Tetes air hujan masih setia menjatuhkan diri, membuat Siera yang duduk di depan kafe Ramaji yang sudah tutup mendesah pelan. Gadis itu melihat jam di ponsel yang sedari tadi digenggam.
Sudah pukul sebelas. Satu jam sudah ia menanti guyuran hujan mereda. Gadis itu menyesal karena sudah sesumbar menolak tawaran Rama yang ingin memberikan tumpangan. Siera mengaku tak ingin pulang, sebelum hujan reda dan memutuskan menunggu.
Lelah, mengantuk ditambah udara dingin yang menusuk tulang, Siera melihat bayang-bayang kasur empuknya di genangan yang mulai tercipta di depan kafe. Bayangan itu seokah mengejeknya karena sudah melakukan hal konyol.
Menarik napas, baru saja akan beranjak, ponsel gadis itu bergetar. Kontak bernama Suami terlihat di layar.
"Kamu di mana? Masih lama?"
Ada sedikit rasa senang ketika telinga Siera mendengar suara dari seberang. Cukup membuatnya sedikit hangat. Sudah lama Siera tidak menerima perhatian seperti ini semenjak ayah dan ibunya meninggal.
"Tadinya mau nunggu hujan reda, baru pulang. Tapi ... kayaknya masih lama redanya."
"Sudah selesai dari tadi?"
"Hm."
Ada suara decakan dari Dean, kening Siera mengernyit karenanya.
"Kamu mau menghitung berapa tetes air hujan dulu? Tunggu saya di sana. Di Ramaji, 'kan"
Yang ditanyai mengangguk seolah lawan bicaranya bisa melihat. Selanjutnya, sambungan telepon itu diputus. Mendadak raut di wajah Siera berubah.
Seraya menunggu, gadis itu bangkit dari duduk. Berdiri di ujung undakan teras Ramaji, ia menjulurkan tangan. Mendadak ingin merasakan sensasi dinginnya bulir air yang jatuh.
Rasanya belum terlalu lama perempuan tersebut di posisi itu, gawainya bergetar lagi. Masih dari Dean. Kali ini bukan panggilan, melainkan sebuah pesan.
Sebuah pemberitahuan yang berhasil membuat Siera menggigil. Datang dari lelaki yang berstatus sebagai suaminya itu. Kelabu kembali mampir di wajah Siera yang terlihat semakin redup.
Menarik napas, ia mengusap-usap telapak tangan ke kain celana. Memeluk diri sendiri, kemudian mulai melangkah meninggalkan tempat kerjanya.
Dean tak akan menjemputnya. Lebih tepatnya, pria itu tak bisa. Sebab ada hal yang lebih penting untuk diurus. Nara.
Bukan dijemput suami, yang ada Siera malah dijemput kecewa.
***
Setibanya ia di rumah Nara, Dean yang tergesa langsung menuju kamar. Pintu dibuka, betapa terkejutnya pria itu mendapati perempuan yang dicari tengah meringkuk di ranjang.
"Kamu kenapa, Ra?" Dean memegangi bahu si perempuan, membantunya duduk.
"Sakit, An. Kayaknya lambung aku kumat." Bibir pucat Nara kembali mengeluarkan ringisan. Ia memegangi perut yang serasa disayat, perih.
"Makan kamu enggak teratur? Atau, sebelum ini makan apa?"
Nara menggeleng lemah. Ia mendongak, membingkai wajah si pria. Matanya memerah.
"Aku ... pantas dihukum, An. Aku udah nyakitin kamu."
Nara merasa bersalah. Usai pertengkaran mereka tempo hari, ia menyadari sudah terlalu kasar memaki Dean. Belum lagi, laki-laki itu juga mengalami luka fisik karenanya.
Nara menghukum dirinya sendiri. Selama dua hari belakang ia tidak makan apa pun. Berharap dengan demikian, maka dosanya pada Dean bisa tertebus. Namun, beberapa saat tadi, pertahanan perempuan itu runtuh. Perutnya terasa sangat sakit, karenanya sampai harus menghubungi Dean, memohon lelaki itu untuk datang.
