Saat ini Tira sedang berdiri sambil memegang gelas wine dan menatap ke arah luar jendela raksasa yang memperlihatkan pemandangan ibu kota malam itu. Ia hanya mengenakan bath robe (Kimono handuk) untuk memudahkan aksinya.
Ayas yang masih terbaring di atas tempat tidur mengerejapkan mata untuk menyempurnakan pandangannya yang buram. Ia merasa kepalanya begitu berat karena efek obat bius yang terhirup tadi. Matanya menyipit kala menemukan sosok seorang pria yang sedang memunggunginya.
“Dia siapa?” gumam Ayas pelan. Ia belum sadar bahwa dirinya sedang disandra. Hingga akhirnya ia menyadari bahwa tangan dan kakinya terikat.
“Hah, kenapa aku diikat? Ini di mana?” ucapnya, panik. Ia pun berusaha melepaskan ikatan itu.
Mendengar suara Ayas, Tira pun menoleh. Kemudian ia menghampiri Ayas sambil menyeringai. “Bagaimana istirahatnya, apa sudah cukup?” tanyanya dengan tatapan licik penuh kebencian.
Deg!
“Pak Tira?” gumam Ayas. Ia mengenali pria itu. Selama ini Ayas tidak pernah bisa ‘menjangkaunya’. Sebab Tira merupakan pejabat paling tinggi di kantor tempat ia bekerja. Ia mengenali Tira karena pernah melihatnya dari kejauhan beberapa kali. Ayas pun langsung duduk.
“Bagus kalau kamu sudah kenal saya,” ucap Tira. Kemudian ia menaruh gelas dan duduk disamping Ayas. “Apa sudah siap untuk bersenang-senang malam ini?” tanya Tira sambil mengelus pipi Ayas dengan jarinya.
“Tolong jangan sentuh saya, Pak!” Ayas memalingkan wajah. Ia tidak sudi tubuhnya disentuh sembarangan oleh pria. Ia pun gentar karena melihat Tira hanya mengenakan bath robe.
“Jangan sok jual mahal! Bukankah kamu suka disentuh seperti ini, hem?” Tira mencengkeram rahang Ayas hingga wanita itu terpaksa menoleh ke arah Tira dan mendongak karena rahangnya ditarik oleh pria itu.
“Maksud Bapak apa? Saya yakin Bapak tidak mengenal saya. Jadi untuk apa Anda mengurung saya di sini?” sahut Ayas. Ia berusaha melawan karena merasa ada yang salah dengan sikap Tira.
Meski begitu, bukan berarti Ayas tidak takut. Debaran jantungnya sangat cepat. Sebab ia khawatir Tira melakukan ‘sesuatu’ terhadapnya. Apalagi saat ini mereka hanya berada di sebuah kamar yang disinari oleh lampu temaram.
Tira mendekatkan wajahnya hingga Ayas berusaha mundur. Namun, ia tertahan oleh cengkeraman Tira sampai tidak bisa bergerak dan kini wajah mereka hanya berjarak beberapa centi.
“Sekarang saya sudah mengenal kamu. Wanita murahan yang suka menggoda pria bahkan rela menjajakan dirinya demi mendapatkan pria itu,” cibir Tira sambil menatap tajam mata Ayas.
Ayas mengerutkan keningnya. “Saya rasa Bapak salah orang. Saya tidak pernah melakukan hal kotor seperti itu,” jawab Ayas. Jangankan untuk menggoda pria, kekasih saja ia tak punya.
“Kamu pikir saya ini bodoh? Mana ada maling yang mau ngaku? Saya tidak akan tertipu oleh tampang sok suci kamu,” hina Tira. Kemudian ia mendaratkan bibirnya di bibir Ayas hingga wanita itu terbelalak.
Ayas berusaha memberontak. Namun Tira menahan tengkuknya dan terus melumati bibir gadis itu hingga Ayas kehabisan napas. Menyadari hal tersebut, Tira pun melepaskannya.
Napas Ayas tersenggal. Wajahnya merah padam karena sangat marah atas perlakuan Tira yang kurang ajar. Rasanya ia sangat ingin menampar pria yang ada di hadapannya itu.
