Susah payah meniti tangga, akhirnya telapak kaki ini sampai juga di lantai dua. Langkahku tertatih dan berat. Gelap. Entah karena otakku buntu atau memang tak ada penerangan yang cukup dari lampu. Hanya pencahayaan dari dalam sebuah kamar di dekat tangga yang memberiku penerang jalan. Itupun sepertinya karena pintunya sedikit terbuka. Untunglah, kalau tidak mungkin aku hanya bisa meraba dan mengira. Padahal kepalaku terasa berat, pening tak karuan.
Langkahku masih terhuyung. Pandanganku pun mengabur. Ah aku ini sebenarnya kenapa?
Bagai laron musim hujan kakiku pun tertarik melangkah menuju terang, membuka pintu sipit itu agar melebar. Alisku pun naik turun saat pupil menyesuaikan pencahayaan.
Kubuka pintu itu, melangkah masuk memeriksa isinya setelah menguncinya.
Sedang mimpi kah? Mungkin patah hati membuatku sedikit tak waras. Bagaimana mungkin kutemukan seorang gadis yang tak asing wajahnya terlelap di balik selimut. Gadis yang kucintai dengan kadar berlebih tapi melukaiku hingga terasa sedang disuntik mati.
Dia Riri.
Mungkin ini halusinasi. Yah semacam mimpi tengah malam begitulah, tapi tidak..
Kenyataannya aku sedang terjaga. Kugeleng-gelengkan kepala lalu membuka mataku lebar-lebar. Mendekatinya untuk memastikan jika pandanganku tak salah. Mengebas bayangan imajiner yang mungkin terimbas dari kesakitan hati.
Voila! Tak ada yang berubah. Dia memanglah Riri.
Di salah satu sisi ranjangnya aku berdiri, mencondongkan wajahku untuk memastikan lagi, masih takut salah. Dan ternyata dia masihlah Ririku, memang tunanganku, milikku..
Pucuk dicinta ulampun tiba.
Setelah gagal bercinta dengannya untuk balas dendam pada kakakku, hasratku pada gadis masih ini menjulang tinggi, ingin sekali. Sekian lama dia menjalin hubungan denganku tanpa mau disentuh, pedihnya dia malah memilih kakakku. Remuknya perasaanku saat berhasil menggrebek perselingkuhan mereka, saat dia bergumul mesra dengan Ranu kakakku, damn!
Kenapa harus dengan kakakku? Kenapa dia yang Riri pilih? Kenapa harus ada masa lalu mereka yang menjadi bom waktu, yang kini membuat tubuhku terpental jauh. Hingga tak ada seorangpun sanggup menolongku..
Baiklah! Jika Ranu kakakku bisa menjeratnya dengan hubungan terlarang, maka tak sepatutnya kesempatan di malam ini kusia-siakan. Aku pun akan melakukan yang demikian. Mari coba peruntungan yang sempat gagal, mari nikmati malam pertama kita Riri Sayang..
Kubuka kancing kemejaku satu per satu, kubuang ke lantai begitu saja hingga tersisa celana. Segera kusibak selimut yang menutup tubuh Riri kekasihku. Yah, dia kekasihku selamanya. Kak Ranu tak berhak atasnya. Riri milikku seorang..
"Kak..Ra..ma??"
Lirih suaranya meniup bulu halus di lubang telinga. Aku semakin bernafsu. Saat matanya menyadari kehadiranku, seketika kubungkam bibirnya. Juga saat tangannya mencoba menghalangi tindakan yang kulakukan pada dadanya, aku terus mencumbu.
Dia terus mencoba berteriak. Mendorong tubuhku dengan tangan kecilnya. Kusatukan tangannya yang mengganggu ke atas, kutahan dengan kuat di sana.
"Hiks.. Hiks.. Kak Ra..ma mau apa? Jangan.. Hiks.."
"Sst... Diam Ri! Diam! Ini akan lebih dari yang Ranu berikan."
Aroma tubuhnya ah ternyata sedap sekali, wangi bagaikan bunga jeruk bali di malam hari. Kurasa harus segera kutanggalkan semua.
"Tidak mau Kak.. Hiks.. Dosa. Hiks.. Hiks.."
"Biar aku yang tanggung dosanya, biar aku yang masuk neraka asal bisa merasakan dirimu. Jadi diamlah.." Bentakku parau. Untung saja Riri cukup kooperatif, dia tak berteriak keras.
"Hiks.. Takut Kak.. Jangan.. Hiks.."
"Diam!!"
