"Semoga mereka berjodoh ya, Ma," celutuk Syaiba mengundang tanda tanya Ghizra.
"Jadi, mereka belum menikah?" tanya Ghizra nampak terkejut. Syaiba memandang suaminya dengan tatapan aneh. "Jadi, mereka belum menikah?" Syaiba mengulang pertanyaan suaminya. "Iya, mereka?" "Mas, kenal Alia dan mas Hilmy?" Syaiba penuh selidik memandang Ghizra. Ghizra seperti tersadar, saat menikahi Syaiba ia tidak memberitahu tentang Amalia. "Ayo, Sholih, kita berangkat!" ajak Ghizra meraih tangan kanan Kanzu yang berdiri di antara Mbok Amin dan mertuanya. Sengaja ia melakukan itu, untuk mengalihkan pertanyaan istrinya. "Mas Ghizra berhutang penjelasan padaku," ucap Syaiba seraya meraih tangan Ghizra untuk diciumnya. Ghizra tersenyum tipis, mendekatkan kepala istrinya untuk dikecup keningnya. Saat ini lebih baik segera mengantar Kanzu ke sekolah, kemudian langsung menuju ke kantornya. 🌻🌻🌻 "Mas Hilmy tahu darimana, saya ada di rumah dan mau pergi pagi ini?" tanya Amalia saat Hilmy telah duduk di belakang kemudi. "Ada deh, yang jelas mereka ingin melihat kita bersatu," balas Hilmy menatap Amalia khas dengan senyum tampannya. "Bersatu," gumam Amalia tetiba salah tingkah dengan kedua pipi merona. Amalia mengalihkan pandangannya keluar seraya menggelengkan kepala, teringat Hilmy berkali-kali menyatakan perasaannya. Namun, ia tidak pernah menanggapinya. Bagi Amalia, sosok Hilmy adalah kakak sekaligus sahabat baginya. "Sulit sekali memenangkan hatimu ya, Alia ... padahal selama yang kutahu, hanya daku yang berani bertamu ke rumah keluarga Santosa. Warga baru yang sangat eksklusif karena langsung menempati rumah di jalur utama dan deretan hunian mewah." Keluarga Santosa memang menempati komplek perumahan dekat bandara itu, saat dirinya dan Syaiba menginjak semester lima. Itu artinya, mereka bertetangga hampir tiga tahun. Pertemuan mereka waktu itu, terjadi tanpa sengaja. Hilmy mengantar neneknya saat diundang tasyakuran rumah baru Syaiba. "Berarti keluarga mas Hilmy juga eksklusif dong, 'kan tetanggaan kita." "Nah, itu! Tetangga masak gitu sih, diajak hidup berumah tangga enggak pernah memberikan jawaban yang memuaskan." Amalia langsung tergelak dengan candaan Hilmy, yang sangat humoris tapi masih sopan. Karena tahu batasan saat mereka bersama. Amalia menanggapi dengan cebikan. "Mas Hilmy itu ganteng, keluarga berada, dokter lagi. Pasti banyak yang mau jadi istri mas Hilmy." "Lha, buktinya aku tembak kamu berkali-kali enggak terima juga. Ciuu ...." Hilmy mengedipkan mata seraya mengarahkan tangan yang membentuk pistol ke arah Amalia. Amalia terdiam. Jujur ada kenyamanan dirinya saat bersama Hilmy. Tapi, akalnya selalu menampik perasaan itu. Karena sampai saat ini, dirinya masih terikat janji suci sebuah pernikahan. Terlepas menyaksikan kenyataan yang dihadapinya. Ghizra sekarang tak lagi sendiri. Hati Amalia perih tak terhingga, kesetiaannya dibalas pengkhianatan. Dan itupun dengan sahabatnya sendiri. "Kita ke rumah mbak Hasna ambil Ayesha, dia mau ikut tadi." Hilmy membuka obrolan kembali saat tercipta hening sekian menit tadi. "Eh, serius ini. Mas Hilmy mau antar aku ke Pacitan?" tanya Amalia tak percaya, dia tadi berfikir ditebengi Hilmy hingga terminal Bungurasih sekalian ia jalan ke