Share

Aku bukan pelakor (pov Hilda)

Awalnya aku tak tahu kalau Bang Syarif mempunyai istri, karna temannya bilang kalau Bang Syarif itu jomlo, bodohnya aku percaya saja.

"Bang, Minta duit!"

"Kan kemarin sudah ku kasih, Rianti saja belum ku kasih."

"Siapa, Rianti?" tanya ku penuh amarah

"Istriku."

"Apa? jadi kau bohong padaku, kau sudah punya istri?" aku tak terima kalau dia lelaki beristri.

"Kapan aku bohong padamu, kapan kamu nanya aku beristri atau tidak hah?" jawabnya tanpa dosa,

"Kata Bang Andre waktu kita pertama kali bertemu. Dia yang bilang kau jomlo."

"Itu kan Si Andre yang bilang, bukan aku. Kamu marahlah sama si Andre jangan padaku, siapa suruh kamu percaya padanya." Karna geram sekali aku melemparkan bantal sofa pada wajahnya.

Bisa-bisanya aku tertipu lelaki yang sudah mempunyai istri. Pantas saja dia sering mengajaku hanya menikah siri dengan alasan karna belum sukseslah, nunggu kuliah mu, lah.

Andai dia lelaki tak berduit, akan ku tinggalkan Bang Syarif saat tahu punya istri, tapi aku sangat bergantung hidup padanya, sampai-sampai biaya kuliah dia yang tanggung, aku juga memakai uang darinya untuk mengirim orangtuaku di kampung.

Orangtuaku tahu nya, kalo anak nya kerja kantoran, andai mereka tahu kalau uang yang kuberikan pada mereka adalah uang yang tak halal, pasti mereka akan menolak mentah-mentah uang pemberian dariku.

Awal masuk kuliah aku takut sekali, takut istrinya Bang Syarif tahu perselingkuhan kami, lalu aku di labrak kemudian di permalukan di media sosial, ah membayangkannya saja aku merasa ngeri.

Tapi setelah aku tahu, kalau ternyata teman-temanku juga simpanan suami orang malah mereka iri padaku karna Bang Syarif tampan, sedangkan selingkuhan mereka rata-rata aki-aki yang puber ke dua.

Mulai saat itu aku lebih percaya diri, merubah penampilanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sekarang, aku lebih posesif dan lebih banyak nuntut pada Bang Syarif.

Apapun yang aku minta pasti akan dia berikan, beruntungnya aku, aku bukan pelakor karna pada dasarnya aku sama sekali tak merebut Bang syarif dari istrinya, tapi Bang Syariflah yang datang padaku, jadi disini aku tak bersalah Bang Syarif yang salah titik.

"Bang, aku mau mobil. Tolong belikan aku mobil." Pintaku, pada Bang Syarif.

"Kamu baru saja minta iph*ne 13, Hil."

"Pokoknya aku mau mobil titik, aku males pulang pergi kuliah kepanasan aku mau mobil pokoknya aku gak mau tahu."

"Baiklah, tapi aku gak bisa beliin kamu mobil baru. Mobil bekas aja yah."

"Iya, yaudah tapi minggu ini, jangan bulan depan, aku gak mau nunggu lama."

Tak butuh waktu lama, mobilpun datang. Bahagianya aku tanpa bekerja dapet duit dapet hp bagus, dapet motor, tempat tinggalpun di apartemen.

Lebih beruntung jadi selingkuhan dari pada jadi istri sah, kalau begini caranya mungkin lebih baik jadi selingkuhan saja selamanya.

Suatu hari dia meminta anak dariku, tapi aku menolaknya, dia terus memohon akhirnya aku mau menuruti keinginannya, dengan syarat aku tak mau mengurus anak itu.

Sebenarnya aku tak mau menuruti keinginannya, tapi karna dia memohon, aku merasa berhutang budi padanya karna bagaimanapun berkatnya aku hidup enak selama ini, apa salahnya aku mengabulkan permintaannya toh dia belum pernah meminta apa-apa dariku.

