Amalia sampai di kediaman Santosa, setengah jam sebelum Ghizra memasuki gerbang rumah keluarga istrinya itu.
"Wah, Ayah sudah datang!" seru Kanzu gembira sembari meloncat dari tempat duduknya. Nampak olehnya mainan pesawat di tangan kanan Ayah kandungnya itu. Ghizra tersenyum menghampiri keluarga Syaiba yang berkumpul di teras rumah. Ada kedua mertuanya dan mbok Amin yang membawa sepiring nasi dan lauknya untuk disuapkan ke Kanzu. Mainan pesawat yang dibawanya tadi, telah berpindah tangan ke anaknya. "Syaiba mana, Ma?" tanya Ghizra usai salim ke Sinta dan mengelus kepala Kanzu. "Biasalah, lagi seru berkisah dengan Amalia. Setengah jaman lalu dia juga baru sampai," jawab Sinta. Ghizra tersenyum seraya melirik ke Rahmat yang memperhatikannya dari tadi dengan penuh selidik, padahal dirinya sudah tahu Ghizra pergi ke Ponorogo untuk menemui Amalia. "Ya, sudah. Saya masuk dulu ya Ma, Pa ...." pamit Ghizra menganggukkan kepala meninggalkan mertuanya masuk ke rumah. 🌻🌻🌻 Melewati kamar tamu yang ditempati Amalia, Ghizra mendengar gelak tawa keduanya. Dia mempercepat langkahnya karena sebentar lagi azan Mahgrib berkumandang. Saat keluar dari kamar mandi, Syaiba telah duduk di tepi ranjang memangku setelan koko dan sarung yang akan dikenakannya. "Tumben, sampai sore kerjanya?" tanya Syaiba. "Iya, tadi ada kepentingan keluar kota juga." Ghizra meraih baju dan sarungnya kemudian kembali ke kamar mandi. Syaiba mengernyit, biasanya Ghizra tidak sungkan berganti pakaian di depannya. "Mas ke masjid dulu, ya," pamit Ghizra meraih kening Syaiba mengecupnya. "Iya, hati-hati," balas Sabrina selesai mencium tangan kanan Ghizra. 🌻🌻🌻🌻🌻 "Kalian tadi pulangnya bersama-sama 'kan?" tanya Rahmat penuh selidik kepada menantunya. Ghizra menghentikan langkahnya, memutar badan menghadap sang mertua. "Benar, saya yang meminta Alia ikut. Untuk pulang bersama." "Apa keputusan kalian setelah bertemu?" "Alia meminta berpisah." "Maksudnya, cerai!" "Iya." "Lalu, apakah kau sudah melakukannya?" "Belum." "Kenapa, apakah kamu berniat menjadikan Alia madu putriku? Jangan pernah, bermimpi!" Ghizra tersenyum sinis mendengar ucapan mertuanya. "Saya tidak punya kemampuan untuk beristri dua. Namun, saya akan menunggu takdir bagaimana nasib pernikahan kami bertiga nantinya. "Mereka berdua putriku. Kalau kau tidak bisa bertahan dengan Syaiba. Setidaknya lepaskan keduanya," ucap Rahmat bergetar. "Maaf, saya tidak bisa memberikan keputusan saat ini," jawab Ghizra lirih kemudian melangkah mendahului mertuanya menuju masjid di komplek perumahan Jayabaya. 🌻🌻🌻🌻 Sudah menjadi kebiasaan Kanzu dari kecil akan tidur bersama Amalia. Ketika ibu kandungnya itu, berada di rumah keluarga Syaiba. "Kanzu sudah ya, main pesawatnya. Kita tidur. Sudah malam. Besok sekolah 'kan?" tanya Amalia sembari membantu Kanzu membereskan mainannya. Setelah menyimpan mainan Kanzu. Amalia menuntun putranya ke kamar mandi. Ia membantu bocah lima tahun itu menggosok gigi. Serta mengajarinya berwudhu dengan benar. "Mbok Amin kalau Kanzu mau tidur cuma diantar gosok gigi. Tidak diminta berwudu, Kak," ucap Kanzu. "Iya, itu sudah bagus. Kalau kita berwudu sebelum tidur akan lebih bagus lagi. Anggap saja begini, Kanzu mau tidur menggosok gigi dapat nilai delapan. Delapan itu berarti B ya ... Nah, kalau ditambah wudu dapat nilai sembilan. Nilai sembilan itu A. Sekarang, Kanzu pilih