"Apa maksud kamu, Mas? Mengangkat anak? Cintya bukan anak kamu!"
Mas Arif terdiam, wajahnya menjadi tegang kala aku berbalik dan menatap tajam netranya. Buru-buru dia mengalihkan pandangan, pura-pura mencari ponsel padahal benda itu ada di tangan. Sungguh tak masuk akal."Kamu ngelantur, ya, Dek? Mana ada aku bilang angkat anak?"Aku menggeleng pelan, kecewa dengan sikap Mas Arif yang tak mau berkata jujur. Jelas aku mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya. Apa dia pikir aku tuli? Jangan membohongiku, Mas!"Siapa ibunya Cintya? Di mana rumahnya? Aku mau tahu asal usul Cintya.""Mas udah bilang dia anakku, kan!""Aku minta Mas jujur! Kalau tidak, jangan salahkan aku jika rumah tangga kita menjadi taruhannya!""Kok ngomongnya gitu? Jangan ngomong sembarangan, Dek!"Mas Arif menyentuh pergelangan tangan kananku. Namun kutepis kasar tangan itu. Melangkah dengan kesal menuju kamar.Akan kucari tahu sendiri, Mas!Suara ketukan pintu kamar menyentak lamunanku."Ma ...."Suara Cintya terdengar lirih. Kemudian ketukan pintu kembali terdengar. Sedikit kesal aku beranjak dari ranjang. Anak itu sudah berdiri tepat di depan pintu."Ada apa?""Ma, aku bingung apa yang harus dibawa besok."Cintya menunduk, tangannya meremas ujung baju tidur yang ia kenakan."Minta tolong papa.""Papa sudah tidur di kamar, Ma."Pelan ia menjawab, lagi-lagi dengan menundukkan kepala. Apa anak ini benar-benar takut denganku? Ah, biarlah ... kedatangannya adalah badai dalam pernikahan kami."Tolong Cintya, Ma."Aku menghembuskan napas kasar lalu melangkah menuju kamarnya. Tak tega, alasan itu yang membuatku memenuhi permintaan Cintya. Sungguh memiliki rasa iba tinggi terkadang justru menyiksa diri sendiri.Tunggu-tunggu ... bukankah ini saat yang tempat untuk mengorek sebuah informasi? Kalau Mas Arif diam, makan Cintya yang menjawab semua pertanyaanku. Kenapa tidak dari kemarin?Amarah dan kebencian menutup solusi yang sudah ada di depan mata. Bodoh ... bodoh, kenapa selalu salah mengambil keputusan.Cintya diam seraya mengikuti langkahku menuju kamar tamu. Mulai hari ini kamar tamu sudah diubah menjadi kamar Cintya. Belum ada barang-barang pribadi yang Mas Arif belikan untuknya. Anak itu memakai pakaian dan barang-barang yang ia bawa dari rumahnya.Aku, justru belum memikirkan sampai ke situ. Ya, aku masih sibuk menata hati yang hancur berantakan akibat kedatangan Cintya. Tak mudah menyembuhkan hati yang terlanjur kecewa."Mana tas kamu?"Cintya mengeluarkan tas gendong berwarna biru yang sedikit usang. Resleting depan pun sudah tak dapat berfungsi. Cintya terpaksa menggunakan peniti agar tas itu tak terbuka lebar. Miris saat melihat tas itu."Ini tas kamu? Gak ada yang lain?"Cintya menggeleng tanpa menjawab pertanyaanku. Aku menghela napas, ada rasa kasihan yang tiba-tiba hadir menelusup dalam hati. Benarkah Cintya anak Mas Arif tapi kenapa tak terurus?"Gak ada, Ma. Bunda jarang membelikan aku tas."Cintya menunduk, bulir demi bulir jatuh tanpa diminta. Lagi hatiku tersentuh. Tuhan, kenapa selalu saja kasihan dengan perasaan orang lain? Sementara orang lain belum tentu memikirkan perasaanku."Kalau boleh tahu, siapa nama bunda kamu, Cin?"Aku mulai melancarkan aksi, mencari informasi dari mulut Cintya. Semoga dia mau buka mulut dan berkata jujur. Bukan seperti Mas Arif yang mulai suka berbohong."Sari, Ma."Aku diam, mencoba mengingat nama mantan pacar Mas Arif sebelum akhirnya menikah denganku. Tak ada nama Sari dalam daftar mantannya. Lalu siapa Sari?"Nama panjangnya?""Sri Sari Ningsih."Nama yang Cintya ucapkan begitu asing bagiku. Tidak satu pun nama yang cocok. Apa memang benar, Cintya bukan anak kandung Mas Arif?Praduga demi praduga muncul dan menari dalam kepalaku."Akta Cintya