Aku akhirnya berhenti memakai kontrasepsi, beruntung kontrasepsiku pil, jadi tanpa menunggu lama aku akhirnya hamil. Selama hamil Bang Syarif semakin memanjakanku, andai aku hamil secara terhormat pasti aku akan bahagia sekali.

**

Aku lahir dari keluarga yang cukup kental dalam agama, jadi aku tak ingin keluargaku tahu kalau kelakuan anaknya seperti ini. Bapakku jadi sesepuh di kampungku, ibuku yang notabene nya lulusan pondok setiap minggu mengisi pengajian ibu-ibu.

Jadi aku tak mau mengurus anak dalam kandunganku, karna aku tak ingin menjaga nama baik orangtuaku, kalau aku hancur aku bisa pergi kemana saja, kalau mereka yang hancur mereka akan kemana.

Bang Syarif sering membelikanku baju-baju longgar, setelah usia kehamilanku menginjak sembilan bulan, aku sering memakai sweater untuk menutupi perut besarku.

Tak ada yang curiga padaku kalau aku hamil, karna walaupun hamil perutku terlihat kecil. Perutku mulai membesar saat kehamilan tujuh hingga sembilan bulan itupun tak seperti ibu hamil pada umumnya.

Jadi, aku tetap percaya diri kuliah walaupun dalam keadaan hamil. Anehnya aku tak memiliki masalah apapun di kehamilanku, mabok lah ini lah itu lah, enjoy sekali.

"Hilda, makan seblak yang pedes sekali kayaknya seger deh, nyeblak yuk!" Ajak Febri bestie ku, seblak memang jajanan favoritku selain bakso.

"Nggak, ah. Males!" andai aku tak dalam kondisi hamil pasti aku akan ikut Febri.

"Aneh banget lu sekarang, di ajak jajan seblak selalu nolak, jangan-jangan nemu jajanan favorit baru." Ejek Febri.

Bukan nemu jajanan favorit baru, tapi kasihan anakku, karna kalau aku nyeblak tak pedas tak enak rasanya, seblakku harus super pedas. Walaupun anak ini tak akan tinggal bersamaku, tapi saat ini dia bersamaku jadi aku akan menjaganya.

***

Saat aku akan masuk ke dalam apartemen tiba-tiba perutku sakit sekali, aku langsung menelpon Bang Syarif, dia bergegas membawaku ke klinik terdekat.

Memang dari kampus perutku sudah mulai mulas kukira kembung saja, ternyata tanda-tanda melahirkan saat aku ke klinik sudah pembukaan sepuluh, tak menunggu lama bayi ku keluar.

Bayi yang sangat sehat, dan sangat tampan. Aku menciumi bayiku sebelum kami berpisah.

"Nak, maafkan Mama, maafkan Mamah sayang bukan mama membuangmu, bukan mamah membencimu, tapi keadaan kita yang memaksa untuk berpisah.

Mamah tahu ini salah, tapi ketahuilah mamah sangat menyayangimu. Saat kau lahir mama kira mamah tak akan menyayangimu tapi mamah salah kini mamah berat melepasmu walaupun bersama kamu akan bersama keluarga papamu sendiri.

Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dimanapun kamu berada, andai keadaannya tak seperti ini pasti kamu dan mama tak akan berpisah.

Ah, dosa mama banyak sekali belum dosa zina dengan papamu, sekarang dosa menelantarkanmu, jahat sekali yah mama jadi manusia.

Ah, anakku, aku begitu mencintaimu. Kau tampan sekali, mamah harap, kau tak seperti mama dan tak seperti papamu, jadilah anak yang sholeh nak.

Nak, mamah menyuruh papamu untuk segera menjemputmu bukan karna ingin berpisah, tapi karna tak ingin kita terbiasa bersama sehingga mama sangat berat untuk melepasmu.

