"Kamu memang pandai ya perempuan jalang. Membayar laki-laki lain untuk berpura-pura menjadi suamimu, tetapi suami sungguhanmu adalah Mas Ridwan." Gumam Rara dalam hati. "Iya Ca. Bun, Mas, saya pamit ya." "Oh iya, Di. Hati-hati, ya." Pesan Rara. Saat Ardi melangkah masuk Mobil. Tiba-tiba Rara berucap. "Kok nggak saliman gitu Ca sama Ardi. Kok kamu cuek banget kamu sama Ardi, ya?" Langkah Ardi terhenti mendengar itu. "Eh iya, Bun. Maaf lupa." Ardi mendekati Eca lalu mengulurkan tangannya untuk dicium. Dengan berat hati Eca menerima itu dan mencium tangan Ardi. Hal yang tidak pernah Eca lakukan selama ini selain pada Ridwan. Ardi melakukan lebih dari itu. Tanpa diduga Ardi mengecup lembut kening Eca. Dan berucap. "Kamu hati-hati ya kerjanya, jaga kandungan kamu. Jangan terlalu capek, ya." Pesan Ardi sambil mengusap perut Eca lembut. Eca yang diperlakukan seperti itu mendadak salah tingkah, sebab disaksikan suami sahnya. "Nah gitu donk. Kan, kelihatan seperti suami istri beneran.
"Semoga lancar-lancar nanti persalinannya ya, Ca. Hmm, mungkin kamu lahiran besok kita nggak di sini, Ca. Kita di bali liburan selama sepuluh hari. jadi kita jenguknya habis liburan aja ya." Ujar Rara memancing keributan. "Apa bun? Liburan?" tanya Ridwan dan Eca bersamaan dengan mimik muka yang seperti tidak percaya. Bola mata mereka membulat sempurna seperti hendak keluar dari tempatnya. Rara menatap Ridwan dan Eca bergantian. "Lho! kalian berdua ini kenapa?" tanya Rara berpura-pura. Terlihat sekali mereka berdua menjadi salah tingkah dengan pertanyaan Rara. "Bagus! Ini baru dimulai kalian sudah kalang kalang kabut, bagaimana jika aku lebih-lebih dari ini?" Rara mengukir senyum di balik pertanyaannya. "Nggak apa-apa, Bun." Ridwan dan Eca menjawab bersamaan. Rara mengerutkan dahinya menatap dua manusia yang sedang bersandiwara di dihadapannya saat ini. "Kalian berdua ini kompak sekali ya, menjawabnya. Seperti ada kontak batin yang saling bertautan." Sindir Rara. Rara mengu
"Bun, apa nggak baiknya Eca disuruh pulang saja? Kasian dia, nanti anaknya kenapa-napa." Ujar Ridwan. Rara menatap Ridwan pekat untuk melihat reaksi Ridwan akan seperti apa. "Mm, anu Bun. Kasian lihat Eca, Bun. Suruh pulang aja Istirahat ya, biar Papa antar." Hati Rara berkedut nyeri mendengar tawaran suaminya. Dasar laki-laki picik! Jerit Rara dalam hatinya. "Tapi sepertinya Eca masih bisa kuat itu Mas. Iya kan, Ca?" tanya Rara santai. Tidak bisa dibohongi, Eca benar-benar merasakan sakit di bagian perutnya. Dengan ragu Eca mengangguk kecil. Namun wajahnya terlihat sangat pucat akibat menahan sakit. Eca berjalan perlahan dengan tangan yang terus mengusap perutnya. Semetara aku hanya menyaksikan dari meja kerja tampa berminat untuk membantu. Dia membawa langkahnya terseok-seok masuk kamar. Di ruangan itu ada empat orang admin termasuk Eca. Mereka tidak berani ikut menyela atas apa yang mereka dengar dan mereka lihat barusan. Mereka fokus dengan pekerjaan masing-masing, meski
"Mana kunci mobilnya, Bun?" Ridwan menadah tangannya dari bawah tubuh Eca. Tanpa rasa bersalah dan berdosa sedikitpun. Rara menatap Ridwan tajam. "Mas! Aku sudah bilang kamu kan? Kamu tidak akan aku fasilitasi lagi apapun itu! Jika memang kamu ingin membawa Eca ke rumah sakit. Kamu pesan taksol aja sana!" "Bunda!" bentak Ridwan. Mata Ridwan seperti ingin keluar dari tempatnya. Rahangnya mengeras, urat-urat wajahnya pun ikut keluar seiring emosi yang ditahan Ridwan akibat melihat Eca yang tengah kesakitan. Tanpa rasa takut Rara pun menantang. "Apa, Mas?! Kamu membentak aku? Sebenarnya siapa suami kamu, Ca? Ardi apa Mas Ridwan? Kenapa Mas Ridwan terlihat sangat panik sekali dengan keadaanmu, Ca?" tanya Rara memohok langsung menancap ke jantung Eca. Deg! Darah Eca berdebar kuat. Tulang persendian Eca semakin terasa tak berfungsi. Perutnya semakin kram akibat kepanikan dan ketegangan di ruangan ini. Ridwan masih setia menggendong Eca dalam pelukannya. Sakit? Iya! Jelas. Rara me