RS.Aisyiyah. "Enggaklah, enggak salah lagi maksudnya." "Waduuh, janganlah Mas ... aku kira tadi ditebengi sampai Bungurasih saja." "Waduh. Bisa berbuntut panjang ini ... kalau Ayesha kalau enggak jadi lihat pantai." "Yaa ampun ...." Amalia hanya bisa menaruh telapak tangan ke dahinya seraya menggelengkan kepalanya lagi. "Bilangnya, enggak boleh berdua-duaan. Takutnya nanti yang ketiga setan, ya udahlah semalam mas Hilmy telpon mbak Hasna. Minta izin untuk ajakin Ayesha jalan-jalan mumpung libur juga sekolahnya, 'kan." "Waduh, apa sudah tanggapan mbak Hasna nanti," gumam Amalia tak enak hati. "Santai saja, dia 'kan dah anggap adik dirimu, Alia. Calon adik ipar, maksudnya," canda Hilmy sembari melirik ke arah dua kaca spion karena membelokkan mobil menuju gerbang masuk perumahan Jayabaya. Kediaman kakak perempuannya. 🌻🌻🌻🌻 "Dah, siap Ayesha?" tanya Hilmy begitu menginjakan kaki di teras rumah Hasna. "Siyaplah, Om Hilmy. Mama, Ayesha berangkat dulu, ya!" teriak Ayesha. Dari dalam nampak Hasna mengendong Adnan di tangan kiri, tangan kanan membawa box susun. "Ini ada kue, sambel goreng kentang dan ayam kalasan." Hasna memberikan box kepada Hilmy, kemudian Alia menyapa dengan mencium tangan kakak Hilmy itu. "Nah, 'kan ... beneran jadi repotin mbak Hasna," ucap Amalia melirik box dari Hasna. "Mbak Hasna ini, kayak enggak ada warung saja, masak dibawain lauk segala. Kue sih okelah, ya," ucap Hilmy menggelengkan kepalanya. Teringat lebaran tahun lalu, saat kakaknya itu nebeng ikut sekalian ke rumah mertuanya di Madiun. Dia yang paling sibuk isi bagasi mobilnya, maka dari itu saat Hasna meminta untuk mengantar Amalia dulu melihat makam ayahnya. Setelahnya, baru mereka istirahat di rumah mertuanya di Madiun. Suami Hasna akan berangkat di malam takbiran dengan naik bus supaya hari pertama lebaran bisa sungkeman dengan kedua orang tuanya. Nanti Hasna akan menyusul diantar Hilmy atau cater mobil. "Hai, Adnan sholih," sapa Amalia merunduk kemudian mencium pipi gempil bayi yang berusia sepuluh bulan itu. "Eh, ketawa lho dianya. Dasar! tahu aja, dicium cewek cakep," ledek Hilmy mentoel gemes hidung lancip keponakannya. "Sudah-sudah, berangkat sana! Panjang perjalanan soalnya. Oh, iya ... buah-buahan yang mama kupasin tadi dah dimasukkan ke tas 'kan, Kak?" tanya Hasna pada putrinya yang berdiri di samping Hilmy. "Iya, Mamaku yang cantik. Udah, yuk Om. Kita berangkat sekarang saja," ucap Ayesha menarik lengan Hilmy. "Iya-ya, kita berangkat dulu ya, Mbak," "Makasih banyak Mbak Hasna. Maaf selalu merepotkan," ucap Amalia enggak enak hati. "Walah enggak papa. Gosah sungkan gitu, Alia. Kamu sudah mbak anggap kayak adik sendiri. Wajar 'kan, sedikit repot bikin bekal buat kalian. Lagian ada Ayesha ikut kalian. Sudah berangkat sana, hati-hati di jalan," Hasna mengusap bahu Amalia dengan senyum tulusnya, kemudian menepuk bahu adik semata wayangnya. "Itu jalanan ke Pacitan berkelok-kelok hati-hati nyetirnya. Istirahat dulu kalau capek nyetirnya. Ingat, bawa dua anak gadis orang ini," nasehat Hasna, Amalia tersenyum mendengarnya. "Oke, siap Bu dosen! kita berangkat dulu," pamit Hilmy meraih tangan kanan Hasna untuk diciumnya. "Iya, hati-hati." Hasna mengantar ketiganya masuk mobil kemudian menuju kembali pintu gerbang rumahnya saat mobil Hilmy sudah keluar dari gerbang perumahan. 