Share

9. Sudut Pandang

Author: Rumi Cr
last update Last Updated: 2025-08-14 07:14:33

"Apalagi yang kalian bicarakan, Ghizra?" tanya Rahmat berdecih dengan mimik muka tak suka.

"Apakah saya harus melaporkan apa yang saya lakukan pada Anda, Pak?" Ghizra balik bertanya seraya menyalakan mesin mobil. Lalu memasang sabuk pengaman.

Perlahan ia menjalankan mobil mertuanya meninggalkan area parkir bandara Juanda menerobos padatnya lalu lintas kota Surabaya.

"Jangan harap, kalian bisa bermain gila dibelakang Syaiba. Kalau itu sampai terjadi. Kamu akan menyesal, Ghizra. Saya bisa menjadi sosok yang mengerikan untuk melindungi putri saya."

"Bagaimana kalau saya tetap tidak perduli dengan semua ancaman Anda, Pak Rahmat Santosa."

"Kalau begitu ceraikan keduanya. Wanita hamil tidak masalah untuk dicerai, bukan? Daripada sakit salah satu. Lebih baik kamu yang pergi dari hidup mereka. Jangan lupa, sebagai wali dari Syaiba. Papa masih bisa menghidupi Syaiba dan bayi dalam kandungannya."

"Bukankah bapak meminta waktu sampai Syaiba melahirkan. Saya akan penuhi itu," ungkap Ghizra tenang.

"Terus kau akan kembali dengan Alia. Jangan harap! Kau bisa melakukan itu."

"Jadi, saya tidak bisa memilih untuk bersama dengan Alia. Karena itu akan menyakiti Syaiba, putri Anda, begitu?" Ghizra menggelengkan kepalanya. "Anda egois! Sayang ayah Ali sudah tiada," sindir Ghizra pada akhirnya.

"Terserah! Setidaknya ucapan Alia bisa papa pegang. Walaupun entah denganmu. Andaikan kau bersikeras, Alia tidak mau. Keadaan akan kembali seperti semua. Sebelum kepulangan Alia kemarin."

"Saya jadi sangsi. Apakah benar Anda tulus menyayangi Alia, Pak Rahmat. Buktinya, sudah jelas mengetahui saya adalah suami dari putri Pak Ali. 

Anda memilih bungkam. Karena tidak ingin putri anda bersedih. Mungkin Anda lupa, tiada kesempurnaan dari sebuah kebohongan. Dan, hanya menunggu waktu, semua terkuak."

"Tidak usah. Sok bijak, mempengaruhiku Anak Muda! Kau tidak tahu rasanya hampir putus asa. Mengharap kehidupan dalam raga putrimu. Itulah yang kurasakan saat Syaiba kecil. Syaiba lahir prematur jadi rentan sakit.

Masa kecil Syaiba lebih banyak dihabiskan di rumah sakit. Dia menjadi anak tunggal, bukan karena keinginan kami mempunyai anak dia seorang. Melainkan kakak dan kedua adik kembaran meninggal. Sebelum memiliki Syaiba, beberapa kali istriku mengalami keguguran karena memiliki rahim yang lemah."

Ghizra terdiam tanpa berniat menyangkal ataupun menanggapi Rahmat bercerita tentang putri tunggalnya itu.

"Saat dia bertanya banyak hal tentang dirimu. Dengan raut muka bahagia, Ayah mana tidak bahagia, menyadari putrinya sudah tumbuh dewasa dan jatuh cinta. Syaiba pribadi yang tertutup dengan pria. Karena memang dia selalu dididik untuk menjaga diri sedari kecil oleh mamanya.

Saat kau mengatakan sudah menikah. Yang dalam angan papa, senyum Syaiba akan sinar. Karena baru kali ini, ia merasakan jatuh cinta pada seorang pria."

"Andai saat itu, Papa langsung mengatakan kenyataan yang sebenarnya tentang Alia. Syaiba hanya akan merasakan kecewa bukan sakit hati saat kenyataan yang sebenarnya akan terbuka pada akhirnya. Dan itu semua, Papa yang mengaturnya."

