Tira langsung menoleh ke arah Panji. “Apa kamu yakin?” tanyanya. Jantungnya hampir melompat saat mendengar nama Ayas disebut.
“Yakin, Tuan. Mereka bahkan menyebutkan ciri-ciri yang sama,” jawab Panji.
“Awasi orang itu! Kita ke sana sekarang!” ucap Tira. Ia pun langsung mengajak Panji untuk mendatangi rumah sakit yang telah disbutkan.
Saat Tira beranjak, Sisca langsung menoleh ke arahnya. “Kamu mau ke mana?” tanyanya, panik. Ia yakin anaknya akan meninggalkan acara tersebut.
“Aku ada urusan mendesak, jadi harus pergi sekarang,” jawab Tira.
“Hah? Ini kan acara kamu, Tir. Masa kamu mau pergi begitu aja, sih?” keluh mamah Tira. Ia kecewa karena anaknya ingin pergi di acara pentingnya sendiri.
“Acara intinya kan sudah selesai, Mah. Lagi pula sebagian besar tamu ini kan tamu undangan Mama
“Baik, Tuan,” jawab Panji, cepat.Meski sempat terperanjat saat mendengar Tira memerintahnya untuk menggeledah seluruh rumah sakit, tetapi Panji tetap bergerak cepat.Ia langsung menghubungi anak buahnya yang memang sudah berada di rumah sakit tersebut.Sementara Panji sibuk menggeledah rumah sakit itu, Tira duduk santai di sofa lobby sambil menunggunya. Ia pun memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.Di sebuah ruangan, Ayas masih was-was karena takut Tira bisa menemukannya.“Mas, aku yakin dia tidak akan pergi begitu saja,” ucap Ayas.“Kamu jangan khawatir! Pihak rumah sakit pasti melindungi kita,” ucap Yoga.Sebenarnya, Yoga pun gelisah. Namun ia tidak ingin menunjukkan kegelisahannya di hadapan Ayas.“Vi!” panggil Yoga setelah memandanginya beberapa saat.
Saat mendengar pekikan seseorang, pria itu pun langsung menoleh ke arah Yoga. Ternyata Yoga sengaja bersuara agar ia tidak jadi membuka selimut yang menutupi Ayas tersebut.“Bagaimana?” tanya anak buah Panji yang lain.“Kosong,” ucap pria itu. Ia batal membuka selimut tadi. Kemudian kembali menutup pintu lemarinya.Ia pun berjalan ke arah pintu ruangan tersebut. “Mohon maaf telah mengganggu waktunya,” ucap pria itu.Saat ia hendak melangkahkan kaki ke luar, tiba-tiba terdengar suara Vano.“Uhuk, uhuk!”Mereka yang sudah berada di ambang pintu itu langsung menoleh ke sumber suara.Yoga panik, ia pun langsung pura-pura batuk dengan saura yang dilebih-lebihkan.Melihat Yoga yang terbatuk, mereka percaya. Akhirnya para anak buah Panji pun meninggalkan ruangan itu.&nb
Saat Tira hendak menekan tombol panggilan, gerakkan jarinya terhenti. “Aku masih memiliki waktu satu tahun. Mungkin terlalu dini jika minta bantuan mereka sekarang,” gumam Tira.Akhirnya ia mengurungkan niatnya. Tira tidak ingin nama baiknya tercoreng hanya karena seorang wanita. Sebab, jika ia meminta bantuan, sudah pasti mereka akan tahu kelemahannya.“Huuh! Aku yakin suatu saat kita pasti akan bisa bersama. Namun, mungkin aku hanya perlu bersabar sedikit lagi,” ucap Tira. Ia berusaha menyenangkan hatinya sendiri.***Hari belalu begitu cepat, kini sudah 6 bulan sejak kejadian di rumah sakit itu.“Apa semuanya sudah siap?” tanya Tira pada Panji. Saat ini mereka sedang berada di jalan menuju ke bandara.“Sudah, Tuan. Seluruh jadwal Tuan pun sudah siap selama Tuan berada di sana,” jawab Panji.Mereka hend
Vano dan Tira langsung menoleh ke arah sumber suara. Hati Tira bergemuruh kala melihat sosok yang selama ini ia cari.Sementara itu, Ayas yang masih panik, terus berlari ke arah Vano dan langsung memeluknya.“Ya Tuhan … Sayang, mami kan sudah bilang jangan pergi ke mana-mana. Kenapa kamu pergi, hem? Mami sangat khawatir,” ucap Ayas sambil memeluk erat Vano.Ia memejamkan matanya demi mengatur debaran jantung yang hampir meledak itu.Ia tak sadar di hadapannya ada seorang pria yang matanya sudah berkaca-kaca. Hatinya bergemuruh. Rasanya Tira sangat ingin memeluk mereka. Namun, ia berusaha mengendalikan emosinya.“Apa kabar, Laras?” tanya Tira dengan lembut.Deg!Ayas masih ingat suara itu. Suara yang sangat ia takuti. Sebab, mendengar suara Tira membuatnya teringat akan malam menakutkan yang membuatnya trauma
