah seminggu berlalu sejak kejadian di kelas itu. Alia duduk di ruangannya, menatap layar komputer yang tak benar-benar ia baca. Kepalanya masih terasa berat sejak semalam.Rendra memaksanya ikut zoom meeting dengan rekan kerjanya, sekadar formalitas, katanya. Alia harus duduk di depan kamera, tersenyum, menjawab basa-basi dari orang yang tak ia kenal, sambil menahan pusing yang tak kunjung reda. Lalu setelah meeting selesai, bukannya mendapat ucapan terima kasih, ia malah disalahkan.“Kamu itu nggak bisa fokus, Alia. Malu tahu, kelihatan banget nggak siap.”“Aku udah bilang aku sakit kepala, Ren ….”“Alasan! Kalau kamu niat, kamu bisa terlihat profesional.”Kata-kata itu masih bergema di kepala Alia hingga pagi ini. Ia memijit pelipisnya pelan, berharap rasa sakit itu mau hilang walau hanya sedikit. Suara ketukan pintu terdengar pelan. Alia mendongak.Di depan pintu berdiri seorang mahasiswa dengan map cokelat di tangan.Rambutnya agak berantakan, jaket hitam masih sama sepe
Sudah sebulan Alia berdiam diri di rumah sejak kelulusannya dari S2. Hari-harinya terasa hampa. Hanya diisi dengan adu argumen kecil dengan ibu mertua atau perdebatan dingin dengan Rendra yang selalu berdiri di sisi ibunya. Namun pagi ini berbeda. Hari ini adalah hari ketiganya menjadi dosen seni di universitas ternama di ibu kota.Awalnya, Rendra menentang keras. Menurutnya, istri tak perlu bekerja, apalagi di lingkungan kampus yang “bebas.” Tapi justru ibunya yang berkata, “Perempuan itu jangan cuma ngandelin laki-laki. Cari kegiatan biar otaknya kepakai. Nggak usah ngeluh aja di rumah.”Kalimat itu membuat Alia terdiam lama. Entah bagaimana, kata-kata itu seperti izin yang datang dari arah yang tak terduga.Hari-hari pertama berjalan tenang. Mahasiswa di jurusan seni tak banyak, dan kebanyakan dari mereka santai—terlalu santai, malah. Kelas sering berakhir lebih cepat dari jadwal. Kadang Alia memanfaatkan waktu luang untuk menyiapkan bahan ajar, atau sekadar menatap dinding pe
Langit sore di kampus mulai berubah jingga saat Alia berdiri di depan papan bunga besar bertuliskan “Selamat atas kelulusanmu, Alia Salsabila, M.M.”Bunga itu kiriman dari dirinya sendiri. Ia bahkan menulis nama pengirimnya dengan huruf kecil di pojok kartu ucapan — supaya tidak terlalu mencolok kalau ada yang memperhatikan.Sementara teman-temannya sibuk berfoto bersama keluarga, Alia berdiri sendiri.Tak ada Rendra, tak ada ibu mertuanya, tak ada siapa pun yang menunggu.“Selamat ya, Alia!”“Cantik banget hari ini!”Ia tersenyum ramah, menunduk sopan. Tapi hatinya kosong. Hari wisuda yang seharusnya jadi hari bahagia malah terasa seperti upacara pengingat bahwa hidupnya berjalan ke arah yang salah.Malam mulai turun ketika Alia sampai di rumah. Rumah itu besar, tapi sunyi. Lampu ruang tamu menyala redup, piring makan dua set masih tersusun rapi di meja — hanya satu yang terpakai.Jam hampir menunjukkan pukul sebelas ketika suara mobil terdengar di depan rumah. Pintu terbuka







