"Aku tak salah dengar, Mas? Satu atap kamu bilang?"Tanpa rasa bersalah lelaki itu tersenyum ke arahku. Seolah ucapannya tak menyakiti hati. Egois, dia hanya mementingkan perasaannya sendiri. "Iya, Rin. Ayo pulang, kita mulai lagi dari awal.""Gak sudi aku, Mas. Mimpimu jangan terlalu tinggi, sampai kapan pun ... aku gak mau dimadu. Mulai sekarang jangan pernah menghubungiku lagi. Aku tunggu surat perpisahan kita!"Kaca mobil aku naikkan. Lelaki itu tak henti-hentinya menggedor jendela seraya memanggil namaku. Lekas aku memacu kendaraan roda empat ini meninggalkan halaman sekolah. Stang mobil menjadi pelampiasan amarah yang meledak. Sesekali memaki lelaki bergelar suami. Sikapnya sudah keterlaluan, kukira dia akan mengiba dan memintaku kembali. Namun ternyata salah, dia hanya menginginkan Sasa, bukan aku dan Talita. Cukup aku memberinya kesempatan. Mulai hari ini aku berjanji, akan melepasnya pergi. Tak akan ada air mata yang jatuh untuknya. Aku relakan dia untuk Sasa dan Cintya.
"Karina.""Fajar.""Aduh maaf, ya. Kamu gak papa, Sayang?"Fajar jongkok memeriksa tangan dan kaki Talita. Memastikan tak ada yang terluka apalagi berdarah. Terlalu berlebihan jika mengira Talita bedarah karena jatuhnya tidak terlalu keras. "Gak papa, Jar. Talita yang salah lari gak lihat kanan kiri. Dia terobos saja sampai menabrak tubuh kamu dan jatuh.""Ini anak kamu, Rin?"Aku mengangguk, kemudian tersenyum pada lelaki itu. "Siapa namanya, Cantik?" tanya Fajar seraya mengulurkan tangan kanan. "Talita, Om.""Maaf, ya, Jar.""Gak papa."Lelaki itu menoleh kanan dan kiri, ekor matanya mencari sesuatu yang entah apa. Aku sendiri tak tahu, hanya menerka dia tengah mencari seseorang. Mungkin Mbak Salwa, tunangannya. "Suami kamu mana, Rin?""Kita udah gak tinggal satu rumah dengan papa, Om."Talita berbicara dengan polosnya. Seketika aku ingin berlari dan bersembunyi di dalam lemari. Sungguh aku seperti tak memiliki muka, malu sekali. "Talita mau es krim? Om traktir deh."Talita mel
Aku mematung di depan salon, menatap mas Arif hingga hilang ditelan jalan. Entah kenapa tubuhku terpatri, mulut terkunci. Hanya cairan bening yang jatuh tanpa permisi. Bohong jika aku tak merasakan kecewa bahkan terluka. Nyatanya hatiku tercabik, meski berusaha baik-baik saja. Aku masih mencintainya meski dia menggoreskan luka berulang kali. Bahkan menusuk hingga aku nyaris mati. "Kamu gak papa, Rin?"Sentuhan di pundak menyentakku, menghilangkan lamunan yang menari di kepala. Segera aku hapus jejak air mata yang menempel di pipi. Memaksa bibir tersenyum hanya untuk menutupi luka yang menganga. "Aku baik-baik saja, Jar.""Serius?"Aku mengangguk lalu memilih kembali masuk. Aku tinggalkan Fajar dan beberapa orang yang menatapku penuh tanda tanya. Biarlah mereka menilaiku seperti apa. Lelah, aku butuh waktu menenangkan diri. Aku merebahkan tubuh di atas kasur, tepat di samping Talita. Memandangi wajah polos dengan linangan air mata yang menempel di pipiku. Entah kata apa yang bisa k
"Masuk, Ta! Masuk!""Tapi, Ma ....""Tidak ada tapi! Masuk sekarang!" pekikku. Dengan gontai Talita berjalan dan masuk ke mobil. Baru saja mobil kunyalakan, gedoran di jendela tak terelakkan. Mas Arif berusaha membujuk Talita untuk memenuhi keinginannya. Kali ini tak akan kubiarkan dia menghancurkan kami lagi. "Karina! Talita!"Aku injak pedal gas, meninggalkan Mas Arif yang menjerit, memanggil namaku dan Talita berulang kali. "Kenapa tak boleh jenguk kak Cintya, Ma?""Kamu mau bertemu degan tante Sasa?"Seketika Talita menggeleng. "Turuti ucapan mama, kali ini saja."Talita mengangguk meski terlihat jelas kekecewaan dari sorot mata itu. Terkadang apa yang kita inginkan tak harus tercapai. Putri kecilku harus mulai belajar jika dunia kadang tak sejalan dengan angan dan ekspetasi. Sesampainya di salon, dia terus berlari menuju kamar di lantai atas. Sikapnya memancing tanda tanya Cantika, Nina dan Sisil. Ketiga orang itu kebingungan dengan sikap Talita. "Talita kenapa?" tanya Cant
