"Ghizra nanti dari masjid kita jalan sebentar," pinta Rahmat pada menantunya.
Kelima anggota keluarga Santosa menghentikan aktifitas makan malam saat mendengar permintaan Rahmat barusan. Semua mata tertuju pada Rahmat kemudian beralih ke Ghizra. Ghizra menanggapi dengan anggukan, karena memang ada hal yang mesti dia bicarakan berdua dengan Papa Syaiba itu. Syaiba memandang Sinta, sang mama menaikkan kedua bahunya sembari melanjutkan suapan ke mulutnya. ***Rr*** Selesai menunaikan jamaah salat Isya di masjid, yang letaknya berseberangan dengan gerbang masuk perumahan Jayabaya. Ghizra melajukan motor mengikuti arahan mertuanya menuju kafe terdekat. Memesan menu roti bakar, pastel dan secangkir teh tawar mereka berdua beriringan menuju pojok kafe. Memilih tempat sunyi yang enak untuk ngobrol. Ghizra memperhatikan sejenak wajah mertuanya, sama seperti dirinya mungkin banyak yang ingin diutarakan. "Sudah bertemu dengan Alia?" tanya Rahmat membuka obrolan. "Iya, sudah. Kenapa Anda tega membohongi saya, Pak?" Ghizra tidak lagi memanggil Rahmat papa, melainkan pak. "Bagian mananya, aku membohongimu anak muda?" tantang Rahmat. "Bapak tahu, siapa Amalia? Kenapa tidak memberitahu saya, kalau dia tinggal bersama Bapak." Rahmat menghela napasnya sebelum menatap lurus ke depan. "Ya, benar. Aku tahu tentang Amalia adalah istrimu ... setelah kalian menentukan tanggal pernikahan." Rahmat kemudian mengalihkan pandangan untuk menatap wajah kecewa Ghizra. "Kamu ingat, Ghizra ... aku tidak pernah memaksamu menikahi putriku. Bahkan saat aku menyampaikan pinangan untuk Syaiba, kau bilang sudah menikah. Setelahnya tidak pernah kita membahas lagi. Habis lebaran kemarin, kau datang minta diperkenalkan dengan putriku. Tentu masih ingat, ketika itu aku bertanya, bagaimana dengan istrimu? Jawabmu, dia sudah menemukan kebahagiannya." Ghizra terdiam, membenarkan semua ucapan Rahmat. Dia ingin move on dengan cara menemukan pengganti sosok Amalia. Karena itulah, dia membuka diri untuk Syaiba, yang diam-diam menaruh hati padanya. "Tapi, bapak tahu 'kan, Alia juga mencari saya?" pertanyaan Ghizra menohok hati Rahmat. Benar ucapan Ghizra. Hati Rahmat was-was dari hari dia menemukan selembar pernyataan nikah milik Ghizra. Kertas itu terjatuh, saat Ghizra mengambil map dari tas kerjanya kala itu. Tangannya gemetar saat membaca nama istri Ghizra berikut wali nikah yang tertera di sana. Tapi, pikiran egois sebagai ayah yang menginginkan kebahagiaan untuk putri tunggalnya. Dia berdiam diri, enggan memberitahu keberadaan Amalia. Bahkan saat Ghizra ingin mengungkap kebenaran statusnya, bahwa dirinya pernah menikah, dilarang oleh Rahmat. "Apakah kau bahagia saat menikah dengan putriku?" Rahmat bertanya dengan nada bergetar. "Bahagia, sangat bahagia. Saya merasakan Syaiba sebagai pelipur lara. Kehidupan rumah tangga yang saya impikan terwujud bersama putri bapak." Ghizra menarik napasnya perlahan, seolah himpitan terjonggol di hatinya. "Sayangnya kebahagiaan itu seolah berhenti. Saat saya mengetahui kebenaran tentang Alia," lanjut Ghizra lirih. "Apakah kau akan meninggalkan Syaiba lalu kembali ke Alia, Ghizra?" masih dengan nada bergetar Rahmat menanyakan hal itu. "Kalau bapak menjadi saya, apa yang akan bapak lakukan?" Ghizra berbalik memberikan pertanyaan. Rahmat menghela napasnya, menurut penjelasan Sinta walau Amalia dan Ghizra bersua, mereka enggan mengakrabkan diri, itu artinya Amalia dan Ghizra belum saling