mendapat nilai berapa, Nak?" tanya Amalia seraya mengelap putranya dengan handuk. "Kanzu mau dapat nilai A terus, Kak," jawab Kanzu. "Hebat! Anak siapa sih, sholih ini." Cium Amalia gemas ke pipi Kanzu. "Ayo, bobok jangan lupa berdoa, ya." Amalia mengusap-usap punggung Kanzu yang memeluk guling membelakanginya. Masih lekat dalam ingatan Amalia bagaimana perjuangan dia mengandung putranya ini. Saat mengetahui hamil, kala itu kandungannya sudah tiga bulan. Bersyukur ujian kelulusan telah dilaluinya, jikalau belum pasti takut akan dikeluarkan pihak sekolah. Ayahnya saat mengetahui kehamilannya, membesarkan hati Amalia dengan keyakinan Ghizra pasti datang dan meresmikan pernikahan mereka seperti janjinya. Namun, kenyataan tidak sesuai dengan angan mereka. Hingga Kanzu lahir, Ghizra tidak pernah menunjukkan diri pada mereka. Keputusan berat harus diambilkannya saat itu. Memberikan Kanzu kepada keluarga Santosa untuk diakui sebagai anak angkat. Kanzu lahir di akhir bulan Januari, Amalia mengasuh sendiri putranya hingga usia 8 bulan di kediaman keluarga Syaiba. Bulan delapan Amalia bersama Syaiba mempersiapkan diri untuk masuk perguruan tinggi, kebetulan mereka masuk di Univesitas yang sama beda falkutas. Syaiba mengambil arsitek sedangkan Amalia pendidikan. Begitu aktif dengan jadwal kuliah, keluarga Santosa mencari pengasuh untuk menjaga Kanzu. Pilihan jatuh pada Mbok Amin. Janda dengan dua anak. Tapi, kedua anaknya sudah besar semua. 🌻🌻🌻🌻 Berpisah dengan Kanzu adalah saat paling berat bagi Amalia. Apalagi putranya itu selalu menangis ingin ikut bersamanya, hingga perlu dibujuk serta diberi pengertian dan penjelasan ekstra sabar. "Titip Kanzu, ya," pinta Amalia kepada Syaiba seraya memeluk sahabatnya itu. "Pasti, kami akan menjaganya. Fokus saja mengemban tugas bangsa," kelakar Syaiba seraya menghapus air mata di sudut matanya. Amalia pun melakukan hal yang sama, acap kali meninggalkan Kanzu dirinya akan menangis sedih. Ghizra memperhatikan dengan seksama bagaimana wajah sedih Amalia saat melepas Kanzu. Hatinya bertanya kenapa Kanzu enggan berpisah dengan Amalia. Sinta menghampiri mereka berdua, karena Rahmat memintanya supaya Amalia bergegas. Papa Syaiba itu meluangkan waktu mengantar putri temannya ke Bandara. Namun, ia juga meminta Ghizra untuk menyetir mobilnya. 🌻🌻🌻🌻 "Sambil menunggu temanmu, Papa ingin ngobrol penting dengan kalian berdua di Saylora," titah Rahmat sebelum keluar dari dalam mobilnya. Ghizra melepas sabuk pengamannya. Ia melirik sebentar ke arah Amalia yang duduk di bangku belakang, yang kebetulan juga sedang menatapnya. Amalia berjalan paling belakang. Ghizra yang membawakan kardus Amalia, yang berisi oleh-oleh berjalan mengiringi langkah Rahmat. "Langsung saja, Papa sudah mengetahui kalian pernah menikah ... Alia." Alia memandang Rahmat dengan sorot mata tak percaya. Ghizra masih menunggu kalimat selanjutnya dari bapak mertuanya itu. "Ghizra telah mengatakan kemarin," imbuh Rahmat kemudian, membuat Amalia menatap tajam Ghizra. "Saya kira, ini masalah pribadi kita Mas. Lagian sudah kita bicarakan kemarin. Kenapa harus beritahu papa tentang kita," ujar Amalia kecewa. Jujur dirinya merasa tidak enak hati karena selama ini tanggung jawab Ayahnya telah digantikan oleh Ayah Syaiba. Ghizra hanya memandang Rahmat, serta menduga-duga maksud mertuanya berbicara demikian. "Papa hanya ingin