Tubuh Lian langsung membeku ketika mendengar suara pengacara keluarganya yang ada di ambang pintu dengan wajah yang tidak bisa dibaca.
Nalaa yang melihat hal itupun segera mengerti, "Sayang! Bukankah kamu sedang ada pekerjaan hari ini? Nanti pekerjaan kamu bisa terbengkalai jika kamu ada di sini dengan aku?" tutur lembut Nalaa membuat laki-laki yang memakai jas tersebut langsung bersandiwara. "Aku tidak ingin melihat kamu kesepian sayang, dan beginilah aku kalau sudah menyayangi seseorang apalagi orang itu adalah calon istriku!" "Iya tapi kan......" "Ehmmmm, apa saya mengganggu kalian?" sapa Mr.Taufan dengan nada ramah kepada Nalaa dan juga Lian. "Tidak menggangu sama sekali, Tuan!" sahut wanita cantik itu dengan senyum lembut dan manis. "Anda sangat cantik dan juga sopan, Nona hingga mampu meluluhkan gunung Everest yang selalu beku seperti Tuan Muda, tapi ekspresi dinginnya yang berkata manis tidak pernah bisa berubah," kekehen kecil keluar dari bibir pria paruh baya tersebut. "Anda bisa saja Tuan. Tuan ada urusan sama Tuan Muda?" tanya Nalaa dengan nada ramah. "Iya bisa dibilang begitu, tetapi Anda juga harus tahu Nona." Dahi Lian bertumpuk, dia bingung dengan ucapan dari pengacara keluarganya. "Maksud Anda apa, Pak?" "Maksud saya, Nona juga akan mendapatkan sebagian harta Anda jika Anda mencoba berpisah dengan Nona....... Siapa nama Nona?" tanya Mr. Taufan dengan nada bingung. "Panggil saja Nalaa, Pak!" "Baiklah Nona Nalaa, Anda dan Tuan Muda harus mendengar ini." Pria paruh baya itu mulai membaca notulen yang sudah tertulis rapi di sana. Tulisan rapi itu sangat membuat Lian geram, karena sangat merugikan dirinya, namun laki-laki itu hanya bisa menggenggam erat tangannya kesal. Tida bisa berkata banyak, Lian membuang muka dan menatap ubin kamar rumah sakit, hatinya kacau entah apa yang dia perbuat hingga membuat ayahnya sendiri memberikan hartanya kepada orang lain jika dia tidak segera menikah dan tidak boleh ada perceraian. Di mana laki-laki itu hanya bisa mengutuk ayahnya sendiri yang sudah tiada. Setelah pembacaan notulen warisan selesai, Mr. Taufan meminta izin untuk kembali ke kantornya, dia juga mendoakan Nalaa agar lekas sembuh. Beberapa jam setelah kepergian pria paruh baya itu, Lian mulai membuka mulut, "Kamu senang kan dengan harta yang papa gue kasih kalau sampai kita bercerai dari pernikahan kontrak yang sebentar lagi akan di gelar?' tutur dingin Lian yang kini melihat Nalaa dengan tajam. Wanita cantik yang masih berbaring di ranjang rumah sakit itu hanya tersenyum getir. "Suka! Apa yang aku suka! Bukan uang atau harta Anda Tuan Muda, aku lebih suka jika nenekku sembuh total dan kembali seperti dulu lagi," tegas wanita cantik itu tanpa rasa takut kali ini. "Kalau begitu aku akan membayar semua pengobatan nenekmu, kamu harus menandatangani notulen lain dengan catatan tidak akan meminta hak warisan jika nanti kita bercerai saat nikah kontrak selama 1 bulan, bagaimana?" "Tidak masalah yang terpenting dalam hidupku adalah nenek yang kembali sehat seperti sedia kala, tidak ada yang lain." "Deal?" "Ya, deal!" sahut Nalaa tanpa cemas sama sekali. Wanita itu tidak memikirkan harta warisan yang banyak tapi bagaimana neneknya yang ada di ruangan sana kembali sehat seperti sedia kala. "Besok kita Menikah!" Pernyataan itu membuat Nalaa terlonjak kaget, "Ini pernikahan loh bukan main adu kelereng Tuan Muda, secepat itu kamu bilang kita besok menikah, dan........" "Persiapan hampir selesai, kamu hanya bawa badan saja tidak ada yang akan aku berikan