Tak terasa masa cuti Amalia akan berakhir dua hari lagi. Sepuluh hari telah dia lewati di rumah mendiang Ayahnya ini. Ia membantu mengajar mengaji dan calistung untuk anak-anak yang bersekolah di Griya Qur'an.
Amalia sengaja tidak mengaktifkan ponselnya selama sepuluh harian ini. Karena, tidak ingin mendengar rajukan Kanzu dan Syaiba yang memintanya pulang. Pagi itu, ketika Amalia mengeluarkan motor maticnya ada mobil fortuner hitam plat L memasuki halaman masjid yang berada di seberang gang jalan rumahnya. Sosok pria tampan memakai kacamata hitam membuka pintu depan, memandang ke arahnya. "Mas Ghizra," gumam Alia tak percaya. Saat pandangan keduanya berserobok. Anin istri Hafidz telah bercerita banyak mengenai Ghizra yang mencarinya. Dari cerita mereka berdua, Amalia tahu Ghizra tidak lupa akan dirinya, hanya tinggal menunggu penjelasannya kenapa dia menikahi Syaiba. 🌻🌻🌻🌻 Amalia mempersilakan Ghizra di gasebo pojok halaman rumahnya. "Belum ada setahun enggak ke sini. Banyak yang berubah, ya," Ghizra mengomentari halaman rumah Amalia yang lengkap dengan area bermain anak-anak. "Alhamdulillah, banyak santri yang daftar. Mungkin, sarana bermain ini memiliki daya tarik sendiri." Amalia membetulkan jilbabnya, "Oh, iya ... apa yang membawa Mas Ghizra kemari?" "Bukankah mas berhutang maaf dan penjelasan padamu, Alia." Ghizra terdiam sejenak memperhatikan wajah tenang perempuan di depannya itu. "Iya. Aku juga ingin mendengarnya." Ghizra menghela napasnya, menghempuskan secara berlahan sebelum ia memulai bercerita. "Dalam perjalanan pulang dari sini dulu, mas mendapat kabar dari bibi di Padang. Keluarga mas mengalami kecelakaan dan posisi sudah berada di rumah sakit. Jadi, mas langsung berangkat ke Padang, melihat keadaan mereka dan akhirnya menggantikan Ayah mengurus pabrik di Jambi." "Oh begitu, sayangnya sekedar menulis kabar pun tidak sempat, ya," sindir Alia membuat Ghizra tersenyum masam. "Maaf, waktu itu mas kira semua baik-baik saja. Sebagai anak sulung, tanggung jawab sepenuhnya berada di pundak mas saat itu. Semua keluarga mas terluka dalam kecelakaan itu, Alia. Bapak, ibu, Ghozy dan Ghema, mereka semua perlu perawatan. Apalagi bapak sempat mengalami kelumpuhan. Kondisi bapak tidak memungkinkan mengurus pabrik. Satu setengah tahun, beliau hanya bisa menginstruksikan pekerjaan dari rumah. Mas yang harus turun tangan ke pabrik, Alia. Pertimbangan itulah, mama meminta mas melanjutkan kuliah di Jambi." Alia menatap wajah Ghizra dengan tatapan sayu. Semua cerita yang didengar barusan, kisah ulang yang diceritakan Hafidz padanya. "Baiklah, aku terima maafmu Mas, sekarang jatuhkan talakmu padaku," permintaan Alia membuat Ghizra terhenyak. "Apa?" "Aku yakin, Syaiba tidak mengetahui hubungan kita 'kan? Seandainya dia tahu, bahwa Mas Ghizra suamiku tentu pernikahan kalian tidak akan terjadi." Mata Alia berkaca mengungkapkan perasaannya barusan. "Apakah berpisah jalan terakhir untuk hubungan kita, Alia!" "Tentu, ini jalan tengah terbaik untuk kita bertiga." Mereka menghentikan percakapan saat ada mobil Avanza putih berhenti di depan tangga halaman rumah Amalia. "Alia!" panggil seorang pria setelah menurunkan kaca mobil. Rupanya Budianto, sepupu Ayah Alia sekaligus kepala desa yang