Share

Pov Rianti (pilih kasih)

Hari menginjak sore ke tiga kakak iparku memutuskan untuk pulang, padahal ku kira mereka akan menginap. Mereka berpamitan dan menyelipkan amplop untuk anakku katanya sebagai hadih. Aku jadi malu, alhamdulillah Ammar di kelilingi orang-orang baik.

"Nanti aja atuh Teh, kan belum ketemu sama Mas Syarif." Cegahku

"Udah sore bibi Ria, gak apalah nanti juga ketemu lagi," jawab Teh Fitri.

"Makasih yah semuanya, maaf merepotkan kallian sekali, Ammar pasti senang punya uwa yang pada baik hati, terima kasih yah Teteh-teteh sudah menerima Ammar dengan baik walaupun Ammar bukan darah dagingku dan Mas Syarif."

"Kita kan keluarga, mau darah dagingmu atau bukan keluar dari rahimmu atau bukan, saat kalian memasukan Ammar jadi anggota keluarga kita semua jadi keluarga Ria," ah, Teh Fitri memang bijak aku suka sekali sama kakak Mas Syarif yang satu ini.

Mereka akhirnya pergi meninggalkan pekarangan rumah, akhirnya rumah ini sepi kembali. Kulihat wajah ibu mertuaku sepertinya enggan mereka pergi mencegahpun ia tak bisa.

"Gak nyangka Neng mereka udah pada sebesar itu, ibu sudah tua sekali ternyata yah. Masih ingat, mereka juga dulu gini segede gini segede Ammar, kadang ibu egois ingin mereka lebih lama disini, tapi kan mereka juga keluarga, waktu berputar begitu cepat."

"Semoga ibu sehat wal'afiat terus dan panjang umur yah, bu."

"Amiin, tapi kalo ibu pergi pun ibu siap karna anak-anak ibu sudah pada punya keluarga sendiri, Syarif udah punya kamu yang urus, ibu takut kalo panjang umur takut sakit-sakitan, takut pikun,nanti nyusahin anak ih, amit-amit."

"Eh, ibu kok gitu panjang umur juga harus sehat wal'afiat dong, do'a nya yang baik-baik aja bu lagian ibu juga sehat, usia senja masih bisa ngarit banyak itu hebat lho bu." Jujur saja, aku tak mau kehilangan ibu mertua sebaik dia.

"Do'ain yah, ibu sehat agar bisa lihat Ammar gede."

"Aamiin."

***

Mas Syarif mengabariku akan pulang malam ini, senang nya nya hatiku, aku bergegas mandi dan bersih-bersih untuk menyambutnya. Sesibuk apapun aku aku harus tetap bersih dan wangi di dekatnya.

"Eh, yang di tunggu datang." Aku mencium tangan suamiku.

"Kangen anak." Dia langsung menghampiri Ammar.

"Jangan gendong, besihin badan dulu," cegahku saat Mas Syarif mau mengangkat Ammar, diapun akhirnya menurut mandi kemudian makan, aku menemani makan malamnya.

"Tadi Teh Fitri, Teh Ratna sama Teh Sarah katanya kesini?" Tanya nya.

"Memang iya, mereka nyelipin amplop untuk anak kita, gede lagi isinya seorang gope katanya untuk Ammar, jadi malu aku."

"Kenapa malu, tradisi keluarga kami memang begitu, Mas malah ngasih 5 juta saat ponakan-ponakan Mas lahir, kecuali Teh Mirna bukan bermaksud membedakan, karna saat itu keperluan sedang banyak-banyak nya jadi Anak Teh Mirna cuma di kasih sejuta." Pantas saja Teh Mirna begitu, mungkin gara-gara ini deh kayaknya.

Akupun menanyakan perihal Tika, Mas Syarif hanya tertawa dia menceritakan Tika yang memang dulu katanya suka pada nya, tapi Mas Syarif menjauhinya karna dia tetangga sekaligus saudara.

Kalau nikah sama saudara kalo ikatannya baik yah baik, kalau ikatannya jelek kekeluargaannya akan terputus, dia juga bilang kalau Tika bukan seleranya.

Aku juga menceritakan perihal Teh Mirna yang tiba-tiba berubah sikap padaku, padahal aku merasa tak punya salah padanya.

