Saat dia memberikan kabar kehamilan setelah sepuluh tahun pernikahan, aku bersyukur hingga air mata ini tak terbendung. Tapi saat kudapati kedekatannya lagi dengan mantan pacarnya, juga tes kesuburuanku yang ternyata ... AKU MANDUL. Benarkah dia mengandung anakku?
View MoreKring!!! Suara alarm pagi di atas nakas terdengar berdering keras. Uluran tangan keluar dari balik selimut, meraba nakas untuk mencari sumber bunyi tersebut.
Terserang kantuk yang hebat, tangan itu sulit mencari tombol non-aktif untuk weker. Brak!!! Deringan weker itu akhirnya terhenti saat membentur dinding. Seorang wanita cantik mendecak heran melihat tingkah kekanakan suaminya yang tetap sama dari tahun ke tahun meskipun sudah hampir menginjak kepala empat. "Arka!" Gundukan selimut tersibak hingga menampakkan si pemalas yang sedari tadi tergulung dalam balutan selimut. "Pagi, Sayang!" Masih senyum manis yang sama. Arkana Kenjiro Wijaya. Pria itu masih terlihat tampan di usianya yang ke-39 tahun. Mata sipitnya memandang nakal pada istri yang berdiri tak jauh dari kasur. Lizzya Pinkan, wanita yang masih setia bersamanya sampai menginjak tahun ke sepuluh pernikahan. "Pulang kerja nanti, jangan lupa beli weker baru!" kesal Lisa. Arka tertawa, lalu duduk setelah menyingsingkan selimut. Istrinya itu bahkan lupa meletakkan spatula karena buru-buru menghampiri kamar. "Kamu pengen bangunin aku dengan cara getok pakai spatula, ya?" gerutu Arka. "Alarm kamu itu kedengaran sampai dapur, tau! Uh, ini udah jam berapa?" "Kamu tau aku lembur, harusnya jangan pasang alarm. Ke sini sebentar!" Kalau dipanggil Arka ke kasur di saat seperti ini, pasti suaminya itu ingin bermanja sedikit. Lisa meletakkan spatula di meja sudut dan berjalan mendekat. "Cepetan. Takut digigit? Udah biasa ini!" Arka menarik lengan Lisa dan memutar pinggang istrinya itu, lalu menyelipkan dagunya di antara bahunya yang mungil. Dengan rambut yang tergulung ke atas, Arka bisa menghirup bebas aroma parfum yang menguar dari tengkuk Lisa. "Ini udah tanggal 1." "Kenapa, Ka? Kamu gajian? Belum setoran, 'kan?" "Bini taunya duit mulu, bukan itu. Ini udah lewat dua minggu, 'kan?" "Apanya? Ga jelas banget ngomongnya, Sayang." Arka menarik pengait laci agar bisa membukanya. Dia mengambil benda persegi panjang ringan di atas tumpukan buku. Lisa menghela napas saat benda itu dihadapkan padanya. Test pack. "Kalau negatif, gimana?" lirih Lisa, pasrah. Arka tersenyum tipis. Dia lebih mendekatkan bibirnya ke sisi telinga Lisa. "Ya kalau gitu, akunya yang enak." Lisa tertawa kecil. Begitulah cara Arka agar bisa membujuk Lisa untuk tak takut menghadapi garis apa pun yang muncul dari benda itu. Saat hendak menyambut kecupan manis Arka, suara berisik terdengar mendekati. Lebih tepatnya, derap langkah kaki yang terdengar memburu. "Arka udah bangun, Lis?!" Arka mendengkus kesal. Dia meninggalkan kecupan manjanya dan telungkup di kasur. Lisa tertawa kecil, justru menenggelamkan kepala suaminya itu dalam balutan selimut biru tua. "Jangan macem-macem, ya! Gak enak diliat mama." Lisa tersenyum sambil menepuk punggung Arka. "Auk, ah!" Setelah Lisa meninggalkan kamar, Arka keluar dari persembunyiannya. Dia melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh. "Masih ada waktu sampai jadwal operasi siang nanti. Ngantuk!" Arka kembali menarik selimut untuk mengurung tubuhnya. Sepuluh tahun telah berlalu, inilah hari-hari yang dijalani. Semua berubah begitu cepat, dilalui dengan cinta dan kesabaran. * Siang harinya, Lisa membawa bekal ke rumah sakit untuk memastikan suaminya itu mengisi perut saat jam makan siang. Sejak tiba di ruang kerja sang suami, Lisa diminta menunggu. Arka tak ingin konsentrasinya terganggu untuk menganalisis laporan medis seorang pasien. "Jadi aku