##BAB 1 Awal Mula Celoteh Cahaya
“Bunda kenapa?” tanya putri sulungku, Cahaya, dengan tatapan nanar. Tangan mungilnya mengusap pipiku lembut. Hati ini terenyuh seketika.
“Bunda Cuma sakit perut, Nak. Nanti juga sembuh,” jawabku sembari mengulas senyum tipis untuknya.
Sudah hampir tiga jam aku merintih kesakitan, nyeri di area bekas jahitan operasi sesar enam bulan lalu karena melahirkan Pelangi membuatku terbaring lemah hari ini. Hingga aku tak sempat pergi ke butik untuk merencanakan launching produk baru yang akan diselenggarakan bulan depan.
“Sakit banget, ya, Bunda?” Mata bening kecokelatan bocah berusia 6 tahun itu masih menatapku sendu.
Aku mengusap lembut kepala Cahaya, merengkuhnya ke dalam pelukan.
“Bunda baik-baik aja, Sayang.”
Cahaya tersenyum tipis dan mencium pipiku sekilas.
“Coba aja Bunda bilang ke Ayah, pasti Ayah bisa ngobatin Bunda. Kayak Tante Rosa gitu, perutnya sering sakit. Tapi Ayah hebat, bisa sembuhin, loh, Bunda!” kata Cahaya dengan mata berapi-api.
Dahiku mengernyit heran, apa yang sedang dibicarakan anakku?
“Tante Rosa? Memang Ayah sering ngobatin perut Tante Rosa?” tanyaku penasaran.
“Iya, Bunda. Tante Rosa sering mengeluh perutnya sakit, terus Ayah masuk ke kamar Tante, katanya mau ngobatin. Nggak lama Tante Rosa sudah sembuh, perutnya nggak sakit lagi, Bunda. Ayah memang hebat, deh!” Cahaya menjelaskan dengan detail, matanya berbinar memuji Ayahnya.
Mendengar penjelasan dari Cahaya barusan, membuat jantungku berdetak lima kali lebih cepat dari biasanya. Aku menggeleng, menduga-duga.
“Cahaya tahu di kamar sana Ayah sama Tante ngapain?” cecarku menanti kepastian.
“Nggak tahu, Bunda. Cuma Cahaya pernah lihat Tante Rosa nggak pake baju, terus Ayah naik ke atas Tante. Pas Aya masuk dan tanya, Ayah Cuma bilang mau ngobatin Tante. Aya nggak boleh masuk kata Ayah, terus dikunci, deh, pintunya dari dalem,” kata Cahaya dengan polosnya.
Tanganku terkepal kuat, bisa-bisanya mereka melakukan hal sekeji itu di dalam rumahku.
“Terus Ayah bilang apa lagi ke Cahaya?” tanyaku memancing semua kebusukan mereka selama ini.
“Nggak. Cuma Aya denger suara Tante kayak mau nangis di dalam kamar, Tante teriak-teriak gitu, Bunda. Pasti rasanya sakit banget, ya, Bunda?” Cahaya memandangku penasaran. Bola matanya yang polos menatapku untuk mencari jawaban.
“Iya, sakit, Sayang. Biasanya Ayah sama Tante di kamar jam berapa, Nak?” Aku berusaha meredam rasa sesak di dalam dada.
“Aya nggak tahu, Bunda. Mungkin siang, biasanya sepulang Aya sekolah,” kata Cahaya jujur.
Biad*b!
Apa begitu ulahmu di belakangku, Mas?
Ini tidak bisa dibiarkan.
Tingkah laku mereka benar-benar di ambang batas.
“Aya nggak usah cerita ini ke orang lain, ya, Nak. Cukup Bunda aja yang tahu. Janji?”
Jari kelingking kutautkan di jari mungilnya. Cahaya hanya tersenyum sambil mengangguk.
“Sekarang Aya ke kamar dulu, ya. Panggil Tante Rosa buat suapin Aya. Bunda istirahat dulu!” kukecup pucuk kepala Aya dengan perasaan yang tak karuan.
Cahaya tumbuh menjadi anak yang baik, penurut dan lembut. Selama ini banyak kasih sayang yang tercurah untuknya.
