—UNIVERSITAS BINA SILA—
Sebulan yang lalu…
“Senja!” teriak Jeki memanggil Senja yang sedang berjalan keluar dari perpustakaan pusat Universitas Bina Sila.
“Ja! Woi, Senja!” panggilnya lagi yang membuat beberapa mahasiswa dan mahasiswi melotot dan memasang muka kesal pada Jeki karena mengganggu konsentrasi mereka.
“Sori, sori,” ucap Jeki tak enak hati.
“Temanku itu memang agak budek,” katanya lagi dengan cengengesan.
Lalu ia melangkah cepat untuk menggapai Senja berada. Saat sudah berada diluar perpustakaan, Jeki berlari kencang dan kembali memanggil Senja.
“Senjaaa…”
Senja tetap tidak menoleh pada Jeki. Ia terlihat sangat serius berjalan dengan menenteng buku-buku Ekonomi Industri.
“Woi, Ja!” Jeki berhasil menggapai bahu Senja.
Senja tersentak kaget karena tangan seseorang yang memegang bahunya dari belakang tubuhnya. Ia berbalik dan melihat Jeki yang bercucuran keringat. “Jeki,
“Kenapa diam aja, aku bilang pergi dari rumah ini!” seru Gauri dengan melemparkan boneka besar ke tubuh Senja yang membuat Senja tersadar dalam lamunannya. “Aku nggak bisa pergi, Non. Kontrak kerjaku dengan Eyang Chandra sepuluh bulan, dan kontrak itu nggak bisa dibatalkan,” jelas Senja sambil mengembalikan boneka besar ke tempat tidur Gauri. Senja berlutut didepan Gauri yang menggunakan kursi rodanya. “Kenapa kalian berdua membenci Eyang Chandra? Apa yang sudah dilakukan Eyang, Non? Karena bagiku Eyang adalah orang yang sangat baik.” Gauri tertawa mengejek. “Baik? Tahu apa kamu? Apakah karena dia memberikanmu uang, disebut sebagai orang baik? Kamu terlalu naif jadi orang.” “Kalau begitu bilang sama aku, alasan kalian berdua membenci Eyang Chandra,” pinta Senja. “Supaya apa?” tanya Gauri dengan menaikkan kedua alisnya. “Kalau kamu penasaran, tanyakan langsung sama orang yang kamu sebut orang baik itu.” “Eyang Chandra nggak tahu apa-apa
“Kak Bima kemana aja sih seharian ini?” omel Trisma pada Bima yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam ruangan istirahat pegawai.“Ada urusan sebentar diluar,” jawab Bima sambil celingukan mencari Senja.“Sebentar?” Trisma berkacak pinggang. “Dari jam lima pagi sampai jam lima sore itu waktu yang sebentar?”“Ada yang harus saya kerjakan atas suruhan Eyang Chandra, dan ternyata ada kendala yang memakan waktu sedikit lebih lama,” jelas Bima.“Tapi nggak biasanya Kak Bima pergi pagi-pagi sekali dan pulang sore hari!” ujar Trisma. “Kak Bima bohong ya?”“Sejak kapan Bima bohong, Ris?” tanya Mbok Minah yang mendapat anggukan dari Pak Mahmud.“Bima itu nggak pernah bohong,” kata Pak Mahmud. “Yang sering bohong itu si Kasim.”“Kok aku dibawa-bawa?” tanya Pak Kasim pada Pak Mahmud.“Siapa yang bawa k
“Gila, Bro! Kamu habis syuting film?” tanya Gerka saat melihat Dipta yang basah kuyup dan tangan kanan yang dibalut perban. “Udah kayak film india aja, Boss!”Dipta memasang tampang sangar pada Gerka yang membuat Gerka tersenyum kecut.“Ceritakanlah kronologis kenapa seorang Dipta Maheswara hujan-hujanan dan tangan terluka,” ucap Gerka. “Kenapa kondisimu mengenaskan begini, Ta?”“Yohan dimana? Nggak ikut balapan lagi?” tanya Dipta mengalihkan pembicaraan.Dipta tidak ingin membicarakan kejadian tadi pagi pada kedua temannya.“Tuh!” tunjuk Gerka dengan mengarahkan bola mata dari balik punggung Dipta.Dipta berbalik dan melihat Yohan mengendarai motor Aston Martinnya dengan menggunakan helm full face. Beberapa wanita disekitarnya terang-terangan berteriak pada Yohan, si CEO muda, kaya, gila kerja, tampan dan sopan.Yohan Bramasta, anak konglomerat dari keluarga Bram
Senja terbangun pada pukul dua dini hari karena suara deringan ponselnya. Kak Bima adalah nama yang tertera pada layar ponsel Senja.‘Ada apa Kak Bima telepon jam segini?’ pikirnya.“Ha..lo, Kak?” sapa Senja dengan menguap lebar.“Senja, tolong keatas sekarang!” suruh Bima.Masih setengah sadar, Senja mengerutkan keningnya. “Ke atas mana, Kak?” tanyanya bingung.“Kamar Tuan Dipta!”Mendengar nama Dipta, membuat kedua mata Senja terbuka lebar dan rasa kantuknya hilang seketika.Senja duduk di kasurnya dan menoleh melihat kasur sebelah yang ditempati oleh Trisma.‘Syukurlah Trisma tidak bangun,’ batinnya.“Kenapa dengan Tuan Dipta?”“Cepatlah kesini dan bawa air hangat, handuk bersih juga kotak P3K.”“Tuan Dipta sakit?”Bima menggumam mengiyakan.Perlahan Senja beranjak pelan keluar kamar