menjabat di desanya. "Iya, Paman!" Amalia berlari menghampiri mobil pamannya. "Kapan berangkat ke Manado?" "Lusa, paman," jawab Amalia singkat. "Oh, bener berarti bibimu bilang tadi. Terus, langsung berangkat dari sini apa mampir ke Surabaya dulu." "Rencana setelah salat Dhuhur saya berangkat Paman." "Oh, ya sudah. Ini ada titipan bibimu." "Masyaa Allah, kenapa jadi repot-repot, Paman." "Enggak apa-apa, sudah dulu, ya ... Kamu juga, setelah dari Pacitan enggak pernah main ke rumah lagi." Amalia hanya tersenyum menanggapi perkataan pamannya. Setelah kardus di terima Amalia, Budianto menjalankan pelan mobilnya meninggalkan putri saudara sepupunya itu. 🌹🌹🌹 "Kita pulang bersama, ya," ajak Ghizra. Amalia menggeleng keras, takut keluarga Santosa salah sangka nantinya. "Kenapa, enggak mau. Bukankah mas ini masih suamimu Alia." "Mas, hubungan kita sudah selesai. Istri mas Ghizra sekarang Sya-i-ba bukan aku!" seru Amalia tak terima. "Kamu pulang dengan mas sekarang. Atau, mas telpon Syaiba. Bicara jujur padanya bahwa pria yang selama ini kamu cari adalah suaminya," ancam Ghizra mengacungkan ponselnya. "Apa sih, maumu Mas!" "Pembicaraan kita belum selesai, Alia." Ghizra menangkupkan kedua tangan ke pipi Amalia. "Mas mohon kita bicara dengan kepala dingin untuk masalah ini." "Baiklah, mas Ghizra istirahat dulu di sini. Aku ambil bantal dulu di dalam." Amalia bergegas masuk ke rumahnya membawa kardus pemberian pamannya tadi. Sepuluh menit kemudian dia kembali menemui Ghizra membawa bantal serta nampan berisi botol minuman serta kue basah yang dibuatnya tadi subuh. "Silakan diminum, Mas." Amalia menyodorkan nampan tepat di depan Ghizra. Bantal yang dibawanya diletakkan di samping kirinya. "Aku tinggal dulu, ya ... Rencananya mau ke pasar untuk belanja sayur. Mas, istirahat saja. Pasti lelah menyetir sendirian tadi." "Terima kasih." "Sama-sama." Amalia meninggalkan Ghizra sendirian, kembali ia melanjutkan niat awal yakni belanja kebutuhan pokok untuk keluarga Hafidz. Setelah makan siang, mereka berdua bersiap salat jamaah Dhuhur di masjid. Barang bawaan Amalia sudah masuk dalam mobil Ghizra. Ghizra berbincang sebentar dengan Hafidz mengenai lembaga pendidikan yang didirikannya bersama istri dan Amalia tersebut. Di situlah dia paham, cita-cita almarhum Ayah mertuanya. Ingin mendirikan sekolah usia dini berbasis Qur'an di lingkungan mereka. 🌹🌹🌹🌹 Hampir tiga jam perjalanan yang mereka tempuh, Ghizra membelokkan mobilnya ke SPBU untuk mengisi bahan bakar sekalian mengerjakan salat Ashar di Jombang. "Nanti, aku turunkan di Bungurasih ya Mas, naik angkot saja menuju rumah," pinta Amalia selesai mereka menunaikan salat Ashar. "Sepertinya angkot sudah enggak ada, kalau turun di terminal. Nanti mas carikan taksi di simpang menuju arah bandara saja." Amalia mengangguk tanda setuju. Ghizra dan Amalia berusaha mencairkan suasana di antara keduanya serta meluruskan kesalahpahaman mereka berdua saat pertemuan kali di rumah Syaiba kemarin. Setelahnya mereka berdua berbagi kisah selama enam tahun ini, bagaimana Amalia dan Ayahnya mencari Ghizra hingga mendatangi kampusnya saat berkuliah. Amalia tidak menyinggung mengenai Kanzu, karena baginya saat ini, Kanzu sudah tepat dalam asuhan keluarga Santosa