beneran disuruh nunggu aja, nih?" keluh Lisa. "Bentar, ini juga udah kelar." Setelah melepas kacamata, Arka bangkit dari duduknya dengan membawa beberapa berkas. Lisa kesal karena suaminya itu sungguh tak bisa lepas dari pekerjaan. "Makan dulu! Aku gak mau kamu kerja terus!" Arka tak ingin membantah, hanya mengangguk setuju agar Lisa mulai menyiapkan bekal yang harus disantap di siang hari ini. "Kerjaanku banyak." Tangannya malas sekali bekerja. Lisa harus memberikan makan suaminya itu langsung dari tangannya. Lisa pun tak merasa keberatan. Sangat bahagia bisa melayani suami yang masih setia di sampingnya dengan segala kekurangan yang ada. "Nanti lagi." Hanya beberapa suapan saja yang diberikan. Lisa menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Sepanjang itu, dia hanya melihat Arka kembali sibuk dengan berkas di tangannya. Senyum nakal pun terbit di bibir Lisa. Jari-jarinya memberi cubitan kecil di leher Arka. "Sayang!" Arka menaikkan sedikit bahunya, isyarat geli. Tak bisa diganggu. Lisa ingin menarik perhatian Arka dengan mengambil berkas di tangan suaminya itu. "Aku lebih penting daripada berkas itu?" Arka memasang wajah serius. Dia sedikit membungkuk agar bisa menjangkau berkas yang berada di sofa samping Lisa. "Tentu aja berkas itu lebih penting." Lisa terkejut mendengar jawaban serius Arka. Suaminya itu kembali membuka berkas sambil melirik Lisa. "Karena ini akan membantu kita untuk ngasih cucu ke mama-papa."Rizwar melangkah keluar dari kamar dengan langkah berat, tetapi penuh rasa lega. Dia tahu pasangan itu membutuhkan waktu untuk memperbaiki apa yang telah retak. Lisa dan Arka mungkin penuh konflik, tetapi cinta mereka terlalu kuat untuk dihancurkan oleh salah paham. Rizwar menghela napas panjang, menyeka keringat di dahinya. Dia ingin memastikan segalanya akan baik-baik saja, tetapi untuk saat ini, dia mempercayakan semuanya kepada mereka.Di dalam kamar, Arka menatap Lisa yang masih duduk di ujung kasur. Senyumnya tipis, penuh makna, tetapi jelas sekali bahwa dia merasa sangat bersalah. Arka tidak tahu harus memulai dari mana untuk memperbaiki segalanya. Dia mengulurkan tangan, mencoba menyentuh pipi Lisa, tetapi istrinya hanya menatap ke arah lain.“Lisa…” panggil Arka pelan.Lisa menghela napas berat. Dia berdiri, berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota. Malam itu langit cerah, penuh bintang, tetapi hatinya masih berat. “Ka, kamu sadar nggak, selama ini aku
Rizwar terkejut saat mendengar cibiran salah seorang rekan di bridal itu. Di sana, dia melihat Lisa tertunduk dan menangis, sementara Arka sudah marah seperti orang kesetanan. Dirinya pun ikut menggeram. Segera dia berlari dan memberikan tinju tepat di wajah Arka hingga temannya itu terjerembab jatuh ke lantai.“Apaan, sih, lo?” kecam Arka.“Puas, lo, rumah tangga lo jadi tontonan gini, hah?!”Rizwar menyeret Arka dan Lisa untuk pergi dari tempat itu, masuk ke ballroom hotel untuk menghindari perhatian orang-orang. Rizwar menyidik keduanya. Sepasang suami istri itu duduk berhadapan. Lisa menangis kecewa, sementara Arka sudah sangat meledak.“Lisa! Lo ini nggak kapok, ya! Belajar dari pengalaman, kek! Ini suami lo otaknya cetek! Sama dia harus transparan, nggak boleh tuh ada rahasia-rahasiaan. Kalau gini, kan, dia jadi salah paham. Nuduh lo selingkuh lagi, kan?” pekik Rizwar.Lisa hanya menunduk, terus menyapu air matanya. “Aku cuma mau ngasih kejutan.”“Dan lo …” Rizwar menggantung uc