meminta satu hal pada kalian berdua. Tutup buku masalah ini dari siapapun. Cukup, kita bertiga yang tahu. Itu saja, pinta papa. Bisa kalian memenuhi permintaan papa kali ini?" Akhirnya ... sekali lagi, Rahmat meminta hal yang sama. Merahasiakan pernikahan Amalia dan Ghizra. Dulu ia pinta kepada Ghizra dan sekarang meminta kepada Amalia. "Walaupun, Papa tidak meminta. Saya tidak akan bercerita mengenai kami. Karena alasan itulah, kami bersepakat untuk bercerai." "Bukan kami, tetapi kamu sendiri Alia. Tanpa mengindahkan pendapatku," ucapan Ghizra membuat Rahmat menatap tajam ke menantunya itu. "Maksudmu, kamu menginginkan keduanya sebagai istrimu. Jangan serakah Ghizra!" bentak Rahmat tidak terima. 'Apakah, anda sedang akting bapak mertua, kenapa dibahas ini dengan Alia' "Papa sendiri 'kan, yang menginginkan saya beristri dua. Harusnya saat tahu surat nikah itu. Papa bisa mencegah saya menikahi Syaiba," balasan Ghizra membuat Amalia terkejut. Next ...Pembelian rumah telah disahkan oleh pihak notaris. Mengenai pembayaran, saat Kakek Rahmat hendak membayar untuk mereka. Kanzu menolak secara halus."Rumah yang kami tempati ini, biarlah menjadi tanggungjawab saya sebagai kelapa rumah tangga, Kek. Bukankah, sudah menjadi kewajiban saya menyediakan sandang, pangan dan papan untuk mereka.""Kakek bangga padamu, Kanzu. Seperti inilah, ayahmu dulu. Sangat bertanggungjawab dengan keluarganya. Kakek tenang, Saka dalam pengasuhan kalian berdua. Semua Kanaya mendapatkan jodoh sebaik kamu dan ayahnya," ungkap Kakek Rahmat dengan mata berkaca."Andai dia mengatakan siapa pria yang bertanggungjawab atas kelahiran Saka. Kakek ingin menemui pria itu, jika memang mereka dulu melakukan atas dasar suka. Kakek ingin mereka berdua menikah."Pasti kamu tahu, beban mental yang ditanggung olehnya bila dinikahi selain pria itu. Orang melihat dia sebagai gadis baik, dari keluarga baik. Tetapi, tidak bisa menjaga kehormat
Peristiwa penculikan Wafa, sengaja tidak dibahas lebih lanjut. Bahkan saat Bu Syaiba dan Kakek Rahmat mampir berkunjung ketika kembali dari Swiss di hari Ahad, mereka tidak diberitahu mengenai musibah yang menimpa Wafa.Walaupun Bu Ambar pada akhirnya tahu oleh Pak Basir, ayah Mahesa sendiri. Karena penyelidikan yang dilakukan oleh pihak berwajib pada kasus kriminal yang dilakukan anak bungsunya itu. Kakek Rahmat dan Bu Syaiba sengaja singgah ke apartemen Kanzu untuk melihat Saka. Melihat sang cucunya gembira tinggal bersama orang tuanya membuat hati Bu Syaiba tenang."Saka sepertinya nyaman tinggal bersama kalian. Bunda titip dia, ya ... di sini dia mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orangtuanya. Walaupun kalian berdua bukan orangtua kandungnya," ungkap Bu Syaiba dengan wajah sendunya."Bunda jangan berbicara seperti itu, nyatanya antara saya dan Saka masih terhubung pertalian darah yang sama. Darah Ayah Ghizra. Dan sudah menjadi kewajiban