"Kamu enggak makan?" Dean memastikan terkaan. Saat Nara mengangguk, pria itu menghela napas berat. "Kamu enggak harusnya begitu, Ra. Kamu bisa bahayakan dirimu sendiri. Kita ke dokter, ya?"
Dean merawat Nara yang sakit seperti bisa. Usai dari rumah sakit, pria itu membuatkan bubur untuk dimakan si perempuan. Membantu Nara meminum obat, kemudian menemaninya tidur seperti sekarang.
Dua hari lalu, ia memang kesal pada kemarahan Nara yang dianggapnya berlebihan. Namun, melihat gadis itu seperti ini, sakit karena ingin menghukum diri sendiri, membuatnya tidak tega.
"Maafkan aku, ya, An." Nara yang setengah memejam meraih tangan Dean untuk digenggam. "Aku cuma enggak terima karena kamu menikahi perempuan lain."
Menarik napas, membuangnya pelan, Dean kembali menjelaskan apa yang dua hari lalu coba ia terangkan.
Dean menikahi Seira hanya agar orang tuanya berhenti mencurigai hubungan mereka. Ana dan Mike sudah sempat mengancam akan menemui Nara di rumah ini dan mempermalukan gadis itu.
Meski hubungan mereka seolah sudah menjadi rahasia umum masyarakat daerah sini, tetap saja membiarkan hal itu terjadi akan memberi efek tidak baik bagi Nara sendiri.
Dengan menikahi Siera, orang tuanya juga akan merasa tenang dan berhenti mencemaskannya.
"Kita bisa terus seperti ini, orang tuaku juga tenang di sana. Nanti, kalau Ibu sudah mulai paham dan berhasil aku bujuk, keinginan kamu juga akan terwujud."
Mengatakan kalimat itu, Dean merasa ada sesuatu yang menghantam nuraninya. Semua diuntungkan. Dia, Nara, Ana dan Mike. Lalu, Siera? Apa yang gadis itu dapat dari semua ini?
Pemikiran itu membawa benak Dean menerawang. Ia teringat komunikasi terakhir dengan istrinya. Siera masih di Ramaji, menunggu hujan reda.
Laki-laki itu menoleh ke arah jendela. Hujan masih belum berhenti.
"Kamu menginap, kan?" Nara memeluk lengan Dean yang duduk di tepi ranjangnya. Gadis itu melengkungkan bibir. Untuk sekarang, apa yang Dean lakukan memang yang terbaik. Ia berusaha memahami.
Kali itu, Dean diterpa gamang. Tidak langsung mengamini ucapan Nara, matanya masih fokus menatapi kaca jendela kamar yang basah.
"An? Kamu menginap, 'kan? Nanti kalau perutku sakit lagi, aku harus minta tolong siapa?" Menyadari Dean sedang memikirkan sesuatu, Nara menggoyang lengan pria itu.
Yang ditanyai menatap Nara. Ia mengangguk, lantas tersenyum. Baru saja ikut berbaring di samping si wanita, ponsel di saku berdering.
Sebuah pesan datang, dari Siera. Pesan yang berhasil membuat Dean kembali duduk dengan raut menyesal.
[Pak, besok-besok kita bikin kunci cadangan, ya. Bapak masih lama di rumah Nara?]
***
Tidak lagi menaruh tangan di atas kepala, Siera pasrah saat guyuran air dari langit menghantam kepalanya. Nanar ditatapi perempuan itu pagar rumah yang terkunci.
Apa yang lebih rumit dari ini? Kehujanan, tidak bisa masuk ke rumah, suaminya sedang mengurusi kekasihnya yang sakit.
Siera paham dirinya tak pantas bersedih. Namun, hangat di mata tiba-tiba saja datang. Gadis itu ingin meratap. Mengapa nasib yang dimiliki seburuk ini?
