Share

After Marriage
After Marriage
Penulis: Sinda

Kebenaran

"Namanya Nara." 

Mata Siera menyipit mendengar ucapan tiba-tiba dari pria yang berdiri memunggunginya itu. 

Mereka baru tiba di rumah ini. Tadinya, Dean sudah naik ke lantai atas. Namun, pria bertubuh jangkung itu kembali dengan membawa sebuah bingkai foto di tangan. Memperlihatkan benda itu sebentar padanya, lalu menyebutkan sebuah nama. 

Barusan, lelaki itu memperkenalkan perempuan yang ada di foto? Jika benar demikian, Siera tak paham mengapa itu harus suaminya lakukan. 

"Kami menjalin hubungan sejak lulus kuliah. Sudah tiga tahun belakangan tinggal serumah." 

Baik. Jadi, begitu? 

Ada jeda beberapa saat selagi Siera mencerna kalimat barusan. Setelah paham, perempuan itu melempar punggung ke sandaran sofa. 

Ia ditipu. 

Matanya melirik gaun pengantin selutut yang masih melekat di tubuh. Haruskah menanggalkan benda itu sekarang juga? Karena sumpah demi  apa pun, ia tidak terima dengan kebenaran  yang barusan didengar. 

Beberapa saat lalu, Siera, si gadis berusia 26 tahun itu resmi menjadi istri dari seorang pria bernama Dean Sandi. Tanpa pacaran, tanpa proses saling mengenal lebih jauh, mereka menikah di kantor pencatatan sipil.  

Siera yang bekerja sebagai waiters di salah satu kafe bertemu dengan Dean di tempat kerjanya. Tanpa b**a-basi, pria berwajah lugu itu mendatangi, langsung memintanya menjadi istri.

"Kopi yang tadi saya antar rasanya enggak beracun. Kenapa Bapak tiba-tiba bersikap abnormal gini?" 

Itu respon yang Siera berikan saat Dean berkata ingin menikahinya.  Namun, tanpa diminta, Dean menjelaskan alasan di balik ajakan itu. 

"Saya anak tunggal. Saya bukan orang baik, tetapi saya sangat ingin membuat ayah dan ibu saya bahagia dan tenang." 

Awalnya, Siera santai saja mendengar semua itu. Perempuan tersebut beranggapan bahwa lelaki di depannya saat itu hanya iseng. Mungkin ikut taruhan atau sedang syuting acara TV. 

"Usia saya sudah 33 tahun. Ayah dan Ibu saya menginginkan menantu. Kata mereka, mereka baru akan bahagia dan tenang jika saya menikah dengan perempuan baik." 

Di saat itulah Siera mulai serius menanggapi Dean. Ia menatapi pria itu saksama. Berusaha meneliti ekspresi yang dibuat, meski yang tampak hanya raut tenang. 

"Ayah saya juga masuk rumah sakit seminggu kemarin karena saya menolak dijodohkan dengan anak temannya. Sampai sekarang kesehatannya belum pulih sepenuhnya. Beliau bahkan mengancam akan tidak tenang, jika seandainya meninggal tanpa sempat melihat saya memperkenalkan menantu." 

Panjang lebar penjelasan merujuk ke bujukan itu Siera dengar. Dalam otaknya, hanya menyimpulkan satu hal. Dean berbuat seperti ini, meminta perempuan asing untuk menjadi istri karena ingin membuat orang tua bahagia. 

Siera tersentuh sekaligus iri. 

Sebagai gadis sebatang kara yang sudah ditinggal ayah dan ibu sejak empat tahun lalu, ada rasa sesal yang sampai sekarang masih menggerogoti hati. Membuat tidurnya tak nyaman di malam-malam tertentu dan menjadi alasan mengapa air mata selalu turun tiap kali mendoakan mendiang orang tua. 

Siera tak sempat berbakti pada ayah dan ibu. Sebelum gadis itu berhasil menyelesaikan kuliah dan mendapat pekerjaan bagus, Hari dan Atla sudah lebih dulu dipanggil. Perempuan itu merasa belum bisa membalas kasih sayang yang orangtuanya berikan. 

Mendengar penuturan Dean, tentu ia merasa iba. Juga, timbul rasa ingin membantu. Jika bisa menolong Dean, ia berharap di atas sana orangtuanya melihat dan perbuatan ini dihitung untuk dibalas dengan kebaikan juga. 

Siera berharap Hari dan Atla di atas sana mendapat tempat terbaik sebagai balasan, jika nanti ia membantu Dean. 

"Itu alasan saya meminta kamu menjadi istri saya. Bagaimana? Kamu mau?" 

