Ketukan pelan terdengar dari balik pintu.
"Non Nalaa, Tuan Lian menunggu di ruang kerjanya," suara Bi Yuni lembut namun tegas. Nalaa masih berdiri kaku di depan cermin besar dalam kamar yang mewah namun asing baginya. Seragam abu tua yang dikenakan melekat pas di tubuhnya, terlalu pas. Lehernya terasa sesak, dan dada sesak bukan karena ukuran pakaian itu--melainkan karena rasa takut yang mengendap dalam benaknya. Nalaa kini resmi menjadi pengasuh pribadi pria paling menakutkan yang pernah dirinya temui yaitu Lian--sosok yang dirumorkan kejam. Dengan langkah ragu, Nalaa keluar dari kamar. Setiap jengkal lorong di mansion itu seperti lorong penjara mewah baginya. Nalaa mengikuti arah yang Bi Yuni tunjukkan, hingga sampai di sebuah pintu besar berukir emas. "Masuklah," ucap Bi Yuni pelan, sebelum pergi meninggalkannya sendiri. Dengan tangan gemetar, Nalaa mengetuk pelan. "Masuk." Suara dingin itu sudah berapa kali dia dengan sehari ini berulang kali, dan membuat Nalaa takut jika membuat kesalahan. Nalaa membuka pintu. Lian sedang duduk di balik meja besar penuh dokumen. Tatapannya tajam seperti elang yang sedang berburu mangsa, menembus tubuh Nalaa. "Dasar lambat,"sindir Lian tersenyum mengejek, tatapannya tidak lepas dari layar laptopnya. "Saya... minta maaf, Tuan,” gumam Nalaa lirih seperti berbisik. Lian berdiri, lalu berjalan mendekat dengan langkah berat dan tenang, "Apa yang harus dilakukan seorang pengasuh pribadi saat tuannya bekerja keras di malam hari?" Nalaa menggigit bibirnya gugup," Menyiapkan minuman hangat, Tuan. Mungkin... teh?" "Teh?" Lian menyeringai sinis, "Aku benci teh." "Saya... saya tidak tahu," sahut Nalaa, menunduk. Lian mendekat lebih lagi, membuat jarak di antara mereka nyaris tak ada, "Itulah masalahnya, kamu tidak tahu apa-apa, Nona Nalaa. Dan aku benci ketidaktahuan." Hati Nalaa berdegup cepat, matanya tak berani menatap wajah pria itu. Nafasnya menjadi pendek. "Saya akan belajar... Tuan." Lian menyeringai miring. "Belajarlah cepat, sebelum aku bosan." Nalaa seperti hidup dalam mimpi buruk. Dia harus menyiapkan makan malam dengan porsi dan susunan yang presisi. Jika terlalu asin, Lian akan menggeser piring itu ke lantai tanpa sepatah kata. Jika suhu kamar tidak sesuai dengan selera Lian, dia akan dibentak tanpa alasan. Namun yang paling membuat Nalaa gentar adalah, diamnya Lian. Pria itu jarang berbicara, tetapi tatapannya seolah menguliti setiap lapisan rasa percaya dirinya. Nalaa merasa diawasi. Dia merasa seperti boneka yang harus bergerak hanya saat diperintah. Malam itu setelah selesai menyetrika jas Lian, dia duduk diam di pojok kamar pelayan, berusaha menenangkan diri. Tapi suara pintu yang terbuka membuat jantungnya melompat. "Tuan?" ucap Nalaa panik, dia berdiri tergesa menyambut Lian yang basah kuyup. Lian melangkah masuk, jas hitamnya basah oleh hujan. Wajahnya gelap, dingin. "Apa kamu lupa menjemputku di lobi tadi sore?" "Saya pikir... saya pikir Tuan pulang seperti kemarin…" Sebuah dokumen dilempar ke arahnya, tepat mengenai wajahnya. "Pikir? Siapa suruh kamu masih berpikir?" Nalaa terdiam. Tak berani menunduk, tak berani menangis. Tapi dadanya sesak. Dia ingin lari, Nalaa ingin menyerah dan ingin kabur. Tapi bagaimana dengan neneknya? "Saya minta maaf, Tuan," ujar Nalaa dengan nada rendah m Lian