Rumah makan yang dipilihkan Kanzu, ternyata sangat rame siang itu. Beberapa meja sudah terisi. Wafa berpikir, mungkin rumah makan yang ia singgahi berdua Kanzu ini, adalah salah satu rumah makan favorit di kota ini. Hingga tak sepi pengunjungnya.
"Ayam bakar di sini enak, itu merupakan menu special dari rumah makan ini. Dan salah satu menu kesukaanku, adalah ayam bakar," ujar Kanzu seraya menoleh pada gadis yang berjalan di sisinya menaiki tangga rumah makan."Enggak nanya," gumam Wafa sembari mencebik dengan lirikan mengarah pada pria di sampingnya."Kita duduk di pojok sana saja. Dekat jendela, dan tertutup tanaman jadi tak begitu diperhatikan orang dari sini," ajak Kanzu dengan menunjuk meja yang ia maksudkan.Keduanya duduk berhadapan dengan mengambil duduk masing-masing di dekat jendela. Pelayan segera menghampiri meja mereka seraya menyodorkan menu makanan."Kamu mau pesan apa? Atau disamain saja?" tanya Kanzu dengan memperhatikan m"Enggak nyangka ya, saat gadismu ganjen juga," ujar Kanzu sebelum menyudahi makannya."Apa?" tanya Wafa mencoba memperjelas pendengarannya atas ucapan Kanzu barusan."Ganjen, kegenitan, kecentilan! Baru, bisa-bisanya lagi berebutan dengan Anida sukai cowok yang sama.""Apa? Coba ulangi lagi, ngomongnya tadi!" sentak Wafa dengan intonasi suara berbeda dari biasanya. Hilang sudah sikap anggunnya, ketika keluar watak aslinya."Jadi, cewek kok ganjen banget. Masih kurang paham maksud ucapanku," ungkap Kanzu kesal."Kalaupun iya, saya dulu kecentilan sama Mas Leo ... memang masalah buat Bapak Kanzu Al Ghifari bin Ghizra Arsyad, yang terhormat," ucap Wafa dengan tatapan kesal ke Kanzu. "Saya sudah selesai. Terima kasih atas makan siangnya, permisi!" setelah mengelap bibirnya dengan tisu, Wafa beranjak dari kursinya, meraih tas kemudian pergi meninggalkan meja makan nomer tiga itu.Kanzu mengatupkan bibir dengan tangan mengepal, lantas
Rumah makan yang dipilihkan Kanzu, ternyata sangat rame siang itu. Beberapa meja sudah terisi. Wafa berpikir, mungkin rumah makan yang ia singgahi berdua Kanzu ini, adalah salah satu rumah makan favorit di kota ini. Hingga tak sepi pengunjungnya."Ayam bakar di sini enak, itu merupakan menu special dari rumah makan ini. Dan salah satu menu kesukaanku, adalah ayam bakar," ujar Kanzu seraya menoleh pada gadis yang berjalan di sisinya menaiki tangga rumah makan."Enggak nanya," gumam Wafa sembari mencebik dengan lirikan mengarah pada pria di sampingnya."Kita duduk di pojok sana saja. Dekat jendela, dan tertutup tanaman jadi tak begitu diperhatikan orang dari sini," ajak Kanzu dengan menunjuk meja yang ia maksudkan.Keduanya duduk berhadapan dengan mengambil duduk masing-masing di dekat jendela. Pelayan segera menghampiri meja mereka seraya menyodorkan menu makanan."Kamu mau pesan apa? Atau disamain saja?" tanya Kanzu dengan memperhatikan m
