LOGIN"Maksudmu, kamu menginginkan keduanya sebagai istrimu. Jangan serakah Ghizra!" bentak Rahmat tidak terima.
'Apakah, anda sedang akting bapak mertua, kenapa dibahas ini dengan Alia' Ghizra menyeringai mendengar mertuanya emosi dengan ucapannya barusan. "Papa sendiri 'kan, yang menginginkan saya beristri dua. Harusnya waktu tahu lembaran catatan nikah kami. Papa bisa mencegah saya menikahi Syaiba," balasan Ghizra membuat Amalia terkejut. Rahmat pun tidak menyangka dengan ucapan menantunya itu. Ditatapnya tajam Ghizra penuh amarah. "Maksudnya ini, bagaimana Papa?" tanya Amalia ragu akan dugaan di pikirannya. "Sebulan sebelum kami menikah, Papa tahu bahwa Mas adalah suamimu. Mas diminta menyembunyikan semua ini dari Syaiba. Bahkan, saat pertama kalinya Papa mengatakan bahwa Syaiba menyukai Mas Ghizra. Mas mengatakan dengan jujur bahwa Mas adalah pria beristri." Amalia terhenyak tak percaya dengan kejujuran Ghizra. Rahmat memandang kedua orang di depannya silih berganti. "Cukup, Ghizra! Perlu kamu ingat, papa tidak pernah memaksamu menikahi Syaiba. Kau datang sendiri, untuk mengenal pribadi Syaiba. Setelah bertemu kalian sepakat untuk menikah." Rahmat mengalihkan pandangan ke Amalia, "Alia ... benar, papa membaca lembaran nikah kalian. Waktu itu, tanggal pernikahan Ghizra dan Syaiba sudah ditetapkan. Papa tidak mau hati Syaiba hancur. Karena tahu calon suaminya adalah suami saudaranya." Amalia terdiam, suasana menjadi hening hingga pesanan minuman mereka datang. "Maaf, semua memang salah saya. Harusnya, saat lebaran kemarin, Mas langsung menghampirimu Alia. Bukan malah pergi dengan prasangka kamu sudah menikah dan hidup bahagia dengan Hilmy." Ghizra berlahan menghembuskan napas beratnya seraya menatap Amalia yang duduk di depannya. "Saya melihat Alia menggendong bayi bersama dokter Hilmy." Rahmat memperhatikan gurat penyesalan di wajah Ghizra, bukan tidak mungkin menantunya itu lebih memilih Amalia daripada Syaiba saat mengetahui tentang Kanzu. Selama ini, tentang siapa Kanzu hanya diketahui oleh mereka berlima, Rahmat bertiga dengan Sinta dan Syaiba serta Amalia berdua dengan Ali, ayahnya. "Sudahlah, Mas! Anggap semua sudah berakhir. Takdir ini yang harus kita jalani. Ingat, bukan aku istrinya mas Ghizra saat ini, melainkan Syaiba. Kumohon, jangan sakiti perasaannya." Amalia bangkit dari tempat duduk, meraih tas ransel di kursi sampingnya. Berjalan menghampiri Rahmat, mengambil tangan kanan kepada pria paruh baya yang bersedia mengangkat dirinya dan Kanzu sebagai anak itu. "Papa enggak perlu khawatir, aku tidak mungkin menjadi duri dalam rumah tangga mereka. Pamit dulu, Pa ...." Rahmat terdiam, saat Amalia mencium punggung tangannya. "Hati-hati, maafkan Papa, Alia! Semoga kejadian ini, tidak merubah hubungan di antara keluarga kita." "Tentu, setelah Ayah tiada. Hanya kalian yang Alia miliki," jawab Alia sembari menutup hidungnya untuk menyembunyikan isak tangis yang siap hadir. Bergegas Amalia meninggalkan mereka berdua, mencari toilet untuk menuntaskan tangisnya. Setelah dirasa dadanya cukup lega, Amalia berjalan keluar menuju ke arah pintu keberangkatan pesawat. Rupanya Hadinda sudah menunggunya untuk masuk ke ruang pemeriksaan. Mereka akan kembali bertugas hingga bulan September mendatang. ***Rr*** "Tunggu!" Amalia