Nak, sebentar lagi kita akan berpisah. Kok rasanya sedih banget yah, kok mama gak terima kita bakal pisah yah, kok berat yah terus gimana dong, mama harus apa sayang. " Aku berbicara pada anakku seakan dia mengerti perasaan ibunya, Ammar langsung menangis.

Setelah lama memomong Ammar akupun tertidur. Dan aku terbangun dengan suara bunyi telepon siapa lagi kalo bukan Bang Syarif, dasar pengganggu.

Dia menyuruhku membuat akun fake di media sosial berlogo F, dia suruh masuk ke salah satu grup dan menulis postingan disana mencari ibu pengasuh untuk anakku.

Aku menuruti skenarionya karna aku juga tak ingin istri sah nya tahu perselingkuhanku bersama Bang Syarif.

Dia juga buru-buru menyuruhku mencari kontrakan atau mes, sial kenapa mendadak begini sih. Akupun menelpon Febri.

"Feb, lo masih ngontrak di belakang kampus kan?"

"Emang kenapa?"

"Gue mau sewa kontrakan lo sehari aja dua juta gue langsung transfer sekarang."

"Iya lo kesini aja sekarang."

Akupun bergegas di ke kontrakan Febri, aku juga bodoh masa ibu gak mampu membesarkan anaknya tinggal di apartemen.

"Loh, Hil, lo kok bawa bayi itu bayi siapa? jangan-jangan lo mau jual anak yah?" tanya Febri sambil meduduhku.

"Eh sembarangan. Nanti gue ceritain deh, sekarang loe pergi gih shoping ke, belanja ke, cek m.bangking elu."

"Iya deh, iya wah mayan dapet rezeki dua juta. Tapi loe hutang penjelasan yah sama gue," ujar nya sambil pergi dari kontrakannya sendiri.

Aku belum sempat membereskan kosan Febri tapi istri dan ibu Bang Syarif sudah datang duluan.

Bang Syarif memang bodoh, ngapain dia selingkuh denganku padahal istrinya begitu cantik alami meskipun tanpa riasan makeup aku memang baru kali ini bertemu dengannya.

Dan ibunya, ah sepertinya mertua yang sangat baik, kelihatan dari caranya berbicara pada ku.

Apakah dia akan ikut membenci Ammar, aku takut kalau Ammar di siksa nantinya, jangan sampai itu terjadi jangan sampai mereka tahu perselingkuhan ini, aku tak ingin terjadi apa-apa pada anakku Ammar.

Setelah kami berbincang-bincang cukup lama, kami bersepakat kalau Ammar di adopsi oleh mereka, merekapun berpamitan pergi dan membawa Ammar.

Aku hanya bisa menangisi kepergian Ammar, aku menangis sampai Febri datang.

"Hil, elu kenapa?" pertanyaannya tak ku jawab aku hanya menggelengkan kepala.

"Ya udah kalo lu gak mau ngomong," Febri menyodorkan air padaku, setelah minum memang perasaanku sedikit enak.

"Lu kenapa? terus bayi, mana bayi tadi lu bawa bayi kesini mana bayinya sekarang."

"Itu bayi gue Feb, itu bayi gue. Gue baru melahirkan tiga hari yang lalu." Jawabku membuat Febri menatapku dengan serius.

"Lu serius Hil?" akhirnya aku menceritakan semuanya sama Febri.

"Gue gak percaya sumpah. Gimana bisa perut lo gak kelihatan, apa karna akhir-akhir ini lu kuliah pake sweater terus?" aku membalasnya dengan anggukan.

"Please, janji sama gue rahasiakan ini dari siapapun please yah Feb please," aku memohon sambil menangis pada Febri.

Febri hanya mengangguk, lalu dia memelukku. Dia tahu saja kalau saat ini aku butuh suport dan pelukan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status