Share

ANGEL (2)

"Sore Mbak May." Seseorang menyapa May ramah.

"Sore Pak Jo." May membalasnya.

"Mukanya kenapa mbak? Kok lebam gitu?"

"Oh ini, biasa Pak. Orang jahat gangguin saya."

"Lain kali hati-hati Mbak. Ini siapa? Pacar?"

"Bukan, ini teman saya. Namanya Ares."

"Teman dari mana? Kok saya baru lihat, temannya Mas Tan?"

"Bukan temannya Kak Tan."

"Saya Ares, saya dari sur-" Aku belum selesai berbicara, May sudah memotongnya.

"Dari Surabaya, Pak. Kalau begitu saya permisi, Pak."

May menggandengku meninggalkan Pak Jo yang kebingungan. Aku terus mengikuti kemanapun May pergi. Sampai di sebuah pintu aneh, kami berhenti sebentar. Aku terkejut, sangat terkejut melihat pintu itu terbuka sendiri.

"MAY!" Teriakku yang membuat May terkejut.

"Apa? Tidak usah berteriak."

"Pintu apa ini? Kenapa bisa terbuka sendiri?"

"Ini namanya lift."

"Lift?"

"Iya, lift itu pengganti tangga."

"Bagus." Gumamku sambil melihat sekeliling.

Aku dan May sudah berada di dalam lift, aku melihat May memencet tombol yang menunjukkan angka-angka.

"May kau melakukan apa?" Tanyaku bingung.

"Aku memencet tombol yang menunjukkan nomor lantai apartemenku." Jawabnya.

"Owh, hebat sekali tempat ini." Aku tersenyum girang.

"Senyum malaikat memang indah ya?"

"Malaikat tidak menunjukkan perasaannya." Kataku.

"Tadi kau menunjukannya." Ucapnya dan sangat membuatku terkejut.

"Benarkah?"

"He em, kamu menunjukannya." Katanya sambil mengangguk.

Aku menghela nafas singkat, "Aku sudah melanggar aturan untuk pertama kalinya." Ucapku terkejut.

"Tak apa, sekarang kau di bumi bukan di surga. Jadi, kau bebas berekspresi."

"Kau menghasutku?" Tanyaku curiga.

"Tidak."

Ting...

Pintu lift terbuka dan Aku mengikuti May dibelakangnya. Tak sampai lima menit kami tiba di depan pintu masuk apartemen May. Setelah kami masuk, aku terpukau melihat apartemen May yang tidak terlalu luas namun sangat rapi.

"Duduklah dulu, aku akan mengambil kompres dan obat untukmu." Ujarnya, lalu pergi meninggalkanku.

Sambil menunggu May kembali, aku melihat sekeliling apartemen May. Aku memang mengenalnya tapi tidak dengan apa yang dia punya selain keluarganya. Aku melihat foto-foto terpajang rapi di setiap rak dan ada juga di meja. Kebanyakan foto May dan Tan, kakaknya. Ada beberapa foto ayah dan ibunya, hanya sedikit. Aku mengambil salah satu foto yang membuatku tertarik untuk melihatnya. Tanpa ku sadari ternyata May sudah kembali.

"Itu foto sehari sebelum Kak Tan meninggal."

"Aku tau." Jawabku dan meletakkan kembali foto itu ke tempatnya.

Aku berjalan mendekati May dan ikut duduk disampingnya. May mulai mengobatiku dan membuatku sedikit merasa sakit yang tentu saja tak pernah kurasakan.

"May, pelan-pelan. Sakit."

"Iya, ini sudah pelan."

"Ini sakit, May."

"Sudah dan ini. Minum ini." Dia memberikan sesuatu berbentuk lonjong.

"Apa ini?" Tanyaku.

"Obat, minumlah. Itu bisa mengurangi nyeri lebamnya."

Aku mengikuti perintah May untuk meminumnya dan sungguh rasanya tidak enak sama sekali. Aku cepat-cepat memuntahkan sesuatu aneh bernama obat itu.

"Apa ini?! Kenapa begini?! Rasanya tidak enak." Gerutuku dan May memukul pelan kepalaku.

"Namanya juga obat, ya begitu rasanya. Pahit. Ini juga salahmu, aku sudah memberimu air minum dan kau tidak meminumnya bersama obat tadi." Ujarnya. "Ini minum lagi, kali ini jangan lupa minum airnya." Sambungnya.

Aku meminum lagi obat itu, kali ini dengan air minum.

"May?!"

"Telan cepat."

"Tidak bisa! Ini berhenti di leherku! Pahit, May!" Aku mulai histeris, karena tidak bisa menelan obat itu.

"Minum airnya lagi, sampai habis kalau perlu."

Aku meminum airnya sampai tidak tersisa lagi dan aku berjanji tidak akan meminum benda semacam itu lagi.

"May, kenapa obat rasanya pahit?" Tanyaku. Sepertinya itu pertanyaan konyol untuk May, buktinya dia menahan untuk tidak tertawa.

"Aku tidak tahu, karena bukan aku yang membuatnya." Jawabnya.

"Benar juga."

Kriuk..

Itu bunyi dari perutku dan untuk pertama kalinya perutku berbunyi. Aku bingung harus apa, karena malaikat tidak pernah merasakan lapar.

"May, apa kau punya makanan? Sepertinya aku lapar." Tanyaku pada May dengan wajah memelas.

Aku mengelus perutku, aku kelaparan, jadi ini yang dirasakan manusia. Kenapa malaikat tidak merasakannya? Dan kenapa kekuatanku tidak berfungsi untuk menahan lapar? Ada apa denganku? Apa aku berubah menjadi manusia? Tidak! Itu tidak benar, Aku seorang malaikat. Aku terus memikirkannya dan May melihatku dengan heran.

"Ares, kau baik-baik saja?" Tanyanya dengan nada khawatir. "Tunggu sebentar, aku akan mengambilkanmu makanan." Ucapnya lalu pergi.

"Ini, makan ini dulu. Aku belum memasak makan malam." Mau memberiku makanan yang aku pun baru melihatnya.

"Apa nama makanan ini?" Tanyaku sambil menyuapkan makanan yang rasanya enak daripada obat.

"Roti dan isinya selai kacang."

"Enak, lebih enak dari obat." Kataku dan May terkekeh.

"Kalau begitu habiskan dan itu air minumnya." May menunjuk air minum yang sudah terisi penuh kembali.

"Baiklah, ini enak sekali. Aku pasti akan menghabiskannya. Aku belum pernah makan ini sebelumnya. Bahkan, aku tidak pernah makan." Kataku.

"Iya, aku tahu. Aku juga mempelajari malaikat di sekolah." May tersenyum ke arahku.

.

.

.

To Be Continue...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status