"Aku yang pesan, Rin."Seketika aku menoleh, menatap perempuan yang berdiri di teras rumah. Senyum tanpa dosa tergambar jelas di sana. "Ini berlebihan, Ca.""Jangan bawel! Siapa suruh gak mau tinggal di rumah aku."Cantika menyilangkan tangan di dada, menatap tajam padaku. Kalau sudah begini aku tak bisa berbuat apa pun. Menurut adalah jalan terbaik dari pada mendengar omelannya. Cantika memang sahabat terbaik. Beruntung Tuhan mengirimkannya untukku. Setidaknya aku tak sendiri dalam menghadapi kejamnya hidup ini. "Masukiin, Mas! Hati-hati!"Cantika memberikan arahan. Kanan, kiri, dua kata yang terus meluncur dari mulutnya. Dia sudah seperti mandor yang memerintah bawahannya. ***"Mama hari ini ke salon?" Aku meletakkan sendok di atas piring, menoleh ke arah Talita yang tengah asyik menikmati sarapan. Nasi goreng dengan telur mata sapi menjadi menu favoritnya. Dia begitu antusias memasukkan sedikit demi sedikit nasi goreng ke mulut. "Mama minta libur dua hari, Ta. Masih banyak y
Pintu salon masih tertutup saat aku tiba. Terpaksa aku duduk di teras seraya menunggu kedatangan Nina atau pun Sisil. Cantika tak bisa diharapkan, dia selalu datang pukul sepuluh. Harap maklum, dia harus menyiapkan keperluan ibunya sebelum ditinggal kemari. Lima menit termenung sendirian, bayang mas Arif dan Sasa lagi-lagi datang menyapa. Aku sudah berusaha menepis bayang wajah mereka. Namun ternyata tak semudah menyanyikan lagu atau pun bercerita. Jarum jam seolah melambat, menunggu adalah pekerjaan yang paling penat. Lelah menatap kendaraan yang terus melaju tanpa henti, aku pun mengambil benda pipih yang ada di dalam tas. Sebuah aplikasi terkenal menjadi pilihan menghilangkan kebosanan. Tangan dengan lihai menggeser layar ke atas beberapa kali. Seketika mematung, air berbondong-bondong jatuh tanpa permisi. Inikah yang disebut motivasi? Ceramah salah satu ustadz tiba-tiba muncul di reel salah satu aplikasi ternama. "Hadiah terbaik adalah apa yang kamu miliki, dan takdir terbaik
"Gila kamu, Jar!"Aku beranjak, melangkah pergi. "Aku serius, Rin!" "Karina!"Aku berjalan tanpa mempedulikan Fajar yang terus memanggil namaku. Lelaki macam apa yang menyatakan cinta sedang ia akan menikah. Kenapa lelaki yang aku temui seperti itu? "Karina!"Semakin cepat kupaksa kaki melangkah, semakin keras pula suara Fajar. Namun aku mengabaikannya. "Taksi!" Aku melambai hingga sebuah mobil berwarna putih berhenti. Aku segera masuk, mobil pun berjalan meninggalkan Fajar yang masih berdiri di depan pintu. Mulanya aku kira dia ingin membicarakan mengenai pernikahan mereka. Namun justru kejutan yang aku dapatkan. Ini kedua kalinya Fajar melakukan hal di luar nalar. Menyatakan cinta dan jawabannya sama, aku menolaknya. Entah kenapa dia tak jua jera. Lalu lalang kendaraan kian membuat kepala berdenyut nyeri. Belum lagi rasa kesal yang memuncak. Ingin aku memaki, tapi pada siapa? ***"Ma!""Apa, Ta?"Aku meletakkan piring kotor di atas meja. Niat mencuci aku batalkan. Kemudian m
"Iya ini, Ma. Mbak Karina yang dicintai Bang Fajar."Aku menelan ludah dengan susah payah, seolah ada batu besar yang menghalangi setetes air masuk. Terpaku, mendadak mulut ini kelu. Apa yang harus kujelaskan? Heran, kenapa calon istri Fajar mengetahui segalanya. Bahkan dengan santai mengatakan hal tersebut. Pasangan macam apa mereka ini? "Maaf, Mbak Salwa. Saya dan Fajar tidak memiliki hubungan apa pun. Itu sudah menjadi bagian masa lalu kami. Saya tidak mungkin menjadi perusak hubungan Mbak Salwa dan Fajar. Tolong jangan salah paham."Seketika Mbak Salwa dan ibunya tertawa terbahak-bahak. Apa yang lucu dari ucapanku? Perkataanku benar ... aku dan Fajar tidak memiliki hubungan apa pun. Lalu apa yang mereka tertawakan? "Ya Allah, Mbak. Bang Fajar itu kakak kandungku. Dia bukan calon suamiku. Jadi Mbak Karina menghindari Bang Fajar karena ini?""Kakak kandung? Lalu kenapa dia yang mengantarkan kamu mengurus pernikahan, Mbak? Bukankah harusnya pasangan, Mbak?""Calon suami saya bera