Senin pagi yang muram, pikir Senja saat menengadahkan kepala untuk melihat langit dipagi hari. Seperti suasana hatinya saat ini. Suram, buram dan kelam.
Dua hari yang lalu adalah hari yang panjang baginya dan hari berikutnya tidak tahu akan bagaimana juga tidak tahu harus melakukan apa. Sama sekali tidak ada rencana. Sepertinya kepintaran yang dimilikinya tidak ada artinya.
“Non, kepalanya nggak pegal?” tanya seseorang pada Senja yang sejak tadi memerhatikannya dari jauh.
Senja tersentak kaget. Ia juga tidak tahu siapa orang yang sedang menyapanya ini. “Maaf, Pak. Bapak ini—”
“Oh, Bapak tukang kebun dirumah ini, Non.”
Senja tersenyum sopan, “Saya Senja, Pak. Orang baru suruhan Eyang Chandra,” ucap Senja memperkenalkan diri.
“Oh, si orang baru, toh. Bapak juga udah dibilangin pas hari jum’at kemarin. Tapi kita belum ada jumpa ya, Non, karena Bapak ndak tinggal dirumah ini. Bapak itu kerja dari hari senin sampai hari jum’at aja,” jelasnya panjang lebar tanpa diminta.
Senja mengangguk mengerti. “Maaf, kalau boleh tahu nama Bapak—”
“Oh iya lupa, nama Bapak itu Rusdiyanto Karimunah bisa dipanggil Rusdi, Rudi, Yanto, Anto, Karimun, tapi biasanya di panggil Dedek,” jelas Pak Dedek. “Oh, Nona penasaran ‘kan kenapa Bapak dipanggil Dedek?”
Senja menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan ingin menjawab bahwa ia tidak penasaran sama sekali tetapi diurungkannya.
“Bapak itu anak paling bontot dari 15 bersaudara, Non. Karena saudara Bapak itu banyak, kakak sama abangnya Bapak itu kalau manggil dek-dek, maksudnya adek gitu, Non. Jadinya panggilan Bapak sampai sekarang itu Dedek,” Pak Dedek mengoceh panjang lebar. “Tapi kalau nona mau panggil Bapak Rusdi, Rudi, Yanto, An—”
“Jing!” seru Trisma dari kejauhan memanggil seekor rusa yang berlari melewati Senja dan Pak Dedek.
“Waduh, si Jing lepas?” tanya Pak Dedek pada Trisma yang membungkuk dan kelelahan mengambil napas.
“Dirumah ini ada rusa?” tanya Senja heran darimana rusa itu berasal.
Pak Dedek melihat Senja dan menjawab, “Oh, Nona belum keliling rumah ini?”
“Pak Oh…tang…kap…si…Jing,” kata Trisma dengan putus-putus.
“Oh, si Jang sama Jeng, Nak Tri?”
“Mereka…di…kandang, yang keluar…cuma Jing,” jawab Trisma.
Pak Dedek mengangguk dan langsung berlari kencang mengejar rusa yang bernama Jing.
Setelah napas Trisma teratur, ia melihat Senja yang masih berdiri dengan wajah keheranan.
“Jing, Jang, Jeng?” kata Senja seperti mengucap mantra. “Dirumah ini ada rusa?” Senja mengulang pertanyaannya tadi yang belum terjawab.
“Iya, Mbak,” jawab Trisma. “Kembar tiga.”
“Kembar tiga?” Senja semakin heran mendengar jawaban Trisma. “Bagaimana bisa? Bukankah semua muka rusa sama?”
Trisma menggeleng, “Nggak, Mbak. Muka rusa itu beda-beda.”
Senja masih mengernyit heran. “Kandang rusanya dimana, Ris?” tanyanya.
“Di ujung sana, Mbak.” Trisma menunjuk kearah ujung belakang rumah yang memiliki jalan setapak rahasia karena tertutupi tanaman Lee Kuan Yew. “Mbak mau kesana?”
Senja menggeleng, “Nanti aja, Ris. Mbak mau kedalam dulu, ya.”
Trisma mengangguk. “Mbak udah sarapan?”