sebagai anak angkat. "Seandainya kita jadi berpisah. Apakah kamu akan menerima Hilmy?" "Sekarang, mas Hilmy melihatku sebagai gadis yatim piatu yang mungkin perlu dikasihani. Saat tahu, kalau aku seorang janda tidak menutup kemungkinan dia mundur dengan sendirinya. Dia perjaka, pasti menginginkan gadis untuk menjadi istrinya," jawab Amalia enteng. "Andai, saat itu mas langsung tabayun mendatangimu, tentu saat ini, kita sudah bersama dan bahagia, Alia," gumam Ghizra lirih, bahkan nyaris tak terdengar. Karena bertepatan lampu hijau diperempatan jalan yang menbuat klakson bersautan dari mobil samping kiri-kanan fortunernya. Next... Penyesalan selalu datang belakangan, kalau di awal itu namanya cita-cita ya, Ghizra 😌😌😌Pembelian rumah telah disahkan oleh pihak notaris. Mengenai pembayaran, saat Kakek Rahmat hendak membayar untuk mereka. Kanzu menolak secara halus."Rumah yang kami tempati ini, biarlah menjadi tanggungjawab saya sebagai kelapa rumah tangga, Kek. Bukankah, sudah menjadi kewajiban saya menyediakan sandang, pangan dan papan untuk mereka.""Kakek bangga padamu, Kanzu. Seperti inilah, ayahmu dulu. Sangat bertanggungjawab dengan keluarganya. Kakek tenang, Saka dalam pengasuhan kalian berdua. Semua Kanaya mendapatkan jodoh sebaik kamu dan ayahnya," ungkap Kakek Rahmat dengan mata berkaca."Andai dia mengatakan siapa pria yang bertanggungjawab atas kelahiran Saka. Kakek ingin menemui pria itu, jika memang mereka dulu melakukan atas dasar suka. Kakek ingin mereka berdua menikah."Pasti kamu tahu, beban mental yang ditanggung olehnya bila dinikahi selain pria itu. Orang melihat dia sebagai gadis baik, dari keluarga baik. Tetapi, tidak bisa menjaga kehormat
Peristiwa penculikan Wafa, sengaja tidak dibahas lebih lanjut. Bahkan saat Bu Syaiba dan Kakek Rahmat mampir berkunjung ketika kembali dari Swiss di hari Ahad, mereka tidak diberitahu mengenai musibah yang menimpa Wafa.Walaupun Bu Ambar pada akhirnya tahu oleh Pak Basir, ayah Mahesa sendiri. Karena penyelidikan yang dilakukan oleh pihak berwajib pada kasus kriminal yang dilakukan anak bungsunya itu. Kakek Rahmat dan Bu Syaiba sengaja singgah ke apartemen Kanzu untuk melihat Saka. Melihat sang cucunya gembira tinggal bersama orang tuanya membuat hati Bu Syaiba tenang."Saka sepertinya nyaman tinggal bersama kalian. Bunda titip dia, ya ... di sini dia mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orangtuanya. Walaupun kalian berdua bukan orangtua kandungnya," ungkap Bu Syaiba dengan wajah sendunya."Bunda jangan berbicara seperti itu, nyatanya antara saya dan Saka masih terhubung pertalian darah yang sama. Darah Ayah Ghizra. Dan sudah menjadi kewajiban
Kanzu menatap wajah Mahesa dan Ibam yang telah dibuatnya babak belur. Bahkan ia larang Leo dan Satria turut menghajar dua pria di hadapannya itu."Ini pertama dan terakhir kali, kau menyentuh keluargaku, Mahesa." Kembali Kanzu melayangkan pukulan ke wajah Mahesa. "Leo, bawa kemari koper itu," pinta Kanzu pada Leo yang di sebelahnya teronggok tas berisi uang yang berhasil dirampasnya dari kawan preman tadi.Kanzu membuka retsleting koper, lantas tangannya mencakup penuh gepokan uang ratusan ribu dari dalam koper itu."Hanya karena ini, kamu tega berlaku keji pada saudaramu, Mahesa." Kanzu melempar gepokan uang ke arah Mahesa. Mungkin ada sepuluh gepok yang ia lempar ke tubuh pria itu."Polisi sebentar lagi tiba, Kanzu. Kamu segera jemput Wafa saja. Kita yang akan urus mereka di sini," ujar Leo mencoba menenangkan sahabatnya."Iya, tolong urus mereka untukku, Leo. Satria terima kasih, sudah membantuku."Satria menganggukk