"Dia emang begitu orang nya syirikan sayang, tau gak kenapa?"

"Emang kenapa?"

"Gagal jadi anak bungsu, jadi dari kecil iri sama Mas, haha," tapi benarkah, masa iya begitu sih. Karna kantung kemih terasa begitu penuh ingin di buang, ku putuskan ke kamar mandi.

"Bu, aku boleh pinjam uang kah? A Didin pulang tak bawa duit. Aira pengen jajan," Tanpa sengaja aku menguping pembicaraan Teh Mirna dan ibu.

"Mir, ibu cuma ada dua puluh. Dua puluh saja yah."

"Syarif kan pulang, dia kan pasti ngasih duit ke ibu."

"Syarif kan baru pulang, dia pasti lelah." Lalu Teh Mirna meminta ibu untuk meminta uang yang tadi di berikan kakak-kakaknya untuk Ammar. Tapi Ibu menolak karna itu uang hak Ammar bukan hak nya.

"Ibu, pelit. Dari dulu pilih kasih, padahal cuma cucu pungut, cucu sendiri aja di telantarkan."

"Astagfirullah, siapa yang ibu terlantarkan? ibu cuma minta kamu sabar Mir, lagian ini malam kamu mau beli apa malam-malam begini?"

"indo sama alfa mart masih buka kok, Aira ingin kinderj*y sama ice cream."

"Dua puluh kan cukup!"

"Cukup buat beli kinderj*y doang satu, ibu kan tau Aira kalo beli es krim harus di wadah dia paling anti sama yang gocengan, kasihan Aira punya nenek pelit dan pilih kasih." Teh Mirna pun meninggalkan ibu,

Aku mendengar suara hidung yang pilek, sudah di pastikan ibu pasti menangis, andai aku ada di posisinya aku juga sama akan menangis dan sakit hati.

Aku mendekati ibu, mungkin dia mendengar langkah kaki buru-buru dia menyeka air mata di sudut matanya, mau kau tutupi bagaimanapun aku tahu kau menangis, bu.

"Eh, Neng. Makan Neng, ibu udah angetin nasi sama lauk nya." Katanya. Aku membantu ibu membawa semua makanan ke meja makan. Aku buru-buru ke kamar menemui suamiku.

"Mas, kamu belum ngasih ke ibu yah? cepetan kasih siapa tau lagi butuh." Mas Arya lalu mengambil dompetnya lalu bergegas ke luar kamar. Beberapa saat kemudian dia kembali ke kamar mengajakku makan malam.

Setelah makan malam, ku lihat ibu pergi keluar rumah ku intip di jendela dapur tentu saja ibu ke rumah Mbak Mirna. Ibu mengetuk-ngetuk pintu dapur Mbak Mirna lalu sang tuan rumah membukakan pintu.

Ibu mengeluarkan uang dua lembar seratus ribu pada Mbak Mirna.

"Kok cuma segini bu?" Ujar nya, di kasih hati minta jantung.

"Syarif cuma ngasih sejuta Mir, sisa nya buat makan sehari-hari." Tak menjawab Teh Mirna langsung menutup pintu dapurnya dengan keras. Tak tahu diri memang.

**

Pagi-pagi aku memandikan Ammar, lalu ku jemur bayi yang begitu menggemaskan ini. Tangan mungilnya memegang erat jari telunjukku, membuatku bahagia.

"Wah, si anak pungut udah mandi, lagi berjemur yah?" ucap Teh Mirna tiba-tiba. Jujur aku sedikit membuatku tersinggung.

"Gak usah bilang Ammar anak pungut juga kali, bisa kan?" kataku.

"Lho, dia kan emang anak pungut Rianti, mau di apapun juga tetep anak pungut. Baperan amat sih jadi orang." Sanggah nya, tak mau kalah.

"Bukan masalah baper, Teteh punya masalah apa sih sama aku, kemarin kita biasa-biasa aja kok kenapa sekarang jadi julid gini, apa salah Ria, Teh." Karna aku harus tau apa alasan dia tiba-tiba berubah.

"Kamu mau tau kenapa? dulu ibu sering kasih Aira duit sehari sampe seratus, tapi sekarang semenjak ada anak pungutmu itu, Aira cuma di kasih dua lima. Anak pungutmu itu sudah mengambil hak anakku." Ucapnya dengan lantang.