“Belum, makan bareng yuk, Mbok Asih masak apa?”
“Nak Tri!” panggil Pak Dedek. “Yang keluar bukan Jing tapi si Jeng,” katanya setelah berhasil menangkap rusanya dan memasukkannya ke dalam kandang.
Senja dan Trisma menoleh kearah Pak Dedek.
“Itu si Jing, Pak!” ucap Trisma tidak percaya. “Aku yakin seribu persen.”
“Oh, ndak!” bantah Pak Dedek “Bapak yakin seribu dua persen itu si Jeng.”
“Pak Oh nggak percaya?” tantang Trisma. “Ayo kita buktikan sekarang! Kita lihat pantatnya.” Trisma ingin melangkah menuju kandang rusa.
“Oh, Bapak udah lihat pantatnya, Nak Tri,” ujar Pak Dedek yang membuat langkah Trisma berhenti.
“Ada tompel putihnya?” tanya Trisma.
Pak Dedek mengangguk yang membuat Trisma tersenyum malu karena kesalahannya.
Trisma cengengesan kemudian berkata, “Tompelnya terlalu kecil, Pak, jadinya nggak kelihatan.”
“Oh ya udah toh, Bapak cuma mau kasih tahu aja, biar kamu ndak salah lagi,” ucap Pak Dedek. “Bapak kesana dulu ya, mau bersihin kolam ikan.”
“Iya, Pak.” ucap Senja dan Trisma bersamaan.
“Monggo,” ucap pak Dedek pada dua gadis itu.
“Kenapa kamu panggil Pak Dedek dengan sebutan Pak Oh, Ris?” tanya Senja yang dari tadi diam mengamati pertengkaran kecil Pak Dedek dan Trisma.
Trisma tertawa kecil. “Di rumah ini memang panggilannya Pak Oh, Mbak,” jawab Trisma. “Dari tadi Mbak nggak ada hitung berapa kali Pak Oh ngucapin kata ‘Oh’?” tanya Trisma menekankan kata ‘Oh’.
Senja menggelengkan kepalanya. “Apa perlu di hitung?”
Trisma terkekeh. “Perlu untuk dokumentasi, Mbak,” candanya.
“Kamu ini ada-ada aja,” balas Senja dengan tertawa.
“Non Senja,” panggil seseorang dari kejauhan.
Senja menoleh dan mendapati Mbok Minah tergesa-gesa memanggilnya.
“Itu Mbok Minah panggil, Mbak,” ujar Trisma.
Mbok Minah berjalan cepat mendekati Senja dan Trisma.
“Pelan-pelan aja, Mbok! Mbak Senjanya nggak akan terbang kok,” canda Trisma.
“Ada apa, Mbok?” tanya Senja saat Mbok Minah sudah berada dihadapannya.
“Gawat Non! Gawat!” pekik tertahan Mbok Minah.
Senja sudah mewanti-wanti, ada apa lagi ini? batinnya.
“Gawat kenapa, Mbok?” tanya Trsima penasaran.
“Tuan Dipta….” jawab Mbok Minah. “Mau menghancurkan sepeda motor Non Senja.”