menoleh, memutar tubuhnya. Seorang pria berlari mendekatinya. Setelah mengatur napas sejenak Ghizra meraih tangan kanan Amalia, menaruhkan amplop putih di atasnya. Mau tidak mau Amalia meminta izin pada Hadinda menepi berbicara dengan Ghizra. Amalia menarik pergelangan tangan kanan Ghizra dengan tangan kirinya mencari tempat, yang sekiranya lumayan sepi untuk berbicara berdua. "Aku enggak tahu isi amplop ini apa. Maaf, kukembalikan karena aku tidak bisa menerimanya, Mas Ghizra." "Di dalamnya sejumlah uang tunai dan ATM. Anggap saja, itu sebagaian nafkah Mas selama enam tahun ini. Maaf, untuk talak ... Mas belum bisa mengabulkannya. Selama Mas belum yakin, siapa pria yang akan menjagamu nanti." "Mas!" "Saat Mas menjabat tangan ayah Ali. Otomatis kamu menjadi tanggung jawab Mas, Alia." "Aku tidak butuh ini. Semua kebutuhanku sudah terpenuhi." Amalia mengembalikan amplopnya. "Mas hanya menjaga amanah ayah Ali. Gapailah cita-citamu dengan tenang serta berbahagialah. Jika ada pria baik yang ingin meminangmu. Pertemukan dia dengan Mas. Mas akan menjatuhkan talak untukmu, di depan pria yang tulus mencintaimu dengan segenap masa lalu kita, Alia." "Mas!" "Tangan Mas sendiri yang akan menyerahkan tanganmu padanya," ucap Ghizra sembari memindai wajah sendu istri pertamanya itu. "Selama kamu belum menemukan pria tersebut, kamu menjadi tanggung jawab Mas." "Terus hubungan kita ini ...." "Kau tetap istriku," "Astaga ...." Kembali Amalia menahan tangis dengan membuang muka. Ia menutup hidung dan mulutnya. "Maaf, Mas tidak mempunyai kemampuan untuk memadu kalian berdua. Tapi, memilih diantara kalian. Mas juga tidak bisa untuk saat ini." "Siapa yang nyuruh Mas memilih kami!" seru Amalia dengan jerit tertahan. "Sudah kubilang tinggal ucapkan talak padaku. Selesai urusan kita, tanpa menyakiti Syaiba, tentunya." "Lalu, Mas hidup sebagai pria pengecut. Tidak bertanggung jawab atas dirimu. Begitu maumu, Alia?" Amalia semakin tergugu dalam tangisnya ketika Ghizra mengguncang kedua bahunya. Bohong besar jika di hatinya tidak ada sosok Ghizra lagi. Namun, apabila mereka bersama, kebahagiaan Syaiba menjadi taruhannya. Kehadirannya hanya akan menjadi bom bagi kebahagiaan sahabatnya itu. Jika, ia mengiakan keinginan ayah dari Kanzu ini. "Percayalah, saat ada pria baik yang mencintaimu dan kau juga mencintainya. Saat itu juga, hubungan kita berakhir. Mas hanya ingin menjagamu. Karena ketika talak sudah Mas jatuhkan. Kita sudah menjadi orang lain, Alia." "Aku bisa mengurus diriku sendiri, Mas!" "Mas, tahu. Tapi, maaf ini sudah menjadi keputusan Mas Ghizra untuk hubungan kita. Bawa ini, pinnya tanggal pernikahan kita." Amalia bergeming, tidak menerima pemberian Ghizra sama artinya pembicaraan ini tidak akan berakhir. "Baiklah, terserah Mas Ghizra saja. Tapi, bagiku ... kita tidak ada hubungan lagi." "Iya, tak apa. Setidaknya ringan langkahmu mengemban tugas negara." Ghizra mencoba bercanda. "Mas juga tenang sekarang, karena kita telah bertemu lagi." "Baiklah, aku pergi sekarang." Ketika Amalia berbalik, cepat Ghizra meraih bahunya, memutar kemudian memeluk erat seraya mencium pucak jilbabnya. "Sampai bertemu lagi, Alia. Semoga kau sukses meraih cita-citamu." Amalia berusaha melepaskan diri dari pelukan suaminya. Namun, bukannya malah merenggang. Ghizra