Notifikasi yang baru saja masuk membuat Lian membeku beberapa detik. Laki-laki itu menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam--sebuah pesan dari Pengacara keluarga Ganeswara, Mr. Taufan.
["Tuan Muda, sesuai wasiat almarhum Ayah Anda, kami diharapkan bertemu dengan calon pendamping Anda dalam waktu dua hari ke depan. Harap informasikan waktu dan tempat. Ini menyangkut pembebasan saham terakhir dan warisan utama Mahkota Ganeswara."] Lian mengusap wajahnya kasar, bibirnya terkatup rapat seakan menahan sumpah serapah yang nyaris keluar. Satu sisi otaknya ingin mengabaikan semua ini. Namun sisi lainnya tahu betul--warisan utama Mahkota Ganeswara bukan sekadar simbol, itu kekuatan, pengaruh, dan tahta. "Calon istri?" gumam Lian lirih sambil berdiri pelan. Pandangannya menyapu ruangan kerja miliknya yang masih kacau karena insiden sebelumnya. Dia terdiam, napasnya mulai berat. Dan wajah Nalaa--wanita yang hampir dia bunuh--muncul begitu saja tanpa permisi di dalam pikirannya. "Tidak. Ini pasti gila!" Suaranya parau, namun penuh rasa yakin. Lian meyakinkan hatinya berulang kali, dia masih menyusun naskah drama di dalam pikirannya, lalu mulai bermonolog, "Asalkan wanita itu bersedia... berpura-pura menjadi calon istriku itu tidak jadi masalah." Lian mengambil ponselnya dan menekan cepat nama Gio. "Gio, Aku ingin bicara." "Iya, Tuan ada apa?" "Bagaimana kondisi wanita itu?" "Sudah lebih baik, Tuan." "Baiklah, aku akan ke sana, jaga dia!" Panggilan itu pun di tutup, Gio yang bingung hanya melihat pemandangan miris yang ada di depannya. Wanita yang masih belum sadar. Beberapa jam kemudian Lian datang dan menuju kamar khusus untuk keluarga Ganeswara. Gio mendekati Lian dengan ramah setelah melihat atasannya itu datang tepat di ruangan khusus tempat Nalaa terbujur lemah. Gio segera memberikan kabar kepada tuannya, "Non Nalaa masih belum sadar sepenuhnya, tapi kondisinya jauh lebih stabil. Pipinya tidak sepucat tadi, meskipun tubuhnya masih lemah dan masih dipasang selang infus." Lian berdiri di dekat jendela, wajahnya seperti batu. Ketika Gio memberikan informasi terkait kesehatan Nalaa, dia langsung bicara tanpa basa-basi. "Aku butuh bantuanmu." Gio mengangguk tanpa menjawab. Dia sudah tahu nada suara itu berarti sesuatu yang serius. "Aku butuh... Nalaa untuk berpura-pura menjadi kekasihku. Calon istriku." Gio mengangkat alisnya, "Tuan--Anda sadar dengan apa yang Anda katakan? Anda hampir membunuhnya tadi pagi. Dan sekarang... menjadikannya kekasih pura-pura?" Lian menatap Gio tajam, "Justru karena itu. Aku tidak bisa menghadirkan wanita lain dalam waktu singkat. Dan... dia satu-satunya yang tidak punya keterikatan dengan siapa pun dari lingkaran bisnis ini, dia aman." Gio terdiam sejenak, memikirkan hal itu. "Dan jika dia menolak?" "Aku akan bayar. Berapa pun." "Tuan,_ suara Gio merendah, "Ada hal-hal yang tidak bisa dibayar." "Aku masih punya kartu AS untuk meluluhkan egonya, yaitu kesehatan Neneknya yang sedang ada di rumah sakit yang sama." Gio hanya bisa menghembuskan napas berat, berhadapan dengan Lian harus memiliki banyak stok sabar dan juga lapang dada. "Baik, Tuan saya akan membantu Anda." Malam harinya, Nalaa mulai sadar. Tatapannya kosong, tubuhnya masih lemah. Ketika membuka mata, sosok pertama yang wanita cantik itu lihat adalah Gio. Dia mencoba berbicara, tapi suara yang keluar hanya desahan serak. "Tenang... Kamu selamat,' ujar Gio ramah sambil memberikan air dari sendok kecil ke bibirnya. "Kenapa... aku di sini?" tanya Nalaa lemah. Kenangan tentang cekikan itu mulai kembali perlahan. Gio menunduk sebentar, lalu menarik napas. "Ada hal penting yang harus kubicarakan denganmu. Tentang Tuan Lian." "Apa lagi yang akan dia lakukan kepada saya, Tuan?" "Ini sangat urgent dan saya meminta bantuan Anda Nona, Anda juga sudah menandatangi surat kontrak yang berisi tentang pernikahan kontrak dengan Tuan Lian jika sewaktu-waktu dia ingin Anda berpura-pura menjadi istrinya." Nalaa mengangguk, dia masih ingat jelas kontrak aneh yang dia tanda tangani demi kesembuhan Neneknya. "Iya, saya masih ingat tentang hal itu." "Dan sekarang