Lian menegakkan tubuhnya setelah hampir tersungkur karena bertabrakan dengan seseorang. Matanya menajam saat mengenali sosok yang kini berdiri dengan raut wajah kaget-dan kemudian berubah menjadi sumringah.
"Lian?" suara lembut itu menyapa, namun matanya berbinar penuh harapan. Lian mengangguk pelan, "Melisa..." Wanita muda itu tertawa kecil, rambut cokelat gelapnya terselip rapi di bawah topi dokter. Jas putihnya menunjukkan jabatan, dan name tag yang menggantung dari saku dada menunjukkan gelar lengkapnya, Dr. Melisa Anastasya, Sp.JP. "Aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini!" ujar Melisa sambil meraih lengan Lian dengan akrab. "Kamu masih sama. Dingin, misterius, dan... luar biasa tampan." Lian hanya mengangkat alis, malas menanggapi pujian itu. "Kamu bekerja di sini?" "Ya, aku pindah beberapa bulan lalu. Salah satu dokter jantung termuda yang ditugaskan di rumah sakit ini. Kebetulan pasien baruku adalah seorang nenek manis." Melisa tersenyum, lalu menambahkan dengan suara yang sengaja dipelankan, "Dan ternyata, dia nenek dari istrimu ya, Lian?" Tatapan Lian berubah tajam. "Belum. Belum menikah." "Ah, jadi masih bisa dibilang kamu free?" candanya menggoda. "Kupikir kamu sudah dimiliki wanita itu." Tiba-tiba Nalaa membuka tirai pembatas kamar rawatnya, sudah dalam posisi duduk. Wajahnya masih pucat, namun matanya jelas menatap tajam ke arah Melisa dan Lian, "Sepertinya kalian punya banyak cerita masa lalu yang menyenangkan." Melisa tidak kalah tajam. Dia berjalan perlahan ke sisi tempat tidur Nalaa dan menyodorkan tangan. "Saya Melisa. Dokter jantung di sini, dan juga... teman masa SMA Lian. Kami dulu cukup dekat." "Cukup dekat atau terlalu dekat," balas Nalaa tenang namun menusuk, meskipun tangan Melisa masih dia genggam. Lian mengerutkan kening, "Nalaa, jangan mulai—" "Aku hanya bertanya, Tuan Muda. Bukankah penting mengenal masa lalu calon suami?" Nalaa tersenyum tipis. Melisa tersenyum lebih lebar, "Tenang saja. Kami memang dekat, tapi sayangnya Lian waktu itu lebih tertarik pada buku dan bisnis keluarga. Bukan pada hubungan cinta." "Ah ya, tentu saja. Karena sekarang dia malah memilih menikah dengan wanita sepertiku,” balas Nalaa. Ucapan Nalaa membuat atmosfer kamar menjadi lebih tegang. Lian menyentuh pelipisnya, frustrasi. "Nalaa," katanya tegas. "Jangan buat ini jadi drama yang tidak perlu." "Oh, tentu tidak, Tuan Muda. Saya hanya ingin tahu siapa saja yang akan terlibat dalam hidup saya kedepannya." Nalaa lalu memandang Melisa dengan dingin. "Dan saya tidak nyaman jika ada dokter yang terlibat emosional dengan pasien—atau keluarga pasien." Melisa mengangkat dagunya. "Jangan khawatir. Aku dokter profesional. Meskipun tentu saja, rasa memiliki tidak bisa hilang begitu saja... jika pernah begitu dalam." Tatapan mereka saling mengunci. Dua wanita yang jelas berbeda dunia, namun kini berdiri di medan yang sama. Beberapa Hari Kemudian Persiapan pernikahan berjalan cepat, dan rumah sakit menjadi tempat lalu-lalang berbagai dokumen dan fitting gaun. Melisa yang tetap menjadi dokter Nenek Nalaa, semakin sering muncul di sekitar Nalaa dan Lian. Di satu kesempatan, saat Lian sedang menandatangani surat di ruang pribadi rumah sakit, Melisa menyelinap masuk. "Lian, aku serius. Jangan lakukan ini," katanya pelan, menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca. "Siapa kamu mengatur saya?" "Dia bukan orang yang pantas mendampingimu. Dia hanya... orang asing yang akan mendapatkan semuanya." Lian mendongak tajam. "Aku yang membuat aturan, dan dia yang menerima. Bukan kamu yang berhak menilai." "Dan kalau aku masih mencintaimu?" bisik Melisa dengan penuh luka. "Apakah kamu akan tetap menikahinya? Bahkan kalau aku siap menjadi istrimu yang sesungguhnya?" Lian menatap wanita itu lama. Namun sebelum dia bisa menjawab, suara lembut dari pintu membuat keduanya menoleh. "Kalau begitu, kamu seharusnya datang lebih