🌻🌻🌻🌻 Menjelang siang di kediaman Santosa. Nampak Sinta menyambut kedatangan Rahmat suaminya di teras rumah mereka. Rahmat turun dari taksi bandara, bergegas memasuki pagar rumahnya mendatangi Sinta. "Apa Ghizra sudah bertemu Amalia?" Bukannya salam yang terucap malah pertanyaan yang diberikan pada istrinya. "Papa ini, bukannya salam malah kasih pertanyaan aneh. Ya, jelas mereka sudah bertemulah ... orang Alia datangnya kemarin," jawab Sinta meraih tangan kanan suaminya untuk dicium. Rahmat menghela napasnya, hal yang dikhawatirkan akhirnya terjadi. Ghizra berjumpa kembali dengan Amalia, putri sahabatnya sekaligus wanita yang dicari Ghizra selama ini.Pembelian rumah telah disahkan oleh pihak notaris. Mengenai pembayaran, saat Kakek Rahmat hendak membayar untuk mereka. Kanzu menolak secara halus."Rumah yang kami tempati ini, biarlah menjadi tanggungjawab saya sebagai kelapa rumah tangga, Kek. Bukankah, sudah menjadi kewajiban saya menyediakan sandang, pangan dan papan untuk mereka.""Kakek bangga padamu, Kanzu. Seperti inilah, ayahmu dulu. Sangat bertanggungjawab dengan keluarganya. Kakek tenang, Saka dalam pengasuhan kalian berdua. Semua Kanaya mendapatkan jodoh sebaik kamu dan ayahnya," ungkap Kakek Rahmat dengan mata berkaca."Andai dia mengatakan siapa pria yang bertanggungjawab atas kelahiran Saka. Kakek ingin menemui pria itu, jika memang mereka dulu melakukan atas dasar suka. Kakek ingin mereka berdua menikah."Pasti kamu tahu, beban mental yang ditanggung olehnya bila dinikahi selain pria itu. Orang melihat dia sebagai gadis baik, dari keluarga baik. Tetapi, tidak bisa menjaga kehormat
Peristiwa penculikan Wafa, sengaja tidak dibahas lebih lanjut. Bahkan saat Bu Syaiba dan Kakek Rahmat mampir berkunjung ketika kembali dari Swiss di hari Ahad, mereka tidak diberitahu mengenai musibah yang menimpa Wafa.Walaupun Bu Ambar pada akhirnya tahu oleh Pak Basir, ayah Mahesa sendiri. Karena penyelidikan yang dilakukan oleh pihak berwajib pada kasus kriminal yang dilakukan anak bungsunya itu. Kakek Rahmat dan Bu Syaiba sengaja singgah ke apartemen Kanzu untuk melihat Saka. Melihat sang cucunya gembira tinggal bersama orang tuanya membuat hati Bu Syaiba tenang."Saka sepertinya nyaman tinggal bersama kalian. Bunda titip dia, ya ... di sini dia mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orangtuanya. Walaupun kalian berdua bukan orangtua kandungnya," ungkap Bu Syaiba dengan wajah sendunya."Bunda jangan berbicara seperti itu, nyatanya antara saya dan Saka masih terhubung pertalian darah yang sama. Darah Ayah Ghizra. Dan sudah menjadi kewajiban
Kanzu menatap wajah Mahesa dan Ibam yang telah dibuatnya babak belur. Bahkan ia larang Leo dan Satria turut menghajar dua pria di hadapannya itu."Ini pertama dan terakhir kali, kau menyentuh keluargaku, Mahesa." Kembali Kanzu melayangkan pukulan ke wajah Mahesa. "Leo, bawa kemari koper itu," pinta Kanzu pada Leo yang di sebelahnya teronggok tas berisi uang yang berhasil dirampasnya dari kawan preman tadi.Kanzu membuka retsleting koper, lantas tangannya mencakup penuh gepokan uang ratusan ribu dari dalam koper itu."Hanya karena ini, kamu tega berlaku keji pada saudaramu, Mahesa." Kanzu melempar gepokan uang ke arah Mahesa. Mungkin ada sepuluh gepok yang ia lempar ke tubuh pria itu."Polisi sebentar lagi tiba, Kanzu. Kamu segera jemput Wafa saja. Kita yang akan urus mereka di sini," ujar Leo mencoba menenangkan sahabatnya."Iya, tolong urus mereka untukku, Leo. Satria terima kasih, sudah membantuku."Satria menganggukk