Sekali lagi Siera menatap dua manik dengan iris gelap milik pria di hadapan. Mencari-cari sirat kebohongan di sana, tetapi malah menemukan hal sebaliknya. Dean terlihat sungguh dan sedikit frustrasi. Juga, terlihat tampan. Ya, pria itu rupawan. 

"Bapak punya rumah?" 

Lelaki itu mengangguk mantap. 

"Bapak punya mobil?" 

Kembali jawaban yang diterima Siera adalah anggukan. 

"Bapak orangnya sabar, enggak?" 

Kali ini pria itu menggerakkan kepala sedikit ragu. 

Saat itu, pikiran Siera hanya tertuju pada keinginan Dean yang ingin membahagiakan orang tua. Pria itu sedang terdesak, amat membutuhkan bantuan. Siera sendiri, memang tak punya tujuan mendesak. Maka, perempuan itu mengangguk. 

"Ya, udah. Ayo nikah." 

Dimintai menjadi istri di siang hari, tiga hari kemudia  mereka meresmikan hubungan. Siera juga heran mengapa semuanya menjadi sangat cepat. Tahu-tahu sore menjelang malam ini ia telah resmi menjadi pendamping seumur hidup dari seorang pria bernama Dean. 

Pernikahan yang instan. Tanpa dihadiri keluarga, baik dari pihaknya atau pihak Dean. Laki-laki itu bilang ini dilakukan untuk memberi kejutan pada ayah dan ibunya. 

Rencananya, besok mereka akan mengunjungi rumah orang tua pria itu. Menceritakan semuanya dan urusan akan diadakan pesta perayaan atau tidak, akan dibicarakan nanti. 

Kembali pada kalimat Dean barusan, soal perempuan bernama Nara itu. Akhirnya Siera paham. Pikiran Dean tak selugu wajah yang dipunya. 

Pria itu licik, sudah menipunya. Di sofa yang ditempati, Siera bersedekap. Alih-alih menatap kagum, kali ini sorot mata yang dilempar pada punggung si suami penuh kemarahan. 

"Istrimu itu enggak bisa kasih anak?" Dugaan paling sederhana yang bisa dibuat adalah Nara itu mandul. Karenanya, Dean membutuhkan istri kedua yang diharapkan mampu memberikan mereka keturunan. 

Seperti cerita di novel online yang biasa Siera baca. Oh, membaca dan mengkhayalkannya saja yang indah. Kenyataan, semua itu amat menyesakkan dan membuat ubun-ubun nyaris meledak karena menahan emosi. 

Tidak ada persetujuan sebelum ini. Siera tak tahu jika tujuannya dinikahi adalah untuk memberikan anak. Jika saja Dean jujur, ia akan mempertimbangkan lebih serius lagi. Mungkin, ia juga meminta kompensasi setimpal. 

Kalimat kasar barusan membuat Dean sontak menoleh. Pria tersebut sedikit heran mendapati cara istrinya menatap. Tidak lagi setenang beberapa jam lalu. Jelas ada kebencian dan kecewa di sana.

"Jaga ucapan kamu." 

"Orang waras kalau udah sadar ditipu ya bakal kasar. Bapak berharap aku bicara lembut?" Yang benar saja! 

"Kamu tidak berhak menghakimi Nara. Ka--" 

"Bapak berhak menipu aku. Aku pantas ditipu, gitu?" Menyela, Siera membuka sanggulan sederhana di kepala. Membiarkan rambut hitam di atas sikunya tergerai. 

"Saya tidak menipu kamu." Dean berucap tegas. Dua tangannya tersimpan di saku. 

"Is, udah ketahuan juga. Bapak enggak bilang kalau udah punya istri. Itu bukan penipuan namanya?!"  Lepas kendali, Siera menaikan nada. Persetan soal sopan santun. 

Dalam hati, Siera menyerapah. Istri kedua. Tak pernah dibayangkan  kalau status itu akan ia sandang. Atas seorang pria yang bahkan tidak dicintainya. 

Seketika ia merasa menjadi karakter antagonis dalam novel yang sering dibaca. Pelakor? Orang ketiga yang biasa dicaci pembaca? 

Setelah ini bagaimana? Oh, cerai adalah pilihan bijak. Ia salah paham pada Dean, jadi Tuhan juga tidak akan marah bila pernikahan ini diakhiri. 

"Ceraikan aku. Aku memang enggak cantik, tapi bukan berarti rela jadi istri kedua. Lagian, aku belum tentu bisa kasih kalian anak. Ka--"

"Nara bukan istri saya." 

Eh? Disela dengan kalimat itu, Siera mengerutkan kening. Maksudnya?

"Mau coba nipu aku lagi? Sayang sekali wajah rupawan Bapak itu. Karakter yang dipunya enggak beres! Udah je--"

"Nara bukan istri saya. Kami tinggal bersama, namun tidak pernah menikah." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status