bicara. "Baiklah, papa mengaku salah. Bisa papa meminta satu hal padamu Ghizra. Jangan pernah berubah sikap dan perhatianmu untuk Syaiba. Dia tidak tahu apa-apa. Kalau memang rahasia ini akan terbongkar, biar terbuka dengan sendirinya tanpa kita berdua yang memberitahu kepadanya." "Lalu, bagaimana dengan Alia?" "Papa mohon, setidaknya bersabarlah hingga bayi kalian lahir. Lagian Amalia juga akan kembali ke tempat tugas. Tahun berikutnya masuk PPG. Kalian tidak akan bersua untuk sementara waktu. Nanti papa akan berbicara dengan Alia. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti maksud permintaan papa ini." Rahmat berargumen supaya Ghizra menuruti kemauannya. Ghizra terdiam, bayangan Syaiba dengan senyum bahagia nan selalu ceria menyambutnya pulang kerja. Istri yang perhatian juga menyenangkan dipandang. Apalagi, sekarang bersemayam calon buah hati mereka di rahim istrinya itu. "Apakah layak Syaiba menderita, karena kecerobohku di masa lalu," batin Ghizra menimbang sisi baik seorang Syaiba. Karena memang istrinya itu tidak tahu kebenaran tentang dirinya dan Amalia. "Baiklah, tapi ... izinkan saya berbicara dari hati ke hati dengan Alia, Pa," pinta Ghizra pada akhirnya menyetujui permintaan mertuanya. Rahmat menghela napas beratnya, sangat tidak adil bagi Amalia saat ini. Kalau dirinya melarang keduanya bertemu. "Saya berutang penjelasan padanya, Pa. Terlebih Ayah Ali sudah tidak ada sekarang. Saat saya menjabat tangan beliau, saat itu juga saya berjanji mengambil alih tanggung jawabnya. Ketika saya diterima sebagai menantunya." Ucapan Ghizra membuat Rahmat terhenyak, bayangan Amalia yang mandiri dan pantang dikasihani. Walaupun dirinya telah berjanji melindungi Amalia layaknya putrinya sendiri, Rahmat tidak pernah mengeluarkan sepeser uangnya untuk keperluan Amalia. Ayah Amalia menyiapkan tabungan untuk biaya kuliah putrinya, Amalia pun dari semester tiga hingga lulus tidak pernah absen mendapat beasiswa. "Iya, temuilah dia. Papa akan memberitahu Syaiba. Bahwa kamu ada tugas ke luar kota. Tadi, Alia telpon mamanya, akan menghabiskan masa cuti di desa. Hilmy besok pulang dari sana," "Hilmy, pria yang menjemputnya tadi pagi, mengantar Alia sampai Ponorogo?" tanya Ghizra dengan nada gusar. "Iya. Hilmy pemuda yang baik, dari keluarga berada dan seorang dokter. Beberapa kali mengutarakan niatnya melamar Alia." Senyum Rahmat mengembang saat bercerita tentang upaya Hilmy mendekati Amalia. "Alia berpendirian selama belum terucap talak darimu, dirinya masih istri Ghizra Arsyad. Coba! bisa kamu bayangkan, kalau kalian tidak bersua hingga usianya tua, bagaimana?" Ghizra terdiam. Rasa bersalah kian bersarang di dadanya untuk Amalia, istri pertamanya itu. ***Rr*** Keesokan harinya setelah Ghizra berangkat membawa serta Kanzu, Rahmat meminta Sinta dan Syaiba ke ruang kerjanya. "Syaiba, apakah kau cerita tentang Amalia kepada suamimu?" tanya Rahmat. "Maksudnya cerita apa, Pa?" "Bahwa dia ibu kandung Kanzu," lanjut Rahmat. "Ya, enggaklah Pa. Bukankah, telah menjadi kesepakatan kita bersama. Tidak boleh ada yang bercerita tentang Kanzu kecuali Amalia sendiri. Bahkan, mbok Amin yang ngasuh Kanzu dari kecil pun tidak tahu, siapa ibu kandung Kanzu sebenarnya." "Terus, suamimu tidak bertanya siapa Alia?" "Enggak, malamnya setelah bersua dengan Alia. Aku bilang, siapa Amalia." "Apa, reaksinya?" "Enggak, ada. Diam saja dianya," jawab Syaiba. "Semalam, sepulang dia keluar dengan Papa, dia enggak