Share

2. Pria yang Dinantikan

Penulis: Rumi Cr
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-26 13:00:16

"Ghizra," sapa Ghizra seolah tidak mengenal Amalia.

"Alia," balas Amalia sembari menggigit keras bibir bawahnya, menahan diri supaya air matanya tidak keluar.

"Maaf, ak-aku balik ke kamar dulu, ya." Amalia menepuk bahu Syaiba bergegas meninggalkan mereka bertiga.

"Kakak Alia, kenapa ya, Bunda?" tanya Kanzu.

"Mungkin, kakak masih capek Kanzu," jawab Syaiba memberi pengertian pada putra Amalia itu. Ia mendekati Ghizra meraih tangan kanan untuk dicium dan seperti biasa ia mendapat balasan kecupan di keningnya.

**Rr**

"Yaa Allah ... takdir apa lagi ini, yang harus kujalani," gumam Amalia.

Amalia mengunci pintu kamar, luruh bersimpuh di balik pintu, menangis tersedu dalam kepedihan. Harapan selama ini, pupus sudah. Bahkan, secara sengaja Ghizra seolah tidak mengenalnya.

Enam tahun lalu.

Amalia Uzhma diminta Ayahnya untuk menerima lamaran Ghizra Arsyad di usianya yang baru 17th, di saat dia akan menempuh UAN tepatnya di bulan Maret. Ali sangat mempercayai Ghizra sebagai sosok yang baik dan bertanggung jawab pada putri semata wayangnya. Sehingga saat datang melamar, Ghizra diminta sekalian untuk menikahi Amalia.

"Nak Ghizra lelaki yang baik, Nduk. Sebentar lagi dia lulus kuliah. Ayah lihat, selama tinggal di rumah depan, semasa PPL kemarin enggak pernah absen salat jamaah di masjid kita. Kadang ikut bantu Ayah, ngajar ngaji ibu-ibu yasinan."

"Alia masih mau kuliah, Yah. Bukankah Ayah ingin Alia jadi guru? Kalau menikah, enggak yakin Alia diizinkan kuliah nantinya," tolak Amalia.

"Ayah sudah menyampaikan semuanya dengan Nak Ghizra. Dia malah mendukungmu melanjutkan pendidikan. Ayah juga tenang, setidaknya di Surabaya ada yang menjagamu. Nanti Ayah upayakan sering menjengukmu, Nduk. Biaya kuliah juga tetap dari Ayah." Penjelasan Ali yang meyakinkan membuat Amalia bimbang hingga akhirnya setuju dengan keputusan sang Ayah.

Ali menikahkan Amalia dengan Ghizra hanya secara agama karena ribetnya urusan administrasi diantaranya meminta surat ijin pindah nikah dan Amalia yang belum lulus sekolah. Bagi Ali mereka sah sebagai suami-istri dulu sudah cukup, karena Ghizra menjanjikan sebulan dari akad nikah mereka, akan membawa keluarganya untuk berunding mengenai resepsi setelah kelulusan Amalia.

Di atas selembar surat pernyataan bermaterai, yang ditanda-tangani kepala desa berdua sekretarisnya dan dua orang saksi yakni tetangga yang tinggal tepat di sebelah rumahnya. Sahabat Ghizra, Haidar yang mengantarnya diminta serta memberikan tanda tangan sebagai saksi. Pernikahan mereka tercatat secara agama saja.

Rencananya setelah Amalia lulus, surat pernyataan tersebut dijadikan isbat untuk mendapatkan surat nikah. Surat tersebut dibuat tiga salinan, pertama di simpan pihak desa, kebetulan yang menjabat saat itu sepupu dari Ayah Amalia. Salinan kedua dibawa Ali dan yang ketiganya disimpan Ghizra Arsyad.

Seminggu setelah mereka resmi menjadi suami-istri, Ghizra pamit. Berjanji akan kembali bersama keluarga besarnya meminang Amalia secara resmi. Namun, hingga Amalia lulus sekolah, sosok Ghizra tidak pernah datang.

Kenyataan lain yang harus ditanggung Amalia, dirinya mengandung. Mereka sempat pergi ke Surabaya mencari Ghizra di kampus tempatnya kuliah. Namun, tidak jua berjumpa.

