Share

BAB 6

Mbok Asih sangat telaten membebat tangan Senja dengan perban setelah menaruh obat antiseptik dan obat merah. 

“Nona yakin nggak perlu dijahit lukanya?” tanya Mbok Minah dengan nada yang penuh kecemasan.

“Iya, Mbak,” Trisma menambahi. “Ke dokter aja, yuk! Nanti lukanya infeksi gimana?”

“Jangan keras kepala, Non.” Pak Kasim berkata tegas. “Mud, keluarkan mobilnya,” suruh Pak Kasim pada Pak Mahmud.

“Aku ‘kan nggak bisa bawa mobil, Sim. Bisanya bawa mobil-mobilan,” jawab Pak Mahmud.

“Siapa suruh bawa? Aku bilang keluarkan, Mud,” sahut Pak Kasim.

Trisma memukul pelan lengan Pak Kasim sedangkan Mbok Minah mencubit pinggang Pak Mahmud.

“Bisa-bisanya dalam keadaan kayak gini kalian bercanda,” ucap Mbok Minah.

“Iya, nih!” Trisma membenarkan ucapan Mbok Minah. “Nggak lucu, Pak Kamud.”

Kamud adalah singkatan dari Pak Kasim dan Pak Mahmud. Kedua satpam itu sudah lama bekerja dengan Eyang Chandra, mereka berdua sebaya dan suka sekali bercanda, yang satunya lelet dan pelupa, yang satunya lagi paling serius dan ceria sudah seperti Spongebob dan Patrick dunia nyata.

“Sakit, Kak Minah,” Pak Mahmud mengusap-usap pinggangnya yang sedikit nyeri. “Salahin si Kasim, ‘tuh.”

Pak Kasim berpura-pura tidak melihat dan mendengarkan.

Senja tertawa keras melihat percakapan Pak Kasim dan Pak Mahmud. “Lucu, Ris,” kata Senja pada Trisma disela tawanya. “Pak Kasim sama Pak Mahmud itu lucu.”

Mbok Minah, Mbok Asih, Pak Kasim, Pak Mahmud dan Trisma melongo heran melihat Senja tertawa disaat sedang terluka.

“Nona bisa ketawa?” tanya Mbok Minah heran.

“Lukanya nggak sakit, Non?” tanya Pak Mahmud.

Mbok Asih memegang kening Senja untuk memeriksa suhu tubuhnya. ‘Nggak demam’ batinnya.

“Saya baik-baik aja,” tutur Senja kepada orang-orang yang mengkhawatirkannya. “Lukanya nggak terlalu dalam, jadi nggak perlu dijahit.”

 “Terima kasih sudah mencemaskan saya,” sambung Senja lagi. “Padahal saya hanya orang asing disini.”

Trisma memeluk tubuh Senja. “Semenjak Mbak Senja menginjakkan kaki dirumah ini, Mbak udah menjadi bagian dari keluarga kita.”

Senja melihat orang-orang yang akan menjadi keluarganya kelak. Orang-orang yang akan menguatkannya kala datang luka dan duka.

Mbok Asih, Mbok Minah, Pak Mahmud dan Pak Kasim tersenyum lembut kearah Senja dan menggangukkan kepalanya dengan serentak.

*~*~*~*~*

Dipta mengerang kecil saat kepalanya merasakan pusing. Kerongkongannya terasa kering sekali lalu ia beranjak menuju kulkas kecil yang berada disamping TV Led besar untuk mengambil air mineral dingin. Berapa banyak minuman beralkohol yang dikonsumsinya tadi malam? Sampai membuatnya tak sadarkan diri.

Ia melihat jam dinding sudah pukul setengah delapan pagi. Saat ia hendak keluar kamar, ponselnya berbunyi nyaring. Ia mencari-cari dimana letak ponselnya berada dan ternyata didalam laci meja kecil disamping tempat tidur. Nama yang tertera dilayar adalah Gerka Joule.

Sebelum Dipta sempat mengucapkan kata ‘halo’ Gerka langsung berbicara.

“Pagi, Brother!” sapa Gerka. “Kondisimu gimana? Aman?”

“Nggak usah basa-basi,” jawab Dipta. “Ada apa?”

“Nggak biasanya kamu teler, Ta. Aku sama Yohan khawatir. Jangan-jangan kamu…”

Dipta menghela napas dan memijit pangkal hidungnya yang mancung. “Kututup dalam hitungan ketiga. Satu…” ancam Dipta.

