Share

BAB 12

Setelah mengetahui misinya yang mustahil untuk berhasil, Senja mengambil langkah tak tahu arah. Ia berjalan tanpa memikirkan tujuan. Apakah ia sudah membuat kesalahan dengan ikut campur dalam permasalahan yang tak ada penyelesaian? Bagaimana caranya ia bertahan?

Saat dirinya tersadar dalam lamunan, ternyata kakinya membawanya kearah kolam renang. Ia jadi teringat peristiwa tadi pagi, saat Dipta mencekik lehernya. Ia juga teringat masa lalunya yang juga selalu mendapat penyiksaan serupa. Ia tidak mau mengalami itu untuk kedua kalinya. Bukankah ia juga berhak untuk bahagia?

Senja duduk disalah satu kursi santai dan memandang air kolam renang yang berwarna biru langit dengan pantulan cahaya bulan yang indah. Kolam renang outdoor ini begitu luas dan dalam. Lebar kolamnya 10 meter sedangkan panjangnya 20 meter dengan kedalaman airnya lebih kurang tiga meter.

Deringan ponsel membuyarkan lamunan Senja. Ia merogoh saku celananya untuk mengambil handphonenya. Nama Yuna Sayang dengan foto seorang gadis remaja yang sedang tersenyum bahagia dengan memakai seragam SMA terpampang pada layarnya. Senja tersenyum senang. Diantara kalutnya pikiran, adiknya seakan tahu masalah yang mendera sang kakak.

“Halo,” sapa Senja.

“Kakakku sayang, lagi apa? lagi mikirin aku ya?” oceh Yuna dengan suaranya yang cempreng dan ceria.

Senja tertawa saat mendengar suara adiknya yang masih cempreng seperti biasa.

“Kakak lagi lihat kolam renang,” jawab Senja.

“Kolam renang? Rumah kos kakak ada kolam renangnya?” tanya Yuna bingung.

Senja langsung menutup mata dan menepuk dahinya. Ia lupa kalau sedang berbohong dengan Yuna. Senja berbohong pada Yuna bahwa ia pergi ke Surabaya dan kerja disana.

Senja tidak memberitahu Yuna kalau dirinya menjadi orang suruhan Eyang Chandra. Yuna juga tidak tahu menahu soal Eyang Chandra. Yuna tidak tahu apa-apa karena Senja tidak pernah memberitahunya. Senja merahasiakan segalanya pada Yuna.

Saat ini Yuna sedang berada di asrama sekolahnya. Senja yang mengusulkan pada Yuna untuk tinggal di asrama sekolah karena lebih aman dan nyaman.

Yuna bersekolah di SMA Griya School Internasional. Salah satu sekolah swasta bertaraf Internasional terbaik di Indonesia. Sekolahnya para anak pejabat dan konglomerat. Setiap tahunnya sekolah itu mencetak anak-anak berbakat dan berprestasi hingga ke mancanegara. Senja juga alumni dari sekolah itu sewaktu SD dan SMP.  

“Iya, ada kolam renangnya, tapi kecil,” jawab Senja berdusta.

“Wah, jarang-jarang rumah kos ada kolam renangnya loh, Kak.”

Senja tertawa kecil. “Kos-kosan kakak spesial pakai telur sih,” canda Senja.

“Pakai telur itu nggak spesial kakakku sayang,” gemas Yuna. “Kalau pakai daging barulah spesial.”

Senja tertawa keras mendengar adiknya mempermasalahkan telur dan daging.

“Jangan-jangan kakak nggak tinggal di kos-kosan, ya?” Yuna mencurigai sesuatu. “Kakak tinggal di hotel atau apartemen ‘kan?  Hayo ngaku?”

‘Haruskah aku mengatakan tinggal di hotel atau apartemen saja agar Yuna tidak curiga?’ batin Senja.

“Iya deh, Kakak mengaku,” ucap Senja. “Kakak tinggal di apartemen.”

“Nah ‘kan! Aku selalu bisa mencium kebohongan kakak dengan baik,” Yuna bangga pada dirinya yang bisa membongkar kebohongan sang kakak, padahal kebohongan itu adalah kebohongan yang lain. Yuna masih tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Penciuman kamu sangat bagus sih,” sindir Senja. “Itu harus dilestarikan.”

Yuna tertawa geli mendengar sindiran sang kakak.

“Gimana kerjaan pertama kakak?” tanya Yuna dengan serius. “Perusahaannya bagus? Orang-orangnya baik? Apa kakak betah tinggal disana?”

“Kalau kakak jawab, sangat buruk, nggak tahu, kemungkinan baik, nggak betah. Apa tanggapan kamu?” Senja balik bertanya.

“Itu bukan Bidari Senja,” jawab Yuna langsung tepat sasaran. “Kakak yang selama ini aku kenal nggak pernah mengeluh tentang apapun.”

“Benarkah begitu? Kalau selama ini kamu salah dalam menilai kakak, bagaimana?”

“Yuna nggak akan salah dalam menilai kakak sama halnya kakak yang nggak akan salah dalam menilai Yuna,” balas Yuna dengan sangat yakin.

“Kakak lagi bingung saat ini. Kakak nggak tahu apa yang kakak lakukan sekarang ini salah ataukah benar.”

“Kakak kenapa?” suara Yuna terdengar khawatir. “Apakah pekerjaannya sangat berat?”

Mendengar suara Yuna yang bergetar dan khawatir membuat Senja dilanda rasa bersalah. Tidak seharusnya ia menceritakan masalahnya pada anak SMA yang sebentar lagi akan ujian kenaikan kelas.

“Kakak nggak apa-apa, Yuna,” ucap Senja dengan suara lembut. “Jangan dipikirkan ucapan kakak barusan, ya. Kakak hanya kelelahan dalam bekerja.”

“Kakak jangan telat makan ya, walaupun sibuk kerja, makannya harus tepat waktu,” oceh Yuna. “Jaga kesehatan, banyak mengonsumsi buah, jangan lupa cuci tangan sebelum—”

“Buang air besar?” Senja menghentikan ocehan Yuna. “Seharusnya kakak yang bilang begitu sama adiknya. Kamu ini terbalik.”

Yuna tertawa keras, setelah tawanya berhenti, ia berkata, “Dulu kakak yang selalu bilang begitu, selalu menasehatiku, sekarang waktunya aku yang melakukan itu, jadi kak Senja harus mendengarkanku,” perintah Yuna.

“Oke, udah kakak dengarkan dan di ingat,” balas Senja. “Sekarang waktunya kamu tidur, ini udah larut malam, sayang.”

“Iya, Kakakku sayang! Kakak juga tidur ya, jangan bergadang, kalau ada pekerjaan yang menumpuk disiapkan besok pagi aja.”

“Kamu juga, udah ya kakak tutup teleponnya,” kata Senja ingin mengakhiri panggilan telepon adiknya.

“Tunggu, kak!” seru Yuna. “Ada yang mau Yuna bilang sama kakak.”

“Bilang apa sayang?”

“Yang tadi kakak bilang bingung antara benar dan salah. Sebenarnya aku nggak ngerti maksudnya apa, tapi aku mau mengatakan ini, apapun yang kakak lakukan, mau benar ataupun salah, itu nggak akan jadi masalah, karena kakak selalu menggunakan hati dan pikiran. Untuk kak Senja, salah itu adalah kebenaran yang tertutupi, sedangkan benar adalah kesalahan yang tersembunyi,” ucap Yuna panjang lebar.

Senja lupa bahwa adik kecilnya sebentar lagi akan menuju kedewasaan.

*~*~*~*~*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status