Setelah mengetahui misinya yang mustahil untuk berhasil, Senja mengambil langkah tak tahu arah. Ia berjalan tanpa memikirkan tujuan. Apakah ia sudah membuat kesalahan dengan ikut campur dalam permasalahan yang tak ada penyelesaian? Bagaimana caranya ia bertahan?
Saat dirinya tersadar dalam lamunan, ternyata kakinya membawanya kearah kolam renang. Ia jadi teringat peristiwa tadi pagi, saat Dipta mencekik lehernya. Ia juga teringat masa lalunya yang juga selalu mendapat penyiksaan serupa. Ia tidak mau mengalami itu untuk kedua kalinya. Bukankah ia juga berhak untuk bahagia?
Senja duduk disalah satu kursi santai dan memandang air kolam renang yang berwarna biru langit dengan pantulan cahaya bulan yang indah. Kolam renang outdoor ini begitu luas dan dalam. Lebar kolamnya 10 meter sedangkan panjangnya 20 meter dengan kedalaman airnya lebih kurang tiga meter.
Deringan ponsel membuyarkan lamunan Senja. Ia merogoh saku celananya untuk mengambil handphonenya. Nama Yuna Sayang dengan foto seorang gadis remaja yang sedang tersenyum bahagia dengan memakai seragam SMA terpampang pada layarnya. Senja tersenyum senang. Diantara kalutnya pikiran, adiknya seakan tahu masalah yang mendera sang kakak.
“Halo,” sapa Senja.
“Kakakku sayang, lagi apa? lagi mikirin aku ya?” oceh Yuna dengan suaranya yang cempreng dan ceria.
Senja tertawa saat mendengar suara adiknya yang masih cempreng seperti biasa.
“Kakak lagi lihat kolam renang,” jawab Senja.
“Kolam renang? Rumah kos kakak ada kolam renangnya?” tanya Yuna bingung.
Senja langsung menutup mata dan menepuk dahinya. Ia lupa kalau sedang berbohong dengan Yuna. Senja berbohong pada Yuna bahwa ia pergi ke Surabaya dan kerja disana.
Senja tidak memberitahu Yuna kalau dirinya menjadi orang suruhan Eyang Chandra. Yuna juga tidak tahu menahu soal Eyang Chandra. Yuna tidak tahu apa-apa karena Senja tidak pernah memberitahunya. Senja merahasiakan segalanya pada Yuna.
Saat ini Yuna sedang berada di asrama sekolahnya. Senja yang mengusulkan pada Yuna untuk tinggal di asrama sekolah karena lebih aman dan nyaman.
Yuna bersekolah di SMA Griya School Internasional. Salah satu sekolah swasta bertaraf Internasional terbaik di Indonesia. Sekolahnya para anak pejabat dan konglomerat. Setiap tahunnya sekolah itu mencetak anak-anak berbakat dan berprestasi hingga ke mancanegara. Senja juga alumni dari sekolah itu sewaktu SD dan SMP.
“Iya, ada kolam renangnya, tapi kecil,” jawab Senja berdusta.
“Wah, jarang-jarang rumah kos ada kolam renangnya loh, Kak.”
Senja tertawa kecil. “Kos-kosan kakak spesial pakai telur sih,” canda Senja.
“Pakai telur itu nggak spesial kakakku sayang,” gemas Yuna. “Kalau pakai daging barulah spesial.”
Senja tertawa keras mendengar adiknya mempermasalahkan telur dan daging.
“Jangan-jangan kakak nggak tinggal di kos-kosan, ya?” Yuna mencurigai sesuatu. “Kakak tinggal di hotel atau apartemen ‘kan? Hayo ngaku?”
‘Haruskah aku mengatakan tinggal di hotel atau apartemen saja agar Yuna tidak curiga?’ batin Senja.
“Iya deh, Kakak mengaku,” ucap Senja. “Kakak tinggal di apartemen.”
“Nah ‘kan! Aku selalu bisa mencium kebohongan kakak dengan baik,” Yuna bangga pada dirinya yang bisa membongkar kebohongan sang kakak, padahal kebohongan itu adalah kebohongan yang lain. Yuna masih tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Penciuman kamu sangat bagus sih,” sindir Senja. “Itu harus dilestarikan.”
