Share

8. Move On

Author: Rumi Cr
last update Last Updated: 2025-08-13 16:42:01

"Maksudmu, kamu menginginkan keduanya sebagai istrimu. Jangan serakah Ghizra!" bentak Rahmat tidak terima. 

'Apakah, anda sedang akting bapak mertua, kenapa dibahas ini dengan Alia'

Ghizra menyeringai mendengar mertuanya emosi dengan ucapannya barusan.

"Papa sendiri 'kan, yang menginginkan saya beristri dua. Harusnya waktu tahu lembaran catatan nikah kami. Papa bisa mencegah saya menikahi Syaiba," balasan Ghizra membuat Amalia terkejut.

Rahmat pun tidak menyangka dengan ucapan menantunya itu. Ditatapnya tajam Ghizra penuh amarah.

"Maksudnya ini, bagaimana Papa?" tanya Amalia ragu akan dugaan di pikirannya.

"Sebulan sebelum kami menikah, Papa tahu bahwa Mas adalah suamimu. Mas diminta menyembunyikan semua ini dari Syaiba. Bahkan, saat pertama kalinya Papa mengatakan bahwa Syaiba menyukai Mas Ghizra. Mas mengatakan dengan jujur bahwa Mas adalah pria beristri." 

Amalia terhenyak tak percaya dengan kejujuran Ghizra. Rahmat memandang kedua orang di depannya silih berganti.

"Cukup, Ghizra! Perlu kamu ingat, papa tidak pernah memaksamu menikahi Syaiba. Kau datang sendiri, untuk mengenal pribadi Syaiba. Setelah bertemu kalian sepakat untuk menikah." 

Rahmat mengalihkan pandangan ke Amalia, "Alia ... benar, papa membaca lembaran nikah kalian. Waktu itu, tanggal pernikahan Ghizra dan Syaiba sudah ditetapkan. Papa tidak mau hati Syaiba hancur. Karena tahu calon suaminya adalah suami saudaranya."

Amalia terdiam, suasana menjadi hening hingga pesanan minuman mereka datang.

"Maaf, semua memang salah saya. Harusnya, saat lebaran kemarin, Mas langsung menghampirimu Alia. Bukan malah pergi dengan prasangka kamu sudah menikah dan hidup bahagia dengan Hilmy." 

Ghizra berlahan menghembuskan napas beratnya seraya menatap Amalia yang duduk di depannya. "Saya melihat Alia menggendong bayi bersama dokter Hilmy."

Rahmat memperhatikan gurat penyesalan di wajah Ghizra, bukan tidak mungkin menantunya itu lebih memilih Amalia daripada Syaiba saat mengetahui tentang Kanzu. 

Selama ini, tentang siapa Kanzu hanya diketahui oleh mereka berlima, Rahmat bertiga dengan Sinta dan Syaiba serta Amalia berdua dengan Ali, ayahnya.

"Sudahlah, Mas! Anggap semua sudah berakhir. Takdir ini yang harus kita jalani. Ingat, bukan aku istrinya mas Ghizra saat ini, melainkan Syaiba. Kumohon, jangan sakiti perasaannya." 

Amalia bangkit dari tempat duduk, meraih tas ransel di kursi sampingnya. Berjalan menghampiri Rahmat, mengambil tangan kanan kepada pria paruh baya yang bersedia mengangkat dirinya dan Kanzu sebagai anak itu.

"Papa enggak perlu khawatir, aku tidak mungkin menjadi duri dalam rumah tangga mereka. Pamit dulu, Pa ...."

Rahmat terdiam, saat Amalia mencium punggung tangannya.

"Hati-hati, maafkan Papa, Alia! Semoga kejadian ini, tidak merubah hubungan di antara keluarga kita."

"Tentu, setelah Ayah tiada. Hanya kalian yang Alia miliki," jawab Alia sembari menutup hidungnya untuk menyembunyikan isak tangis yang siap hadir.

Bergegas Amalia meninggalkan mereka berdua, mencari toilet untuk menuntaskan tangisnya. Setelah dirasa dadanya cukup lega, Amalia berjalan keluar menuju ke arah pintu keberangkatan pesawat. Rupanya Hadinda sudah menunggunya untuk masuk ke ruang pemeriksaan. Mereka akan kembali bertugas hingga bulan September mendatang.

***Rr***

"Tunggu!" 