Sebatang kara, tak punya kawan dekat yang bisa ditumpangi di keadaan seperti ini, Siera merasa hidupnya selama 26 tahun belakang adalah sia-sia.
Masih menatapi gembok pada pagar di hadapan, gadis itu merasakan sesuatu mengalir di pipi. Bukan air hujan, tetapi sesuatu yang hangat yang berasal dari kedua mata.
"Apa perlu aku nangis di situasi ini?" Bertanya pada diri sendiri, ia mengusap mata dengan punggung tangan.
Di saat yang sama, suara klakson mobil memasuki rungu. Siera menengok ke asal suara, dilihatnya mobil Dean berhenti tak jauh dari sana.
Tak lama si pengemudi tampak turun, setengah berlari menghampirinya. Mereka bertatapan sebentar sebelum ia menengok ke arah pagar lagi.
"Kuncinya, Pak." Serak suaranya berucap.
Dean bergeming dengan raut wajah yang tak mampu Siera artikan. Gadis itu kembali menunjuk pagar, bibirnya yang mulai bergetar kembali berujar, "Kuncinya, Pak?"
Seketika tersadar, Dean merogoh saku celana yang sudah kuyup. Kunci tidak ada di sana. Ia baru ingat sudah mengeluarkan benda itu selagi perjalanan kemari.
Gegas kakinya berlari menuju mobil. Mengambil kunci pagar dan rumah dari dashboard, kemudian kembali pada Siera. Seraya membuka pagar, matanya sesekali melirik pada gadis di belakang.
"Masuklah." Ia mendorong pagar itu agar terbuka lebar. Menyerahkan kunci rumah pada istrinya.
Melihat Siera berjalan cepat sambil memeluk tubuh sendiri, Dean terpaku di tempat.
Pria itu teringat bagaimana Siera mengobati luka di pelipisnya beberapa hari lalu. Tanpa diminta. Bahkan dengan mudahnya gadis itu menyuarakan rasa peduli. Namun, apa yang ia lakukan sekarang?
Malam-malam begini membiarkan perempuan bertubuh kurus itu menunggu di depan pagar yang terkunci, di tengah hujan pula.
Apa Siera benar? Dirinya bukan manusia karena sedikit pun tak punya rasa peduli?
"Pak, hujannya makin deras. Cepat masuk!" Siera berteriak di depan pintu.
Yang dipanggil tersadar. Mengusap wajah, kemudian mengangguk lemah. Ia berjalan menuju mobil, kemudian memasukkan benda itu ke garasi.
Selesai mandi, Siera yang berencana langsung pergi tidur diinterupsi oleh nyanyian nyaring cacing di perut. Perempuan itu menilik jam di dinding kamar. Pukul setengah dua belas malam. "Kamu enggak bisa diajak kerja sama, ya?" Mengusap perut, gadis itu melangkahkan kaki menuju dapur. Ia dan Dean baru beberapa hari menikah. Sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing, hingga tak sadar tentang urusan dapur. Malam ini Siera baru tahu bahwa lemari pendingin di rumah tak teirsi apa-apa, kecuali minuman kaleng. Hal sama juga berlaku pada lemari-lemari di yang ada. Tak ada mi instant atau makanan kemasan lainnnya. Mendesah lelah, Siera berdiri di depan wastafel. Menatapi dapur rumah yang terasa gersang. Ia jadi merenung. Apa begini kondisi dari dapur yang dihuni pasangan suami-istri yang menikah bukan karena cinta? Apa seperti ini rasanya menjalani rumah tangga yang dibangun tanpa dasar yang jelas? Hampa? Siera pernah ke