Akhirnya Ali bertamu ke rumah Rahmat Santosa, sahabatnya semasa sekolah dulu. Di rumah keluarga itulah Ali menitipkan putrinya hingga Amalia melahirkan Kanzu. Atas saran dan musyawarah bersama antara dua keluarga, Kanzu diadopsi oleh Rahmat dan Sinta sebagai anak angkatnya, untuk memudahkan Kanzu memperoleh akta kelahiran.

Tepat setelah kelahiran Kanzu, KTP Amalia keluar di sana jelas tertera belum kawin alias lajang.

***Rr**

Sinta membawakan puding dan jus kesukaan Amalia ke kamar tamu menjelang Mahgrib.

"Mama enggak melihatmu makan siang tadi, enggak lapar rupanya?" tanya Sinta dengan memperhatikan wajah Amalia yang nampak sembab. "Apa ada sesuatu, Nak?"

Amalia menggelengkan kepala, kemudian menyuap puding ke mulutnya setelahnya meminum jus jambu hingga tak tersisa.

"Biasanya papa jam segini sudah di rumah Ma, tumben belum dengar suaranya," ucap Amalia berusaha mengalihkan perhatian Sinta.

"Papa ada kerjaan di Samarinda, join teman untuk bisnis batubara, semalam berangkat. Papa bilang, kalau urusan lancar tiga hari di sana."

"Oh ...."

"Tadi, jam makan siang papa telpon, mama bilang kamu datang. Papa usahakan malam ini pulang,"

"Telpon lagi Ma, enggak perlu papa memaksakan diri untuk pulang. Lagian Alia balik ke Sitaro bareng Hadinda. Rencananya setelah tujuh hari selamatan ibunya."

"Hadinda, siapa?"

"Teman rombongan yang bertugas di lain pulau. Kebetulan kemarin Alia ada tugas ke Manado, sekalian bantuin dia ajukan cuti dan akhirnya malah bisa nemani pulang."

"Rumahnya di mana?"

"Pacitan, jadi besok rencananya Alia ke sana lanjut pulang Ponorogo lihat makam Ayah."

"Kalau begitu, lekas telpon papamu minta izinnya,"

Amalia meraih tas slempang di atas meja rias, mengambil ponsel untuk menghubungi Rahmat Santosa, papa angkatnya.

***Rr**

Pagi selesai sarapan bersama Amalia bersiap dengan tas ransel yang dibawanya kemarin. Karena melihat Ghizra, sebagai suami Syaiba. Ia memutuskan untuk menghabiskan cutinya di rumah Ponorogo.

"Hallo, sudah siap berangkat?"

Amalia mengernyit menatap sosok yang tetiba muncul saat dirinya membuka pintu.

"Hallo ... assalamualaikum, Pak dokter," ledek Syaiba yang berada di sisi Amalia.

Hilmy tersenyum seraya menggarukan ujung telunjuk ke pelipisnya. Ditatapnya Alia tanpa berkedip.

"Perasaan enggak ada hubungi Mas Hilmy sama sekali, kenapa dia tahu aku akan pergi pagi ini," gumam Amalia saat pandangan keduanya beradu.

"Kakak, beneran Kanzu tidak boleh ikut? Aku 'kan mau juga melihat desa," rajuk Kanzu menggoyangkan tangan kanan Amalia, nampak Mbok Amin berlari dari dalam mengejarnya.

Amalia jongkok, menyentarakan tingginya dengan Kanzu putranya.

"Lain kali ya, Sholih. Kanzu harus masuk sekolah. Nanti pas liburan kita ke desa sama-sama, ya. Ini kakak mau ke Pacitan, lama di mobilnya. Terus jalannya itupun berkelok-kelok, kasihan Kanzu, nanti capek," bujuk Amalia lagi. Padahal semalam dan saat memandikan Kanzu tadi ia sudah memberi pengertian.

"Kanzu! sini," panggil Syaiba dari dalam rumah. "Ayah sudah siap, ayo salim mama Sinta berangkat sekarang," titahnya kemudian pada balita itu.

Mbok Amin memasangkan tas ransel ke bahu Kanzu, menuntunnya ke arah Sinta untuk pamit ke sekolah.

Ghizra bersitatap dengan Amalia yang memaksakan senyum sungkan ke arahnya.

"Ya, sudah kami berangkat duluan ya, Ma, Sya, Kanzu ...." Amalia akhirnya berinisiatif pamit lebih dulu karena dilihatnya mobil Hilmy terparkir tepat di depan pintu gerbang.