Rara segera keluar menuju garasi untuk mengikuti Ridwan. Sudah pasti Ridwan menyusul Eca ke rumah sakit. "Kita lihat Mas, apa kalian masih bisa mengelak?" Senyum licik terukir di bibir Rara. Bayangan bagaimana nanti reaksi suaminya dan Eca ketika di pergoki. Tak lupa Rara mampir dikantor untuk mengambil sesuatu untuk yang sudah Rara siapkan untuk Eca dan Ridwan. Sebuah kejutan manis nantinya. "Aku memang sangat mencintaimu, Mas. Namun untuk sebuah pengkhianatan, aku tidak ada toleransi untuk itu." Rara bergumam sambil terus memperhatikan arah tujuan mobil yang ditumpangi Ridwan agar tak kehilangan jejak. Sebab Rara tidak tau di rumah sakit mana Eca dilarikan oleh Ardi tadinya. Sampai di rumah sakit, Rara terus mengikuti Ridwan, sampai di depan di mana kamar Eca dirawat. Ardi masih setia menemani Eca di dalam, sebab Ardi tidak tega membiarkan Eca sendirian. "Nah datang juga suamimu kesini, Ca." Ucap Ardi saat Ridwan masuk ke ruangan. Ridwan tak pedulikan ocehan Ardi, dia fokus l
Bun, dengerin Papa dul…." "Stop, Mas! Aku tidak ingin mendengarkan apa-apa lagi. Aku datang kesini untuk memberikan ini untuk kamu, Ca." Rara memberikan amplop berisi gaji Eca bulan ini. Tapi tanpa uang lembur. "Itu gaji terakhir kamu Ca, jadi mulai besok kamu jangan lagi datang ke kantor. Karena kamu sudah saya pecat!" ujar Rara. Eca menerima amplop itu dan melihat nominalnya. Wajahnya terlihat berubah. "Kok cuma segini, Bun? Kan aku sering lembur bulan bulan ini.""Masih syukur kamu masih saya beri gaji bulan ini, Ca. Jika kamu mau bonus, aku akan kasih bonus yang lebih besar. Bonusnya Mas RidwanSekarang kamu boleh memiliki Ridwan seutuhnya. Aku sudah mengikhlaskan sampah untuk dibuang di tong sampah!" Rara berkata dengan sangat lembut. Tapi menohok hati siapapun yang mendengar di ruangan itu. "Bun! Jaga mulutmu ya, jangan bicara sembarangan!" Bentak Ridwan. "Kenapa, Mas? Mulai hari ini kamu tidak perlu lagi kan bersembunyi-sembunyi di belakangku. Kamu boleh dengan leluasa b
"Ma, ini ada telpon dari Mas, Ridwan," Vina mengulurkan hpnya pada Rista. "Kok tumben Mas-mu nelpon? Ada apa?" tanya Rista pelan. "Mba Eca masuk rumah sakit kata, Mas," Vina memberitahukan pada Rista. Rista terkejut mendengar apa yang dikatakan anak bungsunya itu, lalu mengambil HP itu dari Vina. "Assalamualaikum, Wan, ada apa, Nak? Eca kenapa kok masuk rumah sakit?" "Ceritanya panjang, Ma, Mama sama Vina bisa kerumah sakit sekarang nggak, Ma? Jagain Eca sebentar, aku ada urusan.""Iya, Nak, Mama kesana sekarang, ya." Rista lantas buru-buru untuk bersiap-siap ke rumah sakit bersama Vina. Sesampainya, di rumah sakit, Rista langsung menanyakan dimana ruangan tempat Eca dirawat pada resepsionis RS tersebut. Eca dan di Vina diantar sampai depan pintu kamar. "Assalamu'alaikum, Nak," sapa Rista dari daun pintu. Ridwan yang sedang duduk di kursi tepat di samping Eca sambil terus menggenggam tangan Eca dan mengusap kepalanya pelan lalu menoleh ke sumber suara. "Waalaikumsalam, Ma,"
"Maksud kamu apa, Wan? Kamu nggak ada uang untuk ongkos taksol? Taksi online maksudmu?" tanya Rista tak percaya. Kenapa anaknya naik taksol. Kan anaknya punya mobil. Semua berkelit di pikiran Ristta. "Kamu kenapa naik taksol, Nak? Kan kamu punya mobil, mobilmu mana?" lagi Rista dibuat penasaran. "Mobilku ditahan sama Rara, Ma," jawab Ridwan lirih. Eca yang mendengar itu pun merasa syok, tidak terima bahwa apa yang dimiliki Ridwan disita oleh Rara. Bagaimana bisa Rara menguasai harta yang dimiliki Ridwan, Eca memang belum mengetahui semuanya, sebab tadi Eca hanya fokus dengan rasa sakitnya. "Jadi tadi kamu minta mobil itu karena Mbak Rara menahan mobilmu, Mas? Kok bisa?" sekarang Eca pun bersuara mencari jawaban atas rasa penasarannya. "Terus? Uang kamu kok bisa nggak ada? Kenapa kamu nggak ambil di ATM lagi, Mas?" tanya Eca lagi. Rista menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan apa yang diucapkan oleh Eca. "Iya, Nak. Kenapa kamu nggak ambil uang di ATM?" Rista membenarkan kemba