Share

BAB 13

Penulis: Mentariz
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-25 15:58:11

Senin pagi yang muram, pikir Senja saat menengadahkan kepala untuk melihat langit dipagi hari. Seperti suasana hatinya saat ini. Suram, buram dan kelam.

Dua hari yang lalu adalah hari yang panjang baginya dan hari berikutnya tidak tahu akan bagaimana juga tidak tahu harus melakukan apa. Sama sekali tidak ada rencana. Sepertinya kepintaran yang dimilikinya tidak ada artinya.

“Non, kepalanya nggak pegal?” tanya seseorang pada Senja yang sejak tadi memerhatikannya dari jauh.

Senja tersentak kaget. Ia juga tidak tahu siapa orang yang sedang menyapanya ini. “Maaf, Pak. Bapak ini—”

“Oh, Bapak tukang kebun dirumah ini, Non.”

Senja tersenyum sopan, “Saya Senja, Pak. Orang baru suruhan Eyang Chandra,” ucap Senja memperkenalkan diri.

“Oh, si orang baru, toh. Bapak juga udah dibilangin pas hari jum’at kemarin. Tapi kita belum ada jumpa ya, Non, karena Bapak ndak tinggal dirumah ini. Bapak itu kerja dari hari senin sampai hari jum’at aja,” jelasnya panjang lebar tanpa diminta.

Senja mengangguk mengerti. “Maaf, kalau boleh tahu nama Bapak—”

“Oh iya lupa, nama Bapak itu Rusdiyanto Karimunah bisa dipanggil Rusdi, Rudi, Yanto, Anto, Karimun, tapi biasanya di panggil Dedek,” jelas Pak Dedek. “Oh, Nona penasaran ‘kan kenapa Bapak dipanggil Dedek?”

Senja menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan ingin menjawab bahwa ia tidak penasaran sama sekali tetapi diurungkannya.

“Bapak itu anak paling bontot dari 15 bersaudara, Non. Karena saudara Bapak itu banyak, kakak sama abangnya Bapak itu kalau manggil dek-dek, maksudnya adek gitu, Non. Jadinya panggilan Bapak sampai sekarang itu Dedek,” Pak Dedek mengoceh panjang lebar. “Tapi kalau nona mau panggil Bapak Rusdi, Rudi, Yanto, An—”

“Jing!” seru Trisma dari kejauhan memanggil seekor rusa yang berlari melewati Senja dan Pak Dedek.

“Waduh, si Jing lepas?” tanya Pak Dedek pada Trisma yang membungkuk dan kelelahan mengambil napas.

“Dirumah ini ada rusa?” tanya Senja heran darimana rusa itu berasal.

Pak Dedek melihat Senja dan menjawab, “Oh, Nona belum keliling rumah ini?”

“Pak Oh…tang…kap…si…Jing,” kata Trisma dengan putus-putus.

“Oh, si Jang sama Jeng, Nak Tri?”

“Mereka…di…kandang, yang keluar…cuma Jing,” jawab Trisma.

Pak Dedek mengangguk dan langsung berlari kencang mengejar rusa yang bernama Jing.

Setelah napas Trisma teratur, ia melihat Senja yang masih berdiri dengan wajah keheranan.

“Jing, Jang, Jeng?” kata Senja seperti mengucap mantra. “Dirumah ini ada rusa?” Senja mengulang pertanyaannya tadi yang belum terjawab.

“Iya, Mbak,” jawab Trisma. “Kembar tiga.”

“Kembar tiga?” Senja semakin heran mendengar jawaban Trisma. “Bagaimana bisa? Bukankah semua muka rusa sama?”

Trisma menggeleng, “Nggak, Mbak. Muka rusa itu beda-beda.”

Senja masih mengernyit heran. “Kandang rusanya dimana, Ris?” tanyanya.

“Di ujung sana, Mbak.” Trisma menunjuk kearah ujung belakang rumah yang memiliki jalan setapak rahasia karena tertutupi tanaman Lee Kuan Yew. “Mbak mau kesana?”

Senja menggeleng, “Nanti aja, Ris. Mbak mau kedalam dulu, ya.”

Trisma mengangguk. “Mbak udah sarapan?”

“Belum, makan bareng yuk, Mbok Asih masak apa?”

“Nak Tri!” panggil Pak Dedek. “Yang keluar bukan Jing tapi si Jeng,” katanya setelah berhasil menangkap rusanya dan memasukkannya ke dalam kandang.

Senja dan Trisma menoleh kearah Pak Dedek.

“Itu si Jing, Pak!” ucap Trisma tidak percaya. “Aku yakin seribu persen.”

“Oh, ndak!” bantah Pak Dedek “Bapak yakin seribu dua persen itu si Jeng.”