Aku dan Mas Frengky, suamiku memang sudah mengatur jarak kehamilan dengan baik. Saat Cahaya memasuki usia ke-lima tahun, barulah aku memutuskan untuk hamil lagi.
Tepatnya, enam bulan yang lalu aku berhasil melahirkan bayi perempuan, yang kami beri nama Pelangi. Bayi mungil dengan berat badan lahir 3,8 kilogram tersebut sangat cantik, matanya indah dan teduh.
Namun, rupanya Tuhan ingin kembali bersama dengan Pelangi sehingga kami harus merelakan kepergiannya menghadap sang Ilahi.
Ya ... Pelangi meninggal tepat berusia 40 hari setelah ia dilahirkan. Padahal kami sudah berencana akan mengadakan pengajian dan tasyakuran untuk aqiqah putri kedua kami. Takdir Allah berkehendak lain. Diusianya yang ke-38 hari, Pelangi demam. Aku dan Mas Frengky membawanya ke Rumah sakit tempat di mana ia dilahirkan. Trombosit terus menurun, Pelangi sempat kejang beberapa menit sebelum menghembuskan napas terakhirnya.
Aku sendiri tak paham, penyakit apa yang bersarang di tubuh Pelangi. Penjelasan Dokter tak ada satu pun yang berhasil kucerna. Aku hanya bisa pasrah dengan berlinang air mata saat itu.
Bahkan, masa nifasku belum berakhir. Jahitan di perutku masih basah dan di saat yang bersamaan, aku harus menghadapi kenyataan pahit bahwa putriku sudah tiada.
Masih terekam dengan jelas, saat Pelangi menyusu dengan kekuatan super. Seakan air susuku tak bisa membuatnya kenyang. Pelangi terus saja menyusu seperti orang kelaparan, hingga aku memutuskan untuk memberikan susu formula sebagai selingan. Namun anehnya, lima menit setelah menyusu, Pelangi selalu memuntahkan kembali air susu yang sudah ditelan.
Hal itu membuatku takut, mengingat dulu waktu Cahaya masih bayi tak pernah sesering itu muntah. Namun, pernyataan bidan dan mertuaku membuat rasa cemas di hatiku menghilang menjadi lega.
Mereka bilang itu hal yang lumrah dan wajar terjadi pada bayi. Sejak saat itu, tiap kali Pelangi muntah, aku menganggapnya sebagai hal yang biasa karena kekenyangan atau gumoh biasa orang menyebutnya.
Kejadian itu berlanjut hingga tiba-tiba suhu Pelangi semakin naik, dahinya panas dan tubuhnya seperti lemas. Ia terus saja muntah, disertai tangisan yang meraung-raung tak kunjung berhenti.
Aku yang bingung dan panik kala itu, segera menghubungi Mas Frengky untuk membawa kami ke Rumah sakit.
Dua hari di Rumah sakit, kondisi Pelangi tak kunjung membaik, malah semakin memburuk.
Hingga tak terasa, ia tiba-tiba pergi tanpa pamit atau memberikan pesan kepadaku.
Aku menyesal, tiap kali melihat bayi perempuan yang baru lahir. Aku selalu terbayang wajah Pelangi. Hal itu terus berlanjut hingga dua bulan kepergian Pelangi. Mas Frengky dan mertuaku selalu membujuk untuk membawaku ke psikolog. Dengan alih-alih ingin menyejukkan otakku. Karena kala itu tak ada satu orang pun yang bisa menghiburku untuk mengurangi kesedihan karena kepergian Pelangi.
Aku tak lagi peduli akan Mas Frengky, kehadiran Cahaya pun tak mampu membuatku tenang di saat bersedih kehilangan Pelangi.
Rasa penyesalanku teramat dalam untuk Pelangi, baru saja kutimang, kumanja dan kusayang. Dengan cepat sudah diambil alih oleh sang Pencipta. Rasanya waktu begitu cepat berlalu, bahkan aku belum bisa mendengarnya mengucapkan kata Bunda.