Ghizra memberikan argumen dari sudut pandangnya. Walaupun sepenuhnya bukanlah kesalahan Rahmat. Karena pria itu tidak pernah sekalipun memaksa Ghizra untuk menikahi putrinya itu

Rahmat menoleh ke arah Ghizra yang masih fokus ke jalan raya. "Setahun kamu bergabung dengan di perusahaan kami. Banyak kemajuan dan pencapaian dalam perusahaan. Dan tidak menutup mata, itu semua karena inovasi dan terobosan baru yang kamu lakukan, Ghizra.

Papa yakin, masa depan perusahaan akan semakin cemerlang saat kau yang memimpin nantinya. Papa ingin menikmati hidup di hari tua bersama kalian. Apakah itu keinginan yang berlebihan, Nak?" Mata Rahmat mulai berkaca mengingat semua harap dan cita-citanya memiliki menantu cerdas seperti Ghizra.

🌹🌹🌹

Sesampai di kantor Rahmat keluar lebih dulu dari mobilnya. Ia bergegas menuju lift, naik ke lantai paling atas dimana ruang kerjanya berada. Aswin, sekretarisnya memberitahukan bahwa sudah ditunggu oleh rekan bisnisnya. 

Ghizra memilih naik tangga untuk menuju ruang kerjanya yang berada di lantai dua. Dalam setiap langkah yang diayunkan, Ghizra dilanda kebimbangan. Ia bisa melawan Rahmat, namun bagaimana dengan Amalia. Mengingat semua yang dilakukan mertuanya itu demi putrinya. Bukan tidak mungkin, demi Syaiba. Amalia dilenyapkan.

Ghizra menggelengkan kepalanya keras. Dalam hati dia beristighfar berkali-kali. Berharap apa yang terlintas dalam pikirannya tidak pernah terjadi. Tetiba ada notif masuk pada ponselnya.

[Mas, Kanzu tiba-tiba demam. Barusan mama ditelpon gurunya. Minta tolong jemput ya, Mas]

Ghizra segera menghubungi Syaiba mengatakan segera menjemput Kanzu di sekolahnya.  

🌹🌹🌹

Setengah jam dari Ghizra menelpon Syaiba tadi. Mobilnya sudah berhenti sempurna di garasi keluarga Santosa. Syukurnya lalu lintas lenggang hingga Ghizra bisa lebih cepat sampai sekolahan Kanzu.

Ghizra segera mengendong Kanzu menuju ke kamarnya. Bocah berusia lima tahun itu hanya tergolek lemas enggan berbicara. Ketiga wanita penghuni kediaman Santosa mengikuti langkah Ghizra dengan tatapsn cemas.

Begitu diturunkan dari gendongan, Sinta langsung memeluk tubuh balita itu. "Aduh, panas sekali tubuhmu, Nak."  

"Mbok Amin, tolong ... ambilkan pakaian ganti buat Kanzu. Yang tipis ya, Mbok. Syaiba tolong ambilkan termometer dan tablet penurun panasnya Kanzu." Sinta segera melepaskan seragam yang dikenakan Kanzu. 

"Kak Alia," gumam Kanzu menyebut nama  ibu kandungnya.

"Kanzu sabar ya, Soleh. Enggak lama lagi kakak Alia akan selesai tugasnya. Nanti Kanzu bisa bersama lagi dengan Kak Alia." Hibur Sinta seraya mengusap kepala anak angkatnya itu.

"Kakak Alia," gumam Kanzu kembali. Masih dengan mata terpejam.

"Iya, Sayang. Ini mama, Nak. Nanti kita telpon kak Alia. Kanzu kangen ya, sama kakak." Sinta mendekap bocah itu, seraya mengelus punggung Kanzu berkali-kali.

"Kanzu bisa dekat gini ya, Ma ... dengan Alia?"

"Ya, bagaimana lagi orang mama kan- dung ...." kata 'nya' hanya sampai di tenggorokan Sinta karena ia tersadar telah kelepasan bicara.

"Maksudnya Kanzu putra kandung Alia, Ma? Benar begitu, Ma!" tanya Ghizra memburu jawab menyakinkan pendengarannya tadi tidak salah.

"Oh, maaf. Maksud mama tadi ... karena kasih tulus yang Alia berikan untuk Kanzu. Sudah layak putra kandungnya sendiri."

"Ini, Bu Sinta baju untuk mas Kanzu."