“Pak Oh nggak percaya?” tantang Trisma. “Ayo kita buktikan sekarang! Kita lihat pantatnya.” Trisma ingin melangkah menuju kandang rusa.

“Oh, Bapak udah lihat pantatnya, Nak Tri,” ujar Pak Dedek yang membuat langkah Trisma berhenti.

“Ada tompel putihnya?” tanya Trisma.

Pak Dedek mengangguk yang membuat Trisma tersenyum malu karena kesalahannya.

Trisma cengengesan kemudian berkata, “Tompelnya terlalu kecil, Pak, jadinya nggak kelihatan.”

“Oh ya udah toh, Bapak cuma mau kasih tahu aja, biar kamu ndak salah lagi,” ucap Pak Dedek. “Bapak kesana dulu ya, mau bersihin kolam ikan.”

“Iya, Pak.” ucap Senja dan Trisma bersamaan.

“Monggo,” ucap pak Dedek pada dua gadis itu.

“Kenapa kamu panggil Pak Dedek dengan sebutan Pak Oh, Ris?” tanya Senja yang dari tadi diam mengamati pertengkaran kecil Pak Dedek dan Trisma.

Trisma tertawa kecil. “Di rumah ini memang panggilannya Pak Oh, Mbak,” jawab Trisma. “Dari tadi Mbak nggak ada hitung berapa kali Pak Oh ngucapin kata ‘Oh’?” tanya Trisma menekankan kata ‘Oh’.

Senja menggelengkan kepalanya. “Apa perlu di hitung?”

Trisma terkekeh. “Perlu untuk dokumentasi, Mbak,” candanya.

“Kamu ini ada-ada aja,” balas Senja dengan tertawa.

“Non Senja,” panggil seseorang dari kejauhan.

Senja menoleh dan mendapati Mbok Minah tergesa-gesa memanggilnya.

“Itu Mbok Minah panggil, Mbak,” ujar Trisma.

Mbok Minah berjalan cepat mendekati Senja dan Trisma.

“Pelan-pelan aja, Mbok! Mbak Senjanya nggak akan terbang kok,” canda Trisma.

“Ada apa, Mbok?” tanya Senja saat Mbok Minah sudah berada dihadapannya.

“Gawat Non! Gawat!” pekik tertahan Mbok Minah.

Senja sudah mewanti-wanti, ada apa lagi ini? batinnya.

“Gawat kenapa, Mbok?” tanya Trsima penasaran.

“Tuan Dipta….” jawab Mbok Minah. “Mau menghancurkan sepeda motor Non Senja.”

*~*~*~*~*

Mentariz

Terima kasih sudah menyempatkan membaca cerita saya :) Cerita ini akan di update setiap hari senin sampai jum'at pukul delapan malam. Semoga kalian menyukai cerita ini :)

| Sukai
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 26

    “Kamu masih sakit, Ta!” sergah Yohan.“Besok udah nggak, Han!” balas Dipta. “Kamu tahu penyebab sakitku karena siapa?”“Jangan menyalahkan orang lain, kamu terlihat sangat menyedihkan,” tandas Yohan.Rahang Dipta mengeras mendengar kalimat yang keluar dari mulut Yohan.Gerka langsung mengendalikan situasi. “Yohan nggak bermak—”“Bukan begini caranya membalas, Ta,” sela Yohan.“Han, diam dulu!” tegas Gerka. “Ta, sebaik—”“Sebaiknya kalian berdua pulang!” usir Dipta.“Jangan bawa Senja ke arena balap!” seru Yohan memperingati.“Aku akan membawanya!” tandas Dipta.Yohan menghela napas putus asa. “Baiklah, terserahmu saja!” lalu beranjak pergi keluar dari kamar Dipta tanpa berpamitan.Gerka bingung ingin memihak siapa. “Ta, aku rasa—”

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 25

    Tanpa mengetuk pintu kamar Dipta, Gerka langsung masuk di ikuti oleh Yohan di belakangnya.“Hei, adik cantik!” sapa Gerka pada Gauri saat menyuapkan nasi ke dalam mulut Dipta.Gauri menoleh dan mendapati Gerka juga Yohan berdiri dengan gaya yang sangat berbeda.“Kak Yohan!” ucap Gauri disertai senyuman.Gerka langsung menampilkan muka masam. “Kakak nggak disapa?”“Apa kabar, Gauri,” ujar Yohan.“Baik, Kak!” sahut Gauri. “Kakak kabarnya gimana?”Gerka mengabaikan Yohan dan Gauri lalu menuju kasur Dipta. “Kamu sakit, Ta?”Gerka dapat melihat wajah pucat Dipta dan matanya yang sayu. Dipta mengangkat sebelah tangannya yang di infus. “Pertanyaan yang sangat berguna. Kamu punya mata kan?” sarkastis Dipta.Gerka berdecak lalu bergumam, “Basa-basi busuk, Bro!”“Gimana keadaanmu, Ta?” tanya Yohan yang sud