*~*~*~*~*
Terima kasih sudah menyempatkan membaca cerita saya :) Cerita ini akan di update setiap hari senin sampai jum'at pukul delapan malam. Semoga kalian menyukai cerita ini :)
“Akh!” seru Trisma sambil menutup mulutnya dengan tangan. Sangat terkejut dengan pemandangan di depannya. Ia melihat sepeda motor Honda Scoopy milik Senja tergeletak dan diikat pada mobil Aston Martin One-77 yang sudah dimodifikasi milik Dipta. Senja menekan segala emosinya, ia melihat Dipta sedang duduk bersila dikursi dengan menikmati sebatang rokok di bibir. “Akhirnya datang juga,” ucap Dipta sambil mematikan puntung rokoknya. “Apa yang sedang Tuan lakukan?” tanya Senja dengan sabar. “Memberimu penawaran,” jawab Dipta lalu mengambil sebuah tongkat bisbol yang sejak tadi berada disamping kursi yang didudukinya. “Kalau kalian mau jadi penonton, tolong sedikit menjauh,” kata Dipta pada orang-orang yang berada disekitarnya. Orang-orang itu terdiri dari, Senja, Trisma, Mbok Minah, Pak Mahmud, dan Pak Kasim. “Kalian bisa terluka,” sambungnya dengan seringai khasnya yang mengerikan. Trisma dan Mbok Minah langsung meng
“Kenapa karena saya?” tanya Senja heran. “Bukankah Tuan Dipta melakukan itu atas kemauan sendiri?” “Kamu juga melakukan itu atas kemauanmu sendiri,” ujar Dipta sambil melihat tangan kanan Senja yang masih diperban. Senja mengangkat tangan kanannya yang diperban. “Ini bukan karena adik, Tuan,” ucapnya lalu melanjutkan, “ini karena saya sendiri, atas kemauan saya sendiri, sama seperti yang Tuan lakukan sekarang, tangan Tuan terluka karena diri Tuan Dipta sendiri, bukan karena saya.” “Memang atas kemauanku, tapi alasannya adalah karena dirimu ada sekitarku, dirumahku, dan juga—” “Biarkan saya mengobati tangan Tuan Dipta terlebih dahulu,” potong Senja. “Darahnya keluar semakin banyak.” Senja terlihat mencemaskan Dipta. “Trisma, tolong ambilkan kotak P3K!” Trisma langsung sigap mendengar perintah Senja. “Siap, Mbak.” Saat Trisma berbalik ingin kedalam rumah untuk mengambil kotak P3K, langkahnya terhenti karena Gauri. Mbok Asih berad
—UNIVERSITAS BINA SILA— Sebulan yang lalu… “Senja!” teriak Jeki memanggil Senja yang sedang berjalan keluar dari perpustakaan pusat Universitas Bina Sila. “Ja! Woi, Senja!” panggilnya lagi yang membuat beberapa mahasiswa dan mahasiswi melotot dan memasang muka kesal pada Jeki karena mengganggu konsentrasi mereka. “Sori, sori,” ucap Jeki tak enak hati. “Temanku itu memang agak budek,” katanya lagi dengan cengengesan. Lalu ia melangkah cepat untuk menggapai Senja berada. Saat sudah berada diluar perpustakaan, Jeki berlari kencang dan kembali memanggil Senja. “Senjaaa…” Senja tetap tidak menoleh pada Jeki. Ia terlihat sangat serius berjalan dengan menenteng buku-buku Ekonomi Industri. “Woi, Ja!” Jeki berhasil menggapai bahu Senja. Senja tersentak kaget karena tangan seseorang yang memegang bahunya dari belakang tubuhnya. Ia berbalik dan melihat Jeki yang bercucuran keringat. “Jeki,
“Kenapa diam aja, aku bilang pergi dari rumah ini!” seru Gauri dengan melemparkan boneka besar ke tubuh Senja yang membuat Senja tersadar dalam lamunannya. “Aku nggak bisa pergi, Non. Kontrak kerjaku dengan Eyang Chandra sepuluh bulan, dan kontrak itu nggak bisa dibatalkan,” jelas Senja sambil mengembalikan boneka besar ke tempat tidur Gauri. Senja berlutut didepan Gauri yang menggunakan kursi rodanya. “Kenapa kalian berdua membenci Eyang Chandra? Apa yang sudah dilakukan Eyang, Non? Karena bagiku Eyang adalah orang yang sangat baik.” Gauri tertawa mengejek. “Baik? Tahu apa kamu? Apakah karena dia memberikanmu uang, disebut sebagai orang baik? Kamu terlalu naif jadi orang.” “Kalau begitu bilang sama aku, alasan kalian berdua membenci Eyang Chandra,” pinta Senja. “Supaya apa?” tanya Gauri dengan menaikkan kedua alisnya. “Kalau kamu penasaran, tanyakan langsung sama orang yang kamu sebut orang baik itu.” “Eyang Chandra nggak tahu apa-apa