"Ma, obat kunyah untuk pereda demam sepertinya sudah habis." Syaiba datang memberitahu dengan ekspresi khawatirnya.

"Ya, udah mas cari dulu di apotek."

"Sekalian belikan kelapa hijau dan madu, Mas Ghizra ... Mbak Alia selalu memberikan itu kalau Kanzu demam. Biasanya setelah minum air kelapa ijo dicampur madu. Enggak lama, Kanzu pipis lalu demam akan berangsur turun."

"Baik, Mbok Amin. Segera saya carikan."

"Terimakasih, Mas Ghizra sebelumnya."

Ghizra mengangguk. Bergegas dirinya mengambil kontak sepeda motor milik Syaiba. Melaju meninggalkan rumah mencari apotek terdekat untuk membeli obat penurun panas dan madu.

Setelah menerima obat dan madu. Kembali Ghizra melajukan motor maticnya mencari warung tenda atau depot makan yang menjual kelapa hijau.

Next...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   60. Menjaga Cinta

    Satria membiarkan Kanaya kembali berbaring santai setelah menandaskan tiga potong kue dan satu gelas jus jeruk. Ia menyalakan ponselnya lagi, memeriksa rentetan pesan masuk yang didominasi ancaman Kanzu dan deretan pertanyaan dari Daffa, berselang-seling dengan notifikasi panggilan tak terjawab dari Ghea.Satria berlalu ke ruang duduk, menatap layar ponselnya. Foto tangannya dan Kanaya, serta cincin kawin mereka berdua.Bunda Syaiba calling...Satria membiarkan panggilan itu berhenti berdering, lalu menyandarkan punggung dan mendongak menatap langit-langit artistik dengan cahaya lembut yang menenangkan. Ia tidak ingin membawa Kanaya kembali, namun terus memaksakan keadaan pun terasa menyakitkan.Satria memejamkan mata, menarik dan mengembuskan napas berulang kali hingga merasa siap menghadapi sisa permasalahan yang menunggunya nanti.Terdengar suara ponsel berdering kembali. Satria memeriksa, ternyata Fran yang menghubungi.“Halo...” sapa Satria pelan, menempelkan ponsel ke telinga ag

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   59. Dia Pintar

    “Mas Kanzu tahu kondisi Kanaya sekarang.”“Tapi kalau aku nyerah, pasti makin susah untuk bisa sama-sama seperti sebelumnya,” kata Satria. Ia tahu benar arah pembicaraan itu.“Makanya menyerahnya bukan sekadar menyerah,” ujar Ghea sambil menunduk. “Minta maaf, perbaiki, dan kalau perlu menangislah.”“Apa?” seru Daffa, kaget. “Bby, kamu tahu, Kanaya juga melakukan beberapa hal yang—”“Dia pintar, ingat? Mustahil dia enggak melakukan apa-apa sementara kamu selalu seenaknya,” potong Ghea santai. “Dia harus bisa bertahan di segala keadaan, makanya ngajak cerai itu ide paling tolol, Mas!”“Apa ingatannya udah pulih sepenuhnya?” tanya Satria.Ghea menggeleng. “Belum. Dokter bilang Kanaya kadang masih kewalahan dengan beberapa potongan dan kilas balik ingatan. Dia juga berkomitmen meminimalisasi penggunaan obat, jadi fokusnya sekarang cuma terapi dan relaksasi.”“Kalau ingatannya utuh, dia pasti tahu aku enggak serius sama rencana cerai itu.”Daffa menyipitkan mata. “Bukannya kalau ingatanny

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   58. Beri Kesempatan

    "Pak…” ucap Fran, menghentikan mobil di area lobi rumah sakit. “Pak Satria menunggu di Suite Room lantai delapan.” Kanzu menipiskan bibir dan melepas sabuk pengamannya. “Bapak sejak tadi memang tidak bertanya-tanya, namun saya sungguh bersaksi bahwa hingga siang tadi Ibu Kanaya masih sangat baik-baik saja bersama Pak Satria dan—” “Dan kenyataannya sekarang terjadi hal sebaliknya,” sela Kanzu sambil menyelipkan ponsel ke saku celana belakang dan keluar dari mobil. “Mas Kanzu!” panggil Ghea yang bergegas mendekat begitu Kanzu menuju lift. Daffa yang bersamanya segera membuntuti. “Kanaya?” tanya Kanzu. “Baik, stabil. Dia dirawat di Gedung Selatan,” jawab Ghea sambil menunjuk arah seberang, ke koridor besar menuju gedung perawatan. “Ayo, kita ke—” “Aku akan menemuinya setelah membereskan Satria,” potong Kanzu. Daffa menahan. “Situasi Satria juga enggak