mana?""Di bawa papa, Ma."Aku menghela napas karena rencana awal tak dapat berjalan dengan sempurna. Semakin banyak teka-teki yang harus aku pecahkan. Ini hidup atau kotak misteri, Tuhan?"Papa sering ke rumah saat bunda kamu masih hidup?""Pa ....""Cintya belum tidur?" tanya Mas Arif yang tiba-tiba sudah berdiri di mulut pintu.Aku mendengus kesal, saat jawaban sudah berada di depan mata, tapi kedatangan Mas Arif menghancurkan segalanya. Sial ... sial!"Sama papa saja, Cin. Aku mau tidur."Aku beranjak dari ranjang kemudian melewati Mas Arif yang berdiri di mulut pintu.***Pagi hari selalu menjadi waktu paling melelahkan untuk seorang ibu, termasuk diriku. Pagi-pagi aku sudah memasak seraya menyalakan mesin cuci. Pekerjaan rumah harus selesai karena hari ini aku akan bekerja di salon.Makanan sudah tertata rapi di atas meja. Dua gelas susu dan satu cangkir teh tak luput. Aku pun memanggil mereka untuk sarapan.Mas Arif, Cintya dan Talita sudah duduk di kursi masing-masing. Aku hanya mengambilkan nasi dan lauk untuk Talita. Rasa kesal dan marah pada Mas Arif membuatku enggan melayaninya. Berdosa memang, tapi hati masih berontak untuk melakukan hal tersebut."Hari ini Mama yang antar. Kalian sarapan dulu, mama mau mandi."Segera aku tinggalkan mereka di meja makan. Tak aku dengar sepatah kata jawaban dari Mas Arif. Harusnya aku yang marah, bukan dia. Dasar aneh!Syok, menangis seharian sudah aku lakukan dua hari yang lalu. Pada kenyataannya menangis tak mengubah apa pun. Luka itu masih ada, kecewa masih tertanam dalam dada. Kini hanya berusaha berdamai dengan kenyataan, meski harus dibalut dengan tangisan.Aku segera bersiap, memakai pakaian yang pantas untuk bekerja di salon. Celana jeans dan kemeja menjadi andalanku. Rambut kubiarkan tergerai, tak lupa memoles sedikit bedak dan lipstik agar tak terlihat pucat."Mama!" Tangis Talita terdengar jelas meski aku berada di dalam kamar. Segera aku sambar tas dan kunci mobil lalu berjalan menuju sumber suara. Benar saja, Talita menangis sambil menunjuk Cintya."Kenapa?"Aku mendekat, memeluk Talita yang masih menangis."Tas Talita dipakai dia!"Tas berwana pink dengan gambar frozen adalah tas kesukaan Talita. Tas itu kini dipakai Cintya tanpa seizin sang pemilik. Apa-apaan ini?"Cintya, kenapa kamu pakai tas Talita?"Cintya menunduk, meremas kedua tangannya. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut anak itu. Astaga, baru kemarin aku merasa iba, tapi sekarang dia justru mencari gara-gara!"Kenapa diam, Cin? Kenapa kamu ambil tas kesayangan Talita?"Nada suaraku naik satu oktaf. Geram juga lama-lama jika terus seperti ini. Anak ini kenapa sangat menyebalkan?"Cintya!""Jangan teriak-teriak, Rin. Aku yang memberikan tas Talita. Lagi pula Cintya lebih membutuhkan tas itu, kan? Toh tas Talita masih banyak, mubadzir jika dibiarkan begitu saja."Dadaku bergemuruh, tanpa sadar tangan kanan mengepal di samping tubuh. Tuhan, apa yang harus aku lakukan pada mereka?"Benar begitu, kan, Rin?""Itu tas kesayangan Talita, Mas. Harusnya kamu tanya pada Talita terlebih dahulu, bukan main ambil begitu saja.""Cuman satu, Rin. Ajari Talita untuk berbagi.""Sebenarnya yang anak kandung kamu itu Talita atau Cintya?""Apa-apaan kamu, Rin? Tas saja dipermasalahkan.""Bukan masalah tasnya, Mas. Cara kamu yang salah, harusnya kamu izin pada Talita terlebih dahulu. Bukan justru mengambilnya begitu saja."Mas Arif membisu, tak mampu menjawab ucapanku. Lelaki itu justru kembali masuk ke rumah. Dia tinggalkan rasa kesal yang bersemayam dalam rongga dada. "Maaf, ya, Ma."Cintya menunduk, bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Aku mengelus dada yang terasa sesak. Baru beberapa hari Cintya berada di sini. Namun rumah ini bak di dalam neraka. "Tas Talita, Ma ...."Talita terus merengek sambil menangis. Kepalaku mendadak mau pecah. Tuhan, bagaimana ini? "Sudah, Ta. Kasihan Kak Cintya gak punya tas."Aku elus pucuk kepala Talita. Namun ia semakin menangis sesenggukan. "Tapi Ma ....""Talita masih punya tas yang lain. Kalau mama punya uang, kita beli lagi."Aku terus membujuk Talita agar diam. Dengan wajah ditekuk Talita masuk ke dalam mobil, disusul Cintya dan aku. Aku fokus mengendarai mobil, mengesampin