Yuna tertawa geli mendengar sindiran sang kakak.
“Gimana kerjaan pertama kakak?” tanya Yuna dengan serius. “Perusahaannya bagus? Orang-orangnya baik? Apa kakak betah tinggal disana?”
“Kalau kakak jawab, sangat buruk, nggak tahu, kemungkinan baik, nggak betah. Apa tanggapan kamu?” Senja balik bertanya.
“Itu bukan Bidari Senja,” jawab Yuna langsung tepat sasaran. “Kakak yang selama ini aku kenal nggak pernah mengeluh tentang apapun.”
“Benarkah begitu? Kalau selama ini kamu salah dalam menilai kakak, bagaimana?”
“Yuna nggak akan salah dalam menilai kakak sama halnya kakak yang nggak akan salah dalam menilai Yuna,” balas Yuna dengan sangat yakin.
“Kakak lagi bingung saat ini. Kakak nggak tahu apa yang kakak lakukan sekarang ini salah ataukah benar.”
“Kakak kenapa?” suara Yuna terdengar khawatir. “Apakah pekerjaannya sangat berat?”
Mendengar suara Yuna yang bergetar dan khawatir membuat Senja dilanda rasa bersalah. Tidak seharusnya ia menceritakan masalahnya pada anak SMA yang sebentar lagi akan ujian kenaikan kelas.
“Kakak nggak apa-apa, Yuna,” ucap Senja dengan suara lembut. “Jangan dipikirkan ucapan kakak barusan, ya. Kakak hanya kelelahan dalam bekerja.”
“Kakak jangan telat makan ya, walaupun sibuk kerja, makannya harus tepat waktu,” oceh Yuna. “Jaga kesehatan, banyak mengonsumsi buah, jangan lupa cuci tangan sebelum—”
“Buang air besar?” Senja menghentikan ocehan Yuna. “Seharusnya kakak yang bilang begitu sama adiknya. Kamu ini terbalik.”
Yuna tertawa keras, setelah tawanya berhenti, ia berkata, “Dulu kakak yang selalu bilang begitu, selalu menasehatiku, sekarang waktunya aku yang melakukan itu, jadi kak Senja harus mendengarkanku,” perintah Yuna.
“Oke, udah kakak dengarkan dan di ingat,” balas Senja. “Sekarang waktunya kamu tidur, ini udah larut malam, sayang.”
“Iya, Kakakku sayang! Kakak juga tidur ya, jangan bergadang, kalau ada pekerjaan yang menumpuk disiapkan besok pagi aja.”
“Kamu juga, udah ya kakak tutup teleponnya,” kata Senja ingin mengakhiri panggilan telepon adiknya.
“Tunggu, kak!” seru Yuna. “Ada yang mau Yuna bilang sama kakak.”
“Bilang apa sayang?”
“Yang tadi kakak bilang bingung antara benar dan salah. Sebenarnya aku nggak ngerti maksudnya apa, tapi aku mau mengatakan ini, apapun yang kakak lakukan, mau benar ataupun salah, itu nggak akan jadi masalah, karena kakak selalu menggunakan hati dan pikiran. Untuk kak Senja, salah itu adalah kebenaran yang tertutupi, sedangkan benar adalah kesalahan yang tersembunyi,” ucap Yuna panjang lebar.
Senja lupa bahwa adik kecilnya sebentar lagi akan menuju kedewasaan.