Amalia mencium tangan Sinta, berpelukan dengan Syaiba dan mengusap lembut kepala Kanzu. Diliriknya sekilas Ghizra yang bergeming dengan tatapan datar di sebelah Syaiba.

"Kami duluan, Ma- Mas Ghizra," pamit Amalia seraya mengangguk kepala ke arah Ghizra.

"Yuk, semua ... kami duluan, ya." Hilmy menangkupkan kedua tangannya dengan senyum bahagia berjalan di samping Amalia.

"Semoga mereka berjodoh ya, Ma," celutuk Syaiba mengundang tanda tanya Ghizra.

"Jadi, mereka belum menikah?" tanya Ghizra terkejut. Syaiba memandang suaminya dengan tatapan aneh.

Next ...

Hayolo, apa yang dipikirkan Ghizra, ya? 

Jadi, mereka kagak terjebak dalan pernikahan dini ya, Gaeeszz. Maksudnya waktu itu, bapak Ali dah kèker-kèker ini Ghizra, calon yang mantep buat Amalia. Daripada cuma dilamar, sekalian dinikahkan saja gitu 😌

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   61. Kita Cari Pahala, Yuk!

    Pembelian rumah telah disahkan oleh pihak notaris. Mengenai pembayaran, saat Kakek Rahmat hendak membayar untuk mereka. Kanzu menolak secara halus."Rumah yang kami tempati ini, biarlah menjadi tanggungjawab saya sebagai kelapa rumah tangga, Kek. Bukankah, sudah menjadi kewajiban saya menyediakan sandang, pangan dan papan untuk mereka.""Kakek bangga padamu, Kanzu. Seperti inilah, ayahmu dulu. Sangat bertanggungjawab dengan keluarganya. Kakek tenang, Saka dalam pengasuhan kalian berdua. Semua Kanaya mendapatkan jodoh sebaik kamu dan ayahnya," ungkap Kakek Rahmat dengan mata berkaca."Andai dia mengatakan siapa pria yang bertanggungjawab atas kelahiran Saka. Kakek ingin menemui pria itu, jika memang mereka dulu melakukan atas dasar suka. Kakek ingin mereka berdua menikah."Pasti kamu tahu, beban mental yang ditanggung olehnya bila dinikahi selain pria itu. Orang melihat dia sebagai gadis baik, dari keluarga baik. Tetapi, tidak bisa menjaga kehormat

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   60. Terserah

    Peristiwa penculikan Wafa, sengaja tidak dibahas lebih lanjut. Bahkan saat Bu Syaiba dan Kakek Rahmat mampir berkunjung ketika kembali dari Swiss di hari Ahad, mereka tidak diberitahu mengenai musibah yang menimpa Wafa.Walaupun Bu Ambar pada akhirnya tahu oleh Pak Basir, ayah Mahesa sendiri. Karena penyelidikan yang dilakukan oleh pihak berwajib pada kasus kriminal yang dilakukan anak bungsunya itu. Kakek Rahmat dan Bu Syaiba sengaja singgah ke apartemen Kanzu untuk melihat Saka. Melihat sang cucunya gembira tinggal bersama orang tuanya membuat hati Bu Syaiba tenang."Saka sepertinya nyaman tinggal bersama kalian. Bunda titip dia, ya ... di sini dia mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orangtuanya. Walaupun kalian berdua bukan orangtua kandungnya," ungkap Bu Syaiba dengan wajah sendunya."Bunda jangan berbicara seperti itu, nyatanya antara saya dan Saka masih terhubung pertalian darah yang sama. Darah Ayah Ghizra. Dan sudah menjadi kewajiban

