"Namanya Nara."
Mata Siera menyipit mendengar ucapan tiba-tiba dari pria yang berdiri memunggunginya itu.
Mereka baru tiba di rumah ini. Tadinya, Dean sudah naik ke lantai atas. Namun, pria bertubuh jangkung itu kembali dengan membawa sebuah bingkai foto di tangan. Memperlihatkan benda itu sebentar padanya, lalu menyebutkan sebuah nama.
Barusan, lelaki itu memperkenalkan perempuan yang ada di foto? Jika benar demikian, Siera tak paham mengapa itu harus suaminya lakukan.
"Kami menjalin hubungan sejak lulus kuliah. Sudah tiga tahun belakangan tinggal serumah."
Baik. Jadi, begitu?
Ada jeda beberapa saat selagi Siera mencerna kalimat barusan. Setelah paham, perempuan itu melempar punggung ke sandaran sofa.
Ia ditipu.
Matanya melirik gaun pengantin selutut yang masih melekat di tubuh. Haruskah menanggalkan benda itu sekarang juga? Karena sumpah demi apa pun, ia tidak terima dengan kebenaran yang barusan didengar.
Beberapa saat lalu, Siera, si gadis berusia 26 tahun itu resmi menjadi istri dari seorang pria bernama Dean Sandi. Tanpa pacaran, tanpa proses saling mengenal lebih jauh, mereka menikah di kantor pencatatan sipil.
Siera yang bekerja sebagai waiters di salah satu kafe bertemu dengan Dean di tempat kerjanya. Tanpa b**a-basi, pria berwajah lugu itu mendatangi, langsung memintanya menjadi istri.
"Kopi yang tadi saya antar rasanya enggak beracun. Kenapa Bapak tiba-tiba bersikap abnormal gini?"
Itu respon yang Siera berikan saat Dean berkata ingin menikahinya. Namun, tanpa diminta, Dean menjelaskan alasan di balik ajakan itu.
"Saya anak tunggal. Saya bukan orang baik, tetapi saya sangat ingin membuat ayah dan ibu saya bahagia dan tenang."
Awalnya, Siera santai saja mendengar semua itu. Perempuan tersebut beranggapan bahwa lelaki di depannya saat itu hanya iseng. Mungkin ikut taruhan atau sedang syuting acara TV.
"Usia saya sudah 33 tahun. Ayah dan Ibu saya menginginkan menantu. Kata mereka, mereka baru akan bahagia dan tenang jika saya menikah dengan perempuan baik."
Di saat itulah Siera mulai serius menanggapi Dean. Ia menatapi pria itu saksama. Berusaha meneliti ekspresi yang dibuat, meski yang tampak hanya raut tenang.
"Ayah saya juga masuk rumah sakit seminggu kemarin karena saya menolak dijodohkan dengan anak temannya. Sampai sekarang kesehatannya belum pulih sepenuhnya. Beliau bahkan mengancam akan tidak tenang, jika seandainya meninggal tanpa sempat melihat saya memperkenalkan menantu."
Panjang lebar penjelasan merujuk ke bujukan itu Siera dengar. Dalam otaknya, hanya menyimpulkan satu hal. Dean berbuat seperti ini, meminta perempuan asing untuk menjadi istri karena ingin membuat orang tua bahagia.
Siera tersentuh sekaligus iri.
Sebagai gadis sebatang kara yang sudah ditinggal ayah dan ibu sejak empat tahun lalu, ada rasa sesal yang sampai sekarang masih menggerogoti hati. Membuat tidurnya tak nyaman di malam-malam tertentu dan menjadi alasan mengapa air mata selalu turun tiap kali mendoakan mendiang orang tua.
Siera tak sempat berbakti pada ayah dan ibu. Sebelum gadis itu berhasil menyelesaikan kuliah dan mendapat pekerjaan bagus, Hari dan Atla sudah lebih dulu dipanggil. Perempuan itu merasa belum bisa membalas kasih sayang yang orangtuanya berikan.
Mendengar penuturan Dean, tentu ia merasa iba. Juga, timbul rasa ingin membantu. Jika bisa menolong Dean, ia berharap di atas sana orangtuanya melihat dan perbuatan ini dihitung untuk dibalas dengan kebaikan juga.
Siera berharap Hari dan Atla di atas sana mendapat tempat terbaik sebagai balasan, jika nanti ia membantu Dean.
"Itu alasan saya meminta kamu menjadi istri saya. Bagaimana? Kamu mau?"
