Share

Kewajiban

Selesai mandi, Siera yang berencana langsung pergi tidur diinterupsi oleh nyanyian nyaring cacing di perut. Perempuan itu menilik jam di dinding kamar. Pukul setengah dua belas malam. 

"Kamu enggak bisa diajak kerja sama, ya?" Mengusap perut, gadis itu melangkahkan kaki menuju dapur. 

Ia dan Dean baru beberapa hari menikah. Sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing, hingga tak sadar tentang urusan dapur. Malam ini Siera baru tahu bahwa lemari pendingin di rumah tak teirsi apa-apa, kecuali minuman kaleng.  

Hal sama juga berlaku pada lemari-lemari di yang ada. Tak ada mi instant atau makanan kemasan lainnnya. Mendesah lelah, Siera berdiri di depan wastafel. Menatapi dapur rumah yang terasa gersang. 

Ia jadi merenung. Apa begini kondisi dari dapur yang dihuni pasangan suami-istri yang menikah bukan karena cinta? Apa seperti ini rasanya menjalani rumah tangga yang dibangun tanpa dasar yang jelas? Hampa? 

Siera pernah kelaparan seperti malam ini. Dulu, saat dirinya belum menemukan pekerjaan selepas berhenti kuliah dan tak lagi punya uang simpanan. Namun, yang kali ini berbeda dengan kondisi itu. Ini lebih menyesakkan. 

Kembali dalam benaknya muncul tanya. Apa muluk bila mengharapkan Dean di saat begini? Apa berlebihan bila ingin merasakan pengalaman dirawat suami sendiri di saat seperti ini? Tidak mengharuskan Dean memasakkan makanan, sekadar peduli misalnya? Namun, kenyataan yang harus diterima tampaknya memang harus seperti ini. 

Acara meratap Siera akhirnya berhenti saat mendengar suara orang bersin. Tak lama setelahnya, Dean muncul di dapur. Menoleh ke sana sebentar, Siera memutuskan tetap berdiri di tempatnya dan memandangi ubin di bawah. 

"Kamu belum tidur?" Dean memutuskan bertanya setelah menghabiskan air di gelasnya. Pria itu menghampiri sang istri, berdiri berhadapan. 

Siera melipat bibir ke dalam, menimbang haruskah menjawab jujur atau tidak. Ia takut Dean menilainya merepotkan, tetapi juga tak kuat menahan lapar. 

"Kulkas kosong. Telur pun enggak ada." Perempuan itu menggaruk kepala. "Aku ... lapar." Siera menatap suaminya sebentar, sebelum akhirnya menunduk lagi. 

Mendengar itu, Dean merasa tercubit. Laki-laki itu mengusap wajah. "Beli makanan instan dulu untuk malam ini. Sebentar, saya ambil kunci mobil." 

Dean bilang akan ke mini market 24 jam. Siera ikut saja. Mengenakan jaket abu-abu di luar kaus merahnya, gadis itu duduk tak sabar selama mobil berjalan. Setelah tiba di tempat tujuan, ia bergegas turun. 

Tempat pertama yang Siera datangi adalah rak makanan ringan. Memilih sebentar, pilihannya jatuh pada roti di sana. Tak membuang waktu, ia menyantap makanan itu. Saat Dean menyusul dan memberikan satu keranjang merah padanya, Siera hanya mampu melempar senyum malu. 

Kurang lebih setengah jam berbelanja, mereka pun kembali ke rumah. Sambil menikmati camilannya--cokelat, roti, biskuit--Siera menyiapkan nasi dan dua bungkus mi instan rebus lengkap dengan telur yang akan mereka santap. 

Meski sempat didera lapar, Siera menikmati minya dengan perasaan senang, sebab Dean tak menolak ajakan untuk makan bersama. Dini hari datang, perut gadis itu akhirnya terisi penuh. 

Usai makan, Siera memilih tinggal di dapur, sedangkan suaminya sudah kembali ke kamar. Si perempuan sebenarnya mengantuk, tetapi belanjaan mereka tadi belum sempat dikeluarkan dari plastik seluruhnya. 

Siera menyebut ini kewajiban. Memang tugas seorang istri mengurusi rumah. Jadi, ia melakukannya dengan senang hati. 

Barang-barang selesai diatur, piring kotor sudah dicuci, Siera tampak menguap saat meninggalkan dapur. Ia sudah akan pergi ke kamar, tetapi teringat sesuatu yang membuatnya mendongak ke lantai dua rumah. 

Selama mereka belanja tadi, Dean beberapa kali bersin. Pria itu juga terlihat sedikit pucat dan kedinginan. Siera bahkan membiarkan pria itu memakai jaketnya. Siera pikir, hujan yang sudah membuat suaminya begitu. Maka itu, ia pergi ke kamar untuk mengambil obat demam, kemudian air hangat dari dapur. 

"Masuk saja." 

Tidak dibukakan pintu setelah beberapa kali mengetuk, Siera dipersilakan masuk oleh Dean. Perempuan itu sedikit terkejut kala mendapati suaminya meringkuk di bawah selimut. 

"Ada apa?" Dean mengusap hidung yang gatal. Pria itu sedikit kesusahan untuk duduk karena tubuh terasa lemas dan ngilu. 

Siera yang duduk di pinggir ranjang mengulurkan tangan untuk menyentuh dahi Dean. Panas. Pantas mata pria itu merah dan berair. 

Ia berdecak. "Mau minum obatku? Biasa manjur untuk aku." Diangkatnya obat yang biasa dikonsumsi untuk ditunjukkan pada si lelaki. 