beban biaya." "Terserah kamu saja Tuan Muda, saya hanya istri kontrak Anda saja 'kan!" "Lebih baik kamu memang harus mengalah, dan uangnya akan aku berikan kepada dokter yang mengurus nenek kesayangan kamu itu." "Baik, terimakasih Tuan Muda." "Istirahat saja, nanti sore kamu pulang dijemput Gio aku ada urusan lain." Nalaa hanya menjawab dengan deheman saja, "Pergilah yang jauh sekalian, aku tidak butuh manusia seperti kamu." Namun saat Lian ingin keluar seseorang menabrak dirinya, "Maaf saya tidak..... Kamu!"Lian menegakkan tubuhnya setelah hampir tersungkur karena bertabrakan dengan seseorang. Matanya menajam saat mengenali sosok yang kini berdiri dengan raut wajah kaget-dan kemudian berubah menjadi sumringah. "Lian?" suara lembut itu menyapa, namun matanya berbinar penuh harapan. Lian mengangguk pelan, "Melisa..." Wanita muda itu tertawa kecil, rambut cokelat gelapnya terselip rapi di bawah topi dokter. Jas putihnya menunjukkan jabatan, dan name tag yang menggantung dari saku dada menunjukkan gelar lengkapnya, Dr. Melisa Anastasya, Sp.JP. "Aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini!" ujar Melisa sambil meraih lengan Lian dengan akrab. "Kamu masih sama. Dingin, misterius, dan... luar biasa tampan." Lian hanya mengangkat alis, malas menanggapi pujian itu. "Kamu bekerja di sini?" "Ya, aku pindah beberapa bulan lalu. Salah satu dokter jantung termuda yang ditugaskan di rumah sakit ini. Kebetulan pasien baruku adalah seorang nenek manis." Melisa tersenyum, lalu menambahkan dengan su
Tubuh Lian langsung membeku ketika mendengar suara pengacara keluarganya yang ada di ambang pintu dengan wajah yang tidak bisa dibaca. Nalaa yang melihat hal itupun segera mengerti, "Sayang! Bukankah kamu sedang ada pekerjaan hari ini? Nanti pekerjaan kamu bisa terbengkalai jika kamu ada di sini dengan aku?" tutur lembut Nalaa membuat laki-laki yang memakai jas tersebut langsung bersandiwara. "Aku tidak ingin melihat kamu kesepian sayang, dan beginilah aku kalau sudah menyayangi seseorang apalagi orang itu adalah calon istriku!" "Iya tapi kan......" "Ehmmmm, apa saya mengganggu kalian?" sapa Mr.Taufan dengan nada ramah kepada Nalaa dan juga Lian. "Tidak menggangu sama sekali, Tuan!" sahut wanita cantik itu dengan senyum lembut dan manis. "Anda sangat cantik dan juga sopan, Nona hingga mampu meluluhkan gunung Everest yang selalu beku seperti Tuan Muda, tapi ekspresi dinginnya yang berkata manis tidak pernah bisa berubah," kekehen kecil keluar dari bibir pria paruh baya ters
Notifikasi yang baru saja masuk membuat Lian membeku beberapa detik. Laki-laki itu menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam--sebuah pesan dari Pengacara keluarga Ganeswara, Mr. Taufan. ["Tuan Muda, sesuai wasiat almarhum Ayah Anda, kami diharapkan bertemu dengan calon pendamping Anda dalam waktu dua hari ke depan. Harap informasikan waktu dan tempat. Ini menyangkut pembebasan saham terakhir dan warisan utama Mahkota Ganeswara."] Lian mengusap wajahnya kasar, bibirnya terkatup rapat seakan menahan sumpah serapah yang nyaris keluar. Satu sisi otaknya ingin mengabaikan semua ini. Namun sisi lainnya tahu betul--warisan utama Mahkota Ganeswara bukan sekadar simbol, itu kekuatan, pengaruh, dan tahta. "Calon istri?" gumam Lian lirih sambil berdiri pelan. Pandangannya menyapu ruangan kerja miliknya yang masih kacau karena insiden sebelumnya. Dia terdiam, napasnya mulai berat. Dan wajah Nalaa--wanita yang hampir dia bunuh--muncul begitu saja tanpa permisi di dalam pikirannya. "Tidak.