“Bajingan! Saya tahu kamu memang atasan saya. Tapi bukan berarti kamu bisa memperlakukan saya seenaknya!” bentak Ayas. Ia sangat murka karena Tira telah menodai bibirnya.
Plak!
Tira refleks menampar Ayas hingga meninggalkan jejak kemerahan di pipi wanita itu. Ia terkejut karena ini kali pertamanya diumpat dan dibentak oleh orang lain.
“Jaga ucapanmu! Jika bukan karena kelakuan hina kamu, saya tidak sudi menyentuh kamu seperti itu,” desis Tira sambil menjambak rambut Ayas.
“Saya tidak tahu apa yang Anda maksud. Tapi saya yakin Anda salah orang. Tolong lepaskan saya atau Anda akan menyesal,” ancam Ayas sambil menahan sakit karena pipinya terasa begitu panas. Bahkan sudut bibirnya mengeluarkan darah karena tamparan Tira begitu kuat.
Melihat kondisi Ayas seperti itu, ada sedikit rasa tak tega di hati Tira. Namun, ia langsung membuang jauh rasa itu karena mengingat bagaimana nasib adiknya yang mati mengenaskan.
“Berani sekali kamu mengancam saya? Malam ini, justru saya yang akan membuatmu menyesal karena telah mengusik saya,” ujar Tira. Kemudian ia bangkit dan menarik kedua tangan Ayas ke atas lalu menautkan ikatannya pada jeruji ranjang itu.
“Pak, tolong jangan seperti ini! Anda salah orang,” lirih Ayas. Ia semakin ketakutan karena tindakan Tira sangat ekstream.
“Lebih baik kamu simpan tenagamu karena kita akan bersenang-senang sampai pagi!” ujar Tira. Ia kembali naik ke tempat tidur.
“Tidak, Anda salah orang. Saya mohon jangan seperti ini, Pak! Saya tidak pernah mengusik Anda, mana berani saya melakukan hal itu?” Akhirnya Ayas memohon.
“Terlambat! Untuk apa kamu memohon? Bukankah tadi kamu sangat berani menentang saya?” tanya tira sambil menatap Ayas dengan tatapan yang melecehkan.
“Oke, saya minta maaf. Saya hanya terkejut dan panik karena Bapak tiba-tiba mengurung saya di sini. Tolong lepaskan saya,” lirih Ayas. Matanya sudah berkaca-kaca. Ia semakin gentar kala Tira naik ke tempat tidur dan mengukungnya.
Ayas menggeleng-gelengkan kepala seraya memohon agar Tira tidak melanjutkan perbuatannya. Namun, Tira justru melepaskan kancing kemeja Ayas satu per satu sambil menatapnya dengan tatapan yang menjijikan.
“Saya akan memberimu hadiah yang tak terlupakan. Tapi saya jamin malam ini kamu tidak akan kecewa dengan permainan saya.”
Tubuh Ayas gemetar. Ia sangat bingung harus melakukan apa agar bisa lepas dari Tira dan melarikan diri dari kamar itu. Saking bingungnya, Ayas bahkan tidak sadar bahwa seluruh kancing kemejanya terlah terlepas.
“Not bad,” gumam tira saat melihat tubuh bagian atas Ayas.
“Tolong jangan sentuh saya, Pak!” lirih Ayas. Ia berusaha bicara dengan lembut agar Tira iba dan melepaskannya.
Namun, bukan mendengarkan ucapan Ayas, Tira malah melucuti seluruh pakaian Ayas hingga wanita itu tidak mengenakan sehelai benang pun.
Ayas yang merasa sangat malu itu hanya bisa menangis. Ia semakin ketakutan karena ancaman Tira sudah di depan mata. Ia terus berusaha menarik tangannya agar terlepas. Namun, hal itu justru membuat tangannya terluka karena gesekkan yang cukup kuat.
“Sudah saya katakan, percuma kamu memberontak. Kamu tidak akan pernah bisa melarikan diri dari kamar ini,” ujar Tira. Kini tangannya mulai menggerayangi tubuh Ayas. Hingga gadis itu meronta karena tidak sudi disentuh seperti itu.