awal, Dokter Melisa," ucap Nalaa tenang, berdiri dengan gaun pasien dan selimut yang disampirkan di bahu. "Karena besok... aku yang akan menjadi istrinya." Melisa berbalik dengan emosi meledak, "Kamu tidak akan bertahan lama di hidupnya, Nalaa. Kamu hanya bayangan sementara. Dan bayangan tidak pernah memiliki cahaya!" Nalaa tersenyum penuh luka, namun matanya tetap kuat, "Tapi kadang... bayanganlah yang membuat cahaya jadi terlihat indah. Meskipun tidak bertahan lama, setidaknya aku tidak munafik seperti kamu, yang datang saat semuanya hampir selesai." Pernikahan digelar secara sederhana di aula rumah sakit. Saat Lian dan Nalaa mengucap janji, Melisa berdiri jauh di belakang, memandangi mereka dengan luka yang belum sembuh. Dalam hati, Nalaa berjanji, Satu bulan ini... aku akan menjadi nyata dalam hidupmu, Lian. Biarpun nanti kamu buang aku... setidaknya aku akan meninggalkan jejak.Lian menegakkan tubuhnya setelah hampir tersungkur karena bertabrakan dengan seseorang. Matanya menajam saat mengenali sosok yang kini berdiri dengan raut wajah kaget-dan kemudian berubah menjadi sumringah. "Lian?" suara lembut itu menyapa, namun matanya berbinar penuh harapan. Lian mengangguk pelan, "Melisa..." Wanita muda itu tertawa kecil, rambut cokelat gelapnya terselip rapi di bawah topi dokter. Jas putihnya menunjukkan jabatan, dan name tag yang menggantung dari saku dada menunjukkan gelar lengkapnya, Dr. Melisa Anastasya, Sp.JP. "Aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini!" ujar Melisa sambil meraih lengan Lian dengan akrab. "Kamu masih sama. Dingin, misterius, dan... luar biasa tampan." Lian hanya mengangkat alis, malas menanggapi pujian itu. "Kamu bekerja di sini?" "Ya, aku pindah beberapa bulan lalu. Salah satu dokter jantung termuda yang ditugaskan di rumah sakit ini. Kebetulan pasien baruku adalah seorang nenek manis." Melisa tersenyum, lalu menambahkan dengan su
Tubuh Lian langsung membeku ketika mendengar suara pengacara keluarganya yang ada di ambang pintu dengan wajah yang tidak bisa dibaca. Nalaa yang melihat hal itupun segera mengerti, "Sayang! Bukankah kamu sedang ada pekerjaan hari ini? Nanti pekerjaan kamu bisa terbengkalai jika kamu ada di sini dengan aku?" tutur lembut Nalaa membuat laki-laki yang memakai jas tersebut langsung bersandiwara. "Aku tidak ingin melihat kamu kesepian sayang, dan beginilah aku kalau sudah menyayangi seseorang apalagi orang itu adalah calon istriku!" "Iya tapi kan......" "Ehmmmm, apa saya mengganggu kalian?" sapa Mr.Taufan dengan nada ramah kepada Nalaa dan juga Lian. "Tidak menggangu sama sekali, Tuan!" sahut wanita cantik itu dengan senyum lembut dan manis. "Anda sangat cantik dan juga sopan, Nona hingga mampu meluluhkan gunung Everest yang selalu beku seperti Tuan Muda, tapi ekspresi dinginnya yang berkata manis tidak pernah bisa berubah," kekehen kecil keluar dari bibir pria paruh baya ters
Notifikasi yang baru saja masuk membuat Lian membeku beberapa detik. Laki-laki itu menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam--sebuah pesan dari Pengacara keluarga Ganeswara, Mr. Taufan. ["Tuan Muda, sesuai wasiat almarhum Ayah Anda, kami diharapkan bertemu dengan calon pendamping Anda dalam waktu dua hari ke depan. Harap informasikan waktu dan tempat. Ini menyangkut pembebasan saham terakhir dan warisan utama Mahkota Ganeswara."] Lian mengusap wajahnya kasar, bibirnya terkatup rapat seakan menahan sumpah serapah yang nyaris keluar. Satu sisi otaknya ingin mengabaikan semua ini. Namun sisi lainnya tahu betul--warisan utama Mahkota Ganeswara bukan sekadar simbol, itu kekuatan, pengaruh, dan tahta. "Calon istri?" gumam Lian lirih sambil berdiri pelan. Pandangannya menyapu ruangan kerja miliknya yang masih kacau karena insiden sebelumnya. Dia terdiam, napasnya mulai berat. Dan wajah Nalaa--wanita yang hampir dia bunuh--muncul begitu saja tanpa permisi di dalam pikirannya. "Tidak.
