Share

AKU TANPAMU
AKU TANPAMU
Penulis: Aina D

1

Kutatap sendu gundukan tanah merah yang masih basah dan dipenuhi oleh taburan bunga-bunga segar di atasnya. Di dalam sana, terbaring jasad suamiku yang baru saja dimakamkan. Namanya terukir di sebatang kayu yang tertancap di atas pusaranya, Fahran Ibrahim. Nama yang selalu membuat hatiku bergetar penuh cinta. Nama lelaki yang selama setahun ini menjadi imamku. Nama orang yang sangat kucintai, yang membuatku selalu bersemangat menjalani hari-hariku, terlebih setelah aku mengandung anaknya yang kini sudah 5 bulan bersemayam dalam rahimku. Kuelus perut buncitku dengan air mata yang terus berderai.   

“Mbak, kita pulang, ya. Sudah sore dan juga mendung.” Suara Fahry, adik iparku tak membuatku mengalihkan pandanganku dari pusara suamiku.

Sejenak aku menengadah menatap langit yang memang sedang mendung. Awan kelabu berarak perlahan di atas sana, hitam dan kelam. Langit sore seakan menggambarkan suasana hatiku saat ini. Kembali kususut bening di sudut mataku yang sedari tadi tak hentinya mengalir dari kelopak yang terasa terus memanas. Lalu kembali aku menunduk, menatap gundukan tanah merah di mana belahan jiwaku baru saja dibaringkan di dalam sana.

“Benar kata Fahry, Nak. Ini sudah sore dan langit semakin gelap. Kita pulang, ya.” Kali ini suara ibu mertuaku yang membujuk.

Aku menoleh pada wanita yang telah melahirkan suamiku itu. Sama sepertiku, di wajahnya pun tergambar jelas kesedihan yang mendalam. Kepergian Mas Farhan pastilah juga membuat wanita renta itu sangat terpukul, bahkan mungkin melebihi rasa kehilangan yang sedang menderaku karena ia adalah orang yang berjuang bertaruh nyawa melahirkan Mas Farhan ke dunia.

“Sebentar lagi, ya, Bu. Tania masih mau di sini,” lirihku.

“Tapi hari sudah mulai gelap, Nak.”

Kembali kutengadahkan wajahku ke langit. Memang langit terlihat sangat kelam, padahal kurasa ini belum jam 5 sore. Gerimis bahkan sudah jatuh satu persatu, memberi tanda bahwa sebentar lagi langit memang akan menangis.

“Besok kita ke sini lagi, Mbak. Nengokin Mas Farhan. Aku janji akan mengantar Mbak Tania ke sini besok,” bujuk Fahry. “Mbak Tania juga sudah terlihat kelelahan, tak baik buat kandungan Mbak. Aku yakin jika Mas Farhan melihat Mbak seperti ini, ia juga nggak akan suka,” lanjutnya.

Fahry benar. Sejujurnya tubuhku sudah sangat lelah setelah seharian ini syok menghadapi kenyataan bahwa suamiku, belahan jiwaku, tiba-tiba saja telah pergi mendahuluiku menghadap Sang Pencipta.

Aku pun mengangguk pada adik iparku itu. Lalu kembali menunduk dan mengusap-usap pusara Mas Farhan.

“Tania pulang, ya, Mas. Insya Allah besok Tania kembali lagi. Mas Farhan baik-baik di sana, ya. Tunggu aku di sana,” ucapku lirih, air mata kembali luruh dari netraku yang membasahi wajahku bercampur dengan air hujan yang mulai turun satu per satu.

Fahry membuka pintu mobilnya untukku dan ibu. Tanpa kata. Kami bertiga masuk ke dalam mobil Fahry tanpa ada satu pun yang bersuara. Ibu duduk di samping putra bungsunya yang kemudian berkonsentrasi menyetir mobilnya, sementara duduk di belakang dan masih berjuang melawan rasa sesak yang menguasai dadaku mengingat separuh jiwaku yang telah pergi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Supri Yanto
menarik bngt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status