공유

10. Tempat Tugas

작가: Rumi Cr
last update 최신 업데이트: 2025-08-14 18:26:38

Amalia dan Hadinda berpisah di pelabuhan Siau. Amalia sendiri masih melanjutkan perjalanan dengan kapal feri selama empat jam menuju pulau Tagulandang. Begitu keluar dari kapal feri tampak seorang pria memakai jaket bercelana hitam menatap ke arahnya.

"Abang kok di sini?" tanya Amalia begitu pria tadi mendekat membantunya membawa kardus yang berisi oleh-oleh.

"Sengaja menunggumu, Lia. Kata Pak Agus kemarin kamu berangkat dari Surabaya. Itu tas, abang bawa saja, biar enggak capek dirimu."

"Enggak usah, Bang David. Terimakasih."

"Bagaimana liburanmu. Apakah menyenangkan, Lia? Semua guru sangat rindu denganmu."

"Apakah termasuk, Abang?" canda Amalia seraya memakai helm yang diberikan oleh David.

Pria yang juga memakai helm hanya tertawa mendengar candaan Amalia. "Sini, ranselnya biar Abang pakai hadap depan. Untuk menghalau angin. Supaya dudukmu longgar di belakang. Syukur-syukur mau berpegangan," ujar David Simarmata.

"Lebih baik digodam, daripada kita berpegangan. Kan pernah Alia bilang, waktu pertama kali Abang bonceng dulu."

David terkekeh kembali mendengar jawaban dari Amalia. Wanita itu memutar ranselnya meletakkan di depan duduknya sebagai pembatas antara dirinya dan David.

"Masih ada waktu untukmu istirahat. Selasa kayaknya kita bakal kemari lagi. Kerjakan laporan untuk sekolahan." Amalia mengangguk mendengar ucapan rekannya mengajar di SMP Tagulandang itu.

Selama tugas mengajar di pulau itu. Sudah menjadi pandangan umum bahwa dirinya dilihat mampu dalam segala hal karena berasal dari pulau Jawa. Terlebih masalah IT, sedangkan dari sekolah tempatnya mengajar hanya David Simarmata yang lumayan paham tentang komputer.

Itulah kenapa setiap membuat laporan ke pusat. Mereka berdua akan pergi ke pelabuhan Tagulandang untuk mengerjakan laporan. Karena hanya di pelabuhan itu ada sinyal dan bisa mengakses internet.

🌹🌹🌹

Setelah perjalanan dua setengah jam di atas motor. Akhirnya mereka tiba di rumah Batumawira. Sudah menanti dua rekan Amalia yang bertugas dan satu rumah dengannya, Agus dan Aldory.

"Syukurlah ibu kita sudah datang, Dor!" teriak Agus antusias.

Amalia hanya tertawa melihat tingkah kedua temannya. "Abang, tunggu sebentar ya, ada sedikit oleh-oleh untuk nenek."

David mengangguk. Kardus disambut Agus, diikuti Amalia masuk ke rumah. Aldory menemani David berbincang di teras rumah Batumawira.

"Bu, bagaimana ceritanya bisa barengan si Marmit tadi?" tanya Agus. Agus adalah rekan sesama guru SM3T dari Trenggalek.

"Lha tak kira sampeyan yang nyuruh jemput saya, Pak."

"Yo nggak mungkinlah, Bu. Kalau ada kendaraan mendingan aku sendiri yang jemput sampean daripada si Marmit. Kalau untuk urusan sekolahan enggak masalah bagiku, kalian jalan bareng. Kalau di luar itu, lebih baik kita bertiga jalan bareng, Bu."

"Oalah, begitu. Ya, sudah enggak apa-apa. Aku tadi cuma hargai niat baiknya, Pak. Lagian dia dah paham kok, kalau kita enggak boleh bersentuhan."

"Iyalah. Ini apa sih, dalamnya. Kok, antepmèn."

"Aku juga enggak sempat periksa waktu disuruh bawa. Itu dari istri paman di Ponorogo."

"Ada jenang sama sambal pecel enggak, Bu?"

"Lha itu dia, saya tidak tahu. Sampean buka saja, wess. Saya mau cuci muka dulu."