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   57. Akan Aku Hadapi

    “Terima kasih sudah menelepon. Bunda akan siapkan keperluan tidurnya Saka. Kanaya juga sudah tidur?” “Iya, pulas sejak sejam lalu. Saya janji, Bund ... Kanaya akan baik-baik saja.” Bunda Syaiba mengangguk. Ia tidak bisa menutupi rasa sedih dan kecewanya, karena itu segera mematikan sambungan telepon. “Ayo, ambil Grimlock di kamar Papa Kanzu,” ajak Saka bersemangat. “Iya…” ucap Bunda Syaiba sambil menurunkan cucunya dari pangkuan dan membawanya keluar kamar, meski saat sampai di tangga ternyata Sus Neta sudah membawa barang-barang yang diperlukan. Saka tampak tenang kembali ke tempat tidur. Ia mengenakan kaus kaki, memeluk robot dinosaurusnya, dan diselimuti dengan quilt dari kamar Kanaya. Suara petir bersahutan beberapa kali, namun Saka tidak lagi menangis. Ia hanya mendekut semakin rapat di balik selimut bersama robot Grimlock. “Kenapa?” tanya Bu Syaiba saat cucunya terlihat membuka mata lagi. “Lampunya dimatiin,” jawab Saka sambil tersenyum. Saka udah bobok pakai selimu

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   56. Anakku

    "Kanaya!" seru Satria begitu sadar dari pingsannya. Daffa yang duduk di sisi kiri tempat tidur menghela napas pendek. "Dia baik-baik saja. Ghea bersamanya." "Aku mau—" Daffa dengan mudah menahan bahu Satria, membuatnya kembali rebah di tempat tidur. "Dokter obgyn mengonfirmasi kehamilannya, sekitar lima sampai enam minggu kalau dilihat dari hasil USG. Kantong kehamilan dan embrionya sudah terlihat. Jadi ...." "Anakku," lirih Satria. Daffa sempat diam, lalu mengangguk pelan. Sahabatnya tampak tenang menerima situasi. "Mama sudah menelepon. Ghea tidak banyak cerita. Kamu beruntung, dokter memutuskan Kanaya harus bedrest minimal seminggu." Satria mengangguk. Itu berarti istrinya harus beristirahat hingga pulih. "Ghea dan Kanaya sudah video call dengan Saka. Dia terus bertanya kenapa kalian belum pulang. Untungnya, hujan deras. Jadi, bisa dibuat alasan. Mas Kanzu juga baru bisa berangkat besok, sepertinya." Satria menggeleng. "Kalau tidak bisa naik pesawat, dia akan n

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   55. Gila dan Bodoh

    RS Premier Surabaya Ghea dan Daffa sama-sama butuh tempat untuk duduk sekaligus menenangkan diri. Dua jam lalu, begitu mobil mereka tiba, Satria justru sedang membopong Kanaya keluar dari rumah, langsung masuk ke kursi belakang, meneriakkan perintah untuk pergi ke rumah sakit. Ghea langsung bertanya apa yang terjadi, namun Satria menyuruhnya diam dan sibuk menghubungi Sus Neta agar segera membawa Saka ke rumah mereka.. “Apa pun yang terjadi, Saka harus kembali padaku, mengerti?” Ghea agak bergidik mendengar seruan itu, ditambah Satria yang kemudian sibuk menghubungi dr. Jihan meminta rekomendasi dokter di Surabaya untuk menangani keadaan Kanaya. Dan di sinilah mereka sekarang, salah satu rumah sakit terbaik di kota Pahlawan. Kanaya menjalani pemeriksaan awal di IGD dan dipindahkan ke Presidential Room setelah dipastikan kondisinya stabil. Kini hanya tinggal menunggu waktu hingga ia sadar. “Kamu aja dulu, Sayang ... yang ajak ngomong,” ucap Daffa karena ponselnya mulai berdering-d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status