Sekali lagi Siera menatap dua manik dengan iris gelap milik pria di hadapan. Mencari-cari sirat kebohongan di sana, tetapi malah menemukan hal sebaliknya. Dean terlihat sungguh dan sedikit frustrasi. Juga, terlihat tampan. Ya, pria itu rupawan.
"Bapak punya rumah?"
Lelaki itu mengangguk mantap.
"Bapak punya mobil?"
Kembali jawaban yang diterima Siera adalah anggukan.
"Bapak orangnya sabar, enggak?"
Kali ini pria itu menggerakkan kepala sedikit ragu.
Saat itu, pikiran Siera hanya tertuju pada keinginan Dean yang ingin membahagiakan orang tua. Pria itu sedang terdesak, amat membutuhkan bantuan. Siera sendiri, memang tak punya tujuan mendesak. Maka, perempuan itu mengangguk.
"Ya, udah. Ayo nikah."
Dimintai menjadi istri di siang hari, tiga hari kemudia mereka meresmikan hubungan. Siera juga heran mengapa semuanya menjadi sangat cepat. Tahu-tahu sore menjelang malam ini ia telah resmi menjadi pendamping seumur hidup dari seorang pria bernama Dean.
Pernikahan yang instan. Tanpa dihadiri keluarga, baik dari pihaknya atau pihak Dean. Laki-laki itu bilang ini dilakukan untuk memberi kejutan pada ayah dan ibunya.
Rencananya, besok mereka akan mengunjungi rumah orang tua pria itu. Menceritakan semuanya dan urusan akan diadakan pesta perayaan atau tidak, akan dibicarakan nanti.
Kembali pada kalimat Dean barusan, soal perempuan bernama Nara itu. Akhirnya Siera paham. Pikiran Dean tak selugu wajah yang dipunya.
Pria itu licik, sudah menipunya. Di sofa yang ditempati, Siera bersedekap. Alih-alih menatap kagum, kali ini sorot mata yang dilempar pada punggung si suami penuh kemarahan.
"Istrimu itu enggak bisa kasih anak?" Dugaan paling sederhana yang bisa dibuat adalah Nara itu mandul. Karenanya, Dean membutuhkan istri kedua yang diharapkan mampu memberikan mereka keturunan.
Seperti cerita di novel online yang biasa Siera baca. Oh, membaca dan mengkhayalkannya saja yang indah. Kenyataan, semua itu amat menyesakkan dan membuat ubun-ubun nyaris meledak karena menahan emosi.
Tidak ada persetujuan sebelum ini. Siera tak tahu jika tujuannya dinikahi adalah untuk memberikan anak. Jika saja Dean jujur, ia akan mempertimbangkan lebih serius lagi. Mungkin, ia juga meminta kompensasi setimpal.
Kalimat kasar barusan membuat Dean sontak menoleh. Pria tersebut sedikit heran mendapati cara istrinya menatap. Tidak lagi setenang beberapa jam lalu. Jelas ada kebencian dan kecewa di sana.
"Jaga ucapan kamu."
"Orang waras kalau udah sadar ditipu ya bakal kasar. Bapak berharap aku bicara lembut?" Yang benar saja!
"Kamu tidak berhak menghakimi Nara. Ka--"
"Bapak berhak menipu aku. Aku pantas ditipu, gitu?" Menyela, Siera membuka sanggulan sederhana di kepala. Membiarkan rambut hitam di atas sikunya tergerai.
"Saya tidak menipu kamu." Dean berucap tegas. Dua tangannya tersimpan di saku.
"Is, udah ketahuan juga. Bapak enggak bilang kalau udah punya istri. Itu bukan penipuan namanya?!" Lepas kendali, Siera menaikan nada. Persetan soal sopan santun.
Dalam hati, Siera menyerapah. Istri kedua. Tak pernah dibayangkan kalau status itu akan ia sandang. Atas seorang pria yang bahkan tidak dicintainya.
Seketika ia merasa menjadi karakter antagonis dalam novel yang sering dibaca. Pelakor? Orang ketiga yang biasa dicaci pembaca?
Setelah ini bagaimana? Oh, cerai adalah pilihan bijak. Ia salah paham pada Dean, jadi Tuhan juga tidak akan marah bila pernikahan ini diakhiri.
"Ceraikan aku. Aku memang enggak cantik, tapi bukan berarti rela jadi istri kedua. Lagian, aku belum tentu bisa kasih kalian anak. Ka--"
"Nara bukan istri saya."
Eh? Disela dengan kalimat itu, Siera mengerutkan kening. Maksudnya?