Agus membuka kardus yang berisi oleh-oleh dari bibi Amalia itu. Tepat dugaannya ada jenang juga sambal kacang di dalamnya. Ia mengeluarkan isi kardus meletakkan semua di atas meja.

"Buka saja, Pak. Bawa ke depan untuk teman ngobrol," pinta Amalia seraya mengambil dua bungkus jenang untuk diberikan kepada David.

Mereka berempat ngomong seru di teras. Amalia sesekali menimpali dengan candaan khasnya.

"Tadi papa sama mama dua kali turun. Mastiin Bu Alia sudah nyampai apa belum," ucap Aldory memberitahu Amalia.

"Oh ya, sudah. Aku ke atas dulu kalau gitu, ya ... Sekali lagi aku ucapkan makasih ya, Bang David." Pamit Amalia meninggalkan ketiga pria yang masih mengobrol itu.

🌹🌹🌹

Pagi itu, Amalia menyibukan diri di dapur dari selesai salat Subuh. Dirinya membuat lauk yang bisa bertahan hingga sore hari. Karena kemarin muridnya yang hadir di kelas hanya empat siswa dari delapan belas jumlah nama di absensi kelas VIII. Demikian juga di kelas VII dan IX hanya beberapa anak yang hadir.

"Nanti bekalnya aku yang bawa, Bu Alia. Biar Dory yang bawa botol minumnya. Sampean bawa diri saja," kelakar Agus sambil mencuci bekas masak Amalia.

Mereka bertiga memang berbagi tugas. Bagian masak Amalia. Cuci peralatan masak dan makan, gantian antara Agus dan Aldory.

"Woiya jelas, aku bawa badan saja. Kalau tiap hari kita yang datangi anak-anak untuk belajar. Bisa sehat wal afiat kita, Pak Agus."

"Ho oh! Dor, Dory! Cepatan di kamar mandinya. Tinggal aku yang bau acem," teriak Agus di depan pintu kamar mandi.

"Kayaknya Dory, sudah selesai dari tadi mandinya, Pak." Amalia memberitahu temannya itu.

"Eh, iya. Kamar mandinya sudah kosong. Yowes, saya mandi dulu, Bu ... nanti kita barengan lo, ya. Aku soalnya belum pernah ke sana. Takut nyasar."

"Kalau nyasar itu enggak mungkin, Pak. Yang bener mengcapek karena kita capek jalan sendirian. Kayak orang ilang," balas Amalia.

"Ya itu, maksudku tadi, Bu Alia."

Saat musim ikan tuna, cumi atau pas waktu panen pala, cengkeh. Anak-anak akan membantu orang tuanya. Mereka ikut ke laut yang orang tuanya berlayar. Begitupun akan ke ladang, jika waktunya panen. Biasanya kalau sudah seperti itu, anak-anak tidak masuk sekolah apalagi siswa cowok. Enggak masuk sekolah karena mereka sudah diharap sebagai tulang punggung bagi keluarga.

Bulan depan sudah ujian kenaikan kelas. Anak-anak harus mengerjakan ulangan harian untuk mengisi penilaian di rapot. Jadi, Amalia dan kedua rekannya bersepakat mendatangi rumah murid mereka untuk mengerjakan soal ulangan di rumahnya masing-masing.

Kebetulan sekarang musim ikan. Jadi mereka bertiga memilih menunggu para murid di pinggir pantai. Membawakan alat tulis dan kertas ujian. Dan itu semua Amalia yang menyiapkan tentu difasilitasi oleh lihat sekolah. Pihak sekolah mengapresiasi dengan baik, yang dilakukan oleh mereka. Orang tua dari siswa sebenarnya segan. Namun, bagaimana lagi yang membantu mereka berlayar dan panen adalah anak-anak mereka ini.

"Saya kira Bu Alia bilang mengcapek tadi hanya candaan lo, Dor."

"Iya, benar ... dah kalahi pertualangan ninja Hatori kita. Bukan mendaki bukit turuni lembah lagi. Tapi naik turun bukit berkali-kali."