adalah waktunya, Nona saya meminta Anda untuk menjadi kekasih pura-pura Tuan Lian." "Tapi apakah saya bisa melihat kondisi Nenek saya terlebih dahulu?" Gio mengangguk dan mengantarkan Nalaa untuk melihat kondisi Neneknya di rumah sakit yang sama. Air mata wanita cantik itu mulai berjatuhan saat melihat banyak alat medis yang melekat di tubuh wanita paruh baya tersebut. "Kamu akan sembuh, Nek! Nalaa akan berjuang dan bertahan demi Nenek." Keesokan harinya, Nalaa sudah bisa duduk meskipun masih lemah. Dia mengenakan baju rumah sakit, dan wajahnya sedikit lebih segar. Ketika pintu kamarnya terbuka, Nalaa menegang. Sosok Lian masuk dengan langkah tenang. Aura dingin itu masih ada, namun ada kegelisahan tersembunyi di balik matanya. Nalaa mencoba memalingkan wajah, namun Lian berbicara duluan. "Aku tahu... tidak ada kata maaf yang bisa menghapus yang kulakukan padamu kemarin." Nalaa hanya menatapnya dengan diam, namun tatapannya juga gelisah dan takut. "Tapi aku membutuhkan bantuanmu. Ini mungkin hal paling gila yang pernah kudengar--dan kamu akan berpikir aku sudah gila." Lian duduk di kursi sebelah ranjangnya, lalu dengan nada rendah dan jujur, "Berpura-puralah menjadi kekasihku. Hanya selama dua hari. Setelah itu, kamu bebas. Aku akan bayar semua biaya pengobatanmu, dan kamu akan mendapat kompensasi yang pantas." Nalaa nyaris tertawa--tertawa getir. "Setelah hampir membunuhku... sekarang kamu minta aku membantu menjaga citramu?" suaranya terdengar pedas meskipun lirih. Lian menggertakkan rahangnya, tetapi tidak melawan. "Aku pantas dibenci. Tapi ini bukan soal citra. Ini tentang warisan, tentang kelangsungan kendaliku di Mahkota Ganeswara. Dan aku tidak bisa... membiarkan siapa pun dari keluarga besar ikut campur." Nalaa menatap mata pria itu. Dia melihat ada bayangan ketakutan tersembunyi di sana. Bukan takut padanya. Tapi takut pada sesuatu yang lebih besar. "Kenapa aku? Dari semua wanita yang bisa kamu bayar untuk melakukan sandiwara ini?" tanya Nalaa dengan nada pelan. Lian tersenyum miring. "Karena kamu satu-satunya wanita yang... berani melawan aku--bahkan ketika kamu takut." Nalaa terdiam beberapa saat, Lian mulai berbicara lagi. "Aku tidak ingin seseorang yang bisa disetir. Aku butuh seseorang yang membuat mereka percaya... aku bisa mencintai." Nalaa menarik napas pelan, "Dan setelah semua selesai?" "Kamu bebas. Bahkan... aku akan membantumu keluar dari kehidupanku sepenuhnya, jika itu yang kamu mau." Nalaa menunduk. Dia masih takut. Tubuhnya masih gemetar jika mengingat peristiwa kemarin. Tapi kini dia berada di tengah-tengah sebuah pilihan, tetap diam dan terluka... atau mengambil kesempatan untuk melawan dalam cara lain. "Baik," sahut Nalaa pelan. "Tapi aku akan menentukan syaratku sendiri. Aku bukan boneka yang bisa kamu mainkan sesuka hati, Tuan Lian." Lian menatapnya dengan sorot mata yang lebih menusiawi. “Deal.” Lian dan Nalaa pun berjabat tangan, seseorang masuk dan sengaja berdehem di belakang punggung Lian.... "Tuan Lian, apakah ini yang Anda maksud calon istri?" Tubuh Lian membeku seperti seseorang yang kepergok mencuri....Notifikasi yang baru saja masuk membuat Lian membeku beberapa detik. Laki-laki itu menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam--sebuah pesan dari Pengacara keluarga Ganeswara, Mr. Taufan. ["Tuan Muda, sesuai wasiat almarhum Ayah Anda, kami diharapkan bertemu dengan calon pendamping Anda dalam waktu dua hari ke depan. Harap informasikan waktu dan tempat. Ini menyangkut pembebasan saham terakhir dan warisan utama Mahkota Ganeswara."] Lian mengusap wajahnya kasar, bibirnya terkatup rapat seakan menahan sumpah serapah yang nyaris keluar. Satu sisi otaknya ingin mengabaikan semua ini. Namun sisi lainnya tahu betul--warisan utama Mahkota Ganeswara bukan sekadar simbol, itu kekuatan, pengaruh, dan tahta. "Calon istri?" gumam Lian lirih sambil berdiri pelan. Pandangannya menyapu ruangan kerja miliknya yang masih kacau karena insiden sebelumnya. Dia terdiam, napasnya mulai berat. Dan wajah Nalaa--wanita yang hampir dia bunuh--muncul begitu saja tanpa permisi di dalam pikirannya. "Tidak.