semakin erat memeluknya. "Mas, jangan lakukan hal ini lagi. Apalagi di tempat umum," bisik Amalia lirih mendongak menatap wajah suaminya. Ghizra tersenyum mendengarnya, semakin dieratkan pelukan hingga ada suara wanita yang memanggil Amalia. "Alia!" Ghizra melepaskan pelukannya, Amalia cepat mengusap jejak air mata yang masih tersisa. Kemudian berbalik tersenyum menyongsong Hadinda. "Berangkat dulu, Mas." Cepat Amalia meraih tangan kanan Ghizra mencium dengan takzim. Meraih kardus di sampingnya bergegas menghampiri Hadinda. "Serius betul bicaranya, siapa sih?" "Saudara," jawab Amalia dengan enteng. "Yang ini saudara, kemarin tetangga. Terus yang di pulau?" ledek Hadinda. "Mana ada!" Ghizra tetap mematung di tempatnya hingga Amalia dan Hadinda melewati pintu masuk untuk pengecekan tiket dan barang bawaan mereka. Setelah tidak dapat melihat sosok Amalia lagi, ia pun melangkah menuju area parkir bandara di mana mobil mertuanya berada. Next ....Saka memperhatikan gambar-gambar bayi di sekitar ruangan, juga ibu-ibu hamil yang tampak berlalu-lalang. Hal itu membuatnya penasaran hingga ia bertanya pada sang ayah yang memangkunya. “Papa, kenapa ada gambar adik bayi banyak? Ibu-ibu hamilnya juga?” “Karena ini namanya bagian obgyn, tempat khusus dokter memeriksa ibu-ibu hamil,” jawab Satria, lalu tersenyum ketika melihat anaknya mengerjapkan mata—jelas mulai tersadar. Kanaya kemudian meraih tangan Saka, menempelkan telapak hangat itu ke perutnya. “Tadinya Papa dan Mama mau memberi tahu pas ulang tahun Saka yang ke-7. Tapi Saka selama ini jadi anak baik, enggak banyak nangis walaupun Papa sering kerja lama, sudah begitu pintar belajarnya … jadi hadiahnya Mama dan Papa kasih lebih cepat.” Satria tersenyum, lalu menunduk untuk berbisik, “Ini hadiahnya hebat banget, lho.” Saka menyimak, kemudian memperhatikan tangannya yang menempel di perut sang ib
"Mama ngapain?” tanya Kanaya setelah mandi dan mendapati bundanya antusias di depan lemari, mengeluarkan setelan pakaian formal. “Fran keluarkan mobilnya kakek. Satria mau pakai dan katanya sudah izin untuk antar kamu periksa.” Kanaya mengerjap. “Serius? Kakek izinkan?” “Iya. Semalam dia minta izin waktu mereka nonton bareng. Mbak Heni jam sebelas masih bangun, lalu keluarkan almond panggang sama bikinin teh hangat ... paginya bersih, enggak ada sisa di bak cuci.” Bu Syaiba mendekat. “Satria juga sudah kasih resume e-jurnal ke Kakek. Lima lembar dan semuanya tulisan tangan. Lumayan bisa dibaca, enggak berantakan.” “Masak sih, Mas Satria bisa begitu?” Kanaya sulit percaya. Bu Syaiba terkekeh. “Ya, nyatanya dia bisa melakukan itu, Nay ... Suamimu, menantu lelaki satu-satunya Bunda, papanya Sangsaka.” Kanaya berusaha tidak terlalu tersenyum. Ini jelas kemajuan. “Terus Mama kenapa keluarkan baju formal?” “Kamu enggak mau tampil cantik lagi?” “Mau ... tapi jangan yang fo
