Share

2

Tadi pagi Mas Farhan masih bersamaku, berpamitan padaku saat akan berangkat bekerja ke bengkel kecil miliknya. Semua terasa normal seperti hari-hari sebelumnya, di mana aku pagi-pagi melaksanakan rutinitasku membuat sarapan pagi untuknya, kemudian menemaninya sarapan sambil sesekali bergurau. Lalu kemudian ia berpamitan padaku dan tak lupa ritualnya mencium perutku yang semakin hari semakin membuncit karena usia kehamilanku yang sudah menginjak bulan ke-lima. Lalu aku akan mengantarnya sampai di depan rumah, tak lupa membawakan bekal makan siangnya dan menggantungnya di motor Mas Farhan. Aku selalu melakukan itu sendiri karena Mas Farhan selalu lupa membawa bekal yang sudah kusiapkan. Maka setiap hari, aku sendiri yang akan menggantung bekal makan siangnya di motor Mas Farhan.

Hal yang tak biasa kemudian terjadi ketika baru beberapa saat Mas Farhan melajukan motornya, tapi ia tiba-tiba saja kembali dan langsung masuk ke dalam kamar kami di mana aku sedang membereskan kamar yang menjadi kamarku dan Mas Farhan.

“Ada apa, Mas? Apa ada yang ketinggalan?” tanyaku menatapnya heran saat ia tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar kami.

“Iya, Dik. Tadi Mas belum nyium kamu dan dedek bayi. Makanya Mas kembali lagi,” ucapnya. Kemudian mencium keningku dan ubun-ubun kepalaku.

“Kan tadi udah, Mas.” Bibirnya masih mencium dalam-dalam keningku. Aku terdiam dan mengeryitkan keningku. Tak biasanya Mas Farhan seperti ini.

Kemudian ia menunduk dan kembali mencium perutku seperti tadi.

“Sehat-sehat di dalam sana, ya, Nak. Jangan rewel dan jangan bikin bundamu repot. Kalau udah lahir nanti kamu harus jaga bundamu, ya,” bisiknya. Aku semakin menautkan alisku heran.

Lalu Mas Farhan kembali menegakkan tubuhnya dan menatapku. Ia meraup pipiku dengan kedua telapak tangannya lalu menatap mataku dalam.

“Kamu cantik sekali, Istriku. Mas bahagia memilikimu. Jaga anak kita baik-baik, ya. Mas pamit dulu.” Terasa ada getar dalam nada suaranya. Ia kemudian kembali menghujani wajahku dengan ciuman. Mataku, hidungku, kedua sisi pipiku, lalu keningku, semua dihujaninya dengan kecupannya.

“Kamu kenapa, Mas? Enggak seperti biasanya,” ucapku.

“Mas maunya setiap hari bisa menciummu seperti ini, Dek.”

“Mas Farhan aneh, deh.” Aku kembali menatap heran padanya.

Kemudian pria yang sudah setahun menikahiku itu kembali tersenyum. “Rasanya masih kurang, Dik,” ucapnya sambil terkekeh.

“Udah, ah. Mas berangkat sana. Tadi katanya ada pelanggan bengkel yang mau ambil kendaraannya pagi-pagi. Nanti pelanggannya protes loh kalau Mas terlambat.”

“Ya udah, Mas pamit, ya.”

Aku mengangguk tersenyum, kemudian melanjutkan kegiatanku menyapu lantai kamar setelah punggung Mas Farhan menghilang di balik pintu. Namun sekali lagi lelaki itu muncul dari pintu lalu kembali menghampiriku dan memeluk erat pinggangku hingga aku merasa sesak.

“Mas!”

“Hehe, maaf. Rasanya yang tadi masih kurang.” Ia terkekeh.

“Apa aku perlu ikut Mas ke bengkel menemani Mas Farhan bekerja?” tantangku.

“Enggak. Kamu di rumah aja nemanin ibu. Jaga bayi kita, ya. Ia adalah harta yang paling berharga yang kutinggalkan untukmu.” Suaranya terdengar lirih.

“Ihh! Kamu aneh-aneh aja deh, Mas. Udah sana berangkat. Cari rezeki yang halal ya untukku dan dedek bayi.”

“Hmmm,” gumamnya. Sekali lagi ia mencium keningku sambil membelai perutku.

💦Bersambung💦

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status