Share

APLIKASI JODOH
APLIKASI JODOH
Penulis: Marthino Mawikere

Bocil Badung

Ingin ku berlari mengejar bayang cintamuuuu ...

            Itu bukan puisi, deklamasi atau semacamnya. Itu suara orang – beberapa orang – yang lagi nyanyi di sebuah pos siskamling. Sekilas emang seperti suara-suara kucing lagi mau kawin. Tapi kalo diperhatiin sedikit lebih tajam, suara-suara tadi emang lebih mendekati suara manusia lagi nyanyi. Entah lagu apa. Yang jelas, di tengah suasana malam yang makin larut di pemukiman padat penduduk, nyanyian itu masih terus berlanjut.

 “Ooh malam ini makin sepiiii rasanya tanpamuuuuu....

            Dan selayaknya dalam pemukiman padat, lengking nyanyian itu jelas nggak serta-merta dibiarin begitu saja. Nggak jauh dari situ, seorang warga lain yang  ngerasa terganggu nunjukin protes  dengan neriakin sesuatu dari dalem rumah tempatnya tinggal. Menimpali setiap bait yang dianggapnya sebagai polusi suara.

            “Berééséééééék...!”

            “Waktu hujan hatiku ikutaaaaan lepek membaca surat undanganmu. Uwo, uwooo...

            “Woiiii bebegig, diemmmm!!!”

            “Kirain undangan ulang tahun, ternyata kau menikah lagi, sayaaaang...

            “Emberrrr!!”

            “Dalam kesedihan kulantunkan lagu ini ooooh teganya, teganya, teganya...

            “Lagu Acakaduuut... ##$%@&&*(** ....!!!”

            Kata makian mulai terlontar dari warga yang terganggu. Sayang, suaranya agak ketutup genjrengan gitar yang makin keras dan suara para vokalis yang ternyata ada tiga orang.

            “Biarkan, ya biarkan aku menjomblo sendiri. Rapopo aku dikatain Jones. E-ge-pe."

            Lagu nggak jelas itu makin nggak karuan waktu ketiganya nekad naikin satu oktaf. Polusi suara yang menjadi-jadi ngebuat formasi sekawanan kalong yang lagi terbang di langit malam jadi langsung kocar-kacir. Wajar emang kalo mereka ogah ngelintas di sana. Ini perlu demi menghindari gangguan pendengaran mendadak akibat intervensi gelombang suara dari trio kwek-kwek di bawah mereka. Trio yang terdiri dari Dinda si tomboy, Sandro si keling dan Bimbim si kontet.

"Takkan kutergoda kalo kau menjanda nanti. Suwer, takkan kutergoda padamuuuu. Ow-yee ... takkan tergoda padamuuuuu...

            Mereka bertiga masih nyanyiin lagu antah berantah tadi. Lagu dengan melodi yang lemah, jarak yang nggak teratur, dan syair yang nggak ngikutin pola a-b-a-b. Gilanya, lagu itu  dinyanyiin tiga orang tapi dengan dua kunci berbeda.

Itu lagu – kalo emang masih layak disebut begitu – suaranya mulai melemah. Bukan karena ketiganya mulai laper tapi karena lagunya udah mau ending. Genjrang-genjreng dari Bimbim sebagai gitaris disambut Dinda dan Sandro yang seolah balapan monyongin mulut waktu nyanyiin bait terakhir.

            “Takkan tergoda pa-da-muuuuuuuu....”

            Jring-jrang-jreeeenggg....

            Begitu lagu berakhir, ketiga anak yang totally nggak ada bakat vokal dan musik itu tepuk tangan kegirangan. Seneng karena lagu acakadut mereka bisa dinyanyiin sampe abis. Soal mutu sih mereka nggak peduli.

            “Hebat, hebat. Lagunya hebat,” Dinda masih keplok-keplok tangan dengan semangat membara.

            “Gue juga demen. Lagu lo kali ini adalah yang paling keren,” kata Sandro yang tepuk tangannya niru gaya Tukul Arwana lagi keplak-keplok. Padahal, sama seperti dua temannya, Sandro cuma tau sebuah nyanyian itu merdu dan sangat merdu. Alias nggak ada yang nggak keren.

            "Terima kasih," kata Bimbim kesenengan.

            "Lagu ini bener-bener The Beast."

            Maksud Sandro sebenarnya 'The Best.' Tapi Bimbim dengan Dinda lagi nggak mau musingin kata-kata. Intinya, Sandro itu udah memuji dan itu perlu dihargai.

Klontang! Klontang! Klontang!

Sebuah kaleng kosong bekas susu mendadak dilempar ke lokasi di sekitar mereka. Omongan trio kwek-kwek keputus. Mereka bertiga masih sempat ngelihat waktu  kaleng kosong tadi mental berkali-kali sebelum ngegelinding dan berhenti di deket mereka.

"Waduh. Ada yang nyambit, yak?" Bimbim nanya secara retoris dengan logat Cikarang yang khas.

"Untung nggak kena."

"Tujuannya emang bukan untuk dikenain ke kita, Sandro. Suara berisik kaleng itu maksudnya buat ngusir kita. Ada yang nggak suka kita nyanyi di sini. Mangkanya waktu tadi kita nyanyi ada yang neriakin kita dari dalem rumahnya," Dinda bangun dari duduk seperti siap-siap pulang.

Bimbim keliatan penasaran. “Ada yang neriakin waktu kita nyanyi, Din? Masa sih? Elo denger, Sandro?”

