Share

102 | Ambigious

Penulis: Strawberry
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-01 21:56:58

Tangan Ryan sempat terangkat tinggi—dan untuk sesaat, Hanna benar-benar yakin tangan itu akan mendarat di pipinya. Tapi pukulan itu tidak pernah datang.

Gerakannya berubah di tengah udara, perlahan turun, dan justru jatuh ke atas kepala Hanna. Sentuhannya ringan, nyaris hati-hati, jari-jarinya kemudian bergeser ke sisi wajah Hanna, membingkai dengan lembut seolah ingin menenangkan badai yang sudah terlanjur dia ciptakan sendiri.

“Hanna…” suaranya serak, nyaris berbisik. Tatapan matanya melembut, ada sisa sedih di sana yang sulit dijelaskan. “Aku cuma… nggak mau kehilangan kamu, jujur aku cemburu karena kamu lebih peduli dengan Liam daripada aku.”

Sentuhan itu hangat—terlalu hangat untuk pria yang baru saja hampir meledak. Tapi bagi Hanna, semua kelembutan itu terasa salah. Apalagi pengakuannya, bukannya membuat Hanna bersimpati tapi membuat Hanna muak.

Ia menatap Ryan, matanya dingin dan lelah.

“Kalau caramu mencintai adalah dengan mengurung dan mengendalikan,” bisiknya pelan, “maka i
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   104 | Elystra

    Elystra.Ryan menajamkan pendengarannya. Nama “Elystra” memicu sesuatu dalam benaknya — sebuah wilayah yang bahkan sudah dihapus dari peta resmi Valthera karena dianggap tercemar dan tidak layak huni.Ia menunduk sedikit, pura-pura memainkan botol airnya sambil memperhatikan mereka dari ekor mata.Dan kalau ia bisa menemukan siapa yang berada di balik perubahan itu, ia tahu betul: kekuatan seperti itu bisa mengguncang dunia.“Aku dengar mereka pakai sistem bio-katalis buatan, bikin tanah gersang bisa nyerap nutrisi dari udara.”“Kata temenku yang kerja di sana, semua proyeknya dirahasiakan. Gak ada logo pemerintah. Cuma simbol aneh di setiap fasilitasnya.”Ryan menelan ludah pelan. Matanya berkilat tajam, tapi ia menyembunyikannya di balik ekspresi datarnya.Kalau rumor itu benar, Elystra bisa menjadi sumber kekuatan besar. Teknologi seperti itu bisa mengubah dunia — dan siapa pun yang menguasainya akan mengendalikan seluruh sistem pangan global.Ia melirik Hanna yang sedang menunduk,

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Noodle House

    Udara di distrik bawah terasa berbeda, hangat, lembap, dan penuh aroma kehidupan yang tak pernah singgah di kawasan atas Valthera. Mobil hitam Ryan tampak mencolok di antara kios-kios tua dan papan nama yang berkelap-kelip setengah padam.Di sini menjadi gambaran mayoritas masyarakat yang tak tersentuh kemakmuran dan bantuan apapun namun mereka tetap hidup dan menjadi penyeimbang Valthera yang kaya di mata dunia.Begitu mereka berhenti di depan Noodles House, Hanna melangkah lebih dulu, tanpa menoleh. Ryan sempat ragu, tapi akhirnya mengikuti, menundukkan kepala agar tidak menarik perhatian. Dengan pakaian yang mereka kenakan, tetap saja mereka mencolok, banyak mata menatap mereka dengan tatapan menilai dan menebak-nebak. Beberapa dari mereka berpikir, kalau orang-orang ini pasti datang untuk melihat tempat dan mungkin nanti menggusur wilayah mereka, seperti yang terjadi sebelumnya. Mengganti kedai-kedai kecil yang hangat dan berisi tawa dengan rumah-rumah produksi yang bising.Temp