Bentakanku akhirnya berhasil membuatnya terdiam, meskipun isak tangisnya menderu terdengar. Rapat menggugu bak anak ingusan. Munafik! Seakan segera kehilangan keperawanan saja, padahal mungkin tak terhitung Ranu menggaulinya.
Biarkan Riri hamil anakku, sama seperti dia pernah hamil anak kakakku. Biarkan aku egois kali ini.
***
Tik tok tik tok..Kudengar denting jarum jam di tengah kesunyian. Mataku mengerjap-kerjap ketika pupil menyesuaikan diri dengan cahaya lampu. Sejenak kemudian kusadari dingin menusuk tengkuk. Kuusap-usap perlahan, ah rupanya aku tidur tanpa pakaian. Celana berikut celana dalamku turun sepaha, jorok sekali bak bayi.Celanaku? Celana dalamku? Turun? Tunggu! Ini bukan kamarku.Aku tersentak, bangkit, lalu terduduk keheranan. Kamar siapa ini? Mataku semakin terbelalak lebar saat melihat meja rias yang penuh dengan beberapa benda khas perempuan. Ada bandana biru tosca, jepit rambut dan.. Sebuah boneka beruang berwarna cokelat yang tak tertolong tergeletak di lantai begitu saja.Glek! Aku menelan ludahku yang pekat. Seret. Rasanya leherku kaku saat menemukan kaki kecil menjulur keluar dari selimut di sampingku.Aku menoleh dan.. DAMN! SIAL!!Kamu gila Rama!! Gila!!Kedua tanganku mulai meremas rambut frustasi
***Follow me, comment dan kasih rating ya...***Anindya, Anindya, Anindya..Nama itu terus berloncatan di kepalaku. Nama seorang gadis kecil yang bahkan belum lulus SMP, gadis manis yang baru saja kuperawani, terus saja timbul tenggelam dengan sendirinya.Rama, seorang dokter melakukan pencabulan pada gadis di bawah umur. Dunia akan mengenalku demikian? Tidak! Betapa konyolnya jika muncul berita semacam itu.Usai keluar dari kamarnya, aku menghempaskan badan ke ranjang. Meninggalkannya sendirian setelah memastikan dia bisa berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dari sisa-sisa sentuhanku.Sekarang hanya giliranku berdoa, semoga Anindya, gadis kecil itu tidak melapor pada orang tuanya, terlebih pada ayahnya yang berprofesi sebagai hakim. Sial! Kenapa dia harus dititipkan di rumahku? Kenapa di saat aku hancur karena rencana pernikahan Riri -gadis yang ku
follow dan tinggalin jejak ya say***Akhirnya aku bisa bernafas lega setelah susah payah meminumkan pencegah kehamilan itu pada Anin. Meskipun harus beli sendok, minuman manis, permen, dan apapun itu aku rela. Setidaknya dengan begini aku tidak akan merasakan apa yang kak Ranu rasakan, menghamili anak umur 16 tahun. Memalukan.Ketika kucermati wajahnya yang berangsur lega tapi tetap mencuri lirikan-lirikan ketakutan padaku, tiba-tiba saja muncul hembusan angin iba membelai peri kemanusiaanku. Teganya aku menyakiti gadis kecil ini. Teganya aku melontarkan kalimat-kalimat keji tadi.Anindya.. Kenapa kamu harus bernasib seperti ini? Tapi harus bagaimana lagi, semua sudah terjadi di luar kehendak kita. Tanpa kita mau telah berada pada situasi yang salah. Pada akhirnya apapun yang terjadi, mari bersama-sama melupakan hal ini."Nin, mari lupakan semua." Tuturku lembut. Tenang bak air menggenang. "Anggap saja semalam tidak terjadi apa-apa. Jadi, ja
"Rama, tolong ajak Anin berangkat sekolah bareng kamu ya, Papa ngantor agak siang.."Aku mengangguk saja saat sarapan tadi Papa memintaku demikian. Sejujurnya suasana hati ini masih suntuk, marah tak tersalurkan pada orang tuaku setelah mengetahui fakta keterlibatan mereka pada takdir antara aku, Riri, dan kak Ranu. Entah mengapa tiba-tiba saja kesempatan untuk bisa berdekatan dengan Anin menjadi hiburan tersendiri. Aneh memang.Di dalam mobil, sesekali kulihat Anin berusaha menarik-narik ujung roknya untuk menutup paha. Padahal bagian itu sudah tertindih tasnya. Sebegitu khawatirnya bocah itu akan nafsuku."Nin, berapa usiamu?"Dia terdiam bahkan membuang muka ke jendela. Aku tersenyum santai. Melihat tingkah Anin yang begini, rasanya lucu saja mengingat Riri sempat menuduhku menginginkan bocah lugu ini. Konyol."Nin, kamu harus menganggap tidak pernah terjadi apapun di antara kita. Mari jalin hubungan seperti s
Pukul sepuluh malam. Sejak kulihat dia memasuki kamar tadi, otakku terus menerus mendikte raut wajah Anindya. Gerakan bibirnya, tubuh kecilnya, dan pikiran kotorku selalu berakhir dengan membayangkan yang bukan-bukan. Kuakui sejak malam itu, setelah sekian lama tidak berhubungan intim dengan gadis manapun, aku merasa kembali mengecap surga. Dia bisa menjadi obat untuk kepenatan pikiranku. Seorang Anindya pasti bisa menyenyakkan tidurku. Ah entah karena lama tak bercinta atau memang Anindya begitu indah hingga aku masih bisa mengingat gairah yang sudah-sudah setiap kali memandang wajahnya. Aku pun bangkit dari ranjang. Menggaet tshirt yang tergantung lalu memakainya. Lanjut kuberdiri di ambang pintu kamar. Menoleh ke kanan, ke arah pintu kamar yang dekat dengan tangga, kamar Anindya. Entahlah.. Hasratku padanya kian penuh, membuncah. Haruskah secepat ini aku melampiaskan kelelakianku padanya?