“Kak Bima kemana aja sih seharian ini?” omel Trisma pada Bima yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam ruangan istirahat pegawai.“Ada urusan sebentar diluar,” jawab Bima sambil celingukan mencari Senja.“Sebentar?” Trisma berkacak pinggang. “Dari jam lima pagi sampai jam lima sore itu waktu yang sebentar?”“Ada yang harus saya kerjakan atas suruhan Eyang Chandra, dan ternyata ada kendala yang memakan waktu sedikit lebih lama,” jelas Bima.“Tapi nggak biasanya Kak Bima pergi pagi-pagi sekali dan pulang sore hari!” ujar Trisma. “Kak Bima bohong ya?”“Sejak kapan Bima bohong, Ris?” tanya Mbok Minah yang mendapat anggukan dari Pak Mahmud.“Bima itu nggak pernah bohong,” kata Pak Mahmud. “Yang sering bohong itu si Kasim.”“Kok aku dibawa-bawa?” tanya Pak Kasim pada Pak Mahmud.“Siapa yang bawa k
“Gila, Bro! Kamu habis syuting film?” tanya Gerka saat melihat Dipta yang basah kuyup dan tangan kanan yang dibalut perban. “Udah kayak film india aja, Boss!”Dipta memasang tampang sangar pada Gerka yang membuat Gerka tersenyum kecut.“Ceritakanlah kronologis kenapa seorang Dipta Maheswara hujan-hujanan dan tangan terluka,” ucap Gerka. “Kenapa kondisimu mengenaskan begini, Ta?”“Yohan dimana? Nggak ikut balapan lagi?” tanya Dipta mengalihkan pembicaraan.Dipta tidak ingin membicarakan kejadian tadi pagi pada kedua temannya.“Tuh!” tunjuk Gerka dengan mengarahkan bola mata dari balik punggung Dipta.Dipta berbalik dan melihat Yohan mengendarai motor Aston Martinnya dengan menggunakan helm full face. Beberapa wanita disekitarnya terang-terangan berteriak pada Yohan, si CEO muda, kaya, gila kerja, tampan dan sopan.Yohan Bramasta, anak konglomerat dari keluarga Bram
Senja terbangun pada pukul dua dini hari karena suara deringan ponselnya. Kak Bima adalah nama yang tertera pada layar ponsel Senja.‘Ada apa Kak Bima telepon jam segini?’ pikirnya.“Ha..lo, Kak?” sapa Senja dengan menguap lebar.“Senja, tolong keatas sekarang!” suruh Bima.Masih setengah sadar, Senja mengerutkan keningnya. “Ke atas mana, Kak?” tanyanya bingung.“Kamar Tuan Dipta!”Mendengar nama Dipta, membuat kedua mata Senja terbuka lebar dan rasa kantuknya hilang seketika.Senja duduk di kasurnya dan menoleh melihat kasur sebelah yang ditempati oleh Trisma.‘Syukurlah Trisma tidak bangun,’ batinnya.“Kenapa dengan Tuan Dipta?”“Cepatlah kesini dan bawa air hangat, handuk bersih juga kotak P3K.”“Tuan Dipta sakit?”Bima menggumam mengiyakan.Perlahan Senja beranjak pelan keluar kamar
“Kamu yang menyuruhnya?” tanya Dipta dengan raut tidak senang.“Iya, kenapa? Kamu nggak senang?” balas Bima dengan tatapan tajam.“Brengsek!” maki Dipta. “Kenapa kamu menyuruhnya?”“Kenapa kamu merusak motornya?” tanya Bima dengan intonasi yang tinggi.Dipta menggeram marah dan mencoba bangkit dari kasurnya. Tubuhnya sempoyongan karena pusing yang mendera begitu hebat. Dunia seakan berputar di depan matanya.Melihat itu, Bima meraih sebelah lengan Dipta agar tubuhnya tidak terjatuh. Mendapat keseimbangannya kembali, Dipta segera mencengkram kerah kemeja Bima.“Apa hubunganmu dengan perempuan itu?”“Tidak ada.”“Jangan bohong! Kamu pasti tahu apa yang direncanakan Kakek Tua itu!” hardik Dipta.Bima terdiam dan tidak menjawab. Wajahnya menoleh ke samping, menghindari tatapan Dipta yang mengintimidasi.Dipta mengulas senyu