Di luar, cuaca cerah, tetapi tidak terik. Bagus. Sama bagusnya dengan suasana hati Siera sore ini. Bagaimana tidak? Ia sedang berada di rumah mertua, menikmati berbagai kue lezat. Ana menelepon siang tadi. Katanya akan datang untuk mengantar bolu kukus, bolu pisang dan bubur kacang hijau yang sengaja si mertua buat untuknya. Tak ingin membuat ibunya Dean kerepotan, Siera putuskan untuk menjemput semua makanan itu sepulang bekerja. Kebetulan, di rumah juga tidak ada orang. Dean yang sebenarnya demam bersikukuh pergi mengajar tadi pagi. Pasti pria itu belum pulang. Sempatkan singgah, bukan masalah. "Masakan Mama super enak." Gadis itu menelan potongan bolu pisang terakhir yang bisa perutnya tampung. Mike yang menyesap kopi, menoleh pada menantunya. "Kamu berlebihan." Senyumnya terlihat mekar. Siera menggeleng. "Ini serius, Pa. Kapan-kapan ajari Siera buat yang begini, Ma. Biar bisa buatin untuk De--" Perempuan
Dean memarkirkan mobil di depan rumah Nara. Mematikan mesin, ia menoleh pada gadis di kursi sebelah. Perempuan dengan dress biru itu masih memalingkan wajah. Enggan bertukar tatap. Tampaknya masih kesal. Siang tadi, sepulangnya ia mengajar dan diskusi soal proyek penelitian, Dean mendatangi Nara. Biasa, awalnya untuk menghabiskan waktu bersama. Sekadar bicara--meski tahu akan berakhir dengan debat--atau menonton drama kesukaan perempuan itu. Pokoknya meluangkan waktu, agar sang pacar tidak mengatai pilih kasih. Satu kesamaan Nara dan Siera yang baru Dean ketahui. Selain punya akhirnya nama yang sama, mereka juga penyuka K-Pop. Namun, Nara tidak seheboh Siera yang bisa berteriak atau senyum-senyum du. Depan layar TV atau ponsel. Kembali pasa Nara, rencana Dean yang ingin menghabiskan waktu bersama, tak bisa direalisasikan karena saat datang, Dean disambut wajah tertekuk si kekasih. "Tetangga nanyain kamu itu siapanya aku. Mereka
Mendengar suara pintu dibuka, Siera yang sedang menyiapkan sarapan berhenti sejenak dari kegiatannya. Gadis itu menarik napas, meski tangan yang memegang piring berisi telur dadar diremas kuat. Tak lama Dean muncul di ruang makan. Dengan kemeja yang kemarin pagi pria itu kenakan untuk pergi bekerja. Kali ini tampak kusut di sana-sini. Rambut pria itu juga berantakan. "Saya mau mandi dulu. Setelahnya baru sarapan." Dean mengurungkan niat untuk menjelaskan ke mana ia semalaman ini. Pria itu terlalu lelah, jadi memutuskan untuk membersihkan diri dulu. Tadi, tidak sempat di rumah Nara, karena Dean ingin cepat-cepat pulang. Pun, Nara adalah jadwal mengajar pagi. Tidak menyahut, Siera menatapi suaminya dengan amarah di mata. Agaknya Dean bisa membaca, karena pria itu mengurungkan niat melangkah pergi. "Ada apa?" tanya Dean setelah memastikan Siera tampak ingin mengatakan sesuatu. Bibir perempuan itu tertutup rapat, tetapi sedik
Tidak punya pendirian. Siera mengatai dirinya bodoh. Sebelumnya, ia marah. Sangat. Bersumpah tak akan bicara pada Dean, walau pria itu minta maaf. Namun, hati tiba-tiba gamang kala mendapati setumpuk kertas berada di atas meja ruang tamu. Pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Siera belum pergi bekerja, suaminya sudah. Dan benda yang barusan di pandangi adalah milik Dean. Tumpukan kertas yang diklip itu adalah draft proposal skripsi milik mahasiswa suaminya, yang tadi malam sudah diperiksa. Siera tahu bahwa itu sudah dikoreksi Dean, karena ia terbangun dini hari kemarin. Sekitar pukul satu dan menemukan si lelaki ada di sofa dengan tumpukan kertas yang sama. Siera sempat mengintip sembari lewat. Sebenarnya penasaran, ingin bertanya, tetapi karena ia dan sang suami belum berbaikan, maka Siera hanya lewat. Pagi ini, menemukan benda itu di rumah, sedangkan Dean sudah pergi, Siera gamang. Haruskah menghubungi dan memberitahu? Atau mengantar