Amalia menoleh, memutar tubuhnya. Seorang pria berlari mendekatinya. Setelah mengatur napas sejenak Ghizra meraih tangan kanan Amalia, menaruhkan amplop putih di atasnya. 

Mau tidak mau Amalia meminta izin pada Hadinda menepi berbicara dengan Ghizra. Amalia menarik pergelangan tangan kanan Ghizra dengan tangan kirinya mencari tempat, yang sekiranya lumayan sepi untuk berbicara berdua.

"Aku enggak tahu isi amplop ini apa. Maaf, kukembalikan karena aku tidak bisa menerimanya, Mas Ghizra."

"Di dalamnya sejumlah uang tunai dan ATM. Anggap saja, itu sebagaian nafkah Mas selama enam tahun ini. Maaf, untuk talak ... Mas belum bisa mengabulkannya. Selama Mas belum yakin, siapa pria yang akan menjagamu nanti."

"Mas!"

"Saat Mas menjabat tangan ayah Ali. Otomatis kamu menjadi tanggung jawab Mas, Alia."

"Aku tidak butuh ini. Semua kebutuhanku sudah terpenuhi." Amalia mengembalikan amplopnya.

"Mas hanya menjaga amanah ayah Ali. Gapailah cita-citamu dengan tenang serta berbahagialah. Jika ada pria baik yang ingin meminangmu. Pertemukan dia dengan Mas. Mas akan menjatuhkan talak untukmu, di depan pria yang tulus mencintaimu dengan segenap masa lalu kita, Alia."

"Mas!"

"Tangan Mas sendiri yang akan menyerahkan tanganmu padanya," ucap Ghizra sembari memindai wajah sendu istri pertamanya itu. "Selama kamu belum menemukan pria tersebut, kamu menjadi tanggung jawab Mas."

"Terus hubungan kita ini ...."

"Kau tetap istriku,"

"Astaga ...." 

Kembali Amalia menahan tangis dengan membuang muka. Ia menutup hidung dan mulutnya.

"Maaf, Mas tidak mempunyai kemampuan untuk memadu kalian berdua. Tapi, memilih diantara kalian. Mas juga tidak bisa untuk saat ini."

"Siapa yang nyuruh Mas memilih kami!" seru Amalia dengan jerit tertahan. "Sudah kubilang tinggal ucapkan talak padaku. Selesai urusan kita, tanpa menyakiti Syaiba, tentunya."

"Lalu, Mas hidup sebagai pria pengecut. Tidak bertanggung jawab atas dirimu. Begitu maumu, Alia?"

Amalia semakin tergugu dalam tangisnya ketika Ghizra mengguncang kedua bahunya. 

Bohong besar jika di hatinya tidak ada sosok Ghizra lagi. Namun, apabila mereka bersama, kebahagiaan Syaiba menjadi taruhannya. Kehadirannya hanya akan menjadi bom bagi kebahagiaan sahabatnya itu. Jika, ia mengiakan keinginan ayah dari Kanzu ini.

"Percayalah, saat ada pria baik yang mencintaimu dan kau juga mencintainya. Saat itu juga, hubungan kita berakhir. Mas hanya ingin menjagamu. Karena ketika talak sudah Mas jatuhkan. Kita sudah menjadi orang lain, Alia."

"Aku bisa mengurus diriku sendiri, Mas!"

"Mas, tahu. Tapi, maaf ini sudah menjadi keputusan Mas Ghizra untuk hubungan kita. Bawa ini, pinnya tanggal pernikahan kita."

Amalia bergeming, tidak menerima pemberian Ghizra  sama artinya pembicaraan ini tidak akan berakhir.

"Baiklah, terserah Mas Ghizra saja. Tapi, bagiku ... kita tidak ada hubungan lagi."

"Iya, tak apa. Setidaknya ringan langkahmu mengemban tugas negara." Ghizra mencoba bercanda. "Mas juga tenang sekarang, karena kita telah bertemu lagi."

"Baiklah, aku pergi sekarang."

Ketika Amalia berbalik, cepat Ghizra meraih bahunya, memutar kemudian memeluk erat seraya mencium pucak jilbabnya.

"Sampai bertemu lagi, Alia. Semoga kau sukses meraih cita-citamu."

Amalia berusaha melepaskan diri dari pelukan suaminya. Namun, bukannya malah merenggang. Ghizra semakin erat memeluknya.