ngomong apa-apa juga?" "Enggak, ada. Ada apa sih, Pa?" tanya Syaiba mulai khawatir, tidak biasanya papanya bertanya demikian mendetail tentang situasi rumah mereka selama ini. "Iya, nih! Papa jadi aneh, habis pulang dari Balikpapan. Kemarin, datang-datang langsung tanya ke Mama. Apakah Ghizra bertemu dengan Alia? Aneh, 'kan," imbuh Sinta turut penasaran. "Papa merahasiakan sesuatu, kayaknya nih, Ma," ucap Syaiba dengan pandangan menyelidik ke arah papanya. "Ah, kalian berdua ini." Rahmat berdecak sebentar, sebelum menghela napas dan memberi peringatan pada anak dan istrinya. "Papa ingatkan sekali lagi. Tentang Kanzu, mutlak Alia yang boleh membongkar jati diri anak itu." "Ya ampun Papa. Enggak mungkinlah kita melakukan itu. Udah, jangan cemaskan tentang Kanzu dan Alia lagi," sahut Sinta pada akhirnya. Sebenarnya dalam hati Sinta merasakan Rahmat menyimpan rahasia dan itu akan dia tanyakan saat mereka ada kesempatan ngobrol berdua saja. Next ...."Maksudmu, kamu menginginkan keduanya sebagai istrimu. Jangan serakah Ghizra!" bentak Rahmat tidak terima. 'Apakah, anda sedang akting bapak mertua, kenapa dibahas ini dengan Alia'Ghizra menyeringai mendengar mertuanya emosi dengan ucapannya barusan."Papa sendiri 'kan, yang menginginkan saya beristri dua. Harusnya waktu tahu lembaran catatan nikah kami. Papa bisa mencegah saya menikahi Syaiba," balasan Ghizra membuat Amalia terkejut.Rahmat pun tidak menyangka dengan ucapan menantunya itu. Ditatapnya tajam Ghizra penuh amarah."Maksudnya ini, bagaimana Papa?" tanya Amalia ragu akan dugaan di pikirannya."Sebulan sebelum kami menikah, Papa tahu bahwa Mas adalah suamimu. Mas diminta menyembunyikan semua ini dari Syaiba. Bahkan, saat pertama kalinya Papa mengatakan bahwa Syaiba menyukai Mas Ghizra. Mas mengatakan dengan jujur bahwa Mas adalah pria beristri." Amalia terhenyak tak percaya dengan kejujuran Ghizra. Rahmat memandang kedua orang di depannya silih berganti."Cukup, Ghizra!
Amalia sampai di kediaman Santosa, setengah jam sebelum Ghizra memasuki gerbang rumah keluarga istrinya itu."Wah, Ayah sudah datang!" seru Kanzu gembira sembari meloncat dari tempat duduknya. Nampak olehnya mainan pesawat di tangan kanan Ayah kandungnya itu.Ghizra tersenyum menghampiri keluarga Syaiba yang berkumpul di teras rumah. Ada kedua mertuanya dan mbok Amin yang membawa sepiring nasi dan lauknya untuk disuapkan ke Kanzu. Mainan pesawat yang dibawanya tadi, telah berpindah tangan ke anaknya."Syaiba mana, Ma?" tanya Ghizra usai salim ke Sinta dan mengelus kepala Kanzu."Biasalah, lagi seru berkisah dengan Amalia. Setengah jaman lalu dia juga baru sampai," jawab Sinta.Ghizra tersenyum seraya melirik ke Rahmat yang memperhatikannya dari tadi dengan penuh selidik, padahal dirinya sudah tahu Ghizra pergi ke Ponorogo untuk menemui Amalia."Ya, sudah. Saya masuk dulu ya Ma, Pa ...." pamit Ghizra menganggukkan kepala meninggalkan mertuanya masuk ke rumah.🌻🌻🌻Melewati kamar tamu
Tak terasa masa cuti Amalia akan berakhir dua hari lagi. Sepuluh hari telah dia lewati di rumah mendiang Ayahnya ini. Ia membantu mengajar mengaji dan calistung untuk anak-anak yang bersekolah di Griya Qur'an.Amalia sengaja tidak mengaktifkan ponselnya selama sepuluh harian ini. Karena, tidak ingin mendengar rajukan Kanzu dan Syaiba yang memintanya pulang.Pagi itu, ketika Amalia mengeluarkan motor maticnya ada mobil fortuner hitam plat L memasuki halaman masjid yang berada di seberang gang jalan rumahnya. Sosok pria tampan memakai kacamata hitam membuka pintu depan, memandang ke arahnya."Mas Ghizra," gumam Alia tak percaya. Saat pandangan keduanya berserobok.Anin istri Hafidz telah bercerita banyak mengenai Ghizra yang mencarinya. Dari cerita mereka berdua, Amalia tahu Ghizra tidak lupa akan dirinya, hanya tinggal menunggu penjelasannya kenapa dia menikahi Syaiba.🌻🌻🌻🌻Amalia mempersilakan Ghizra di gasebo pojok halaman rumahnya."Belum ada setahun enggak ke sini. Banyak yang