"Mau coba nipu aku lagi? Sayang sekali wajah rupawan Bapak itu. Karakter yang dipunya enggak beres! Udah je--"
"Nara bukan istri saya. Kami tinggal bersama, namun tidak pernah menikah."
"Nara bukan istri saya. Kami memang tinggal serumah, namun tidak menikah." Dean mengeraskan rahang setelah membeberkan hal itu pada perempuan bergaun putih di hadapan. Bisa ia lihat lawan bicaranya terkejut, bahkan termangu untuk beberapa saat. "Wah, bukan cuma penipu, Bapak tenyata suami yang kejam juga. Calon-calon dilaknat, istri sendiri enggak diakui." Gantian, ia yang terbengong saat ini. Dilaknat? Dari mana perempuan itu belajar kata demikian? Si lelaki mengusap wajah. "Nara memang bukan istri saya. Belum." Mungkin tidak akan pernah, sambungnya dalam hati. Untuk beberapa sekon matanya terlihat sendu. Namun, decakan dari mulut gadis yang duduk di sofa kembali menyita atensi. Berdecak bingung, Siera menggaruk kening yang tidak gatal. Sebenarnya apa maksud pria yang beberapa jam lalu menikahinya itu? Katanya, sudah tinggal serumah dengan wanita bernama Nara itu. Kemudian, mengi
Mike dan Ana sudah lama meninggalkan rumah Dean. Langit di luar sudah sepenuhnya gelap dan dihiasi bintang. Lampu di seisi rumah juga sudah menyala. Namun, Siera masih tetap bergeming di tempat. Duduk sembari memeluk lutut di atas sofa. Menyembunyikan wajah, memejam demi menghalau bening yang sedari tadi memaksa ditumpahkan. Perempuan itu menyesali diri, merutuki kebodohan. Pertama, pikirannya terlalu dangkal hingga tak memastikan kebenaran alasan Dean sewaktu memintanya menjadi istri. Kedua, ikut-ikutan berbohong pada Mike dan Ana tadi. Mengamini pernikahan palsu mereka adalah sungguh didasari cinta dengan kebungkaman, tambah bantahan. Ketiga, membiarkan Dean memeluknya sewaktu di dapur tadi. Semuanya menyesakkan. Keputusan menerima pinangan Dean ternyata benar-benar salah. Tak hanya demi membuat orang tuanya tenang, laki-laki tersebut mempersuntingnya supaya hubungan busuknya tidak diketahui. Memalukan. Lebih memalukan lagi d
Tiba di rumah pukul satu dini hari, Dean langsung menuju kamar. Pria itu melempar tubuh ke tempat tidur, mengistirahatkan punggung yang terasa amat pegal. Menatapi dinding di ruangan itu, ia mengembuskan napas berat. Menaruh satu lengan di atas wajah, kemudian meringis. Luka terbuka di pelipis tidak sengaja disentuh. Satu helaan napas lagi lolos dari mulut Dean. Memejam, ia berharap bisa segera terlelap. Lelah. Seharian harus mengisi kuliah di kampus, ditambah menghadapi mahasiswa bimbingan, pria itu masih harus meladeni Nara dan segala kemurkaan wanita itu. Nara mengamuk sore tadi. Wanita itu melempar dan menghancurkan semua barang. Salah satunya mengenai pelipis Dean dan menghasilkan luka di sana. Dean hanya bisa mengalah tadi. Mendengarkan semua kalimat sarat amarah dari Nara, tanpa berniat mendebat. Sebisa mungkin ia menjelaskan dengan nada pelan. Dean paham, Nara pasti tidak terima akan pernikah
"Siera kamu sudah coba bolu kukus buatan Farah, belum?" Ana membawa piring kecil di tangan, berjalan menuju dapur yang dihuni Siera. Saat melihat sosok menantunya di depan wastafel, wanita itu mendesah. "Nak, kamu tidak perlu mencuci piring. Ada Bu Ratna yang bisa melakukan itu." Ia menghampiri, tersenyum teduh pada gadis dengan gaun biru lembut selutut itu. Hari ini, karena Dean menolak mengadakan acara syukuran besar-besaran, keluarga mereka hanya menggelar acara kumpul dan makan siang bersama di hari Minggu ini. Ana terpaksa menurut saja, sebab tak ingin menantunya ikut-ikutan kesulitan karena harus membujuk Dean yang keras kepala. Hari ini berjalan dengan baik. Seperti dugaan Ana, semua kerabat yang diundang menyukai Siera, bahkan di pertemuan pertama. Ana paham mengapa itu terjadi. Siera memang tipe gadis yang manis, bahkan untuk orang asing yang baru melihatnya. Aura gadis itu sederhana dan mudah didek