“Sayang, maafin mami, ya? Tapi ini demi keselamatan kita berdua. Kamu mau, kan?” tanya Ayas pada anaknya.Sebenarnya ia tidak tega melakukan hal itu pada Vano. Namun, Ayas tidak memiliki pilihan lain. Saat ini hanya itu yang paling aman untuk mereka.“Tapi nanti kalau aku gak bisa napas gimana, Mami?” tanya Vano dengan wajah memelas.“Mami gak akan tutup full resletingnya. Jadi nanti kamu masih bisa napas dan lihat cahaya. Mau ya, Sayang?” Ayas sedikit memohon.‘Ya Tuhan … maafkan aku. Aku tau ini gila. Tapi aku akan lebih gila jika sampai anakku ditangkap oleh mereka,’ batin Ayas.“Ya udah, deh. Aku mau,” jawab Vano. Ia pun tidak tega melihat maminya khawatir seperti itu.Mendengar anaknya rela melakukan apa yang ia minta, Ayas bukannya bahagia, ia justru terharu dengan pengorbanan anaknya it
Bola mata Ayas hampir melompat. Jantungnya pun seolah berhenti berdetak saat Tira menyetopnya. Ia sangat khawatir ptia itu dapat mengenalinya atau mungkin melihat Alif yang ada di koper.‘Ya Tuhan, apa dia mengenali aku?’ batin Ayas. Ia tidak berani menoleh ke belakang. Namun Ayas pun tidak melanjutkan langkahnya.“Itu kopernya terbuka. Nanti barangnya jatuh,” ucap Tira. Ia bahkan tidak melangkah ke arah Ayas. Namun ia cukup memerhatikan Ayas karena bentuk tubuhnya tidak terlalu asing. Beruntung saat itu Ayas tidak membawa anak. Sehingga ia pikir dia orang yang berbeda.“O-oh iya, terima kasih,” jawab Ayas, gugup. Ia pun segera menutup celah koper tersebut, dan bergegas pergi meninggalkan mall itu.‘Maafin Mami ya, Vano,’ batin Ayas, sambil menarik resleting koper itu.Kali ini ia tidak mendorong koper tersebut. Sebab, Ayas khawtair
Ayas sangat terkejut saat melihat kedatangan mamah Yoga yang tiba-tiba itu. Berbeda dengannya, Yoga terlihat lebih santai. Ia justru ingin memanfaatkan momen ini untuk mengenalkan Ayas dengan mamahnya.Sebab, selama ini Ayas tidak pernah mau jika diajak bertemu dengan mamahnya secara langsung.“Mah, kok mau datang ke sini gak bilang-bilang?” tanya Yoga. Ia pun berdiri dan bersalaman dengan mamahnya.“Kamu tuh yang susah banget dibuhubungin. Kenapa sih telepon mamah gak diangkat?” keluh mamah Yoga.Sejak tadi ia berusaha menghubungi Yoga. Namun tidak satu pun panggilannya dijawab oleh anaknya tersebut.“Oh, maaf. Aku lagi gak pegang ponsel, Mah,” jawab Yoga. Jika sedang bersama Ayas, Yoga memang jarang memegang ponsel. Tujuan utamanya hanya pada Ayas.Setelah itu mamah Yoga melirik ke arah Ayas yang sedang bingung hendak mel
Yoga langsung terlihat murung. Yang dikatakan oleh mamahnya memang benar, bahkan dirinya sudah mendekati Ayas sejak ia masih mengandung dan kini Vano sudah berusia 3 tahun.“Apa Mamah bisa bantu aku untuk meyakinkannya?” tanya Yoga. Ia terlihat seperti sudah sangat putus asa. Sehingga meminta bantuan mamahnya.Mamah Yoga tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ya ampun … punya anak satu-satunya kok miris sekali, ya? Sudah cukup umur masih belum menikah, tapi gak bisa naklukin satu wanita yang dia suka,” cibir mamah Yoga.“Mah, bukan seperti itu … masalahnya ini wanitanya gak biasa, Mah. Dia lain dari yang lain. Makanya aku udah klik banget sama dia. Mamah bisa lihat sendiri bagaimana sikap dia, kan? Bahkan anaknya manggil aku dengan sebutan daddy aja dia larang,” keluh Yoga.Ia seperti anak kecil yang sedang mengadu pada mamahnya.