Melihat perlawanan Ayas, Tira justru semakin bersemangat. Ia mengukung gadis itu hingga Ayas tak mampu bergerak lagi.
“Jangan, Pak. Saya mohon,” lirih Ayas sambil berurai air mata.
“Saya tidak akan terpengaruh hanya karena air matamu,” desis Tira. Kemudian ia berlutut dan melepaskan bath robe yang ia kenakan hingga seluruh tubuhnya terekspos sempurna.
Saat ini Atas sedang di rumah dan ditemani oleh Gita.“Gimana ya, kok belum ada kabar?” gumam Ayas, khawatir.Ayas ingin menghubungi Tira tapi ia khawatir akan menggangu, sedangkan Tira sengaja tidak menghubungi Ayas karena ingin memberi dia kejutan.“Sabar, Yas. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang,” ucap Gita. Ia berusaha menenangkan Ayas.“Semoga aja bener begitu.”Ayas senang di saat seperti ini ada Gita yang menemani, awalnya Yoga juga ada di sana. Tapi ia harus pergi karena ada urusan lain.“Oh, iya. Kamu jadi nikah dengan Mas Yoga?” tanya Ayas, pada Gita. Ia berpikir lebih baik mengobrol dengan Gita daripada terus seperti tadi.“Katanya sih, jadi!” jawab Gita.Ayas mengerutkan kening, “Lho, kok gitu?” tanyanya.“Ya emang begitu, hehehe!” sahut Gita, cengengesan.Ayas berpikir Gita itu seperti tidak niat menikah dengan Yoga, “Kalau kamu gak suka mendingan gak usah, Git!” ucapnya.“Enak aja! Siapa bilang aku gak suka? Oops!” Gita kelepasan.Melihat respon Gita yang seper
Dengan raut wajahnya yang datar Tira menatap James dan Ady, “Kalian berdua memang sepertinya sudah bosan hidup,” ucap Tira.James dan Ady saling bertukar pandang, lalu mereka berdua tertawa.Hahaha!“Sepertinya kepala kamu habis terbentur benda keras, ya?” ledek Ady.“Atau mungkin orang yang sudah mau mati kelakuannya memang aneh?” timpal James.Hahaha!James dan Ady kembali menertawai Tira yang hanya diam dan tidak membalas.“Maaf ya, kalau kamu ingin menyalahkan seseorang. Salahkan Ayahmu dan orang ini,” ucap James.Ady hanya tertawa karena ia pikir itu memang benar, “Awalnya aku pikir Anda hanya bekerja untukku, tapi ternyata Anda juga bekerja untuk orang lain,” sahut Ady.“Tuan Ady, kita itu hidup harus bisa memanfaatkan semua kesempatan yang ada. Lagipula hal tersebut tidak melanggar kontrak kerja sama kita,” balas James.Awalnya saat Ady tahun kalau James juga bekerja untuk orang lain, ia sempat marah pada James dan menuding James memanfaatkan dirinya.Namun, setelah James memb
“Apa itu, Tuan James?” tanya Ady.James menyeringai, “Mereka sudah datang,” jawab James.“Hah? Mereka? Siapa?”“Tentu saja tamu yang kita undang, mereka datang sesuai dengan rencanaku,” ucap James. Ia merasa bangga karena Tira dan rombongannya telah terjebak.“Tapi Tuan, kalau mereka mati. Rasanya kurang puas,” balas Ady.“Aku yakin dia tidak akan mati semudah itu, tapi kalau memang dia mati. Mau bagaimana lagi, kan?” sahut James.Ady pun berpikir tidak masalah kalau memang Tira mati sebelum berhasil menemukan putranya, bagi Ady itu sudah cukup memuaskan karena telah memberikan Tira balasan yang setimpal.Sementara itu di mobil yang Tiran dan Daren tumpangi.“Suara ledakan apa itu?” tanya Tira.“Baru saja aku menerima laporan, kalau ternyata akses menuju ke tempat James berada sudah dipasangi jebakan. Anak buah James juga lumayan banyak,” sahut Daren.“Jadi, bagaimana caranya kita ke sana?” tanya Tira.Daren menyeringai, “Jangan khawatir, Tuan. Tentara dan Polisi berpihak pada kita, j