Waktu Bimbim ngelirik Sandro buat mastiin, orang itu ngeiyain.

“Masa? Emang kita diteriakin apaan? Gue nggak denger saking ngehayatin lagu itu.”

“Kita dibilang macem-macem tauk. Dibilang berisik lah, ember lah, bebegig lah. Acakadut lah. Macem-macem deh."

"Gitu?" tanya Bimbim. Dia nggak nyimak waktu tadi dikata-katain berhubung lagi fokus main gitar. Ngelihat perubahan sikap Bimbim, Dinda ngehibur.

"Gak usah terlalu dipikirin. Itu sih omongan orang sirik."

"Ho'oh. Itu orang gak pernah ngerasain jadi jomblo kali. Masih mending kita ngisi waktu dengan nyanyi-nyanyi. Daripada ikut geng motor. Trek-trekan, mabok, ngerampok."

"Itu baru bener. Daripada bikin ulah gitu mending ciptain lagu dangdut kayak yang elo bikin. Iya kan, Bim?"

"Lagu dangdut?" Bimbim bingung sekaligus kaget waktu denger ucapan Sandro.

"Yang barusan kita nyanyiin tadi."

“Ini nih kalo males beli korek kuping! Lagu yang kita nyanyiin tadi adalah slow rock, you know?”

“Oh. Tapi kenapa elo nge-genjreng gitar kayak ritme musik dangdut?”

"Kemampuan ngegitar gue cuma bisa gitu, dodol!"

Dinda cuma ngelihatin. Sambil mulai mencomot camilan singkong rebus jajanan mereka, Dinda nyimak doang omongan dua temannya. Dia senyam-senyum kecil ngedenger Sandro hampir selalu salah tangkep omongan orang. Si keling itu emang gitu. Biarpun tubuhnya besar, kekar, tapi dia sering tulalit alias nggak nyambung dengan ucapan orang lain. Beda dengan Bimbim yang tingginya cuma sepuluh senti sebelum bahunya Sandro. Biarpun bisa dibilang kontet, Bimbim lumayan cerdas. Postur pendek nggak membuat anak itu kehilangan kepercayaan diri. Di antara mereka bertiga, Bimbim itu yang paling mapan. Boleh dibilang kaya malah, berhubung bokapnya adalah pengusaha properti sukses.

Mereka berdua emang teman akrab dengan Dinda yang biarpun belum lama tinggal di situ, tapi ketiganya udah super akrab. Waktu keluarga Dinda pindah ke daerah itu dan Dinda sekolah di tempat yang baru, ternyata Bimbim dan Sandra juga ada di sekolah yang sama. Kelasnya pun bersamaan. Nggak heran kedekatan ketiganya cepet terwujud.

Perbedaan ketiganya sebetulnya ada juga sih. Mereka beda-beda suku, agama, ekonomi, minat. Tapi ketiganya udah sepakat kalo perbedaan semacam itu nggak perlu jadi ganjelan dalam persahabatan. Kecocokan yang ada, yang udah ditemui, itulah yang akan dijalanin bersama.

“Ngomong-ngomong kenapa sih elo bikinnya lagu tentang cinta melulu, Bim? Bikin dengan tema yang beda dong.”

Bimbim ngeraih gitar yang sempat ditaruh ke sampingnya. “Bikin lagu dengan tema yang beda?"

"Yo'i."

"Contohnya lagu bertema wabah yang lagi kekinian, gitu?”

            “Nggak segitunya kaleee.”

            Dinda belum lagi nerusin omongan waktu Bimbim udah mulai mainin lagi senar gitar buat nyanyi lagu berikut. Akibatnya Dinda buru-buru kasih peringatan.

            "Mau nyinden lagi?"

            "Iye nih. Nyengnyong satu lagi ya, yak?"

"Ogah. Udah malam, gue mau pulang."

            "Sebentar lagi. Satu lagu inilah."

Dinda kurang sreg ngelihat teman-temannya masih mau nyanyi. Waktu udah makin malam. Dan biarpun waktu itu malam Minggu, udah pasti ada orang-orang yang udah siap atau malah udah pada tidur. Jadi pas nyanyi di pinggir jalan umum seperti ini, suara Bimbim yang seperti orang kecekek akan melengking kemana-mana dan merusak waktu tidur tetangga sekitar. Dinda nggak mau itu terjadi soalnya kan mereka udah dikasih peringatan dengan lemparan kaleng kosong tadi.

Cuma, Bimbim sepertinya nggak berpikir sejauh itu. Dinda makin nggak enak waktu Sandro ikut nimpalin dengan masuk di kunci C padahal Bimbim main di kunci berbeda. Dan bener juga. Nggak lama, sebuah kaleng bekas susu lagi-lagi dilempar ke tengah jalan. Posisinya kali ini lebih ngedekatin tempat mereka berada.

            Klontang! Klontang!

            Mata Dinda nangkep bayangan seseorang yang berdiri di teras lantai dua rumah. Orang itu neriakin sesuatu yang bikin Dinda merinding.

            "Beresekkkk! Awas, kaleng kosong berikutnya akan eyang sambit langsung ke jidat kalian!"

            Orang yang nyedut dirinya 'eyang' itu masih mencak-mencak. Bimbim langsung berhenti main gitar. Berhenti nyanyi juga. Cuma si penderita tulalit stadium tiga itu, Sandro, yang tetep saja nyanyi. Akibatnya si eyang jadi makin nyapnyap.

            “Wueyyy, Christian Bautinja.... diemmmm!!!”

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status