Lian menjulurkan tangannya di tepat di leher wanita cantik itu. "T-Tuan s-saya bisa mati," ucap Nalaa dengan nada yang terdengar rendah. "Mati atau bukan itu bukan urusanku, kamu lancang sudah menumpahkan kopi pada dokumen penting saya, dan ini balasan untuk orang yang tidak tahu diri." Nalaa merasa tidak punya berat badan dan sangat ringan. "T-Tuan b-bukan saya yang mengotori me..jam Tu...aann." Pandangan Nalaa mulai mengabur begitu juga dengan gerakan wanita itu yang mulai melemah, Giok datang karena mendengar keributan yang terjadi di ruangan kerja Lian. Melihat pemandangan itu laki-laki yang usianya sama seperti Lian pun segera mencegah atasan sekaligus temannya itu untuk menghentikan cekikan di leher pengasuh barunya. "Lepaskan dia, Tuan Lian dia bisa mati dan Tuan akan kena masalah lebih besar lagi," ujar Gio dengan nada tegas memberitahu tindakan atasannya tersebut. Lian melepaskan cekikan di leher Nalaa hingga wanita itu hampir saja terjatuh membentur lantai jika Gio
Ketukan pelan terdengar dari balik pintu."Non Nalaa, Tuan Lian menunggu di ruang kerjanya," suara Bi Yuni lembut namun tegas.Nalaa masih berdiri kaku di depan cermin besar dalam kamar yang mewah namun asing baginya. Seragam abu tua yang dikenakan melekat pas di tubuhnya, terlalu pas. Lehernya terasa sesak, dan dada sesak bukan karena ukuran pakaian itu--melainkan karena rasa takut yang mengendap dalam benaknya. Nalaa kini resmi menjadi pengasuh pribadi pria paling menakutkan yang pernah dirinya temui yaitu Lian--sosok yang dirumorkan kejam.Dengan langkah ragu, Nalaa keluar dari kamar. Setiap jengkal lorong di mansion itu seperti lorong penjara mewah baginya. Nalaa mengikuti arah yang Bi Yuni tunjukkan, hingga sampai di sebuah pintu besar berukir emas."Masuklah," ucap Bi Yuni pelan, sebelum pergi meninggalkannya sendiri.Dengan tangan gemetar, Nalaa mengetuk pelan."Masuk." Suara dingin itu sudah berapa kali dia dengan sehari ini berulang kali, dan membuat Nalaa takut jika membuat
Tubuh tinggi itu hanya diam dengan tatapan tajam dan sulit diartikan, tidak ada yang bisa Nalaa lakukan selain merutuki kecerobohannya. Lian melempar jas mahalnya ke wajah ketakutan Nalaa yang kini terlihat pucat pasi."Cuci sampai wangi jangan ada noda sekecil apapun, atau nyawamu taruhannya."Perkataan itu membuat Nalaa semakin merinding dan takut jika ucapan dari laki-laki yang dia tahu namanya adalah Lian itu menjadi kenyataan, dia tidak siap jika harus mati muda apalagi neneknya yang sedang sakit parah. Dengan nada gemetar dia menjawab lirih, "Baik, Tuan." Nalaa memegang jas kotor itu dengan erat, dia berniat untuk pulang dan mencuci jas mahal tuan arogan itu di rumah saja, namun langkah kakinya berhenti saat Nalaa mendengar nada dingin, "Mau lari kemana?""Saya hanya ingin mencuci jas mahal Anda di rumah saya, Tuan.""Cuci saja di mansion saya, saya membutuhkan seorang pelayan yang mengurus pakaian kerja saya dan semua keperluan saya dalam jangka waktu satu bulan,' tegas Lian