Setelah Tira mengantar Ayas pulang, ia langsung pergi menemui Daren di bandara, Daren bergegas menghubungi Tira saat ia menerima tugas.Tidak butuh waktu lama Tira telah sampai di bandara, mobil yang ia tumpangi berhenti di dekat sebuah pesawat jet pribadi.Seorang pria berpakaian serba hitam dengan sebuah kacamata hitam, berdiri di dekat tangga pesawat dan langsung membungkuk saat Tira berjalan ke arahnya.“Tuan, ayo kita selamatkan Putra Anda!” ucap pria itu, yang tidak lain adalah Daren.“Maaf sudah merepotkan, terima kasih karena kamu sudah mau datang dari jauh untuk membantu,” balas Tira.“Tuan dan Nyonya besar sudah sangat berjasa padaku, mana mungkin aku tidak mau membantu.”“Bagaimana dengan Ayah?” tanya Tira. Bagaimanapun juga Daren adalah kepala pengawal Ayahnya Tira.“Lebih baik kita bergegas, Tuan. Aku khawatir pada Putra Anda,” ucap Daren.Sudah lama tidak bertemu dengan Daren membuat Tira banyak mengajukan pertanyaan, akhirnya Tira dan Daren masuk ke dalam pesawat.Setel
“Sayang, tunggu!” Sontak Tira langsung mengejar Ayas.Tap!Tira meraih tangan Ayas dan menariknya.“Kalau gak ada yang peduli, biar aku sendiri yang nolong Vano!” ucap Ayas, agak berteriak.Tira menghela napas kasar, “Kamu tenang dulu, sayang. Kita serahkan pada Mama, tapi aku juga gak bisa tinggal diam. Aku juga akan ikut mencari Vano,” ucap Tira.Saat itu Atas yang sedang kesal merasa bodoh, “Sebentar, tadi Papi bilang apa?” tanyanya.“Hem, yang mana?” Tira bertanya balik.“Yang tadi, yang Papi bilang serahkan pada Mama. Apa maksud Papi?”“Oh, itu. Jadi sebenarnya Mamah marah karena Vano hilang, dia bilang menjaga anak satu aja gak bisa,” jelas Tira.Ayas tercenung, “Hah? Mamah marah karena itu?” tanyanya.“Iya, jadi kamu cuman salah paham aja. Justru Mamah malah marah sama kita karena kita gak bisa jagain Vano dengan benar.”Mendengar penjelasan Tira, membuat Ayas merasa menjadi seorang Ibu yang buruk. Ia tidak menyangka kalau Ibu mertuanya justru sangat peduli.“Terus aku harus gi
“Tira, sini kamu!” panggil Sisca, dengan mata melotot.“Iya, Mah!” jawab Tira. Ia lalu menghampiri mamahnya.“Laras, kamu tunggu di sini!” ucap Sisca.“I-iya, Mah!” jawab Ayas, kikuk.Sementara Tira di ajak pergi oleh mamahnya, Ayas duduk di sofa seorang diri. Ia masih agak canggung dengan Ibu mertuanya itu, Ayas juga tidak tahu harus berbuat apa saat ini.Tira diajak oleh mamahnya ke sebuah ruangan, “Duduk!” ucap Sisca, dengan sikap yang dingin.“Iya, mah.” Tira pun duduk di sebuah sofa.Sudah lama Tira dan Mamahnya tidak bicara seserius ini, terakhir kali mereka berbicara serius adalah saat Tira memutuskan untuk menikahi Ayas.“Tira, kamu tau kenapa mamah memanggil kamu ke sini?” tanya Sisca, serius.Tira hanya menggeleng dan tidak menjawab.“Kamu ini sudah punya anak, seharusnya kamu tidak lagi mementingkan diri kamu sendiri!” ucap Sisca. Ia memarahi putranya itu.“Jadi mamah memang sudah tahu kalau—“ Belum selesai Tira berbicara, Sisca sudah tampak emosi.Brakk!“Tau kalau Vano di