Setibanya di stasiun Kanzu segera menemui Ibam. Tidak nampak Mahesa ikut serta. Apakah tebakkannya salah. Karena kalau hanya berdasarkan nomer Mahesa tidak bisa dijadikan bukti yang kuat.Sekarang ini, nomer mati karena tak lama kita isi pulsa. Lantas kita memilih membeli nomer baru. Nomer mati milik kita dulu, akan diterbitkan lagi menjadi kartu baru. Bukankah kemungkinan akan dibeli orang lain dan akan digunakan."Mana istriku?" tanya Kanzu melempar tas berisi uang dua milyar ke arah Ibam."Dia sudah kami bebaskan. Sebentar lagi, pasti sudah sampai rumah.""Jangan bercanda! Kalian sudah mendapatkan uangnya. Kenapa istriku tidak ada di sini?" tanya Kanzu geram.Ibam menyeringai, diambilnya tas yang dilempar Kanzu lalu membukanya. Nampak tumpukan uang merah berbendel di dalamnya. "Kita bukan orang bodoh, Bro. Kalau kami membawa istrimu, dan kamu menyerahkan uang ini. Bisa menjadi bukti, bila tertangkap tangan sebagai kasus pemerasan.
Kanzu memperhatikan jam di dinding kantin dengan cemas, di depannya duduk Leo dan Satria. "Uang sudah siap, kenapa dia tidak menghubungi kita lagi," ucap Kanzu gelisah.Masalah uang senilai dua milyar tadi langsung diselesaikan oleh Pak Faiz dan Ryan. Kanzu tinggal mengganti setelah Wafa kembali ke pelukannya dengan selamat."Tenanglah, Kanzu. Aku yakin, mereka tidak mungkin berani menyakiti Wafa," ujar Leo menenangkan sahabatnya. Satria yang duduk di samping Leo, memperhatikan ponsel milik Wafa. Ia pun sudah menghubungi Kirana. Satria meminta tolong pada wanita itu, melacak keberadaan preman yang menyekap Wafa."Tidak ada jejak sama sekali. Apakah kita hanya bisa menunggu telepon dari penculik saja," ujar Kanzu geram seraya memukulkan tinju pada pahanya."Kenapa aku berpikir yang melakukan ini, bukan orang asing. Tetapi, yang sudah mengenal Wafa. Bukankah, tas Wafa diletakkan di teras samping tadi. Pastilah dia tahu, Wafa bers
Derap langkah dari beberapa kaki yang menapaki lantai kayu tua semakin lama semakin mendekat. Suara langkah-langkah itu berat, berirama, seolah mengisyaratkan keberadaan lebih dari satu orang. Jantung Wafa berdetak tak karuan. Ia hanya bisa menebak-nebak, sebab matanya tertutup kain yang diikat sangat rapat, dan mulutnya dibungkam dengan lakban. Rasa takut dan cemas merayap di seluruh tubuhnya. Ia tahu dirinya berada di sebuah ruangan gelap dan pengap. Bau apek, debu, dan lembap menekan indra penciumannya. Wafa duduk di lantai dingin, dengan kaki dan tangan diikat jadi satu. Ikatan tali itu terasa sangat kencang, membuat pergelangan tangan dan kakinya kebas. Sejak sadar, ia sudah berusaha sekuat tenaga melepaskan tali yang mengikat kedua tangannya. Gesekan tali pada kulitnya membuat tangannya lecet dan perih, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya ia menyerah karena rasa dahaga dan lapar yang amat sangat. Tidak ada yang memberinya makan dan minum. Ia harus menjaga diri agar