"Dan saya harus mengakui kalau capek banget, Bu Alia. Kita berhenti dulu yuk, isi energi. Sebelum menyiapkan mental ngajar anak-anak nanti. Karena kalau perut lapar, yang ada kita emosi. Mereka juga enggak ngerti-ngerti."

Amalia mengusap keringat yang membasahi dahinya. Kemudian menghampiri Agus dan Aldory yang berjalan beriringan di belakangnya.

"Nah, inilah yang namanya jihad itu, Dory, Pak Agus ... Salah satu tantangan kita masuk di program SM-3T. Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal."

Amalia tersenyum dengan mengacungkan kedua jempol pada rekan sejawatnya itu.

Next ...

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   60. Menjaga Cinta

    Satria membiarkan Kanaya kembali berbaring santai setelah menandaskan tiga potong kue dan satu gelas jus jeruk. Ia menyalakan ponselnya lagi, memeriksa rentetan pesan masuk yang didominasi ancaman Kanzu dan deretan pertanyaan dari Daffa, berselang-seling dengan notifikasi panggilan tak terjawab dari Ghea.Satria berlalu ke ruang duduk, menatap layar ponselnya. Foto tangannya dan Kanaya, serta cincin kawin mereka berdua.Bunda Syaiba calling...Satria membiarkan panggilan itu berhenti berdering, lalu menyandarkan punggung dan mendongak menatap langit-langit artistik dengan cahaya lembut yang menenangkan. Ia tidak ingin membawa Kanaya kembali, namun terus memaksakan keadaan pun terasa menyakitkan.Satria memejamkan mata, menarik dan mengembuskan napas berulang kali hingga merasa siap menghadapi sisa permasalahan yang menunggunya nanti.Terdengar suara ponsel berdering kembali. Satria memeriksa, ternyata Fran yang menghubungi.“Halo...” sapa Satria pelan, menempelkan ponsel ke telinga ag

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   59. Dia Pintar

    “Mas Kanzu tahu kondisi Kanaya sekarang.”“Tapi kalau aku nyerah, pasti makin susah untuk bisa sama-sama seperti sebelumnya,” kata Satria. Ia tahu benar arah pembicaraan itu.“Makanya menyerahnya bukan sekadar menyerah,” ujar Ghea sambil menunduk. “Minta maaf, perbaiki, dan kalau perlu menangislah.”“Apa?” seru Daffa, kaget. “Bby, kamu tahu, Kanaya juga melakukan beberapa hal yang—”“Dia pintar, ingat? Mustahil dia enggak melakukan apa-apa sementara kamu selalu seenaknya,” potong Ghea santai. “Dia harus bisa bertahan di segala keadaan, makanya ngajak cerai itu ide paling tolol, Mas!”“Apa ingatannya udah pulih sepenuhnya?” tanya Satria.Ghea menggeleng. “Belum. Dokter bilang Kanaya kadang masih kewalahan dengan beberapa potongan dan kilas balik ingatan. Dia juga berkomitmen meminimalisasi penggunaan obat, jadi fokusnya sekarang cuma terapi dan relaksasi.”“Kalau ingatannya utuh, dia pasti tahu aku enggak serius sama rencana cerai itu.”Daffa menyipitkan mata. “Bukannya kalau ingatanny

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   58. Beri Kesempatan

    "Pak…” ucap Fran, menghentikan mobil di area lobi rumah sakit. “Pak Satria menunggu di Suite Room lantai delapan.” Kanzu menipiskan bibir dan melepas sabuk pengamannya. “Bapak sejak tadi memang tidak bertanya-tanya, namun saya sungguh bersaksi bahwa hingga siang tadi Ibu Kanaya masih sangat baik-baik saja bersama Pak Satria dan—” “Dan kenyataannya sekarang terjadi hal sebaliknya,” sela Kanzu sambil menyelipkan ponsel ke saku celana belakang dan keluar dari mobil. “Mas Kanzu!” panggil Ghea yang bergegas mendekat begitu Kanzu menuju lift. Daffa yang bersamanya segera membuntuti. “Kanaya?” tanya Kanzu. “Baik, stabil. Dia dirawat di Gedung Selatan,” jawab Ghea sambil menunjuk arah seberang, ke koridor besar menuju gedung perawatan. “Ayo, kita ke—” “Aku akan menemuinya setelah membereskan Satria,” potong Kanzu. Daffa menahan. “Situasi Satria juga enggak