Mas Frengky sengaja membawa Rosa, untuk menemani, menghiburku dan menyiapkan semua keperluanku. Entah dari mana wanita itu berasal. Aku pun langsung menyetujui, karena Rosa wanita yang baik saat itu. Ia dengan telaten merawatku, Rosa begitu tanggap dan cekatan ketika aku butuh. Menurutku, dia wanita yang baik dan sopan.
Umurnya pun tak jauh berbeda denganku. Hanya saja ketika kutanya perihal status, ia mengaku single. Belum ketemu lelaki yang pas dan cocok sesuai kriteria katanya.
Ah ... pikiranku semakin jauh melayang.
Kini, aku sudah bangkit. Aku sudah tak terpuruk lagi akan kepergian Pelangi. Aku akui semua itu tak lepas dari dukungan Mas Frengky dan Rosa yang selalu setia menghiburku, juga Cahaya yang selalu sabar menanti Bundanya kembali ceria.
Aku tak menyangka, pernyataan Cahaya berhasil membuatku tercengang dan syok. Mungkin kah Mas Frengky mengkhianati janji suci kami, apa lagi dengan Rosa, meskipun dia cantik dan seksi. Namun, statusnya? Yakinkah Mas Frengky berselingkuh dengan Rosa?
Aku tak akan tinggal diam jika itu beneran terjadi, aku harus bisa menguak semuanya. Ini rumahku, jerih payahku dan aku Ratu di istanaku.
Tak ada yang boleh merusak istanaku, tidak satu orang pun. Termasuk, Mas Frengky!
Ngomong-ngomong soal Mas Frengky. Dia adalah suamiku, tujuh tahun kami menikah setelah setahun pacaran. Kami bertemu di Restoran miliknya. Kebetulan saat itu aku sedang bersantai bersama karyawan butik. Karena ada salah satu pesanan yang tidak sesuai, aku mencoba berbicara baik-baik dengan Manajer Restoran dan sampailah masalah tersebut ke telinga Owner, yakni Mas Frengky. Dari sana lah kami akhirnya bisa dekat dan mencoba menjalin hubungan, hingga tak menyangka dipersatukan dengan ikatan suci. Kini kami dikarunia putri yang cantik. Hidupku semakin lengkap ketika memiliki Cahaya lalu ditambah dengan kehadiran Pelangi. Tapi nyatanya, hidupku tidak sesempurna yang aku bayangkan.
Sekarang, aku harus mencari tahu asal-usul Rosa. Siapa dia sebenarnya?
Baru empat bulan dia bekerja sebagai asisten di rumahku. Aku sudah menganggapnya sebagai Adik. Begitu pun Mas Frengky. Tak ada sikap yang aneh di antara mereka. Atau aku yang terlalu naif?
“Permisi, Mbak Nayla. Aku panggil dari tadi nggak ada sahutan. Mbak Nayla sudah enakan?” tanya Rosa menghampiriku sembari membawa nampan berisi segelas air putih dan salad buah.
“Iya, perutku masih sakit. Tapi sedikit, nanti juga sembuh!” jawabku sambil menetralisir perasaan.
Ketika melihat Rosa, aku jadi teringat celotehan Cahaya beberapa menit lalu yang terus terngiang-ngiang di telingaku.
Ingin rasanya tangan ini menjambak rambut panjangnya dengan sekuat tenaga. Namun, tentu saja kuurungkan niat itu, sebelum aku membuktikan sendiri bahwa dia ada main gila dengan suamiku.
“Mbak Nayla perlu sesuatu?” tanya Rosa dengan dagu terangkat. Alisnya naik turun menatapku dengan senyum melengkung.
Aku menggeleng lemah, eh ... tunggu. Alisnya, seperti ada sesuatu yang berbeda.
“Alismu kenapa itu?” tanyaku menggantung.
“Eh, oh ... ini, Mbak. Iya, habis aku sulam. Cocok nggak, Mbak?” tanyanya malu-malu. Ia tampak salah tingkah.
“Bagus!” sahutku jutek.
Rosa tersentak, ia sepertinya kaget. Mengingat nada bicaraku tak seperti biasanya.
“Mbak Nay istirahat, aja, dulu. Rosa mau temenin Cahaya tidur,” ujarnya lirih.
Aku hanya mengangguk, Rosa keluar dan menutup pintu dengan pelan.