"Ghizra nanti dari masjid kita jalan sebentar," pinta Rahmat pada menantunya.Kelima anggota keluarga Santosa menghentikan aktifitas makan malam saat mendengar permintaan Rahmat barusan. Semua mata tertuju pada Rahmat kemudian beralih ke Ghizra.Ghizra menanggapi dengan anggukan, karena memang ada hal yang mesti dia bicarakan berdua dengan Papa Syaiba itu.Syaiba memandang Sinta, sang mama menaikkan kedua bahunya sembari melanjutkan suapan ke mulutnya.***Rr***Selesai menunaikan jamaah salat Isya di masjid, yang letaknya berseberangan dengan gerbang masuk perumahan Jayabaya. Ghizra melajukan motor mengikuti arahan mertuanya menuju kafe terdekat.Memesan menu roti bakar, pastel dan secangkir teh tawar mereka berdua beriringan menuju pojok kafe. Memilih tempat sunyi yang enak untuk ngobrol.Ghizra memperhatikan sejenak wajah mertuanya, sama seperti dirinya mungkin banyak yang ingin diutarakan."Sudah bertemu dengan Alia?" tanya Rahmat membuka obrolan."Iya, sudah. Kenapa Anda tega memb
"Apakah Ghizra sudah bertemu Amalia?" bukannya salam yang terucap oleh Rahmat, melainkan pertanyaan yang membuat Sinta terheran."Papa ini, bukannya salam malah kasih pertanyaan aneh, ya jelas mereka sudah bertemulah. Orang Alia datangnya kemarin," jawab Sinta meraih tangan kanan suaminya untuk dicium.Rahmat menghela napasnya, hal yang dikhawatirkan akhirnya terjadi.Ghizra berjumpa kembali dengan Amalia, putri sahabatnya sekaligus wanita yang dicari Ghizra selama ini."Memangnya ada apa Pa?"Rahmat tidak menjawab pertanyaan istrinya, hanya mampu menggelengkan kepala. Ia berjalan perlahan menuju kamar. Untuk membersihkan diri dari rasa pengat perjalanan.🌻🌻🌻🌻Ghizra merapikan beberapa berkas yang telah diperiksa dan ditanda-tangani. Dia menunduk meraih handel laci, menariknya. Nampak kotak perhiasan berbentuk hati warna merah maron dari dalam laci itu. Diambilnya kotak itu, kemudian dibuka perlahan hingga nampak cicin bertahta berlian di dalamnya. Terukir nama Amalia Uzhma dalam
"Semoga mereka berjodoh ya, Ma," celutuk Syaiba mengundang tanda tanya Ghizra. "Jadi, mereka belum menikah?" tanya Ghizra nampak terkejut. Syaiba memandang suaminya dengan tatapan aneh. "Jadi, mereka belum menikah?" Syaiba mengulang pertanyaan suaminya. "Iya, mereka?" "Mas, kenal Alia dan mas Hilmy?" Syaiba penuh selidik memandang Ghizra. Ghizra seperti tersadar, saat menikahi Syaiba ia tidak memberitahu tentang Amalia. "Ayo, Sholih, kita berangkat!" ajak Ghizra meraih tangan kanan Kanzu yang berdiri di antara Mbok Amin dan mertuanya. Sengaja ia melakukan itu, untuk mengalihkan pertanyaan istrinya. "Mas Ghizra berhutang penjelasan padaku," ucap Syaiba seraya meraih tangan Ghizra untuk diciumnya. Ghizra tersenyum tipis, mendekatkan kepala istrinya untuk dikecup keningnya. Saat ini lebih baik segera mengantar Kanzu ke sekolah, kemudian langsung menuju ke kantornya. 🌻🌻🌻 "Mas Hilmy tahu darimana, saya ada di rumah dan mau pergi pagi ini?" tanya Amalia saat Hilmy tela