"Mas, jangan lakukan hal ini lagi. Apalagi di tempat umum," bisik Amalia lirih mendongak menatap wajah suaminya.

Ghizra tersenyum mendengarnya, semakin dieratkan pelukan hingga ada suara wanita yang memanggil Amalia.

"Alia!"

Ghizra melepaskan pelukannya, Amalia cepat mengusap jejak air mata yang masih tersisa. Kemudian berbalik tersenyum menyongsong Hadinda.

"Berangkat dulu, Mas." 

Cepat Amalia meraih tangan kanan Ghizra mencium dengan takzim. Meraih kardus di sampingnya bergegas menghampiri Hadinda.

"Serius betul bicaranya, siapa sih?" 

"Saudara," jawab Amalia dengan enteng.

"Yang ini saudara, kemarin tetangga. Terus yang di pulau?" ledek Hadinda.

"Mana ada!"

Ghizra tetap mematung di tempatnya hingga Amalia dan Hadinda melewati pintu masuk untuk pengecekan tiket dan barang bawaan mereka. Setelah tidak dapat melihat sosok Amalia lagi, ia pun melangkah menuju area parkir bandara di mana mobil mertuanya berada.

Next ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   60. Menjaga Cinta

    Satria membiarkan Kanaya kembali berbaring santai setelah menandaskan tiga potong kue dan satu gelas jus jeruk. Ia menyalakan ponselnya lagi, memeriksa rentetan pesan masuk yang didominasi ancaman Kanzu dan deretan pertanyaan dari Daffa, berselang-seling dengan notifikasi panggilan tak terjawab dari Ghea.Satria berlalu ke ruang duduk, menatap layar ponselnya. Foto tangannya dan Kanaya, serta cincin kawin mereka berdua.Bunda Syaiba calling...Satria membiarkan panggilan itu berhenti berdering, lalu menyandarkan punggung dan mendongak menatap langit-langit artistik dengan cahaya lembut yang menenangkan. Ia tidak ingin membawa Kanaya kembali, namun terus memaksakan keadaan pun terasa menyakitkan.Satria memejamkan mata, menarik dan mengembuskan napas berulang kali hingga merasa siap menghadapi sisa permasalahan yang menunggunya nanti.Terdengar suara ponsel berdering kembali. Satria memeriksa, ternyata Fran yang menghubungi.“Halo...” sapa Satria pelan, menempelkan ponsel ke telinga ag

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   59. Dia Pintar

    “Mas Kanzu tahu kondisi Kanaya sekarang.”“Tapi kalau aku nyerah, pasti makin susah untuk bisa sama-sama seperti sebelumnya,” kata Satria. Ia tahu benar arah pembicaraan itu.“Makanya menyerahnya bukan sekadar menyerah,” ujar Ghea sambil menunduk. “Minta maaf, perbaiki, dan kalau perlu menangislah.”“Apa?” seru Daffa, kaget. “Bby, kamu tahu, Kanaya juga melakukan beberapa hal yang—”“Dia pintar, ingat? Mustahil dia enggak melakukan apa-apa sementara kamu selalu seenaknya,” potong Ghea santai. “Dia harus bisa bertahan di segala keadaan, makanya ngajak cerai itu ide paling tolol, Mas!”“Apa ingatannya udah pulih sepenuhnya?” tanya Satria.Ghea menggeleng. “Belum. Dokter bilang Kanaya kadang masih kewalahan dengan beberapa potongan dan kilas balik ingatan. Dia juga berkomitmen meminimalisasi penggunaan obat, jadi fokusnya sekarang cuma terapi dan relaksasi.”“Kalau ingatannya utuh, dia pasti tahu aku enggak serius sama rencana cerai itu.”Daffa menyipitkan mata. “Bukannya kalau ingatanny

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   58. Beri Kesempatan

    "Pak…” ucap Fran, menghentikan mobil di area lobi rumah sakit. “Pak Satria menunggu di Suite Room lantai delapan.” Kanzu menipiskan bibir dan melepas sabuk pengamannya. “Bapak sejak tadi memang tidak bertanya-tanya, namun saya sungguh bersaksi bahwa hingga siang tadi Ibu Kanaya masih sangat baik-baik saja bersama Pak Satria dan—” “Dan kenyataannya sekarang terjadi hal sebaliknya,” sela Kanzu sambil menyelipkan ponsel ke saku celana belakang dan keluar dari mobil. “Mas Kanzu!” panggil Ghea yang bergegas mendekat begitu Kanzu menuju lift. Daffa yang bersamanya segera membuntuti. “Kanaya?” tanya Kanzu. “Baik, stabil. Dia dirawat di Gedung Selatan,” jawab Ghea sambil menunjuk arah seberang, ke koridor besar menuju gedung perawatan. “Ayo, kita ke—” “Aku akan menemuinya setelah membereskan Satria,” potong Kanzu. Daffa menahan. “Situasi Satria juga enggak