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 24

    Yohan menyebutkan pesanannya pada Reno si pramusaji. “Sirloin Wagyu Beefnya satu, sama minumannya mojito juga.”Reno mencatat semua menu dan mengulangi pesanan pada Yohan dan Isma setelah mengatakan mohon menunggu pada kedua insan tersebut, Reno beranjak pergi.Yohan membuka MacBook Pro 24 Karatnya untuk melihat peninjauan ulang pembangunan Hotel Shunshine di Pulau Nusa Lembongan, Bali. Ia harus segera cepat merealisasikan pembangunan tersebut sebelum perusahaan asing merebutnya.“Kenapa buka laptop?” tanya Isma heran.“Ada kerjaan yang nggak bisa di tunda.” Lalu Yohan melirik Isma. “Kamu keberatan?”“Kalau saya bilang keberatan, kamu akan menutup laptopnya?”Yohan menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Iya.”“Memang benar ya, rumor yang beredar bahwa kamu itu gila kerja,” ucap Isma.Yohan mengedikkan bahunya kemudian menutup laptopnya. Ia tahu

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 23

    Gauri baru saja menyelesaikan pelajarannya ketika melihat dr. Zendra dan dua perawat turun dari lantai dua. Gauri yang masih berada jauh dari anak tangga menyuruh Trisma mendorong kursi rodanya dengan cepat agar sampai di hadapan dr. Zendra. “Dokter!” panggil Gauri. Dokter Zendra menghentikan langkahnya saat mendengar panggilan itu. Ia menoleh dan mendapati Gauri sedang mengarah padanya. “Gauri, apa kabar?” sapa dr. Zendra saat Gauri sudah berada di hadapannya. “Pak Dokter sedang apa disini?” tanya Gauri heran. Dokter Zendra mengulas senyum tipis. “Bapak baru saja memeriksa kakakmu, kamu nggak tahu dia sedang sakit?” Gauri menggelengkan kepalanya. “Kak Dipta sakit apa?” “Demam tinggi, kadar alkohol dalam tubuhnya sangat tinggi, kondisi fisiknya sangat lemah, makanya kamu bilang sama kakakmu kurangin minum alkoholnya dan kalau bisa jangan minum-minum lagi, ya!” “Siap, Pak Dokter!” seru Gauri dengan sikap ala hormat bende

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 22

    “Kamu lagi?” tanya Dipta. “Sehari saja wajahmu itu tidak muncul di hadapanku, bisa?” Mata Senja mengerjap heran. “Bukankah wajah Tuan Dipta yang muncul di hadapan saya?” balas Senja. Dipta terkekeh pelan. “Keberanianmu memang patut di acungi jempol.” Senja tersenyum tipis. “Nona Gauri juga mengatakan hal yang sama.” Dipta menaikkan alisnya. “Tapi apa kamu tahu, keberanianmu juga bisa menjadi bumerang untukmu?” “Kenapa menjadi bumerang?” tanya Senja. Dipta berjalan pelan mendekati Senja. “Kamu harus tahu tempat menggunakan keberanianmu itu.” “Keberanian itu tidak perlu tempat, tapi perlu usaha. Bukankah manusia memang memerlukan usaha untuk menciptakan keberanian dalam dirinya?” “Menarik!” sahut Dipta yang sudah berada tiga langkah di depan Senja. “Usaha apa yang di perlukan?” “Bangun rasa percaya diri, lawan rasa takut dan mencoba tegar.” Dipta bertepuk tangan tiga kali mendengar jawaban Senja. “Tiga usa

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 21

    “Kamu yang menyuruhnya?” tanya Dipta dengan raut tidak senang.“Iya, kenapa? Kamu nggak senang?” balas Bima dengan tatapan tajam.“Brengsek!” maki Dipta. “Kenapa kamu menyuruhnya?”“Kenapa kamu merusak motornya?” tanya Bima dengan intonasi yang tinggi.Dipta menggeram marah dan mencoba bangkit dari kasurnya. Tubuhnya sempoyongan karena pusing yang mendera begitu hebat. Dunia seakan berputar di depan matanya.Melihat itu, Bima meraih sebelah lengan Dipta agar tubuhnya tidak terjatuh. Mendapat keseimbangannya kembali, Dipta segera mencengkram kerah kemeja Bima.“Apa hubunganmu dengan perempuan itu?”“Tidak ada.”“Jangan bohong! Kamu pasti tahu apa yang direncanakan Kakek Tua itu!” hardik Dipta.Bima terdiam dan tidak menjawab. Wajahnya menoleh ke samping, menghindari tatapan Dipta yang mengintimidasi.Dipta mengulas senyu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status