YAYA’S TEAM> GHEA “Gimana, ? Berhasil?” >DAFFA “Enggak ada foto pamer. Berarti gagal.” “Ckckckk, sudah diduga emang.”> GHEA “Siapa tahu lupa ngasih kabar karena keburu asyik ☺.” >DAFFA “Asyik dicuekin maksudnya? Wkwkwk!” >GHEA “Jangan jahat gitu! Kita, kan sudah janji bantuin Kaka.”>DAFFA “Ya kita bantu, tapi Yaya ini mentalnya belum sanggup. Enggak bisa strategi tarik-ulur, dia maunya langsung ikat-ikat merapat.”>GHEA “Ikat-ikat? Ih, bikin kangen. Udah lama kita enggak ☺.”>DAFFA “Yuk, Bby ☺.” “Cari kata aman dulu.”>DAFFA (Sticker acak)>Satria Mandala “KAMU MAU KU IKAT LEHERNYA BEGITU PULANG YA, FA!!!”>Satria Mandala “KAMPRET!!!” Satria mengirimkan lebih banyak emoji jari tengah ke chat pribadi Daffa, diikuti puluhan voice note makian yang tidak layak dengar. Daffa membalas satu menit kemudian. >DAFFA “Udah jelas gagal kamu ya. Ckckck.” Sialan! Satria memaki dalam hati, lalu beralih ke kontak Kanaya. Tadi ia menitipkan ponsel istrinya ke Mbak Heni dan me
"Ya ampun, pulas banget itu,” sapa Bu Syaiba saat Satria turun dari mobil dengan menggendong Saka.Jam segini, memang jam tidur siangnya Saka. Ditambah efek rindu karena sepuluh hari terpisah, Saka bahkan tidak mau duduk sendiri, ia langsung memeluk erat bahu kemeja Satria. “Belum lima menit jalan udah tidur,” jelas Kanaya sambil keluar mobil. “Yang ini udah minta makan lagi.” Ia mengelus perutnya. Bu Syaiba tertawa kecil dan memeluk Satria. “Sehat, Satria?” “Iya, Ma.” “Ayo masuk. Mama baru selesai goreng Chicken Kiev.” Satria masuk dan menoleh ke ruang tamu yang sepi. “Kakek sama Fran enggak di rumah, Ma?” “Kakek terapi lanjutan ditemani Fran. Malam pulang," jawab Bu Syaiba. “Eh, Saka mau dicoba dibaringkan dulu?” tanya Bu Syaiba. “Dia pegangan Ma. Tidurnya,” jawab Kanaya. “Kalau dilepas, rewel.” “Satria belum makan, Nay.” Satria tersenyum. “Kanaya bisa suapin aku, Ma.” “Idih. Orang anaknya dipangku bisa. Tangannya ada dua, juga!” balas Kanaya, matanya melirik tajam
“Semua baik-baik saja, Ma … aku pamit langsung tengok mereka,” ujar Satria memberi tahu. Bu Laras kembali memeluknya. “Apa pun yang terjadi, kamu masih punya Mama, Ya ....” “Iya,” jawab Satria sambil membalas pelukan itu beberapa detik. Ghea ikut-ikutan memeluk, membuat Satria tertawa ketika Daffa sudah benar-benar dekat. “Kamu mau ikut peluk juga, Fa?” tawarnya. “Aku normal, cukup peluk adik kamu aja. Sini, Bby,” kata Daffa sambil merentang tangan, dan Ghea benar-benar langsung berpindah memeluknya. “Pamer terus!” Ghea terkekeh, menggeleng sembari bernyanyi, “Jangan iri … jangan iri … jangan iri dengki.” Satria memaki dalam hati. Sialan! Namun ia memutuskan fokus. Waktunya tidak banyak karena ia harus segera ke rumah keluarga Santosa. “Ck! Cepetan, Fa! Mana kopernya?” “Ish, santai napa ... sebenarnya enak barengan kita naik pesawatnya, berangkat sore, kan syahdu. Siapa tahu, langsung bisa ajak Kanaya ke rumah kalian untuk bermalam," canda Daffa, meski ia tetap mendek
Kanaya menyipitkan mata karena foto terbaru yang dikirim suaminya lewat email. Ada Fran berdiri di belakang Kakeknya, keduanya tersenyum di samping tong pembakaran yang jelas dipenuhi abu. >satriamandala Selamat pagi dari kami. Gantian PAP dong. Kangen muka bangun tidurnya istriku :) “Dih,” sebut Kanaya. “Kenapa, Bu?” tanya Fran. Kakek Rahmat yang sedang mengaduk susu untuk Saka ikut melirik. “Papanya Saka kirim foto,” kata Kanaya sambil menunjukkan layar tablet. “Oh, masih pagi juga,” ucap Fran tersenyum. “‘PAP’ itu apa, Nak?” tanya Kakek Rahmat setelah membaca sekilas. “Post a picture, kirim foto,” jawab Fran sambil mencondongkan tubuh ke layar cucu majikannya. “Ciyeee… ‘kangen muka bangun tidur istriku’.” “Cheesy banget, kan?” ucap Kanaya sa