[Tolong jemput Cintya, Mas.]Aku segera mengajak Talita untuk pulang setelah pihak sekolah menyelesaikan biaya administrasi. Empat jahitan untuk menutup luka di keningnya. "Talita udah makan?" "Belum, Ma.""Mau makan apa?" "Steak, Ma."Kami menuju sebuah restoran tak jauh dari rumah sakit. Sebuah restoran yang menghidangkan berbagai jenis steak. Ini adalah salah satu restoran yang sering kami kunjungi. Selain tempatnya yang nyaman, rasa masakan pas di lidah kami. Talita memesan steak udang, menu kesukaannya. Aku sendiri memilih memesan minuman dingin. Kenyang karena sempat makan pizza bersama Cantika, meski hanya satu potong. Entah kenapa sejak kedatangan Cintya, nafsu makanku menghilang. "Kenapa bisa jatuh dan dijahit, Ta?" tanyaku pelan. Talita menyeruput es teh lalu menatap lekat netra ini. Bibir yang semula mengembang seketika redup. Senyum itu hilang, diganti sebuh kekecewaan yang nampak jelas di sana. "Katakan pada mama, Ta."Aku genggam jemarinya, memberi sebuah kekuata
Suara ketukan pintu terdengar jelas sampai ke kamar. Aku beranjak, melangkah gontai menuju sumber suara. Cintya dan Pak Didik sudah berdiri di terasa saat pintu kubuka. Perasaan lega hadir tanpa diminta, meski tak bisa menampik jika amarah dan kebencian masih bertahta di tempat yang sama. "Maaf, Pak jadi merepotkan," ucapku tak enak hati. Sebenarnya ini salah Mas Arif, tapi justru aku yang menanggung malu. Ah, bukan hanya malu tapi menjadi tempat melampiaskan amarahnya. Sebenarnya aku ini harus bagaimana? Cintya segera masuk setelah guru matematika itu pulang. Aku hanya diam, membiarkan anak kecil itu berada dalam tempat aman, kamar. Sebenarnya jiwa ini meronta, ingin bertanya tentang masalah Talita. Namun kembali aku urungkan. [ Cintya sudah pulang.]Aku mengirimkan sebuah pesan pada Mas Arif. Tak lama pesan tersebut berubah warna menjadi centang biru. Namun tak ada balasan dari lelaki itu. Duduk di ruang keluarga seraya menunggu kedatangan Mas Arif. Kamar Cintya berada persisi
Tubuhku luruh di lantai. Ponsel Mas Arif pun terlepas dari genggaman. Baru saja aku bernapas lega, bahkan mulai berdamai dengan kenyataan, namun kenapa Tuhan memberiku sebuah kejutan baru. Makasih udah mau jaga anak aku, Yang. Kalimat itu bak syair lagu yang terus terngiang di telinga. Namun bukan lagu cinta dan kebahagiaan, melainkan lagu kematian. Tuhan, misteri apa yang Engkau hadirkan untukku? Kenapa rasanya menyesakkan dada? Beberapa menit aku duduk di lantai dengan tubuh menempel di tembok. Tangisku kembali pecah, bahkan kini semakin menyesakkan dada. Mas Arif membohongiku lagi. Moya Zaya ... siapa pemilik nama itu? Kenapa dia memanggil sayang kepada Mas Arif? Tunggu ... anak mana yang ia maksud? Ibukah ibu Cintya Sri Sari Ningsih, bukan Moya Zaya. Tuhan, teka-teki macam apa ini? Aku hembuskan napas perlahan, mengatur sesak yang masih bersemayam dalam rongga dada. Sesakit ini menerima kenyataan. Setelah cukup tenang aku pun beranjak lalu melangkah menuju kamar. Aku s