Lian menjulurkan tangannya di tepat di leher wanita cantik itu. "T-Tuan s-saya bisa mati," ucap Nalaa dengan nada yang terdengar rendah. "Mati atau bukan itu bukan urusanku, kamu lancang sudah menumpahkan kopi pada dokumen penting saya, dan ini balasan untuk orang yang tidak tahu diri." Nalaa merasa tidak punya berat badan dan sangat ringan. "T-Tuan b-bukan saya yang mengotori me..jam Tu...aann." Pandangan Nalaa mulai mengabur begitu juga dengan gerakan wanita itu yang mulai melemah, Giok datang karena mendengar keributan yang terjadi di ruangan kerja Lian. Melihat pemandangan itu laki-laki yang usianya sama seperti Lian pun segera mencegah atasan sekaligus temannya itu untuk menghentikan cekikan di leher pengasuh barunya. "Lepaskan dia, Tuan Lian dia bisa mati dan Tuan akan kena masalah lebih besar lagi," ujar Gio dengan nada tegas memberitahu tindakan atasannya tersebut. Lian melepaskan cekikan di leher Nalaa hingga wanita itu hampir saja terjatuh membentur lantai jika Gio
Ketukan pelan terdengar dari balik pintu."Non Nalaa, Tuan Lian menunggu di ruang kerjanya," suara Bi Yuni lembut namun tegas.Nalaa masih berdiri kaku di depan cermin besar dalam kamar yang mewah namun asing baginya. Seragam abu tua yang dikenakan melekat pas di tubuhnya, terlalu pas. Lehernya terasa sesak, dan dada sesak bukan karena ukuran pakaian itu--melainkan karena rasa takut yang mengendap dalam benaknya. Nalaa kini resmi menjadi pengasuh pribadi pria paling menakutkan yang pernah dirinya temui yaitu Lian--sosok yang dirumorkan kejam.Dengan langkah ragu, Nalaa keluar dari kamar. Setiap jengkal lorong di mansion itu seperti lorong penjara mewah baginya. Nalaa mengikuti arah yang Bi Yuni tunjukkan, hingga sampai di sebuah pintu besar berukir emas."Masuklah," ucap Bi Yuni pelan, sebelum pergi meninggalkannya sendiri.Dengan tangan gemetar, Nalaa mengetuk pelan."Masuk." Suara dingin itu sudah berapa kali dia dengan sehari ini berulang kali, dan membuat Nalaa takut jika membuat
Tubuh tinggi itu hanya diam dengan tatapan tajam dan sulit diartikan, tidak ada yang bisa Nalaa lakukan selain merutuki kecerobohannya. Lian melempar jas mahalnya ke wajah ketakutan Nalaa yang kini terlihat pucat pasi."Cuci sampai wangi jangan ada noda sekecil apapun, atau nyawamu taruhannya."Perkataan itu membuat Nalaa semakin merinding dan takut jika ucapan dari laki-laki yang dia tahu namanya adalah Lian itu menjadi kenyataan, dia tidak siap jika harus mati muda apalagi neneknya yang sedang sakit parah. Dengan nada gemetar dia menjawab lirih, "Baik, Tuan." Nalaa memegang jas kotor itu dengan erat, dia berniat untuk pulang dan mencuci jas mahal tuan arogan itu di rumah saja, namun langkah kakinya berhenti saat Nalaa mendengar nada dingin, "Mau lari kemana?""Saya hanya ingin mencuci jas mahal Anda di rumah saya, Tuan.""Cuci saja di mansion saya, saya membutuhkan seorang pelayan yang mengurus pakaian kerja saya dan semua keperluan saya dalam jangka waktu satu bulan,' tegas Lian