menatapnya lama, lalu pergi tanpa sepatah kata lagi. Tapi luka di dada Nalaa seakan dalam, dan semakin tergores dengan luka baru, dia menangis diam-diam, menahan suara agar tak terdengar siapa pun. Esok pun tiba Lian seolah sengaja membuat Nalaa kehilangan kesabarannya. Dia memerintahkan hal-hal aneh kepada Nalaa, mengukur suhu air mandi hingga tepat 40 derajat, menyusun dasi berdasarkan urutan warna dan tekstur, atau duduk di pojok ruangan selama berjam-jam hanya untuk menunggu aba-aba. "Apa gunanya saya di sini?" gumam Nalaa ketika sendirian di dapur. "Untuk melayani aku," sahut Lian tiba-tiba dari balik pintu. Nalaa melompat kaget, hampir menjatuhkan cangkir teh yang baru diseduh. "Kenapa Anda selalu muncul tanpa suara, Tuan?" keluh Nalaa yang hari itu sedikit berani bicara sedikit keras. "Aku suka melihat reaksi orang yang tidak siap," jawab Lian ringan. Tapi sorot matanya berubah tajam, "Kamu terlalu sering bertanya, Nona Nalaa. Ingat, kamu di sini karena pilihanmu sendiri." "Karena nenek saya—" "Kamu menjual kebebasanmu demi orang lain. Dan sekarang, jangan bersikap seakan-akan kamu ini adalah korban." Nalaa menggertakkan giginya, "Saya memang korban, Tuan. Korban dari ketamakan Anda." Lian mendekat, kali ini lebih cepat dari biasanya. Jemarinya mencengkeram dagu Nalaa, mengangkat wajah wanita itu agar menatap langsung ke matanya. "Kalau aku tamak," bisik laki-laki yang kini memakai hem lengan pendek dengan nada dingin, "Kamu tidak akan berdiri di sini dengan pakaian lengkap." Nalaa tercekat. Nafasnya terhenti. Tak ada rasa takut yang lebih besar dari tatapan Lian saat itu. "Kenapa Anda... begitu kejam?" lirih wanita cantik itu, nyaris tak terdengar. Lian melepaskannya dengan kasar, "Karena dunia tidak pernah baik kepada orang lemah." Nalaa terhuyung hingga hampir membentur lemari piring di dekatnya. Dia menahan berat badannya sendiri agar tidak membuat kekacauan yang mungkin akan lebih mengerikan dari sebelumnya. Nalaa terisak sendiri di dapur dengan kepergian Lian yang mulai meninggalkan mansion. Pagi berikutnya pun datang, dan matahari hangat menampakkan cerianya dalam celah jendela kaca, rumah mewah itu tetap dingin oleh aura Lian yang mencekam. Weekend kali ini Lian hanya tidur di mansion miliknya, saat Lian tertidur di sofa ruang kerja, Nalaa duduk diam sambil memeriksa surat perjanjian yang sempat dia selipkan di balik bantal. Pandangannya kini tertuju pada satu bagian kecil dalam kontrak--huruf kecil yang baru dirinya sadari, "Kontrak ini dapat berakhir apabila Tuan Lian mengucapkan satu kalimat pengakhiran secara langsung kepada pihak bersangkutan." "Jadi... jika dia memutuskan saya pergi, kontrak ini batal?" "Benar." Suara Gio muncul entah dari mana. Pria berkacamata itu berdiri di ambang pintu. "Kenapa... dia tidak mengusir saya saja?" Gio hanya tersenyum samar. "Karena Anda belum mengenal Tuan Lian, Nona! Suatu hari nanti Nona akan mengerti kebaikan Tuan Lian." "Saya tidak tahu maksud Anda Tuan!" "Suatu hari Anda akan mengerti sendiri, Nona dan untuk sementara ini tolong bantu Tuan Lian, dan tetap bersabar untuk berada di sisinya." "Saya tidak yakin, tetapi mungkin saja saya akan membantu jika saya bisa membantu." "Terima kasih atas kemurahan hati Nona. Harap sabar untuk memenuhi permintaan Tuan Lian yang terkandang