“Kamu yang menyuruhnya?” tanya Dipta dengan raut tidak senang.“Iya, kenapa? Kamu nggak senang?” balas Bima dengan tatapan tajam.“Brengsek!” maki Dipta. “Kenapa kamu menyuruhnya?”“Kenapa kamu merusak motornya?” tanya Bima dengan intonasi yang tinggi.Dipta menggeram marah dan mencoba bangkit dari kasurnya. Tubuhnya sempoyongan karena pusing yang mendera begitu hebat. Dunia seakan berputar di depan matanya.Melihat itu, Bima meraih sebelah lengan Dipta agar tubuhnya tidak terjatuh. Mendapat keseimbangannya kembali, Dipta segera mencengkram kerah kemeja Bima.“Apa hubunganmu dengan perempuan itu?”“Tidak ada.”“Jangan bohong! Kamu pasti tahu apa yang direncanakan Kakek Tua itu!” hardik Dipta.Bima terdiam dan tidak menjawab. Wajahnya menoleh ke samping, menghindari tatapan Dipta yang mengintimidasi.Dipta mengulas senyu
“Kamu lagi?” tanya Dipta. “Sehari saja wajahmu itu tidak muncul di hadapanku, bisa?” Mata Senja mengerjap heran. “Bukankah wajah Tuan Dipta yang muncul di hadapan saya?” balas Senja. Dipta terkekeh pelan. “Keberanianmu memang patut di acungi jempol.” Senja tersenyum tipis. “Nona Gauri juga mengatakan hal yang sama.” Dipta menaikkan alisnya. “Tapi apa kamu tahu, keberanianmu juga bisa menjadi bumerang untukmu?” “Kenapa menjadi bumerang?” tanya Senja. Dipta berjalan pelan mendekati Senja. “Kamu harus tahu tempat menggunakan keberanianmu itu.” “Keberanian itu tidak perlu tempat, tapi perlu usaha. Bukankah manusia memang memerlukan usaha untuk menciptakan keberanian dalam dirinya?” “Menarik!” sahut Dipta yang sudah berada tiga langkah di depan Senja. “Usaha apa yang di perlukan?” “Bangun rasa percaya diri, lawan rasa takut dan mencoba tegar.” Dipta bertepuk tangan tiga kali mendengar jawaban Senja. “Tiga usa
Gauri baru saja menyelesaikan pelajarannya ketika melihat dr. Zendra dan dua perawat turun dari lantai dua. Gauri yang masih berada jauh dari anak tangga menyuruh Trisma mendorong kursi rodanya dengan cepat agar sampai di hadapan dr. Zendra. “Dokter!” panggil Gauri. Dokter Zendra menghentikan langkahnya saat mendengar panggilan itu. Ia menoleh dan mendapati Gauri sedang mengarah padanya. “Gauri, apa kabar?” sapa dr. Zendra saat Gauri sudah berada di hadapannya. “Pak Dokter sedang apa disini?” tanya Gauri heran. Dokter Zendra mengulas senyum tipis. “Bapak baru saja memeriksa kakakmu, kamu nggak tahu dia sedang sakit?” Gauri menggelengkan kepalanya. “Kak Dipta sakit apa?” “Demam tinggi, kadar alkohol dalam tubuhnya sangat tinggi, kondisi fisiknya sangat lemah, makanya kamu bilang sama kakakmu kurangin minum alkoholnya dan kalau bisa jangan minum-minum lagi, ya!” “Siap, Pak Dokter!” seru Gauri dengan sikap ala hormat bende
Yohan menyebutkan pesanannya pada Reno si pramusaji. “Sirloin Wagyu Beefnya satu, sama minumannya mojito juga.”Reno mencatat semua menu dan mengulangi pesanan pada Yohan dan Isma setelah mengatakan mohon menunggu pada kedua insan tersebut, Reno beranjak pergi.Yohan membuka MacBook Pro 24 Karatnya untuk melihat peninjauan ulang pembangunan Hotel Shunshine di Pulau Nusa Lembongan, Bali. Ia harus segera cepat merealisasikan pembangunan tersebut sebelum perusahaan asing merebutnya.“Kenapa buka laptop?” tanya Isma heran.“Ada kerjaan yang nggak bisa di tunda.” Lalu Yohan melirik Isma. “Kamu keberatan?”“Kalau saya bilang keberatan, kamu akan menutup laptopnya?”Yohan menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Iya.”“Memang benar ya, rumor yang beredar bahwa kamu itu gila kerja,” ucap Isma.Yohan mengedikkan bahunya kemudian menutup laptopnya. Ia tahu