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   57. Akan Aku Hadapi

    “Terima kasih sudah menelepon. Bunda akan siapkan keperluan tidurnya Saka. Kanaya juga sudah tidur?” “Iya, pulas sejak sejam lalu. Saya janji, Bund ... Kanaya akan baik-baik saja.” Bunda Syaiba mengangguk. Ia tidak bisa menutupi rasa sedih dan kecewanya, karena itu segera mematikan sambungan telepon. “Ayo, ambil Grimlock di kamar Papa Kanzu,” ajak Saka bersemangat. “Iya…” ucap Bunda Syaiba sambil menurunkan cucunya dari pangkuan dan membawanya keluar kamar, meski saat sampai di tangga ternyata Sus Neta sudah membawa barang-barang yang diperlukan. Saka tampak tenang kembali ke tempat tidur. Ia mengenakan kaus kaki, memeluk robot dinosaurusnya, dan diselimuti dengan quilt dari kamar Kanaya. Suara petir bersahutan beberapa kali, namun Saka tidak lagi menangis. Ia hanya mendekut semakin rapat di balik selimut bersama robot Grimlock. “Kenapa?” tanya Bu Syaiba saat cucunya terlihat membuka mata lagi. “Lampunya dimatiin,” jawab Saka sambil tersenyum. Saka udah bobok pakai selimu

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   56. Anakku

    "Kanaya!" seru Satria begitu sadar dari pingsannya. Daffa yang duduk di sisi kiri tempat tidur menghela napas pendek. "Dia baik-baik saja. Ghea bersamanya." "Aku mau—" Daffa dengan mudah menahan bahu Satria, membuatnya kembali rebah di tempat tidur. "Dokter obgyn mengonfirmasi kehamilannya, sekitar lima sampai enam minggu kalau dilihat dari hasil USG. Kantong kehamilan dan embrionya sudah terlihat. Jadi ...." "Anakku," lirih Satria. Daffa sempat diam, lalu mengangguk pelan. Sahabatnya tampak tenang menerima situasi. "Mama sudah menelepon. Ghea tidak banyak cerita. Kamu beruntung, dokter memutuskan Kanaya harus bedrest minimal seminggu." Satria mengangguk. Itu berarti istrinya harus beristirahat hingga pulih. "Ghea dan Kanaya sudah video call dengan Saka. Dia terus bertanya kenapa kalian belum pulang. Untungnya, hujan deras. Jadi, bisa dibuat alasan. Mas Kanzu juga baru bisa berangkat besok, sepertinya." Satria menggeleng. "Kalau tidak bisa naik pesawat, dia akan n

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   55. Gila dan Bodoh

    RS Premier Surabaya Ghea dan Daffa sama-sama butuh tempat untuk duduk sekaligus menenangkan diri. Dua jam lalu, begitu mobil mereka tiba, Satria justru sedang membopong Kanaya keluar dari rumah, langsung masuk ke kursi belakang, meneriakkan perintah untuk pergi ke rumah sakit. Ghea langsung bertanya apa yang terjadi, namun Satria menyuruhnya diam dan sibuk menghubungi Sus Neta agar segera membawa Saka ke rumah mereka.. “Apa pun yang terjadi, Saka harus kembali padaku, mengerti?” Ghea agak bergidik mendengar seruan itu, ditambah Satria yang kemudian sibuk menghubungi dr. Jihan meminta rekomendasi dokter di Surabaya untuk menangani keadaan Kanaya. Dan di sinilah mereka sekarang, salah satu rumah sakit terbaik di kota Pahlawan. Kanaya menjalani pemeriksaan awal di IGD dan dipindahkan ke Presidential Room setelah dipastikan kondisinya stabil. Kini hanya tinggal menunggu waktu hingga ia sadar. “Kamu aja dulu, Sayang ... yang ajak ngomong,” ucap Daffa karena ponselnya mulai berdering-d

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status