aneh." "Iya!" Nalaa kembali membereskan semua berkas yang ada di meja, dia merapikan ruangan itu hingga terlihat lebih nyaman. Selesai dengan pekerjaannya, Nalaa ingin kembali ke kamarnya, namun teriakan keras menggema di dalam ruangan Liam memanggil Nalaa dengan nada emosi. "Ada apa Tu......"Lian menegakkan tubuhnya setelah hampir tersungkur karena bertabrakan dengan seseorang. Matanya menajam saat mengenali sosok yang kini berdiri dengan raut wajah kaget-dan kemudian berubah menjadi sumringah. "Lian?" suara lembut itu menyapa, namun matanya berbinar penuh harapan. Lian mengangguk pelan, "Melisa..." Wanita muda itu tertawa kecil, rambut cokelat gelapnya terselip rapi di bawah topi dokter. Jas putihnya menunjukkan jabatan, dan name tag yang menggantung dari saku dada menunjukkan gelar lengkapnya, Dr. Melisa Anastasya, Sp.JP. "Aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini!" ujar Melisa sambil meraih lengan Lian dengan akrab. "Kamu masih sama. Dingin, misterius, dan... luar biasa tampan." Lian hanya mengangkat alis, malas menanggapi pujian itu. "Kamu bekerja di sini?" "Ya, aku pindah beberapa bulan lalu. Salah satu dokter jantung termuda yang ditugaskan di rumah sakit ini. Kebetulan pasien baruku adalah seorang nenek manis." Melisa tersenyum, lalu menambahkan dengan su
Tubuh Lian langsung membeku ketika mendengar suara pengacara keluarganya yang ada di ambang pintu dengan wajah yang tidak bisa dibaca. Nalaa yang melihat hal itupun segera mengerti, "Sayang! Bukankah kamu sedang ada pekerjaan hari ini? Nanti pekerjaan kamu bisa terbengkalai jika kamu ada di sini dengan aku?" tutur lembut Nalaa membuat laki-laki yang memakai jas tersebut langsung bersandiwara. "Aku tidak ingin melihat kamu kesepian sayang, dan beginilah aku kalau sudah menyayangi seseorang apalagi orang itu adalah calon istriku!" "Iya tapi kan......" "Ehmmmm, apa saya mengganggu kalian?" sapa Mr.Taufan dengan nada ramah kepada Nalaa dan juga Lian. "Tidak menggangu sama sekali, Tuan!" sahut wanita cantik itu dengan senyum lembut dan manis. "Anda sangat cantik dan juga sopan, Nona hingga mampu meluluhkan gunung Everest yang selalu beku seperti Tuan Muda, tapi ekspresi dinginnya yang berkata manis tidak pernah bisa berubah," kekehen kecil keluar dari bibir pria paruh baya ters
Notifikasi yang baru saja masuk membuat Lian membeku beberapa detik. Laki-laki itu menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam--sebuah pesan dari Pengacara keluarga Ganeswara, Mr. Taufan. ["Tuan Muda, sesuai wasiat almarhum Ayah Anda, kami diharapkan bertemu dengan calon pendamping Anda dalam waktu dua hari ke depan. Harap informasikan waktu dan tempat. Ini menyangkut pembebasan saham terakhir dan warisan utama Mahkota Ganeswara."] Lian mengusap wajahnya kasar, bibirnya terkatup rapat seakan menahan sumpah serapah yang nyaris keluar. Satu sisi otaknya ingin mengabaikan semua ini. Namun sisi lainnya tahu betul--warisan utama Mahkota Ganeswara bukan sekadar simbol, itu kekuatan, pengaruh, dan tahta. "Calon istri?" gumam Lian lirih sambil berdiri pelan. Pandangannya menyapu ruangan kerja miliknya yang masih kacau karena insiden sebelumnya. Dia terdiam, napasnya mulai berat. Dan wajah Nalaa--wanita yang hampir dia bunuh--muncul begitu saja tanpa permisi di dalam pikirannya. "Tidak.
