Part 14 MenagihAlhamdulillah ... alhamdulillah, tak hentinya aku mengucap syukur atas berita ini. Tak ada yang lebih membahagiakan dari sebuah solusi masalah besar yang menimpa Mila. Bahkan yang memberikan bantuan adalah bapak mertuanya sendiri. Ternyata di rumah besar itu tidak semuanya jahat. Alhamdulillahirabilalamaiin.“Bu Yuni, aku sudah minta tolong orang lain buat jualkan tanahku. Mungkin ini akan memakan waktu lama karena jual tanah tidak lah mudah. Jika istri dan anak-anakku datang menagih, janjikan saja. Dan tolong jangan beritahu mereka tentang kedatanganku hari ini,” jelas pak Joko.“Aku juga, Bu. Tolong rahasiakan. Lagian aku tak mau bermasalah dengan suamiku.” Ajeng juga mengambil sikap yang sama dengan bapak mertuanya.“Ya Allah, semoga Bapak dan Ajeng selalu diberi kemudahan dan rezeki lancar. Padahal kita tidak ada ikatan darah namun pertolongan ini lebih dari apa pun. Masalah rahasia ini, insyaAllah akan terjaga. Justru aku dan Mila sangat berterima kasih.” Air mata
Part 15 Bangkit Dan Semangatlah Anakku“Pergi!” Teriak Mila dengan suara yang sangat lantang.“Astaga, berani dia berteriak sekarang, Bu,” kata Rosi.“Dasar orang miskin tak tau m*lu!” Hinaan dilontarkan dengan lancar dari mulut bu Ida.Bu Ida dan Rosi langsung melotot seolah tak percaya kalau anakku bisa seperti ini. Aku saja yang ibunya sangat terkejut. Biasanya Mila patuh dan diam menurut. Bahkan tak banyak bicara. Kali ini, semua bertolak belakang seperti sebuah amarah yang terpendam mendadak keluar saking tak bisa ditahan lagi. “Kamu mengusirku? Apa kamu nggak mikir kalau aku masih suamimu!” jawab Haris. Bahkan ia tak ragu memarahi anakku di depanku.Enak saja ia berbuat tidak baik sementara ini di rumahku dan di depanku. Kapan perlu kulayangkan pisau daging pada lelaki yang masih berstatus menantu.“Hey!” Kutunjuk Haris. “Jangan coba-coba berteriak di rumahku dan di depanku. Mila adalah putriku yang diperlakukan tak baik setelah kamu nikahi. Kamu bukan suami yang baik. Tetapi k
Part 16 Mencari Tahu Sehingga Terungkapnya Hal LainAku berdiri tenang melihat apa yang akan dilakukan Mila. Membiarkan dia menumpahkan emosi adalah salah satu cara agar tidak tertahan di hati dan akan menjadi penyakit. Ini hanya pemikiranku saja. Karena menganalisa dari sikapnya, kala dia memendam sendiri masalah, terlihat tertekan dan bahkan ketakutan. Setelah ia mulai melawan, rasa takut sedikit demi sedikit menghilang atau pergi. Kini, ia mulai tampak lebih baik dari sebelumnya. “Apa yang kamu lakukan!” teriak Haris sambil bengkit dari duduk. Rambut dan seragamnya basah. Bahkan wanita yang duduk mesra di sampingnya juga ikut terkena percikan air.“Hhhah! Siapa wanita gila ini, Mas?” ucap wanita itu yang mengatakan putriku gila.Tentu pertunjukkan ini jadi pusat perhatian orang yang ada di rumah makan ini. Bahkan ada yang mulai merekam kejadaian dengan mengarahkan ponsel. Aku juga merekam dengan pura-pura memegang ponsel saja agar jangan ketahuan. Tujuanku ingin mengumpulkan bukti
Part 17 BerbalikSemua mata tertuju pada Gibran anaknya Jhoni. Tak disangka Allah membuka dan memberikan jalan padaku dan Mila. Aku yakin, doa orang-orang teraniaya akan terkabul. Seperti anakku yang teraniaya dalam kasus ini.“Ooh, jadi Gibran dikasih lilin sama Raka?” Kuulangi yang terdengar. Ajeng belum melepaskan tangan dari mulut anaknya.Raka hanya terdiam seperti patuh pada ibunya. Sementara semua mata sudah tertuju pada Raka dan Ajeng.“Apa kamu bilang, Nak?” tanya Jhoni menatap putranya.“Apa kamu nggak dengar kalau anakmu kasih lilin pada Gibran yang hanya berumur dua setengah tahun dan tentu belum mengerti!” Saking geramnya, kuucapkan dengan lantang. “Dan kalian semua menuduh dan menekan anakku hingga ia stres! Anakku yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari rumah ini justru sebaliknya. Malah yang bukan kesalahannya dia membayar dengan tenaga dalam ketakutan!” Rasanya aku mau cab*k-c*bik mereka semua. Anakku sudah mengalami tekanan hidup yang bukan kesalahannya tetapi