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   57. Akan Aku Hadapi

    “Terima kasih sudah menelepon. Bunda akan siapkan keperluan tidurnya Saka. Kanaya juga sudah tidur?” “Iya, pulas sejak sejam lalu. Saya janji, Bund ... Kanaya akan baik-baik saja.” Bunda Syaiba mengangguk. Ia tidak bisa menutupi rasa sedih dan kecewanya, karena itu segera mematikan sambungan telepon. “Ayo, ambil Grimlock di kamar Papa Kanzu,” ajak Saka bersemangat. “Iya…” ucap Bunda Syaiba sambil menurunkan cucunya dari pangkuan dan membawanya keluar kamar, meski saat sampai di tangga ternyata Sus Neta sudah membawa barang-barang yang diperlukan. Saka tampak tenang kembali ke tempat tidur. Ia mengenakan kaus kaki, memeluk robot dinosaurusnya, dan diselimuti dengan quilt dari kamar Kanaya. Suara petir bersahutan beberapa kali, namun Saka tidak lagi menangis. Ia hanya mendekut semakin rapat di balik selimut bersama robot Grimlock. “Kenapa?” tanya Bu Syaiba saat cucunya terlihat membuka mata lagi. “Lampunya dimatiin,” jawab Saka sambil tersenyum. Saka udah bobok pakai selimu

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   56. Anakku

    "Kanaya!" seru Satria begitu sadar dari pingsannya. Daffa yang duduk di sisi kiri tempat tidur menghela napas pendek. "Dia baik-baik saja. Ghea bersamanya." "Aku mau—" Daffa dengan mudah menahan bahu Satria, membuatnya kembali rebah di tempat tidur. "Dokter obgyn mengonfirmasi kehamilannya, sekitar lima sampai enam minggu kalau dilihat dari hasil USG. Kantong kehamilan dan embrionya sudah terlihat. Jadi ...." "Anakku," lirih Satria. Daffa sempat diam, lalu mengangguk pelan. Sahabatnya tampak tenang menerima situasi. "Mama sudah menelepon. Ghea tidak banyak cerita. Kamu beruntung, dokter memutuskan Kanaya harus bedrest minimal seminggu." Satria mengangguk. Itu berarti istrinya harus beristirahat hingga pulih. "Ghea dan Kanaya sudah video call dengan Saka. Dia terus bertanya kenapa kalian belum pulang. Untungnya, hujan deras. Jadi, bisa dibuat alasan. Mas Kanzu juga baru bisa berangkat besok, sepertinya." Satria menggeleng. "Kalau tidak bisa naik pesawat, dia akan n

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   55. Gila dan Bodoh

    RS Premier Surabaya Ghea dan Daffa sama-sama butuh tempat untuk duduk sekaligus menenangkan diri. Dua jam lalu, begitu mobil mereka tiba, Satria justru sedang membopong Kanaya keluar dari rumah, langsung masuk ke kursi belakang, meneriakkan perintah untuk pergi ke rumah sakit. Ghea langsung bertanya apa yang terjadi, namun Satria menyuruhnya diam dan sibuk menghubungi Sus Neta agar segera membawa Saka ke rumah mereka.. “Apa pun yang terjadi, Saka harus kembali padaku, mengerti?” Ghea agak bergidik mendengar seruan itu, ditambah Satria yang kemudian sibuk menghubungi dr. Jihan meminta rekomendasi dokter di Surabaya untuk menangani keadaan Kanaya. Dan di sinilah mereka sekarang, salah satu rumah sakit terbaik di kota Pahlawan. Kanaya menjalani pemeriksaan awal di IGD dan dipindahkan ke Presidential Room setelah dipastikan kondisinya stabil. Kini hanya tinggal menunggu waktu hingga ia sadar. “Kamu aja dulu, Sayang ... yang ajak ngomong,” ucap Daffa karena ponselnya mulai berdering-d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status