Si suami mengangguk. 

"Sini aku bantu." Siera menepis tangan Dean yang hendak meraih obat. Perempuan itu bukakan, lalu berikan pada sang suami. Tak lupa meminumkan air hangat tadi. 

"Tidur aja dulu. Pakai selimut biar keringatan." 

Dean yang sudah berbaring menatapi Siera lamat-lamat. "Kamu belum tidur?" tanyanya ketika perempuan itu tak kunjung beranjak dari pinggir ranjang. 

Siera balas memandangi si pria. Ia hanya menyuarakan apa yang tengah dirasakan. Perempuan itu menggeleng. "Khawatir," ucapnya. 

Si pria mengulas senyum. "Sebagai istri, kamu profesional juga." 

Candaan yang jelek, batin Siera. "Aku enggak lagi akting, Pak." 

Lagi, Dean melengkungkan bibir. Pria itu menghadapkan tubuh ke arah si istri, berbaring menyamping dengan satu tangan di bawah bantal. "Khawatir sama saya? Perhatian sekali. Hati-hati, jangan pakai hati." 

Perempuan di sana berpindah duduk ke lantai. Kepalanya rebah di tepi ranjang. Dari posisi seperti itu, ia bisa menatap wajah pucat Dean lebih jelas. "Aku normal, Pak. Punya suami pura-pura yang rupawan, siapa yang enggak oleng?" 

Dean menganggap itu hanya guyonan, jadi ia hanya menunjukkan raut congkak karena dipuji. 

Beberapa waktu setelah itu, kamar diliputi hening. Dean dan Siera hanya saling bertatapan. Hingga si perempuan perlahan diserang kantuk. Matanya mulai berat. 

Mendapati gerak kelopak mata Siera sedikit melambat, Dean mendekat. Memposisikan wajah mereka berhadapan. Ia pandangi paras sederhana yang manis itu. Tidak ada yang terjadi. Jantung Dean tidak bertalu-talu. Lelaki itu hanya merasa nyaman dan tenang. 

"Kenapa kamu melakukan ini? Saya sungguh merasa bahwa kamu benar mengkhawatirkan saya." 

Belum sepenuhnya pulas, meski kedua mata sudah terpejam, Siera menyahut, "Ini kewajiban, Pak. Mengurusi suami, mengkhawatirkannya, terutama saat sakit, itu kewajiban dan hal yang lumrah." 

Sesuatu yang nakal terbersit di pikiran Dean setelah mendengar kata 'kewajiban'. Tak sadar, ia suarakan. "Lalu, jika saya menuntut hak saya yang lain." Jemarinya menyentuh alis Siera. Bergerak pelan di sana, mengikuti bentuknya. "Kamu juga akan bersedia melakukannya?" 

"Ini pelanggaran perjanjian. Tidak ada kontak fisik." Mata Siera terbuka. Iris madunya langsung disuguhi pemandangan wajah Dean. 

Mata pria itu sayu, bibir pucatnya terkatup rapat. Penampilan yang berhasil membuat Siera memuji dalam hati. Sakit saja masih terlihat memesona, rutuknya. 

"Memikirkan apa kamu?" Dean yang merasa terganggu akan cara si istri menatap, buka suara. Jemarinya tadi ia jauhkan dari wajah Siera. 

Siera gusar. "Dalam pernikahan ini, kita berdua harus sama-sama diuntungkan, 'kan?" Bergantian ia pandang mata dan bibir Dean. 

Alis si pria menyatu. Tiba-tiba sekali pertanyaan itu. Tidak relevan dengan situasi. 

Siera meyakinkan diri. Harus seimbang. Tadi, Dean melakukan kontak fisik. Alih-alih membuat pria itu mendapat hukuman, si gadis memilih membalas saja. 

"Aku mau ambil keuntungan juga." 

Berucap cepat, perempuan itu bergerak kilat mendekat pada Dean. Memupus spasi yang tak terlalu banyak, untuk kemudian mencuri satu ciuman dari bibir si suami. 

Itu ... bukan apa-apa. Sebenarnya itu hanya ungkapan perasaan yang Siera punya. Iba karena Dean sakit? Ungkapan kasih sayang, sekaligus dia agar ceoat sembuh?  Tapi, kan tidak harus mencium?  Memang Dean anak kecil tetangga yang memang sering Siera cium saat demam? 

Didapati perempuan itu Dean mematung dengan mata sedikit melebar setelah kembali membuat jarak. "Bagus, Pak. Wajah Bapak bagus." Sayang, hanya bisa dilihat, tidak untuk dimiliki, sambungnya dalam hati. Semua pikiran dan alasan dihilangkan. 

Dean masih tak menunjukkan respon lebih lanjut, diam-diam Siera meringis malu. Ia berasumsi bahwa virus demam si suami sudah tertular padanya, karena itu pipi mendadak terasa hangat, jantung juga berdebar. 

"Tidur, Pak. Tidur aja." Siera memejam erat. "Semoga besok Bapak lupa akan ini." 

Mengerjap usai berhasil menguasai diri, Dean beringsut mundur. Pria itu menatap takjub pada perempuan di hadapan. 

Ia menyentuh bibir, kemudian merasakan sesuatu di dada berdetak tak lazim. Dean anggap itu efek samping obat demam yang tadi diminum. 

Pria itu menatap Siera sekali lagi, sebelum akhirnya mengubah posisi tidur, membelakangi si gadis. "Tidur. Tidur saja, Dean," katanya seraya menutup kedua mata. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status