"Ternyata benar kata Mas Syarif kalo Teteh itu punya penyakit hati, iri dengki." Jawabku ketus.

"Dasar cewe mandul!" Teriaknya, sambil pergi. Tadinya ingin ku mengejar lalu menjambak rambutnya, tapi kalo kita sama apa bedanya dengan dia. Setidaknya aku tahu alasan kenapa tiba-tiba Teh Mirna berubah.

Semua anak ibu baru mempunyai anak satu dan semuanya cucu ibu perempuan, termasuk Si Aira anak Teh Mirna. Dari dulu memang selalu di manja oleh ibu, setiap minta jajan pasti orang tuanya bilang.

"Tuh, minta sama nenek, gih!"

Suami Teh Mirna juga gak ada malu-malu nya nyuruh istrinya minta uang melulu pada ibu, kadang aku kasihan pada ibu.

"Assalamu'alaikum, Neng." Aku mencium tangan ibu yang pulang jualan gorengan. Aku bergegas memberi ibu segelas air minum.

"Waalaikum salam, di minum bu."

"Makasih, Neng. Ibu mau sholat dhuha dulu abis itu ngarit." Kadang aku iri melihat ibadah ibu mertua ku, dunia di kejar akhirat di kejar. Sementara aku? kadang sholat wajib saja di kerjakannya akhir waktu.

**

Ting!... sebuah notifikasi dari aplikasi kalender haid memberitahuku kalau aku sudah telat haid selama seminggu. Apa jangan-jangan aku hamil, tapi gak mungkin sih pasti prank kaya lalu-lalu. Sekarang aku tak mau berharap lebih karna sudah ada Ammar bersamaku.

Bagaimana jika aku beneran hamil? kasihan juga Ammar masih sangat kecil untuk mempunyai seorang adik. Aku memutuskan untuk membeli tespek untuk membuktikan kalau aku hamil atau tidak.

Setelah menunggu beberapa saat, dan hasilnya sangat sulit untuk di percaya. Garis dua. Sungguh, aku syok sekali aku tak percaya ini.

Kemudian aku memutuskan untuk membeli tespek yang lebih mahal, jangan-jangan ini bekas orang lain. Aku membeli dua merk tespek yang berbeda, dan hasil nya tetap garis dua, berarti aku sedang mengandung.

Entah bagaimana perasaanku saat ini, di suatu sisi aku bahagia sekali karna memang ini yang di nanti-nanti dari dahulu, tapi di sisi lain kasihan sekali Ammar masih sangat kecil untuk mempunyai seorang adik.

Akhirnya, aku menelpon Mas Syarif agar dia segera pulang malam ini.

"Kenapa sayang, kamu kangen yah sama aku." Akhirnya Mas Syarif datang, dan langsung memelukku.

"Buka, Mas!" aku memberikan sebuah kotak kecil padanya yang berisi dua hasil tespek tadi.

"Apa ini Rianti? Apa ini beneran?" dia menggoyang-goyangkan tubuhku, mungkin saking syok.

"Seperti yang kamu lihat, garis dua berarti aku memang hamil." Aku tersenyum padanya.

"Alhamdulillah, yaa allah." Mas Syarif sujud, lalu menciumi perutku.

"Tapi bagaimana dengan Ammar, Mas. Terus terang saja, ini sangat mengejutkanku entah aku harus sedih atau bahagia, di satu sisi aku bahagia karna ini yang di dambakan sejak lama, tapi di sisi lain aku juga kasian Ammar masih kecil untuk mempunyai adik, Mas!" Kataku sambil menangis merengek seprti anak kecil. Mengapa aku mendadak cengeng begini. Mas Syarif memelukku dan mengusap-usap punggungku.

"Tak apa-apa sayang, mungkin jalannya harus seperti ini, kita rawat sama-sama anak-anak kita yah. Ammar sama adiknya nanti."

"Bu, Rianti hamil bu. Ibu mau punya cucu lagi." Teriak suamiku.

Prang... Suara sesuatu yang pecah terdengar dari dapur, sepertinya ibu tak senang dengan kehamilanku ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status