Dean tampak berjalan menuju pintu dengan wajah ditekuk sore ini. Pintu rumah dibuka, ia mendengar suara palu diketuk ke atas paku. Suaranya dari samping rumah, pria itu mengurungkan niat untuk masuk. "Sedang apa kamu?" Dean berkacak pinggang pada Siera yang tampak berjongkok di sepetak tanah kosong di samping rumah mereka. Di tangan istrinya itu ada sebuah palu. Belum dijawab, hanya dilempari tatapan heran, lelaki itu memalingkan wajah sesaat. Ia baru ingat bila dirinya dan sang istri belum berbaikan. Kenapa malah mengajak bicara duluan? "Mau bikin kotak tanaman," jawab Siera asal, kembali memukulkan kepala palu pada paku di atas balok kayu yang coba ia rangkai menjadi bentuk persegi panjang. Dean menoleh lagi, melepas kedua sepatunya. "Kotak tanaman? Untuk apa?" Pukulannya meleset dan malah mengenai ibu jari, Siera meringis, spontan melempar alat tukang di tangan ke tanah. "Kalau tahu, memang mau apa? Jangan ikut campu
"Aku bisa pulang sendiri, Ma. Makasih banyak untuk risolesnya." Memeluk Ana sekali lagi, Siera melambai pada kedua orang tua Dean itu. Senyum tak berhenti terkembang di wajahnya yang seterang bintang di langit malam ini."Papa masih kuat kendarai mobil, loh, Siera. Papa antar aja, ya?" Mike lagi-lagi menahan lengan Siera yang sudah hendak meninggalkan teras rumah. Ia cemas harus membiarkan menantunya itu pulang sendirian di larut begini.Siera menggeleng. "Aku enggak mau merepotkan. Serius. Kalau Papa maksa mau antar, aku enggak bakal datang lagi ke sini."Seperti beberapa kali sebelumnya, hari ini Siera yang mendapat jatah libur mingguan menghabiskan harinya di rumah Mike dan Ana. Mereka melakukan banyak hal. Bercerita soal masa kecil Dean, memasak bersama Ana, menikmati masakan Ana yang super lezat, juga membantu mertuanya itu mengurusi tanaman bunga di taman belakang.Sekarang sudah pukul delapan, mau tak mau Siera harus pulang.
Keluar dari kamar, Siera menoleh ke arah jendela di kiri rumah. Masih sambil mengunyah, perempuan yang baru selsai mandi itu memastikan waktu dengan melirik pada jam. Sekitar pukul lima.Berjalan hingga ke ruang tamu, ia berhenti di dekat meja TV. Di depannya, ada Dean yang sedang memegang pel. Tatapan Siera penuh rasa ingin tahu."Tolong, remahan wafermu." Dean memindahkan pel dari dekat kaki istrinya. Melanjutkan kegiatannya, membersihkan lantai hingga mengkilap.Menghabiskan lima wafer cokelat di tangan, Siera menatapi punggung Dean yang bergerak. Ini aneh. Sungguh aneh.Bayangkan, beberapa saat lalu, suaminya itu datang ke Ramaji. Bukan untuk nongkrong atau bertemu Pak Rama, melainkan untuk menjemput. Tidak sampai di sana, pria itu bahkan mengambil jatah pekerjaan sore Siera. Menyapu dan mengepel rumah.Pantas tidak dipertanyakan? Siera yakin iya. Untuk apa Dean melakukan semua ini? Tiba-tiba sekali."