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   59. Maafkan Mas

    Kanzu menatap wajah Mahesa dan Ibam yang telah dibuatnya babak belur. Bahkan ia larang Leo dan Satria turut menghajar dua pria di hadapannya itu."Ini pertama dan terakhir kali, kau menyentuh keluargaku, Mahesa." Kembali Kanzu melayangkan pukulan ke wajah Mahesa. "Leo, bawa kemari koper itu," pinta Kanzu pada Leo yang di sebelahnya teronggok tas berisi uang yang berhasil dirampasnya dari kawan preman tadi.Kanzu membuka retsleting koper, lantas tangannya mencakup penuh gepokan uang ratusan ribu dari dalam koper itu."Hanya karena ini, kamu tega berlaku keji pada saudaramu, Mahesa." Kanzu melempar gepokan uang ke arah Mahesa. Mungkin ada sepuluh gepok yang ia lempar ke tubuh pria itu."Polisi sebentar lagi tiba, Kanzu. Kamu segera jemput Wafa saja. Kita yang akan urus mereka di sini," ujar Leo mencoba menenangkan sahabatnya."Iya, tolong urus mereka untukku, Leo. Satria terima kasih, sudah membantuku."Satria menganggukk

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   58. Jangan Menguji Kesabaranku

    Setibanya di stasiun Kanzu segera menemui Ibam. Tidak nampak Mahesa ikut serta. Apakah tebakkannya salah. Karena kalau hanya berdasarkan nomer Mahesa tidak bisa dijadikan bukti yang kuat.Sekarang ini, nomer mati karena tak lama kita isi pulsa. Lantas kita memilih membeli nomer baru. Nomer mati milik kita dulu, akan diterbitkan lagi menjadi kartu baru. Bukankah kemungkinan akan dibeli orang lain dan akan digunakan."Mana istriku?" tanya Kanzu melempar tas berisi uang dua milyar ke arah Ibam."Dia sudah kami bebaskan. Sebentar lagi, pasti sudah sampai rumah.""Jangan bercanda! Kalian sudah mendapatkan uangnya. Kenapa istriku tidak ada di sini?" tanya Kanzu geram.Ibam menyeringai, diambilnya tas yang dilempar Kanzu lalu membukanya. Nampak tumpukan uang merah berbendel di dalamnya. "Kita bukan orang bodoh, Bro. Kalau kami membawa istrimu, dan kamu menyerahkan uang ini. Bisa menjadi bukti, bila tertangkap tangan sebagai kasus pemerasan.

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   57. Tidak ada jejak

    Kanzu memperhatikan jam di dinding kantin dengan cemas, di depannya duduk Leo dan Satria. "Uang sudah siap, kenapa dia tidak menghubungi kita lagi," ucap Kanzu gelisah.Masalah uang senilai dua milyar tadi langsung diselesaikan oleh Pak Faiz dan Ryan. Kanzu tinggal mengganti setelah Wafa kembali ke pelukannya dengan selamat."Tenanglah, Kanzu. Aku yakin, mereka tidak mungkin berani menyakiti Wafa," ujar Leo menenangkan sahabatnya. Satria yang duduk di samping Leo, memperhatikan ponsel milik Wafa. Ia pun sudah menghubungi Kirana. Satria meminta tolong pada wanita itu, melacak keberadaan preman yang menyekap Wafa."Tidak ada jejak sama sekali. Apakah kita hanya bisa menunggu telepon dari penculik saja," ujar Kanzu geram seraya memukulkan tinju pada pahanya."Kenapa aku berpikir yang melakukan ini, bukan orang asing. Tetapi, yang sudah mengenal Wafa. Bukankah, tas Wafa diletakkan di teras samping tadi. Pastilah dia tahu, Wafa bers

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   56. Dua Milyar

    Derap langkah dari beberapa kaki yang menapaki lantai kayu tua semakin lama semakin mendekat. Suara langkah-langkah itu berat, berirama, seolah mengisyaratkan keberadaan lebih dari satu orang. Jantung Wafa berdetak tak karuan. Ia hanya bisa menebak-nebak, sebab matanya tertutup kain yang diikat sangat rapat, dan mulutnya dibungkam dengan lakban. Rasa takut dan cemas merayap di seluruh tubuhnya. Ia tahu dirinya berada di sebuah ruangan gelap dan pengap. Bau apek, debu, dan lembap menekan indra penciumannya. Wafa duduk di lantai dingin, dengan kaki dan tangan diikat jadi satu. Ikatan tali itu terasa sangat kencang, membuat pergelangan tangan dan kakinya kebas. Sejak sadar, ia sudah berusaha sekuat tenaga melepaskan tali yang mengikat kedua tangannya. Gesekan tali pada kulitnya membuat tangannya lecet dan perih, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya ia menyerah karena rasa dahaga dan lapar yang amat sangat. Tidak ada yang memberinya makan dan minum. Ia harus menjaga diri agar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status