*~*~*~*~*
Senin pagi yang muram, pikir Senja saat menengadahkan kepala untuk melihat langit dipagi hari. Seperti suasana hatinya saat ini. Suram, buram dan kelam. Dua hari yang lalu adalah hari yang panjang baginya dan hari berikutnya tidak tahu akan bagaimana juga tidak tahu harus melakukan apa. Sama sekali tidak ada rencana. Sepertinya kepintaran yang dimilikinya tidak ada artinya. “Non, kepalanya nggak pegal?” tanya seseorang pada Senja yang sejak tadi memerhatikannya dari jauh. Senja tersentak kaget. Ia juga tidak tahu siapa orang yang sedang menyapanya ini. “Maaf, Pak. Bapak ini—” “Oh, Bapak tukang kebun dirumah ini, Non.” Senja tersenyum sopan, “Saya Senja, Pak. Orang baru suruhan Eyang Chandra,” ucap Senja memperkenalkan diri. “Oh, si orang baru, toh. Bapak juga udah dibilangin pas hari jum’at kemarin. Tapi kita belum ada jumpa ya, Non, karena Bapak ndak tinggal dirumah ini. Bapak itu kerja dari hari senin sampai hari jum’at aja,” jelasny
“Akh!” seru Trisma sambil menutup mulutnya dengan tangan. Sangat terkejut dengan pemandangan di depannya. Ia melihat sepeda motor Honda Scoopy milik Senja tergeletak dan diikat pada mobil Aston Martin One-77 yang sudah dimodifikasi milik Dipta. Senja menekan segala emosinya, ia melihat Dipta sedang duduk bersila dikursi dengan menikmati sebatang rokok di bibir. “Akhirnya datang juga,” ucap Dipta sambil mematikan puntung rokoknya. “Apa yang sedang Tuan lakukan?” tanya Senja dengan sabar. “Memberimu penawaran,” jawab Dipta lalu mengambil sebuah tongkat bisbol yang sejak tadi berada disamping kursi yang didudukinya. “Kalau kalian mau jadi penonton, tolong sedikit menjauh,” kata Dipta pada orang-orang yang berada disekitarnya. Orang-orang itu terdiri dari, Senja, Trisma, Mbok Minah, Pak Mahmud, dan Pak Kasim. “Kalian bisa terluka,” sambungnya dengan seringai khasnya yang mengerikan. Trisma dan Mbok Minah langsung meng
“Kenapa karena saya?” tanya Senja heran. “Bukankah Tuan Dipta melakukan itu atas kemauan sendiri?” “Kamu juga melakukan itu atas kemauanmu sendiri,” ujar Dipta sambil melihat tangan kanan Senja yang masih diperban. Senja mengangkat tangan kanannya yang diperban. “Ini bukan karena adik, Tuan,” ucapnya lalu melanjutkan, “ini karena saya sendiri, atas kemauan saya sendiri, sama seperti yang Tuan lakukan sekarang, tangan Tuan terluka karena diri Tuan Dipta sendiri, bukan karena saya.” “Memang atas kemauanku, tapi alasannya adalah karena dirimu ada sekitarku, dirumahku, dan juga—” “Biarkan saya mengobati tangan Tuan Dipta terlebih dahulu,” potong Senja. “Darahnya keluar semakin banyak.” Senja terlihat mencemaskan Dipta. “Trisma, tolong ambilkan kotak P3K!” Trisma langsung sigap mendengar perintah Senja. “Siap, Mbak.” Saat Trisma berbalik ingin kedalam rumah untuk mengambil kotak P3K, langkahnya terhenti karena Gauri. Mbok Asih berad
—UNIVERSITAS BINA SILA— Sebulan yang lalu… “Senja!” teriak Jeki memanggil Senja yang sedang berjalan keluar dari perpustakaan pusat Universitas Bina Sila. “Ja! Woi, Senja!” panggilnya lagi yang membuat beberapa mahasiswa dan mahasiswi melotot dan memasang muka kesal pada Jeki karena mengganggu konsentrasi mereka. “Sori, sori,” ucap Jeki tak enak hati. “Temanku itu memang agak budek,” katanya lagi dengan cengengesan. Lalu ia melangkah cepat untuk menggapai Senja berada. Saat sudah berada diluar perpustakaan, Jeki berlari kencang dan kembali memanggil Senja. “Senjaaa…” Senja tetap tidak menoleh pada Jeki. Ia terlihat sangat serius berjalan dengan menenteng buku-buku Ekonomi Industri. “Woi, Ja!” Jeki berhasil menggapai bahu Senja. Senja tersentak kaget karena tangan seseorang yang memegang bahunya dari belakang tubuhnya. Ia berbalik dan melihat Jeki yang bercucuran keringat. “Jeki,
