Pov Arif"Kenapa kamu bohongi aku, Rif? Katanya motret ... gak taunya mau kawin lagi. Apa aku kurang?"Aku diam, tak lagi menjawab ucapan Sasa. Pikiranku justru melayang, membayangkan wajah Karina.Bodoh, satu kata yang pantas menggambarkan diriku. Melepas berlian hanya untuk perak semata. Ingin kembali tapi nyatanya tak bisa. "Diem terus! Diem terus! Ngomong, Rif!" hardik Sasa. "Maaf, Sa ... maaf."Dari ribuan kata, hanya itu yang terlintas di kepala. Maaf ... maaf karena aku membuka pintu hingga kisah lama kembali berseru. Berharap rangakaiannya akan indah dan sempurna, tapi nyatanya berbeda. Sasa mendengus kesal, memiih diam sepanjang perjalanan Boyolali sampai Jakarta. Aku sendiri tenggelam dalam bayangan penyesalan yang tak bertepi. Sasa duduk di samping Cintya, tepat berhadapan denganku. Beruntung anak itu terlelap saat perdebatan terjadi di antara kami. Kini aku memilih memejamkan mata, menikmati jalannya kereta hingga sampai kota tujuan. ***"Aku berangkat dulu, Rin!" uca
"Sa--Sasa...," panggilnya terbata. Mas Arif gelagapan, wajahnya seketika menegang. Ada gurat ketakutan di sana. Entah ke mana tampang penuh percaya diri itu? Sasa mendekat, tanpa diminta dia duduk tepat di samping Mas Arif. Kedatangan Sasa membuat bapak dan ibu kebingungan. Sementara Talita meremas pakaianku dengan kencang. “Ini siapa, Nak Arif?”Bapak menatap tanda tanya pada perempuan yang duduk di samping mantan suamiku. Aku diam, memberi ruang dua orang itu untuk bicara. Saatnya menyaksikan pertunjukan.“Jelaskan, Nak Arif.” Ibu ikut menanyakan hal yang sama. Mereka sangat penasaran.“I-Ini ....”“Saya Sasa, istri Mas Arif. Lebih tepatnya istri di bawah tangan.”Spontan kedua mata mereka melotot. Wajah bapak pun menegang dengan mata menatap tajam dua insan di hadapan kami. Kaget kan, pak? Ya, seperti itu sikap menantu kesayangan kalian.“Istri Arif?”“Iya, Tante. Saya istri baru Arif. Kemarin dia bilang akan melakukan pemotretan, tapi malah datang kemari untuk melamar Karina.
"Bapak bicara dengan siapa?" "Bukan dengan siapa-siapa." Bapak pun mematikan sambungan teleponnya. "Sudah beli baksonya? Enak, to?"Aku mengangguk. Tidak lama bapak pergi menjauh. Meninggalkan tanda tanya yang kucoba tutupi. Lebih tepatnya menepis prasangka yang ada. Dering ponsel membangunkan diriku dari lelapnya tidur siang. Sudut bibir tertarik ke atas kala melihat gambar Talita di layar ponsel. "Kamu baik-baik saja, Rin?" tanya Fajar dari sambungan telepon. Entah kenapa kali ini ada bunga yang bermekaran. Padahal lelaki itu hanya menanyakan kabar. Apa sudah ada rasa untuknya? "Baik, Jar. Maaf, aku belum menjelaskan kepada orang tuaku. Aku masih menunggu waktu yang tepat. Setidaknya hingga marahnya mereda.""Aku menanyakan kabarmu, bukan masalah itu."Kami mulai mengobrol, tak hanya masalah pernikahan ... hal kocak lainnya menjadi topik pembicaraan. Bersama dia aku seperti memilki sahabat. Bukan sekedar calon suami. Benar kata orang, menikah itu sepenuhnya mengobrol. Bukan ha
“Kamu yakin, Jar?”Lelaki di hadapanku menoleh, meletakkan koper kemudian menatapku lekat. Sebuah lengkungan tergambar jelas di wajahnya. Tanpa ragu dia mengatakan iya. Fajar akan melamarku di hadapan kedua orang tuaku.Sejenak aku menghela napas, menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Dalam diam hatiku bergejolak. Benarkah apa yang aku lakukan saat ini? Benarkah keputusan untuk menerima lamaran Fajar?“Semua akan baik-baik saja,Rin.” Fajar mengelus pelan pundakku. Dia seolah tahu apa yang tengah kupikirkan saat ini.Semua barang sudah kami masukkan ke mobil. Talita pun sudah anteng duduk di jok belakang. Kami siap berangkat ke Boyolali, kota kelahiranku.Perjalanan menuju kota kelahiran membutuhkan waktu sekitar tujuh sampai delapan jam. Perjalanan panjang untuk kami dalam kecanggungan. Jujur saja ... hatiku belum sepenuhnya terbuka untuk Fajar. Masih ada luka masa lalu yang membekas. Entah kapan sakit itu akan hilang sepenuhnya.Belum setengah perjalanan kami berhenti d
"Benar itu, Rin?, Kalian akan segera menikah?""Iya, Mas. Kami akan segera menikah, secepatnya."Mas Arif mengusap wajah kasar. Tanpa berpamitan ia pergi meninggalkan ruang rawat inapku. Sebongkah batu yang memenuhi dadaku seketika hilang. Bersamaan dengan perginya lelaki bergelar mantan suami. Lega karena dia tak muncul di hadapanku lagi. Denting jam terdengar begitu keras. Seolah mengisi keheningan karena kami memilih saling diam. Sejujurnya aku tidak tahu harus berkata apa, bingung. "Fajar ....""Aku tahu apa yang ada di pikiranmu, Rin. Kamu tak sungguh-sungguh dengan perkataanmu, kan? Kamu lakukan untuk mengusir Arif."Kata-kata itu menampar telak diriku. Menciptakan rasa malu. Andai bisa berlari, ingin kutenggelamkan muka ini ke dasar bumi. "Maafkan aku, Jar."Aku menunduk, meremas jemari, menghilangkan perasaan bersalah. Nyatanya semakin besar aku mencoba menghilangkan, rasa itu kian jauh dalam tertanam. "Kenapa diam sih, Rin? Aku lho gak mempermasalahkan itu."Aku mendonga
"Bagaimana nasib Talita, Jar?"Aku kian khawatir. Menunggu lelaki itu bicara, tapi tak sepatah kata keluar dari mulutnya. "Talita gak kenapa-kenapa, Rin. Dia baik-baik saja.""Tapi tadi ....""Talita bersama Cantika di rumahnya. Ada yang usil sama kamu. Dia bilang Talita kecelakaan, kan? Padahal putri kamu baik-baik saja."Perkataan Fajar benar. Kalau dipikir ulang memang ada kejanggalan tentang kejadian tadi. Panik membuat aku tak sadar jika Talita masih berada di sekolah. Logika kalah dengan kecemasan. Kabar yang kudengar bak nyata. Sehingga kepala tak bisa berpikir dengan benar. "Kenapa kamu bisa sampai seperti ini, Rin?"Aku menggeleng, tak bisa berkata apa pun. Kejadian ini terlalu cepat. Sehingga aku tak tahu apa yang terjadi. "Aku harus pulang, Jar. Kasihan Talita sendirian di rumah."Aku hendak bergerak tapi sebuah tangan menahan gerakanku. Disusul tatapan tajam dengan gelengan kepala dari lelaki itu. Fajar melarang aku bergerak, apalagi meninggalkan ruangan ini. "Lalu T