Setibanya di stasiun Kanzu segera menemui Ibam. Tidak nampak Mahesa ikut serta. Apakah tebakkannya salah. Karena kalau hanya berdasarkan nomer Mahesa tidak bisa dijadikan bukti yang kuat.Sekarang ini, nomer mati karena tak lama kita isi pulsa. Lantas kita memilih membeli nomer baru. Nomer mati milik kita dulu, akan diterbitkan lagi menjadi kartu baru. Bukankah kemungkinan akan dibeli orang lain dan akan digunakan."Mana istriku?" tanya Kanzu melempar tas berisi uang dua milyar ke arah Ibam."Dia sudah kami bebaskan. Sebentar lagi, pasti sudah sampai rumah.""Jangan bercanda! Kalian sudah mendapatkan uangnya. Kenapa istriku tidak ada di sini?" tanya Kanzu geram.Ibam menyeringai, diambilnya tas yang dilempar Kanzu lalu membukanya. Nampak tumpukan uang merah berbendel di dalamnya. "Kita bukan orang bodoh, Bro. Kalau kami membawa istrimu, dan kamu menyerahkan uang ini. Bisa menjadi bukti, bila tertangkap tangan sebagai kasus pemerasan.
Kanzu memperhatikan jam di dinding kantin dengan cemas, di depannya duduk Leo dan Satria. "Uang sudah siap, kenapa dia tidak menghubungi kita lagi," ucap Kanzu gelisah.Masalah uang senilai dua milyar tadi langsung diselesaikan oleh Pak Faiz dan Ryan. Kanzu tinggal mengganti setelah Wafa kembali ke pelukannya dengan selamat."Tenanglah, Kanzu. Aku yakin, mereka tidak mungkin berani menyakiti Wafa," ujar Leo menenangkan sahabatnya. Satria yang duduk di samping Leo, memperhatikan ponsel milik Wafa. Ia pun sudah menghubungi Kirana. Satria meminta tolong pada wanita itu, melacak keberadaan preman yang menyekap Wafa."Tidak ada jejak sama sekali. Apakah kita hanya bisa menunggu telepon dari penculik saja," ujar Kanzu geram seraya memukulkan tinju pada pahanya."Kenapa aku berpikir yang melakukan ini, bukan orang asing. Tetapi, yang sudah mengenal Wafa. Bukankah, tas Wafa diletakkan di teras samping tadi. Pastilah dia tahu, Wafa bers
Derap langkah dari beberapa kaki yang menapaki lantai kayu tua semakin lama semakin mendekat. Suara langkah-langkah itu berat, berirama, seolah mengisyaratkan keberadaan lebih dari satu orang. Jantung Wafa berdetak tak karuan. Ia hanya bisa menebak-nebak, sebab matanya tertutup kain yang diikat sangat rapat, dan mulutnya dibungkam dengan lakban. Rasa takut dan cemas merayap di seluruh tubuhnya. Ia tahu dirinya berada di sebuah ruangan gelap dan pengap. Bau apek, debu, dan lembap menekan indra penciumannya. Wafa duduk di lantai dingin, dengan kaki dan tangan diikat jadi satu. Ikatan tali itu terasa sangat kencang, membuat pergelangan tangan dan kakinya kebas. Sejak sadar, ia sudah berusaha sekuat tenaga melepaskan tali yang mengikat kedua tangannya. Gesekan tali pada kulitnya membuat tangannya lecet dan perih, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya ia menyerah karena rasa dahaga dan lapar yang amat sangat. Tidak ada yang memberinya makan dan minum. Ia harus menjaga diri agar