Lian menjulurkan tangannya di tepat di leher wanita cantik itu. "T-Tuan s-saya bisa mati," ucap Nalaa dengan nada yang terdengar rendah. "Mati atau bukan itu bukan urusanku, kamu lancang sudah menumpahkan kopi pada dokumen penting saya, dan ini balasan untuk orang yang tidak tahu diri." Nalaa merasa tidak punya berat badan dan sangat ringan. "T-Tuan b-bukan saya yang mengotori me..jam Tu...aann." Pandangan Nalaa mulai mengabur begitu juga dengan gerakan wanita itu yang mulai melemah, Giok datang karena mendengar keributan yang terjadi di ruangan kerja Lian. Melihat pemandangan itu laki-laki yang usianya sama seperti Lian pun segera mencegah atasan sekaligus temannya itu untuk menghentikan cekikan di leher pengasuh barunya. "Lepaskan dia, Tuan Lian dia bisa mati dan Tuan akan kena masalah lebih besar lagi," ujar Gio dengan nada tegas memberitahu tindakan atasannya tersebut. Lian melepaskan cekikan di leher Nalaa hingga wanita itu hampir saja terjatuh membentur lantai jika Gio
Ketukan pelan terdengar dari balik pintu."Non Nalaa, Tuan Lian menunggu di ruang kerjanya," suara Bi Yuni lembut namun tegas.Nalaa masih berdiri kaku di depan cermin besar dalam kamar yang mewah namun asing baginya. Seragam abu tua yang dikenakan melekat pas di tubuhnya, terlalu pas. Lehernya terasa sesak, dan dada sesak bukan karena ukuran pakaian itu--melainkan karena rasa takut yang mengendap dalam benaknya. Nalaa kini resmi menjadi pengasuh pribadi pria paling menakutkan yang pernah dirinya temui yaitu Lian--sosok yang dirumorkan kejam.Dengan langkah ragu, Nalaa keluar dari kamar. Setiap jengkal lorong di mansion itu seperti lorong penjara mewah baginya. Nalaa mengikuti arah yang Bi Yuni tunjukkan, hingga sampai di sebuah pintu besar berukir emas."Masuklah," ucap Bi Yuni pelan, sebelum pergi meninggalkannya sendiri.Dengan tangan gemetar, Nalaa mengetuk pelan."Masuk." Suara dingin itu sudah berapa kali dia dengan sehari ini berulang kali, dan membuat Nalaa takut jika membuat
Tubuh tinggi itu hanya diam dengan tatapan tajam dan sulit diartikan, tidak ada yang bisa Nalaa lakukan selain merutuki kecerobohannya. Lian melempar jas mahalnya ke wajah ketakutan Nalaa yang kini terlihat pucat pasi."Cuci sampai wangi jangan ada noda sekecil apapun, atau nyawamu taruhannya."Perkataan itu membuat Nalaa semakin merinding dan takut jika ucapan dari laki-laki yang dia tahu namanya adalah Lian itu menjadi kenyataan, dia tidak siap jika harus mati muda apalagi neneknya yang sedang sakit parah. Dengan nada gemetar dia menjawab lirih, "Baik, Tuan." Nalaa memegang jas kotor itu dengan erat, dia berniat untuk pulang dan mencuci jas mahal tuan arogan itu di rumah saja, namun langkah kakinya berhenti saat Nalaa mendengar nada dingin, "Mau lari kemana?""Saya hanya ingin mencuci jas mahal Anda di rumah saya, Tuan.""Cuci saja di mansion saya, saya membutuhkan seorang pelayan yang mengurus pakaian kerja saya dan semua keperluan saya dalam jangka waktu satu bulan,' tegas Lian