Malamnya usai mengerjakan salat Isya berjamaah dengan bibinya, terdengar panggilan masuk dari ponsel Wafa. "Wafa angkat telepon dulu ya, Bi," pamit Wafa sembari meraih tangan bibinya untuk ia cium."Iya, angkatlah. Siapa tahu dari ibumu, karena kemarin ia bilang kangen padamu."Wafa mengangguk. Bergegas ia berdiri menuju ke kamarnya. Sesampainya di kamar, segera ia raih ponselnya yang terletak di nakas. "Bunda Syaiba," gumam Wafa seketika mengusap layar untuk menerima video call dari bundanya Kanaya itu."Mama Nunun!" seru bocah tampan yang amat ia rindukan tadi pagi. Apakah rasa rindunya pada Saka, terhubung dengan baik."Saka! Mama kangen, Nak," ujar Wafa dengan mata berkaca. Bocah yang berada di layar ponselnya berceloteh dengan lucu ditemani sang nenek yang duduk di belakangnya."Saka juga kangen, Mama Ainun," ucap Bu Syaiba dengan suara bergetar, melihat Wafa berusaha keras menyembunyikan tangis harunya tak urung membuat hatinya tren
"Hanya padamu, aku mengakui ini, Nun. Aku telah menghancurkan masa depan gadis itu," air mata Satria menetes saat pernyataan jujur itu meluncur dari bibirnya.Kedua mata Wafa membulat sempurna, mendengar pengakuan dari Satria. "Jadi, ternyata kamu manusia bejat itu!" telunjuk gadis itu, tepat mengarah ke dada Satria. Dengan mata memerah, menahan geram ia telangkupkan telunjuknya menjadi kepalan."Iya, Nun. Boleh dikatakan aku telah memperdaya Kanaya. Aku mengambil kesempatan saat dia tak berdaya. Pada kenyataannya, imanku hanya setipis belahan tisu."Wafa beranjak berdiri, kemudian dengan cepat ia layangkan tinju pada muka Satria hingga pria itu tersungkur dari bangku taman.Satria memegang pipi kirinya, pukulan dari Wafa menembus nyeri hingga rahangnya. Kejadian barusan, diluar prediksinya hingga ia terkejut dan tak sempat menghindar."Kamu tahu, akibat dari perbuatanmu itu. Kanaya sangat menderita. Tetapi, ia masih melindungimu dengan t
"Bu Ninik, sudah!" Panggil seseorang sembari memencet bel yang disediakan di atas meja kasir. Wafa meminta Mbak Wahyu untuk menggantikannya, karena ia pergi ke atas untuk melaksanakan salat Dhuhur. Gadis itu, ke atas setelah waktu makan siang karyawan selesai. "Iya, sebentar!" seru Wafa dari ujung tangga atas. Sambil menuruni tangga, gadis itu mengancingkan lengan gamisnya."Ainun!" tunjuk seorang pria dengan tatapan tak percaya di depan meja kasir."Satria," ujar gadis itu mempercepat langkahnya menuju meja kasir. "Yaa ampun, kok bisa-bisanya kita bertemu di sini. Kamu anaknya Bu Ninik?" tanya Satria.Wafa menggelengkan kepala. "Aku keponakannya. Kamu sendiri kok bisa berada di sini?""Aku sudah dua bulan magang di sini, kamu sudah lama tinggal di kantin ini?""Sudahlah, aku kan juga bekerja di sini.""Masak sih, kok kita enggak pernah ketemu.""Aku di devisi perencanaan. Anggota Bu Tamara.
Penjelasan dari dokter kandungan membuat Wafa dan Kanaya syok, tak percaya. Terlebih Kanaya, putri kesayangan almarhum Ghizra Arsyad itu, bahkan tak terdengar isakan tangisnya. Air matanya tumpah, sebagai tanda hatinya terguncang. Tidak dalam keadaan baik-baik. "Kak Ainun, jangan ninggalin aku ya ... semua boleh pergi, kecuali kakak. Kalau aku enggak dianggap bagian keluarga Santosa lagi. Boleh kan, aku tinggal sama kakak," pinta Kanaya lirih dengan tatapan kosong sepulang mereka dari dokter kandungan. "Kakak percaya kan, padaku ... bahwa aku tak mungkin melakukan zina. Aku masih waras, Kak! Aku sayang keluargaku. Enggak mungkin aku mencoreng muka mereka dengan tindakan bodoh seperti itu. "Dik, coba ingat. Mungkin kamu pernah dirudapaksa dalam keadaan tak sadar?" tanya Wafa dengan nada cemas. Namun, gelengan kepala dari Kanaya, membuat Wafa meraih bahunya. Keduanya saling berpelukan erat dengan tangis nestapa. Dua bulan setelah pemeriksaa