Lian menjulurkan tangannya di tepat di leher wanita cantik itu. "T-Tuan s-saya bisa mati," ucap Nalaa dengan nada yang terdengar rendah. "Mati atau bukan itu bukan urusanku, kamu lancang sudah menumpahkan kopi pada dokumen penting saya, dan ini balasan untuk orang yang tidak tahu diri." Nalaa merasa tidak punya berat badan dan sangat ringan. "T-Tuan b-bukan saya yang mengotori me..jam Tu...aann." Pandangan Nalaa mulai mengabur begitu juga dengan gerakan wanita itu yang mulai melemah, Giok datang karena mendengar keributan yang terjadi di ruangan kerja Lian. Melihat pemandangan itu laki-laki yang usianya sama seperti Lian pun segera mencegah atasan sekaligus temannya itu untuk menghentikan cekikan di leher pengasuh barunya. "Lepaskan dia, Tuan Lian dia bisa mati dan Tuan akan kena masalah lebih besar lagi," ujar Gio dengan nada tegas memberitahu tindakan atasannya tersebut. Lian melepaskan cekikan di leher Nalaa hingga wanita itu hampir saja terjatuh membentur lantai jika Gio
Ketukan pelan terdengar dari balik pintu."Non Nalaa, Tuan Lian menunggu di ruang kerjanya," suara Bi Yuni lembut namun tegas.Nalaa masih berdiri kaku di depan cermin besar dalam kamar yang mewah namun asing baginya. Seragam abu tua yang dikenakan melekat pas di tubuhnya, terlalu pas. Lehernya terasa sesak, dan dada sesak bukan karena ukuran pakaian itu--melainkan karena rasa takut yang mengendap dalam benaknya. Nalaa kini resmi menjadi pengasuh pribadi pria paling menakutkan yang pernah dirinya temui yaitu Lian--sosok yang dirumorkan kejam.Dengan langkah ragu, Nalaa keluar dari kamar. Setiap jengkal lorong di mansion itu seperti lorong penjara mewah baginya. Nalaa mengikuti arah yang Bi Yuni tunjukkan, hingga sampai di sebuah pintu besar berukir emas."Masuklah," ucap Bi Yuni pelan, sebelum pergi meninggalkannya sendiri.Dengan tangan gemetar, Nalaa mengetuk pelan."Masuk." Suara dingin itu sudah berapa kali dia dengan sehari ini berulang kali, dan membuat Nalaa takut jika membuat
Tubuh tinggi itu hanya diam dengan tatapan tajam dan sulit diartikan, tidak ada yang bisa Nalaa lakukan selain merutuki kecerobohannya. Lian melempar jas mahalnya ke wajah ketakutan Nalaa yang kini terlihat pucat pasi."Cuci sampai wangi jangan ada noda sekecil apapun, atau nyawamu taruhannya."Perkataan itu membuat Nalaa semakin merinding dan takut jika ucapan dari laki-laki yang dia tahu namanya adalah Lian itu menjadi kenyataan, dia tidak siap jika harus mati muda apalagi neneknya yang sedang sakit parah. Dengan nada gemetar dia menjawab lirih, "Baik, Tuan." Nalaa memegang jas kotor itu dengan erat, dia berniat untuk pulang dan mencuci jas mahal tuan arogan itu di rumah saja, namun langkah kakinya berhenti saat Nalaa mendengar nada dingin, "Mau lari kemana?""Saya hanya ingin mencuci jas mahal Anda di rumah saya, Tuan.""Cuci saja di mansion saya, saya membutuhkan seorang pelayan yang mengurus pakaian kerja saya dan semua keperluan saya dalam jangka waktu satu bulan,' tegas Lian
"Hari ini adalah batas pembayaran operasi Nenek Lestari, jika dalam kurun waktu 24 jam maka kami tidak bisa membantu Anda, Nona!"perkataan seorang wanita yang memakai pakaian serba putih itu dengan nada ramah, namun juga membuat sesak di dada wanita cantik yang kini duduk di kursinya saat pelajaran berlangsung. Materi hari ini tidak masuk ke otak Nalaazara Kimora Carelia, dia sibuk dengan pikirannya sendiri, mencari solusi untuk biaya transplatasi jantung Nenek tercintanya yang sangat fantastis. Pelajaran hari itu selesai lebih cepat karena salah satu dosen tidak hadir dan memberikan tugas di kelas Nalaa. Septi yang merupakan teman sekelas nalaa pun melihat tingkah sahabatnya yang sedari tadi hanya bengong, wanita cantik itu menyikut Nalaa dengan sengaja, membuat Nalaa terkejut dan reflek menoleh arah Septi."Apa dosennya sudah datang?" pertanyaan reflek Nalaa ketika sahabatnya berusaha membuatnya bicara dia terbebas dari lamunan."Malah sudah pergi dari kelas, kamu kenapa sih sedar