Tetes air hujan masih setia menjatuhkan diri, membuat Siera yang duduk di depan kafe Ramaji yang sudah tutup mendesah pelan. Gadis itu melihat jam di ponsel yang sedari tadi digenggam. Sudah pukul sebelas. Satu jam sudah ia menanti guyuran hujan mereda. Gadis itu menyesal karena sudah sesumbar menolak tawaran Rama yang ingin memberikan tumpangan. Siera mengaku tak ingin pulang, sebelum hujan reda dan memutuskan menunggu. Lelah, mengantuk ditambah udara dingin yang menusuk tulang, Siera melihat bayang-bayang kasur empuknya di genangan yang mulai tercipta di depan kafe. Bayangan itu seokah mengejeknya karena sudah melakukan hal konyol. Menarik napas, baru saja akan beranjak, ponsel gadis itu bergetar. Kontak bernama Suami terlihat di layar. "Kamu di mana? Masih lama?" Ada sedikit rasa senang ketika telinga Siera mendengar suara dari seberang. Cukup membuatnya sedikit hangat. Sudah
Selesai mandi, Siera yang berencana langsung pergi tidur diinterupsi oleh nyanyian nyaring cacing di perut. Perempuan itu menilik jam di dinding kamar. Pukul setengah dua belas malam. "Kamu enggak bisa diajak kerja sama, ya?" Mengusap perut, gadis itu melangkahkan kaki menuju dapur. Ia dan Dean baru beberapa hari menikah. Sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing, hingga tak sadar tentang urusan dapur. Malam ini Siera baru tahu bahwa lemari pendingin di rumah tak teirsi apa-apa, kecuali minuman kaleng. Hal sama juga berlaku pada lemari-lemari di yang ada. Tak ada mi instant atau makanan kemasan lainnnya. Mendesah lelah, Siera berdiri di depan wastafel. Menatapi dapur rumah yang terasa gersang. Ia jadi merenung. Apa begini kondisi dari dapur yang dihuni pasangan suami-istri yang menikah bukan karena cinta? Apa seperti ini rasanya menjalani rumah tangga yang dibangun tanpa dasar yang jelas? Hampa? Siera pernah ke
Di luar, cuaca cerah, tetapi tidak terik. Bagus. Sama bagusnya dengan suasana hati Siera sore ini. Bagaimana tidak? Ia sedang berada di rumah mertua, menikmati berbagai kue lezat. Ana menelepon siang tadi. Katanya akan datang untuk mengantar bolu kukus, bolu pisang dan bubur kacang hijau yang sengaja si mertua buat untuknya. Tak ingin membuat ibunya Dean kerepotan, Siera putuskan untuk menjemput semua makanan itu sepulang bekerja. Kebetulan, di rumah juga tidak ada orang. Dean yang sebenarnya demam bersikukuh pergi mengajar tadi pagi. Pasti pria itu belum pulang. Sempatkan singgah, bukan masalah. "Masakan Mama super enak." Gadis itu menelan potongan bolu pisang terakhir yang bisa perutnya tampung. Mike yang menyesap kopi, menoleh pada menantunya. "Kamu berlebihan." Senyumnya terlihat mekar. Siera menggeleng. "Ini serius, Pa. Kapan-kapan ajari Siera buat yang begini, Ma. Biar bisa buatin untuk De--" Perempuan
Dean memarkirkan mobil di depan rumah Nara. Mematikan mesin, ia menoleh pada gadis di kursi sebelah. Perempuan dengan dress biru itu masih memalingkan wajah. Enggan bertukar tatap. Tampaknya masih kesal. Siang tadi, sepulangnya ia mengajar dan diskusi soal proyek penelitian, Dean mendatangi Nara. Biasa, awalnya untuk menghabiskan waktu bersama. Sekadar bicara--meski tahu akan berakhir dengan debat--atau menonton drama kesukaan perempuan itu. Pokoknya meluangkan waktu, agar sang pacar tidak mengatai pilih kasih. Satu kesamaan Nara dan Siera yang baru Dean ketahui. Selain punya akhirnya nama yang sama, mereka juga penyuka K-Pop. Namun, Nara tidak seheboh Siera yang bisa berteriak atau senyum-senyum du. Depan layar TV atau ponsel. Kembali pasa Nara, rencana Dean yang ingin menghabiskan waktu bersama, tak bisa direalisasikan karena saat datang, Dean disambut wajah tertekuk si kekasih. "Tetangga nanyain kamu itu siapanya aku. Mereka