"Ibu kandung kamu masih hidup atau sudah meninggal?""Bunda, maksud Mama?"Aku mengangguk. Entah bunda atau ibu, aku hanya ingin tahu wanita itu masih hidup atau sudah mati."Bundaku s....""Sayang, dompetku ketinggalan!"Aku mendengus kesal saat Mas Arif tiba-tiba muncul di belakangku. Gagal sudah niat untuk mengorek informasi Cintya. Ah, menyebalkan! Mas Arif pun masuk ke kamar, mengambil dompet lalu pergi lagi. Suara motor menjauh menandakan Mas Arif benar-benar pergi. Kali ini aku ingin dia pergi, bahkan dari hadapanku. Talita kembali duduk di sebelahku setelah meletakkan segelas air putih di atas meja. Dia menikmati es krim rasa vanila seraya menonton televisi. Senyum kembali hadir di wajahnya setelah awan mendung menyelimuti. Pertanyaan yang hendak keluar terpaksa kutelan kembali. Aku tak ingin awan mendung menyelimuti Talita. Ini bukan saat yang tepat untuk mengorek informasi. Biarlah aku menunggu asal Talita tak terluka kembali.Diamku seperti bom, hanya menunggu waktu yang
Sesaat aku terpaku dengan pesan itu. Lelucon apa lagi? Jadi selama ini Mas Arif membohongiku? Benar-benar menipuku. "Ayo, Ma!"Tarikan tangan Talita menyentak lamunanku. Aku terperanjat, menoleh kanan kiri kebingungan. Bahkan tak sadar jika Talita sudah berdiri di depan pintu. "Ayo, Ma!"Talita kembali menarik tangan ini. Aku pun beranjak, mengunci pintu lalu melangkah menuju motor yang terparkir di carport. "Pakai helmnya."Aku berkata seraya memberikan helm pada Talita dan Cintya. Helm kuning milikku sudah terpasang lebih dulu. "Harusnya kita pakai mobil, Ma. Papa biar pakai motor."Sedikit kesal Talita memakai helmnya. Wajah yang gembira tiba-tiba cemberut. Anak itu paling tak suka menggunakan helm, tidak nyaman menjadi salah satu alasan saat ia menolak memakai perlengkapan keselamatan tersebut. "Mama sih gak bilang papa dulu. Kan bisa tukeran!""Bagaimana papamu mau tukeran jika ia memakai mobil untuk menjemput kekasihnya."Aku menjawab tapi hanya di dalam hati. Sejujurnya ak
"Karina."Lelaki itu kembali memanggilku saat aku diam membisu. "Bang Fajar kenal Mbak Karina?" tanya Salwa sambil menatap aku dan lelaki itu bergantian. "Temen abang saat kuliah dulu."Aku tersenyum tipis, ternyata benar dugaanku ... dia Fajar, lelaki yang pernah menyatakan cinta dan kutolak mentah-mentah. Hampir saja aku tak mengenali lelaki itu. Fajar yang dulu terlihat cupu kini berubah 180 derajat. Tak ada kacamata yang menempel di hidungnya. Namun kenapa dia ada di sini? Kembali aku fokus menjalankan pekerjaan. Merapikan rambut pelanggan agar terlihat sempurna. Namun terpaksa terhenti saat mendengar langkah kaki mendekat. "Sudah lama gak ketemu, Rin. Gimana kabar kamu?" Aku menoleh, kembali tersenyum meski manahan rasa malu. Kalau saja bisa lari, sudah pasti aku bersembunyi di dalam lemari. Kenapa pula Tuhan mempertemukan kami lagi."Seperti yang kamu lihat, Jar. Aku baik-baik saja.""Boleh ngobrol sebentar?""Boleh, aku selesaikan ini dulu."Lelaki itu mengangguk, lalu dud
[Untung kamu lihat Karina, Yang. Kalau tidak bisa ketahuan kita. ][Aman, Yang.][Sampai kapan aku harus menunggu, Yang?][Secepatnya, kamu sabar.]Tanganku mengepal tanpa diminta, amarah pun meledak bak bom yang dilempar, jatuh mengenai tanah. Mas Arif berniat meninggalkan aku dan Talita, dia lebih memilih perempuan itu dibanding aku, istrinya. Lalu untuk apa aku bertahan? Bulir demi bulir jatuh tanpa permisi. Sesak menelusup dalam rongga dada. Inikah akhir dari perjuanganku? Jika kamu memilih dia, aku akan pergi tanpa kamu minta. Perpisahan memang menyakitkan. Namun rasa sakit akan berlipat karena pengkhianatan. Apa susahnya jujur jika tak memiliki rasa, dari pada harus mendua dan membunuh mentalku secara perlahan. "Mama kenapa?"Cintya tiba-tiba duduk di sampingku. Anak itu pun menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Sejak kapan dia di sini? Televisi masih menyala di tengah keheningan yang tercipta. Ruang keluarga terasa begitu asing karena pikiran terjebak dalam dimen