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   102 | Ambigious

    Tangan Ryan sempat terangkat tinggi—dan untuk sesaat, Hanna benar-benar yakin tangan itu akan mendarat di pipinya. Tapi pukulan itu tidak pernah datang.Gerakannya berubah di tengah udara, perlahan turun, dan justru jatuh ke atas kepala Hanna. Sentuhannya ringan, nyaris hati-hati, jari-jarinya kemudian bergeser ke sisi wajah Hanna, membingkai dengan lembut seolah ingin menenangkan badai yang sudah terlanjur dia ciptakan sendiri.“Hanna…” suaranya serak, nyaris berbisik. Tatapan matanya melembut, ada sisa sedih di sana yang sulit dijelaskan. “Aku cuma… nggak mau kehilangan kamu, jujur aku cemburu karena kamu lebih peduli dengan Liam daripada aku.”Sentuhan itu hangat—terlalu hangat untuk pria yang baru saja hampir meledak. Tapi bagi Hanna, semua kelembutan itu terasa salah. Apalagi pengakuannya, bukannya membuat Hanna bersimpati tapi membuat Hanna muak.Ia menatap Ryan, matanya dingin dan lelah.“Kalau caramu mencintai adalah dengan mengurung dan mengendalikan,” bisiknya pelan, “maka i

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   101 | Enemy

    Hanna hanya menatap tablet kecil di atas nampan dengan pandangan lelah dan muak. Ia tak menyentuh makanan sedikit pun.Ketika Ryan kembali, ia berhenti di ambang pintu, menatap meja dengan dahi berkerut.“Kenapa kamu gak makan?” tanyanya rendah, menahan nada kesal.Hanna mendongak pelan. “Siapa yang tahu makanan ini aman?” ujarnya sarkastik. “Bagaimana kalau aku diracuni?”Rahangan Ryan langsung mengeras. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.“Hanna, ini keterlaluan!” suaranya meninggi. “Kamu menuduhku tanpa bukti! Aku calon suami kamu—orang yang bertanggung jawab atas keselamatan kamu!”“Memiliki tanggung jawab atas keselamatanku,” balas Hanna datar, “belum tentu berarti kamu benar-benar bertanggung jawab.”Nada suaranya tenang, tapi tajam. “Aku gak bisa makan ini.”“Hanna…” desis Ryan pelan, geram menahan emosi.Hanna menyilangkan tangan di depan dada, matanya menusuk balik ke arah Ryan.“Kalau begitu,” ujarnya tenang tapi menantang, “coba kamu jelaskan… itu apa?”Ia menunjuk ke arah

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   100 | Uji Kendali

    Hanna menatap Ryan dengan sinis. Lelaki itu memang menakutkan saat marah. Wajahnya keras, rahangnya tegang, sorot matanya menusuk—membuat siapa pun pasti ciut. Tapi bukan Hanna. Walau hatinya berdebar, ia menolak menunduk.Ryan berdiri di depannya, kedua tangan di pinggang, berjalan mondar-mandir seperti sedang menahan diri. Amarahnya jelas terlihat, meski tak satu pun kata kasar keluar dari mulutnya.Hanna menghela napas berat, lalu berdiri. Ia menghentakkan kakinya ke lantai, membuat Ryan langsung menoleh tajam.“Sekarang aku gak peduli, meski kamu marah,” ucap Hanna tegas.Ryan terdiam sesaat. Pandangannya tak percaya—baru kali ini ada yang berani menentangnya seperti itu. Tapi entah kenapa, untuk Hanna, ia tak bisa benar-benar marah. Ia tak ingin melihat Hanna membencinya, meski di dalam dada, kesalnya sudah menumpuk.Kenapa harus Liam? pikirnya. Seorang profesor biasa, kepala biro tanpa nama besar keluarga kecuali kehormatan karena jasanya terhadap negara—apa hebatnya dibanding d

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   99 | Licik

    Ketika kereta mulai bergerak, Hanna menyandarkan kepala di jendela. Getaran halus dari rel membuat matanya hampir terpejam. Ia hanya ingin tenang, untuk sekali ini saja.Namun dari dalam tasnya, seberkas cahaya biru memantul di sisi logam. Kilatan itu samar, tapi cukup untuk membuatnya menoleh.Perlahan, Hanna membuka resleting tas. Smartwatch-nya—yang tadi sudah ia matikan sendiri, tiba-tiba menyala kembali. Layar kecil itu memancarkan cahaya dingin, berkedip cepat seperti sedang memproses sesuatu.Hanna menatapnya lama, perasaan miris menelusup tanpa bisa ditahan. Ryan selalu bicara soal keamanan, soal melindungi dirinya. Tapi justru di bawah kendali pria itulah, Hanna tak pernah benar-benar merasa aman.Ia mengangkat jam itu hati-hati. Di layar, muncul pola aneh: barisan simbol dan angka berderet cepat, seperti kode yang menyalin dirinya sendiri.“Tidak mungkin...” bisiknya pelan. Ia menekan tombol samping berulang kali, tapi tak ada respons.Cahaya di layar semakin kuat, lalu beru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status