“Kenapa diam aja, aku bilang pergi dari rumah ini!” seru Gauri dengan melemparkan boneka besar ke tubuh Senja yang membuat Senja tersadar dalam lamunannya. “Aku nggak bisa pergi, Non. Kontrak kerjaku dengan Eyang Chandra sepuluh bulan, dan kontrak itu nggak bisa dibatalkan,” jelas Senja sambil mengembalikan boneka besar ke tempat tidur Gauri. Senja berlutut didepan Gauri yang menggunakan kursi rodanya. “Kenapa kalian berdua membenci Eyang Chandra? Apa yang sudah dilakukan Eyang, Non? Karena bagiku Eyang adalah orang yang sangat baik.” Gauri tertawa mengejek. “Baik? Tahu apa kamu? Apakah karena dia memberikanmu uang, disebut sebagai orang baik? Kamu terlalu naif jadi orang.” “Kalau begitu bilang sama aku, alasan kalian berdua membenci Eyang Chandra,” pinta Senja. “Supaya apa?” tanya Gauri dengan menaikkan kedua alisnya. “Kalau kamu penasaran, tanyakan langsung sama orang yang kamu sebut orang baik itu.” “Eyang Chandra nggak tahu apa-apa
“Kak Bima kemana aja sih seharian ini?” omel Trisma pada Bima yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam ruangan istirahat pegawai.“Ada urusan sebentar diluar,” jawab Bima sambil celingukan mencari Senja.“Sebentar?” Trisma berkacak pinggang. “Dari jam lima pagi sampai jam lima sore itu waktu yang sebentar?”“Ada yang harus saya kerjakan atas suruhan Eyang Chandra, dan ternyata ada kendala yang memakan waktu sedikit lebih lama,” jelas Bima.“Tapi nggak biasanya Kak Bima pergi pagi-pagi sekali dan pulang sore hari!” ujar Trisma. “Kak Bima bohong ya?”“Sejak kapan Bima bohong, Ris?” tanya Mbok Minah yang mendapat anggukan dari Pak Mahmud.“Bima itu nggak pernah bohong,” kata Pak Mahmud. “Yang sering bohong itu si Kasim.”“Kok aku dibawa-bawa?” tanya Pak Kasim pada Pak Mahmud.“Siapa yang bawa k
“Gila, Bro! Kamu habis syuting film?” tanya Gerka saat melihat Dipta yang basah kuyup dan tangan kanan yang dibalut perban. “Udah kayak film india aja, Boss!”Dipta memasang tampang sangar pada Gerka yang membuat Gerka tersenyum kecut.“Ceritakanlah kronologis kenapa seorang Dipta Maheswara hujan-hujanan dan tangan terluka,” ucap Gerka. “Kenapa kondisimu mengenaskan begini, Ta?”“Yohan dimana? Nggak ikut balapan lagi?” tanya Dipta mengalihkan pembicaraan.Dipta tidak ingin membicarakan kejadian tadi pagi pada kedua temannya.“Tuh!” tunjuk Gerka dengan mengarahkan bola mata dari balik punggung Dipta.Dipta berbalik dan melihat Yohan mengendarai motor Aston Martinnya dengan menggunakan helm full face. Beberapa wanita disekitarnya terang-terangan berteriak pada Yohan, si CEO muda, kaya, gila kerja, tampan dan sopan.Yohan Bramasta, anak konglomerat dari keluarga Bram
Senja terbangun pada pukul dua dini hari karena suara deringan ponselnya. Kak Bima adalah nama yang tertera pada layar ponsel Senja.‘Ada apa Kak Bima telepon jam segini?’ pikirnya.“Ha..lo, Kak?” sapa Senja dengan menguap lebar.“Senja, tolong keatas sekarang!” suruh Bima.Masih setengah sadar, Senja mengerutkan keningnya. “Ke atas mana, Kak?” tanyanya bingung.“Kamar Tuan Dipta!”Mendengar nama Dipta, membuat kedua mata Senja terbuka lebar dan rasa kantuknya hilang seketika.Senja duduk di kasurnya dan menoleh melihat kasur sebelah yang ditempati oleh Trisma.‘Syukurlah Trisma tidak bangun,’ batinnya.“Kenapa dengan Tuan Dipta?”“Cepatlah kesini dan bawa air hangat, handuk bersih juga kotak P3K.”“Tuan Dipta sakit?”Bima menggumam mengiyakan.Perlahan Senja beranjak pelan keluar kamar