“Sabar, Bro! Masih pagi. Santai aja kali—Aku.”

“Dua…”

“Ta, aku mau per—”

“Tiga.”

Dipta menutup handphonenya dan melemparkannya keatas tempat tidur, lalu ia beranjak keluar kamar menuju ruang makan keluarga dengan kondisinya yang masih memakai pakaian semalam sore dengan rambut acak-acakan. Ia tidak penasaran bagaimana dirinya sampai dirumah dan handphonenya tergeletak di laci meja kecil. Ia sudah bisa menebak bahwa Kak Bima, sang ketua pengawal menemukan lokasinya tadi malam dan membawanya pulang.

Saat sudah sampai didepan ruang makan keluarga, Dipta mendengar samar-samar suara orang-orang yang sedang berada didapur. Ruang makan keluarga dengan ruang dapur pantri itu berhadapan. Ia melirik pintu dapur yang terbuka sedikit, lalu mendengarkan suara diam-diam dengan intens.

“Iya, benar! Beliau…pergi….tiga…tadi…”

“…hari minggu…kenapa…”

“Beliau juga titip…Sen...”

“Padahal…hari pertama kerja….”

“Gimana lukanya?”

Dipta kurang mengerti arah pembicaraan orang-orang didapur. Suara yang ditangkap telinganya hanya 20 persen saja. Dinding dapur yang kedap suara atau telinganya yang harus diperiksakan ke klinik THT.

Dipta menyudahi acara mengupingnya. Mungkin dirinya masih mabuk, pikirnya. Tidak biasanya ia menguping pembicaraan orang lain. Lalu ia pergi berjalan menuju ruang makan yang mejanya sudah tersuguhi berbagai makanan.

“Mbok Minah!” panggil Dipta saat sudah duduk dikursi.

Mbok Minah yang berada didapur mendengar suara Dipta dan langsung tergopoh menuju ruang makan keluarga.

“Iya, Tuan,” jawab Mbok Minah dengan sigap.

“Yelo kemana?” tanya Dipta sambil memotong pancake maple syrupnya.

Yelo adalah panggilan sayang Dipta untuk Gauri. Diambil dari kata ‘Yellow’ yang artinya adalah kuning. Gauri Lestari sangat menyukai warna kuning.

“Nona Gauri minta sarapan diantar kekamarnya, Tuan,” jawab Mbok Minah.

“Kenapa?”

“Ng…Anu…” Mbok Minah berpikir sebentar mencari alasan yang bagus. “Sedikit pusing katanya.”

“Yelo sakit?”

Dengan cepat Mbok Minah membantah, “Nggak Tuan, Nona Gauri baik-baik aja.”

Mendengar jawaban itu, Dipta membanting garpu dan pisaunya keatas meja yang membuat Mbok Minah memekik kaget.

“Yelo kenapa, Mbok?” tanya Dipta dengan rahang mengeras menatap Mbok Minah. Ia yakin ada yang disembunyikan mengenai Gauri.

Mbok Minah takut menjawab, dahinya sudah mengeluarkan butir keringat.

“Jawab!” bentak Dipta yang sedang marah.

“Maaf, Tuan. Nona Gauri nggak nafsu makan.”

“Apa alasannya?” geram Dipta. Kepalanya kembali pusing.

“Eyang…Chandra.”

‘Sudah kuduga,’ batin Dipta.

“Apa yang sudah dia lakukan?”

“Ng…Anu…Mbok nggak tahu ceritanya, Tuan.”

“Dimana Kakek Tua itu?”

“Kata Mahmud, sudah pergi ke Italia dari jam tiga pagi tadi, Tuan.”

“Shit!” umpat Dipta lalu beranjak dengan cepat menuju kamar Gauri dilantai dua.

Sesampainya didepan pintu kamar Gauri, saat Dipta hendak mengetuk pintu kamar sang adik, sebuah suara muncul dari balik punggung Dipta.

“Tuan Dipta,” panggil Senja.

Dipta berbalik dan mendapati Bidari Senja berdiri disana.

“Kamu!? Sedang apa kamu disini?”

“Saya juga mau masuk kedalam kamar Nona Gauri,” jawab Senja dengan polosnya.

Tanpa aba-aba, secara tiba-tiba, Dipta menarik paksa Senja, menjauh dari kamar adiknya tercinta.

*~*~*~*~*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status