Part 18 DiceraikanAneh sekali, Bu Ida dan Haris datang dengan wajah baik, sambil membawa buah tangan. Perubahan yang hanya hitungan jam saja. Aku tahu maksud kedatangan mereka. Tetapi, bukan karena buah dan beras ini aku akan luluh. Apa yang terjadi degan Mila tidak bisa dimaafkan. Luka batin tak semudah mengobati luka fisik.“Ini, Mila.” Bu Ida masih menyodorkan kantong berisi buah-buahan itu pada putriku.Mila diam tanpa menjawab. Hanya terpana saja dengan tatapan ..., ah, aku tidak bisa mengartikan tatapan putriku kali ini.“Buat apa kalian datang ke sini?” tanyaku ketus. Untuk mereka tidak perlu berbaik-baik. Baik hanya ada maunya saja. Lebih baik kibarkan bendera peperangan biar jelas kalau aku sangat geram dengan mereka.“Oke, kalau pemberianku ini ditolak, tak masalah.” Bu Ida menurunkan tangannya karena buah tersebut tidak diterima Mila.“Bu, aku ke sini dengan niat baik.” Haris bicara terdengar sangat ramah. Loh? Ke mana ucapannya menghina anakku kala di rumah makan ketahua
Part 19 Fitnah tersebar di kampungAku berlari mengejar mereka dengan memegang pisau dapur. Kala anakku tersakiti, melukai mereka rasanya tak ragu. Keberanian ini muncul karena tak ingin mereka semakin menjadi menyakiti Mila dengan kata-kata. Biar mereka berduit, aku tak takut karena makan bukan dari uang mereka. Intinya tidak bergantung mereka kenapa harus takut. Selagi aku sehat dan kuat, apa saja dilakukan melindungi putriku satu-satunya.“Jangan pernah kalian kembali! Awas kalau menginjakkan kaki di rumahku lagi!” teriakku mengejar mereka. Namun sayang, Haris dan ibunya sudah meninggalkan rumah ini dengan melaju mobil seperti ketakutan. Bahkan ladang sayurku sedikit hancur karena diinjak mobil.Astagfirullahalaziim, kalau mereka tidak cepat lari meninggalkan rumah ini, mungkin aku khilaf dengan melukai mereka. Bahkan Mila tetap santai berdiri tanpa mencegah.“Ibu nggak usah capek-capek. Aku tak akan sedih dengan perceraian ini.” Mila mengambil pisau dari tanganku. “Aku mau lanjutk
Part 20 Pembawa Sial?“Uangku! Uangku!” teriak bu Ida kala jambret tasnya sudah tak terlihat lagi.Orang-orang berkerumun melihat Bu Ida terduduk di lantai pasar meratapi tasnya. Raka ikut menangis melihat neneknya. Namun tak ada yang bisa dilakukan bocah itu, kecuali mengadu ke papanya yang seorang polisi nantinya, mungkin.Aku ikutan mendekati Bu Ida. Teman-teman sesama penjual di sekitar lapak juga tahu kalau Bu Ida adalah besanku. Namun mereka belum tahu kalau anakku sudah dicerai dan mungkin proses cerai pengadilan sedang diajukan karena mereka orang-orang berduit dan mungkin lebih cepat bergerak.“Sabar, Bu. Sabar.”“Cepat sekali jambretnya lari.”“Iya, tadi aku sempat kejar tapi ia sudah naik motor duluan.”“Sepertinya mereka sudah mengikuti dari tadi.”Terdengar beberapa orang-orang mencoba menenangkan Bu Ida.“Raka, telpon papamu pakai hp ini.” Aku menawarkan ponselku pada Raka. Kasihan bocah ini tampak kebingungan.“Ya, Nek,” jawab Raka bangkit dan mengulurkan tangan mau men
Part 21 Tuduhan Lagi“Sebaiknya nggak usah diterima, Bu,” ucap Mila melanjutkan mengiris daging.“Aneh, kenapa Pak Yoyok perhatian sekali padamu? Kok tiba-tiba aja ya, Mil?” “Entahlah, Bu. Aku nggak mau pusing masalah dia.”Pak Yoyok juga teman almarhum suamiku. Masa ia berniat mau dekat dengan Mila? Lagian anaknya juga seumuran Mila. Lagian istrinya baru dua tahun ini meninggal karena serangan jantung. Selama ini, ia termasuk orang yang tidak banyak berulah di kampung ini. Malah sangat aktif dalam kegiatan warga.Baru saja mau mencuci beras, ponselku berdering. Aku beranjak ke meja mengambil ponsel, ternyata ada panggilan masuk dari Bu Ida.“Mau apa dia? Apa belum puas perang mulut di pasar,” gumamku.Ada rasa ragu menerima ponselnya, karena mengingat pasti hanya akan cari masalah. Kuputuskan mengabaikan dan melanjutkan mencuci beras.Akan tetapi, ponselku berdering lagi hingga Mila keluar dari kamarnya dan melihat ponselku di meja. Alisnya berkerut melihat siapa yang menelepon. Tan