Nafasku memburu, tak beraturan. Kuambil air putih yang disiapkan oleh Rosa, kuteguk hingga hampir tandas. Tetap saja kerongkonganku terasa tercekat, hatiku juga masih panas. Air putih tersebut hanya menghilangkan dahagaku, tidak dengan sakit hatiku.
Namun, beberapa menit kemudian. Aku menguap, kantuk menyerang terasa kuat. Rasanya tubuhku mendadak ringan bak terbawa angin. Hingga tak sadar, mataku pun terpejam. Aku tertidur dengan pulas.
*
Pov Author
Sementara itu, di kamar Rosa. Wanita dengan tubuh semampai dan sedikit semlohay itu sedang asyik menelefon seseorang.
“Iya, ih, Mas. Mbak Nayla itu kampungan banget, masak nggak ngeh kalo alisku habis disulam. Tunggu aku naik turunkan dulu baru dia nyadar, nyebelin ish. Dia juga nggak nanya soal eyelashku, padahal kentara banget loh, kalau bulu mataku sekarang jadi lebih panjang dan lentik!” kata Rosa mendayu-dayu di ujung telefon.
“Hahaha, ya, begitulah. Nayla memang datar orangnya. Tidak begitu suka membahas hal yang tak penting. Udah, ah, aku masih sibuk, jangan telfon terus!” ucap suara bariton khas lelaki di seberang.
“Oke, deh. Semangat kerjanya. Cari uang yang banyak, karena nafkahmu bukan untuk anak dan istrimu saja. Aku juga, dong! Oh, ya ... jangan lupa, loh. Nanti malam,” goda Rosa seakan memancing sesuatu.
“Ya pasti, dong. Eh, gimana? Kamu udah kasih ‘vitamin’ ke minumannya ‘kan?”
“Udah, nanti malam lagi, lah. Biar makin jos tuh ngoroknya!” Rosa terkekeh menutup mulutnya, menganggap hal itu lelucon.
“Sip, deh. Ya sudah, aku tutup, ya!”
Klik!
Belum sempat Rosa memberikan jawaban, seseorang di seberang sudah lebih dulu mematikan sambungan.
“Ish, sama-sama nyebelin!” Rosa membanting ponselnya ke atas kasur. Matanya menerawang jauh.
‘Berapa lama lagi, ya, aku jadi Ratu? Bosen ah, empat bulan ini jadi pelayan terus. Capek!’ keluh Rosa dalam hati.
‘Sabar, tinggal selangkah lagi. Ini semua pasti jadi milikku!’
Senyum manis mengembang dari bibir ranumnya.
***
##BAB 2 Merasa Aneh Dengan Perubahan Pembantu SeksiRasanya sudah terlalu lama aku terlelap. Entah kenapa aku tidur seperti orang yang tak sadarkan diri, tapi badanku rasanya pegal, seperti orang kesemutan.“Hmmm ... jam berapa ini, ya?” lirihku sembari meraba nakas yang berada di samping tempat tidurku. Aku mencari benda elektronik berbentuk pipih untuk melihat waktu.Memang sengaja di kamar tak ada jam dinding yang menggantung. Aku lebih suka tidur dan beristirahat tanpa dikejar waktu, mungkin sifat itulah yang membuat Bu Romlah, mertuaku, menyebut aku tukang molor. Setelah mendapatkan ponselku, aku bergegas melihat barisan empat angka yang tertera di layar ponsel.“Pukul 08.30 WIB. Wah, selama itukah aku bergelut dengan alam bawah sadar hingga bangun kesiangan seperti ini?” kataku berbicara pada diri sendiri.“Mas Frengky pasti sudah berangkat ke Restoran. Kenapa aku tak sadar sama sekali, bahkan kepulangan Mas Frengky kemarin tak sedikitpun membuatku sadar dan terbangun.”Aku menc
##BAB 3 Minta UangSetelah menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sempat tertunda kemarin, aku berpamitan pada karyawan untuk pulang.Aku mempercayakan butik pada Keysa, gadis berusia dua tahun dibawahku ini sudah menjadi kanan tanganku semenjak beberapa tahun yang lalu. Karena reward yang sering ia dapatkan setiap bulan dengan notabene karyawan teladan, serta sikap loyalnya pada butik yang aku pimpin, membuatku tak segan menjadikannya orang kepercayaan.Keysa sudah berumah tangga, namun hingga sekarang belum dikarunia momongan. Suaminya yang seorang abdi negara, sering bertugas dan jarang pulang ke rumah, kadang untuk menikmati liburan cuti pun hanya beberapa hari sebelum akhirnya kembali lagi untuk bertugas. Hal itulah yang membuatnya bekerja di butik ini sebagai staf administrasi. Awalnya hanya iseng untuk mengisi waktu luang. Namun lama kelamaan ia merasa betah dan nyaman di butik, sehingga menempati bukti sebagai rumah keduanya. Sikap setia kawannya patut diacungi jempol, bekerja
##BAB 4 Merasa Terlena“Iya, kemarin memang untuk modal. Resto akhir-akhir sangat sepi, Bun. Sering kali bahan masakan sisa karena nggak laku, jadi uang terpakai untuk modal. Muter gitu terus, puncaknya, sih, minggu ini, Bun. Gara-gara ekonomi yang semakin krisis, orang-orang jadi berhemat dan jarang makan di Resto,” ujar Mas Frengky dengan tatapan yang sulit kuartikan benar atau tidaknya. Tapi, memang ada gurat kesedihan di wajah tampannya.Ah ... lagi-lagi aku jadi tak tega.“Oke, nanti aku transfer. Tapi janji, ya, dibalikin? Nyicil sejuta-sejuta juga nggak papa, asal ada pemasukan untuk kembali,” cengirku.“Siap, Bundaku Sayang!” kata Mas Frengky sembari menarikku dalam pelukannya.“Eh, udah ah. Nanti kelamaan batal berangkat, deh,” sahutku sembari berlanjut memoleskan bedak.Kali ini pilihanku jatuh pada gamis berwarna gading dengan hijab pashmina serut. Karena malam hari dan kami akan dinner di tempat elite, maka aku membubuhkan makeup yang sedikit tebal agar kentara. Setelah si
##BAB 5 Wanita dan Bocah AsingApa tak ada kata selain sabar yang bisa sedikit saja menenangkan pikiranku saat ini.“Sekarang gini, boleh aja kamu usir Rosa, tapi apa kamu udah menemukan pengganti Rosa yang sekiranya cocok dengan Cahaya? Tolong, Bun. Pikirkan anak kita, anak satu-satunya yang kita miliki saat ini.” Mas Frengky seakan-akan menekankan kata satu-satunya, membuatku teringat lagi akan Pelangi.“Gampang, asal Rosa pergi dulu dari sini. Aku nggak mau, Mas, Cahaya jadi anak yang rusak!” ketusku.“Rusak bagaimana, sih, Bun? Jangan berlebihan, bukankah selama ini kamu juga cocok dengan Rosa, malah berulang kali aku dengar kamu membangga-banggakannya, kenapa sekarang nggak lagi?” tanya Mas Frengky tajam.“Sekarang udah beda, semenjak dia meracuni pikiran Cahaya, aku udah nggak sudi melihatnya!” sahutku tak kalah tajam.“Oke, aku ada satu ide. Hal ini harus dilakukan demi kenyamanan bersama, kalau memang kamu bersikeras ingin mengusir Rosa dari sini,” kata Mas Frengky.“Apa? Aku
BAB 6 Sekotak MartabakSesampainya di rumah aku bergegas masuk ke dalam, dari ruang tamu Cahaya sudah menyambutku dengan senyum mengembang.Matanya berbinar saat melihat sekotak martabak di tangan kananku.“Wah, Bunda bawa martabak, ya?” tanyanya riang.“Iya, dong kesukaan Cahaya,” jawabku sembari merengkuhnya dalam dekapan.Mataku menyapu sekeliling, “Ayah mana, Nak?”Cahaya seperti bingung akan menjelaskan sesuatu. Bibirnya digigit dengan kuat, aku paham betul jika Cahaya melakukan itu, tandanya ada sesuatu yang takut untuk dikatakan.“Aya, denger Bunda ‘kan, Nak? Ayah di mana?” aku mengulang pertanyaanku.“Di atas lagi siram bunga, Bunda. Yuk, Bunda main sama Aya, ya. Kan tadi sudah janji!” kata Cahaya sembari menarik tanganku menuju ke ruang keluarga.Ada yang tak beres, kenapa aku tak melihat juga keberadaan Rosa? Apa dia sedang bersama suamiku?Ah ... seandainya saja aku tak harus mendengar celotehan Cahaya tempo lalu, tentu pikiranku tak akan menerka hal buruk seperti sekarang.
BAB 7 Obrolan bersama GilangSetelah puas berbincang dengan Gilang, aku menyusul Mas Frengky dan Cahaya di saung belakang, dekat dengan kolam ikan. Mereka tampak seru memberi makan ikan, ada binar bahagia yang tercetak dengan jelas dari mata Cahaya.Kuhampiri mereka, untuk menikmati makanan yang sudah disiapkan oleh beberapa karyawan, menu khusus alias spesial yang biasa kami pesan.“Yuk, makan dulu, mumpung masih hangat!” seruku mengajak mereka untuk segera melahap makanan dan bergegas pulang.Sesampainya di rumah, aku terlebih dahulu membersihkan diri, sebelum bergabung bersama ibu mertua dan kedua adik iparku yang sedang berkumpul di ruang keluarga.Aku memakai baby doll santai lengan panjang dengan motif teddy bear, tak lupa memakai jilbab instan.Setelah kurasa tampilan cukup fresh, aku ikut bergabung bersama mereka yang sedang menikmati siaran televisi.Rosa tampaknya sudah lebih dulu bergabung, ia terlihat dekat dengan ibu mertua, terbukti dengan keakraban mereka, bahkan Rosa t
BAB 8 PerjanjianIbu mertua dan kedua adik ipar bergegas pulang setelah usahanya tak membuahkan hasil.Aku pun tak peduli, jika mau perhitungan, sudah banyak yang aku berikan untuk mereka.Mulai dari merenovasi rumah peninggalan bapak mertua yang luasnya dua kali lipat dari rumah yang ku tempati, mobil alphard yang mereka bangga-banggakan, serta biaya hidup keseharian juga aku yang menanggung, namun tentu saja dengan dalih pemberian dari hasil usaha Resto Mas Frengky. Sudah kubilang bukan aku tak mau menyombongkan diri di depan mereka atas pencapaian ku selama ini.Akhirnya aku bisa bernapas lega, setelah semua benalu itu pulang.Aku merebahkan tubuhku ke tempat tidur, meregangkan sedikit otot-otot yang mulai kaku karena tegang.Ceklek!Suara pintu terbuka dari luar, rupanya Mas Frengky dengan senyuman lebar menghampiriku.Ia mendesah pelan, berkali-kali menghembuskan napas kasar.“Bun ...,” panggilnya sambil memijat telapak kakiku.Aku hanya berdehem sambil memainkan ponsel.Ia terus
BAB 9 Suara AnehAku bergegas mengambil kunci cadangan yang tersimpan rapi dalam laci. Dengan mudah pintu kamar Rosa terbuka.Kriet ....Aku melongokkan kepala ke dalam kamar, tampak remang dan minim cahaya karena lampu kamar yang dimatikan.Dengan penglihatan yang minim bantuan cahaya dari luar, kupencet saklar lampu yang berhasil kutemukan dengan cara meraba. Hingga kamar menjadi terang benderang.Ada seseorang yang bersembunyi di balik selimut.Setelah kuamati ternyata Rosa sedang meringkuk di dalam selimut.Aku menatapnya dengan heran, kuhampiri dia yang sedang mendesis.“Kamu kenapa, Ros?” tanyaku sembari membuka selimutnya.Wajah Rosa tampak pucat, ia menatapku sambil menggeleng.“Kamu sakit?” tanyaku memastikan.Dia hanya menggeleng lemah.Aku mengambil tempat untuk duduk di samping ranjang, kupegang dahi Rosa, aku takut dia demam.“Nggak panas kok,” ujarku setelah memastikan kening Rosa tak masalah.“Sedikit pusing, Mbak. Aku boleh minta tolong belikan obat sakit kepala?” kata