Kanzu menatap wajah Mahesa dan Ibam yang telah dibuatnya babak belur. Bahkan ia larang Leo dan Satria turut menghajar dua pria di hadapannya itu."Ini pertama dan terakhir kali, kau menyentuh keluargaku, Mahesa." Kembali Kanzu melayangkan pukulan ke wajah Mahesa. "Leo, bawa kemari koper itu," pinta Kanzu pada Leo yang di sebelahnya teronggok tas berisi uang yang berhasil dirampasnya dari kawan preman tadi.Kanzu membuka retsleting koper, lantas tangannya mencakup penuh gepokan uang ratusan ribu dari dalam koper itu."Hanya karena ini, kamu tega berlaku keji pada saudaramu, Mahesa." Kanzu melempar gepokan uang ke arah Mahesa. Mungkin ada sepuluh gepok yang ia lempar ke tubuh pria itu."Polisi sebentar lagi tiba, Kanzu. Kamu segera jemput Wafa saja. Kita yang akan urus mereka di sini," ujar Leo mencoba menenangkan sahabatnya."Iya, tolong urus mereka untukku, Leo. Satria terima kasih, sudah membantuku."Satria menganggukk
Setibanya di stasiun Kanzu segera menemui Ibam. Tidak nampak Mahesa ikut serta. Apakah tebakkannya salah. Karena kalau hanya berdasarkan nomer Mahesa tidak bisa dijadikan bukti yang kuat.Sekarang ini, nomer mati karena tak lama kita isi pulsa. Lantas kita memilih membeli nomer baru. Nomer mati milik kita dulu, akan diterbitkan lagi menjadi kartu baru. Bukankah kemungkinan akan dibeli orang lain dan akan digunakan."Mana istriku?" tanya Kanzu melempar tas berisi uang dua milyar ke arah Ibam."Dia sudah kami bebaskan. Sebentar lagi, pasti sudah sampai rumah.""Jangan bercanda! Kalian sudah mendapatkan uangnya. Kenapa istriku tidak ada di sini?" tanya Kanzu geram.Ibam menyeringai, diambilnya tas yang dilempar Kanzu lalu membukanya. Nampak tumpukan uang merah berbendel di dalamnya. "Kita bukan orang bodoh, Bro. Kalau kami membawa istrimu, dan kamu menyerahkan uang ini. Bisa menjadi bukti, bila tertangkap tangan sebagai kasus pemerasan.
Kanzu memperhatikan jam di dinding kantin dengan cemas, di depannya duduk Leo dan Satria. "Uang sudah siap, kenapa dia tidak menghubungi kita lagi," ucap Kanzu gelisah.Masalah uang senilai dua milyar tadi langsung diselesaikan oleh Pak Faiz dan Ryan. Kanzu tinggal mengganti setelah Wafa kembali ke pelukannya dengan selamat."Tenanglah, Kanzu. Aku yakin, mereka tidak mungkin berani menyakiti Wafa," ujar Leo menenangkan sahabatnya. Satria yang duduk di samping Leo, memperhatikan ponsel milik Wafa. Ia pun sudah menghubungi Kirana. Satria meminta tolong pada wanita itu, melacak keberadaan preman yang menyekap Wafa."Tidak ada jejak sama sekali. Apakah kita hanya bisa menunggu telepon dari penculik saja," ujar Kanzu geram seraya memukulkan tinju pada pahanya."Kenapa aku berpikir yang melakukan ini, bukan orang asing. Tetapi, yang sudah mengenal Wafa. Bukankah, tas Wafa diletakkan di teras samping tadi. Pastilah dia tahu, Wafa bers
Derap langkah dari beberapa kaki yang menapaki lantai kayu tua semakin lama semakin mendekat. Suara langkah-langkah itu berat, berirama, seolah mengisyaratkan keberadaan lebih dari satu orang. Jantung Wafa berdetak tak karuan. Ia hanya bisa menebak-nebak, sebab matanya tertutup kain yang diikat sangat rapat, dan mulutnya dibungkam dengan lakban. Rasa takut dan cemas merayap di seluruh tubuhnya. Ia tahu dirinya berada di sebuah ruangan gelap dan pengap. Bau apek, debu, dan lembap menekan indra penciumannya. Wafa duduk di lantai dingin, dengan kaki dan tangan diikat jadi satu. Ikatan tali itu terasa sangat kencang, membuat pergelangan tangan dan kakinya kebas. Sejak sadar, ia sudah berusaha sekuat tenaga melepaskan tali yang mengikat kedua tangannya. Gesekan tali pada kulitnya membuat tangannya lecet dan perih, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya ia menyerah karena rasa dahaga dan lapar yang amat sangat. Tidak ada yang memberinya makan dan minum. Ia harus menjaga diri agar