Arka tak bisa lagi menahan amarahnya. Seharian di rumah sakit, akhirnya dia pulang lebih cepat untuk bicara dengan Lisa. Ditunggunya wanita itu pulang, sampai jam delapan lebih. Lisa pun jarang mengangkat panggilan darinya.Krik! Lisa membuka pintu dan mendapati suaminya itu duduk di sofa dengan tatapan tajam dan bersidekap. Wanita itu mengurai senyum tipis sambil memegang pundaknya yang terasa sakit.“Sayang, udah pulang?”“Kamu abis dari mana? Jalan sama cowok? Aku liat kamu tadi dianterin lagi sama dia.”Lisa bungkam. Senyumnya tadi memudar mendengar tudingan tajam Arka. Dia meletakkan dulu tasnya, lalu melepas blazer yang melilit tubuhnya hari ini.“Tadi juga kamu makan siang sama dia, kan? Kalau kamu punya waktu makan siang sama dia, kenapa nggak ke rumah sakit dan ngajak aku lunch juga?” bentak Arka.Protes keras Arka ditanggapi sinis oleh Lisa. Teringat dia bahwa minggu lalu, Arka selalu menolak makan siang dengannya beberapa kali meski Lisa sudah menunggu Arka berjam-jam di ru
Begitu saja? Lisa hanya merasa lelah. Arka pun merasa janggal dengan sikap Lisa. Istrinya ini tidur memunggunginya, tak seperti sebelumnya yang selalu beringsut ke dada Arka hanya untuk menjadikan lengan suaminya itu sebagai bantal tidurnya.“Kenapa kamu tidur mantatin aku, sih?” seru Arka.“Siapa yang mantatin kamu? Muka kamu, kan, di atas, pan-tatku di bawah. Bukan mantatin namanya.”“Iya, maksudku, munggungin aku,” gerutu Arka sambil menarik bahu Lisa.Lisa menggoyangkan bahunya, menolak Arka untuk mengganggu. “Sayang, aku ngantuk, nih.”“Ngantuk … banget, ya? Malam ini nggak mau main apa … gitu. Kuda-kudaan, kek. Udah lama, kan?” rayu Arka sambil mengusap-usap paha istrinya.Lisa sama sekali tak tergoda. Dia benar-benar lelah seharian. Disampirkannya tangan suaminya itu, malas meladeni sikap manjanya yang minta dilayani urusan ranjang. Lisa menoleh ke belakang, tersenyum sungkan.“Sayang, please … besok-besok aja, ya. Aku capek banget. Beneran.”Lisa sedikit beranjak dan mencium s
Arka duduk bersila di atas kasur, lalu menggendong Ariel untuk duduk di pangkuannya. Si kecil itu sedang lagi aktif-aktifnya untuk memainkan bola-bola dengan warna berbeda. Indera penglihatannya mulai bekerja. Begitu senang saat memainkan bola-bola di tangan ayahnya itu. “Adek juga udah nggak nyusu mama lagi. Nggak apa-apa, tuh? Nggak nangis? Kalau papa, nangis tuh.”Ariel tertawa, lalu menoleh pada ayahnya yang sejak tadi mengomel tak jelas. Tentu dia tak memahaminya. Tapi mendengar nada manja sang ayah, gelak kecilnya terdengar menggemaskan.“Bukan, maksudnya, nangis karena nggak meluk mama.”Ah! Apa yang dia pikirkan? Wajahnya merah sendiri, padahal si bocah itu juga tak paham apa yang dibicarakan. Dia baru ingat, bahkan sudah dua minggu lebih mereka tidak melakukan hubungan intim. Sibuk dan lelah. Lebih memilih berbaring dan bercumbu dalam lautan mimpi.“Mama mana, ya? Kok, belum pulang?”Tak lama, suara mobil terdengar memasuki pelataran rumah. Arka beranjak dari kasur, lalu men
Lisa cemberut, dengan tangan bersidekap. Selalu seperti ini setiap Arka pulang. Dia bahkan lebih senang memeluk guling ketimbang istri cantiknya ini.‘Sialan! Aku udah setengah telanj ang gini pun dia nggak ada minat buat megang-megang.’Sengaja dia menjatuhkan dress begitu saja untuk menggoda suaminya ini. Setidaknya mereka perlu amunisi untuk hubungan pernikahan yang belakangan ini terasa hambar. Lisa segera berbalik ke sisi cermin. Menatap tubuhnya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki lewat pantulan cermin. Dicubitnya sebentar lengan, lalu kedua sisi perutnya yang agak melar.‘Masa' udah nggak selera lagi, sih? Padahal nggak gendut-gendut amat. Masa iya, dia nggak pengen lagi?’Malas menggalau ria, Lisa pun pergi mandi karena badannya sedikit terpercik hujan di luar sana. Menghabiskan waktu lima belas menit, lalu dia keluar dari toilet. Hujan deras seakan mendukung Arka untuk pulas tertidur, padahal dia berkata hanya rebahan saja. Suara dengkurnya saja terdengar kuat.Lisa menyur
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments