"Kamu ada di mana, Mas?" tanyaku dari balik sambungan telepon. "Studio, Dek. Kenapa?""Aku ke sana, ya? Ada hal penting yang mau aku bicarakan.""Mas mau keluar, kita bicarakan di rumah saja, ya."Panggilan telepon ia matikan sepihak tanpa mendengar jawaban dariku. Kembali aku hubungin nomor Mas Arif. Namun lelaki itu justru menonaktifkan ponsel miliknya. Aku tahu kami di mana, Mas. Bersama Sasa, kan? Dadaku bergemuruh, amarah sudah berada di ubun-ubun. Mas Arif sudah keterlaluan. Kalau dia benar-benar ingin pergi, dengan senang hati aku akan melepasnya. Percuma tinggal satu atap tapi hati dan pikirannya untuk orang lain. Memasukkan hasil tes DNA dalam tas, aku pun beranjak meninggalkan kantin rumah sakit. Sesak, dadaku terasa malu meledak. Namun sekuat hati kutahan lara ini, aku tak ingin dikasihani orang lain. Mobil kulajukkan perlahan meninggalkan rumah sakit. Kendaraan roda empat berjalan lurus tanpa tahu tempat mana yang akan kutuju. Sejujurnya aku hancur, tak tahu harus mel
Mas Arif meminum kopi perlahan. Kemudian ia letakkan cangkir yang masih terisi kopi di atas meja. Helaan napas terdengar begitu berat. Aku diam, menanti setiap kata yang akan keluar dari mulutnya. Jawabannya kali ini menentukan hubungan kami. Aku akan menyerah jika dia memilih Sasa. Percuma berjuang jika nantinya tersiksa seorang diri. Hakikatnya pernikahan menyatukan dua hati, bukan memaksa untuk bertahan tinggal dengan satu hati. Jika nyatanya ada nama orang lain yang menelusup bahkan memenuhi seluruh hati dan pikirannya. Aku lelah berjuang seorang diri. Memaafkan sebuah kesalahan bisa aku lakukan. Namun jika berulang dan menggoreskan luka terlalu dalam, maaf aku tak sanggup. "Katakan, Mas!""Maafkan aku, Rin.""Aku butuh penjelasan, bukan sekedar kata maaf. Katakan kebenarannya, Mas!""Kamu benar, Rin. Cintya adalah anak Sasa, sahabat yang pernah kukenalkan padamu, dulu."Sesak, seolah tak ada pasokan oksigen yang ada di paru-paru. Sebenarnya aku tahu kenyataan akan seperti in
Seketika kami membisu, tanpa dikomando semua mata tertuju ke pintu. Seorang perempuan masuk tanpa mengucapkan salam. Dia melirikku kemudian tersenyum penuh kemenangan. Langkahnya pelan namun pasti. Postur tubuhnya menciptakan keangkuhan yang begitu besar. Senyum yang mengembang bak tarian kematian, bagiku dan Talita. "Mas udah sarapan belum?" tanyanya seraya mendekat ke arah suamiku. Tanpa rasa malu mereka pertontonkan hal yang tak pantas dilihat Talita atau pun Cintya. Berpelukan tepat di depan bola mataku. Mas Atif melakukan itu seolah tak memiliki rasa bersalah terhadapku. Mereka anggap apa aku ini? "Kenapa tante itu peluk papa, Ma?"Talita melepas genggaman tanganku. Anak itu menatap penuh tanda tanya pada dua insan yang tak memiliki urat malu. Tidak sadarkah mereka, ada hati yang terluka? "Ayo, Ta! Kita pergi sekarang!"Tangan mungil itu kembali kugenggam, menariknya pelan keluar rumah. Aku hiraukan teriakan Cintya yang terus memanggil namaku dan Talita. Aku ingin membutakan
"Aku tak salah dengar, Mas? Satu atap kamu bilang?"Tanpa rasa bersalah lelaki itu tersenyum ke arahku. Seolah ucapannya tak menyakiti hati. Egois, dia hanya mementingkan perasaannya sendiri. "Iya, Rin. Ayo pulang, kita mulai lagi dari awal.""Gak sudi aku, Mas. Mimpimu jangan terlalu tinggi, sampai kapan pun ... aku gak mau dimadu. Mulai sekarang jangan pernah menghubungiku lagi. Aku tunggu surat perpisahan kita!"Kaca mobil aku naikkan. Lelaki itu tak henti-hentinya menggedor jendela seraya memanggil namaku. Lekas aku memacu kendaraan roda empat ini meninggalkan halaman sekolah. Stang mobil menjadi pelampiasan amarah yang meledak. Sesekali memaki lelaki bergelar suami. Sikapnya sudah keterlaluan, kukira dia akan mengiba dan memintaku kembali. Namun ternyata salah, dia hanya menginginkan Sasa, bukan aku dan Talita. Cukup aku memberinya kesempatan. Mulai hari ini aku berjanji, akan melepasnya pergi. Tak akan ada air mata yang jatuh untuknya. Aku relakan dia untuk Sasa dan Cintya.
"Karina.""Fajar.""Aduh maaf, ya. Kamu gak papa, Sayang?"Fajar jongkok memeriksa tangan dan kaki Talita. Memastikan tak ada yang terluka apalagi berdarah. Terlalu berlebihan jika mengira Talita bedarah karena jatuhnya tidak terlalu keras. "Gak papa, Jar. Talita yang salah lari gak lihat kanan kiri. Dia terobos saja sampai menabrak tubuh kamu dan jatuh.""Ini anak kamu, Rin?"Aku mengangguk, kemudian tersenyum pada lelaki itu. "Siapa namanya, Cantik?" tanya Fajar seraya mengulurkan tangan kanan. "Talita, Om.""Maaf, ya, Jar.""Gak papa."Lelaki itu menoleh kanan dan kiri, ekor matanya mencari sesuatu yang entah apa. Aku sendiri tak tahu, hanya menerka dia tengah mencari seseorang. Mungkin Mbak Salwa, tunangannya. "Suami kamu mana, Rin?""Kita udah gak tinggal satu rumah dengan papa, Om."Talita berbicara dengan polosnya. Seketika aku ingin berlari dan bersembunyi di dalam lemari. Sungguh aku seperti tak memiliki muka, malu sekali. "Talita mau es krim? Om traktir deh."Talita mel
Aku mematung di depan salon, menatap mas Arif hingga hilang ditelan jalan. Entah kenapa tubuhku terpatri, mulut terkunci. Hanya cairan bening yang jatuh tanpa permisi. Bohong jika aku tak merasakan kecewa bahkan terluka. Nyatanya hatiku tercabik, meski berusaha baik-baik saja. Aku masih mencintainya meski dia menggoreskan luka berulang kali. Bahkan menusuk hingga aku nyaris mati. "Kamu gak papa, Rin?"Sentuhan di pundak menyentakku, menghilangkan lamunan yang menari di kepala. Segera aku hapus jejak air mata yang menempel di pipi. Memaksa bibir tersenyum hanya untuk menutupi luka yang menganga. "Aku baik-baik saja, Jar.""Serius?"Aku mengangguk lalu memilih kembali masuk. Aku tinggalkan Fajar dan beberapa orang yang menatapku penuh tanda tanya. Biarlah mereka menilaiku seperti apa. Lelah, aku butuh waktu menenangkan diri. Aku merebahkan tubuh di atas kasur, tepat di samping Talita. Memandangi wajah polos dengan linangan air mata yang menempel di pipiku. Entah kata apa yang bisa k
"Masuk, Ta! Masuk!""Tapi, Ma ....""Tidak ada tapi! Masuk sekarang!" pekikku. Dengan gontai Talita berjalan dan masuk ke mobil. Baru saja mobil kunyalakan, gedoran di jendela tak terelakkan. Mas Arif berusaha membujuk Talita untuk memenuhi keinginannya. Kali ini tak akan kubiarkan dia menghancurkan kami lagi. "Karina! Talita!"Aku injak pedal gas, meninggalkan Mas Arif yang menjerit, memanggil namaku dan Talita berulang kali. "Kenapa tak boleh jenguk kak Cintya, Ma?""Kamu mau bertemu degan tante Sasa?"Seketika Talita menggeleng. "Turuti ucapan mama, kali ini saja."Talita mengangguk meski terlihat jelas kekecewaan dari sorot mata itu. Terkadang apa yang kita inginkan tak harus tercapai. Putri kecilku harus mulai belajar jika dunia kadang tak sejalan dengan angan dan ekspetasi. Sesampainya di salon, dia terus berlari menuju kamar di lantai atas. Sikapnya memancing tanda tanya Cantika, Nina dan Sisil. Ketiga orang itu kebingungan dengan sikap Talita. "Talita kenapa?" tanya Cant
"Aku yang pesan, Rin."Seketika aku menoleh, menatap perempuan yang berdiri di teras rumah. Senyum tanpa dosa tergambar jelas di sana. "Ini berlebihan, Ca.""Jangan bawel! Siapa suruh gak mau tinggal di rumah aku."Cantika menyilangkan tangan di dada, menatap tajam padaku. Kalau sudah begini aku tak bisa berbuat apa pun. Menurut adalah jalan terbaik dari pada mendengar omelannya. Cantika memang sahabat terbaik. Beruntung Tuhan mengirimkannya untukku. Setidaknya aku tak sendiri dalam menghadapi kejamnya hidup ini. "Masukiin, Mas! Hati-hati!"Cantika memberikan arahan. Kanan, kiri, dua kata yang terus meluncur dari mulutnya. Dia sudah seperti mandor yang memerintah bawahannya. ***"Mama hari ini ke salon?" Aku meletakkan sendok di atas piring, menoleh ke arah Talita yang tengah asyik menikmati sarapan. Nasi goreng dengan telur mata sapi menjadi menu favoritnya. Dia begitu antusias memasukkan sedikit demi sedikit nasi goreng ke mulut. "Mama minta libur dua hari, Ta. Masih banyak y