Anggukan Anin mengantarkan tubuhnya ke ranjang, di bawah kungkunganku. Selayaknya manusia yang akan mengecap surga dunia dari pintu neraka, aku pun tersenyum bahagia. Demikian jahatnya. Ya, aku tahu ini salah. Aku tahu. Gadis ini tampak sangat kecil di bawahku. Tubuhnya mungil. Wajahnya yang imut melengos tak sudi saat cumbuanku berusaha menghampiri bibirnya. Tak masalah, semua memang harus berjalan perlahan. Selama proses terus bergerak dinamis maka yang kubutuhkan hanya bertahan dan bersabar. Toh aku masih bisa menjelajahi lehernya, juga bagian-bagian sensitif lain yang menunggu giliran. "Geliii.." Protes Anin seraya berusaha mendorong dadaku. Terasa bak gelitikan mesra menjamah. Usaha yang sia-sia belaka jika dia ingin lepas dari lingkupanku. Kujepit kembali dagunya lalu segera mencumbu bibir kecil yang menggugah. "Buka bibirmu Nin.. Percayalah semua akan baik-baik saja."
"A..Anin.. ingin kak Rama."Ahh rasanya ada yang membesut telingaku untuk berbuat semakin liar. Kupastikan, kamu akan tunduk padaku Anindya.Kukecup bibirnya dengan haus yang teredam. Agar memeroleh kenyamanan sekaligus kehangatan.Keningku terlipat begitu saja ketika tiba-tiba bibirku terbungkam tangan kecilnya."Kenapa Nin? Cup!" Tanyaku seraya menyingkirkan jemari itu. Menggantikannya dengan ciuman yang syahdu dan kelak mungkin menghasilkan rindu seorang pecandu."Jangan beri ludah lagi kak, Anin jijik. Anin tidak mau!" Pintanya dengan menyusupkan nada iba. Gelisah penuh keluh kesah.Lugunya.. Gadis ini selalu dengan mudah menerbitkan senyumku. Menganjurkanku untuk membelai rambutnya agar bersembunyi dibalik telinga. Perlakuan yang menurunkan suhu panas di antara kami."Baiklah, apapun asal kamu menurut padaku."Ta
Aku benar-benar termanjakan. Luar biasa gesekan tubuh kami. Terasa hangat menggelayut, aku pastikan malam ini tak akan lekas berhenti. Jack akan terpuaskan sampai pagi. "Enghh.." Anin hanya melenguh kecil. Menahan suaranya agar tak teruar bersama udara. Masih menggigit bibir bawahnya. Bukti bahwa dia mulai menikmati ritme permainanku. Yes! Aku tak salah dengar, Anin terus mendesah. Dia bisa merasakan nikmatnya hubungan kami malam ini, yang bisa jadi berlanjut di malam-malam selanjutnya. "Suka kan Nin?" Anin mengangguk cepat. Refleksnya bekerja normal. Wanita mana yang bisa memungkiri performa prima Jack. Shit! Anin terus meracau tak karuan. Nada-nada rendah dari kepolosannya mengobarkan gairahku untuk mempercepat gerakan. Semakin cepat tak terkontrol hingga bunyi mirip tamparan akibat pertemuan kulit kami pun kian memenuhi ruangan. Aku mendesahkan namanya. Desisan demi desisan kami bersahutan. Anin tak protes sedikitpun. Sekali