Beranda / Romansa / Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven! / 5. Kecupan di Bawah Hujan

Share

5. Kecupan di Bawah Hujan

last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-08 10:08:50

Pagi-pagi sekali, Diana pulang dengan wajah semrawut. Ia juga tidak memakai riasan apapun, dan pakaiannya cukup kotor oleh tanah.

"Elena! Mana tehnya?!"

Teriakannya juga tidak pernah berhenti dari tadi. Ia selalu meminta ini dan itu pada Elena, yang masih sibuk dengan tugas dapurnya.

Elena menghampiri Diana, membawa nampan berisi secangkir teh hangat. Nyonya rumah itu sedang sibuk menggerutu, dengan tangan dan mata yang fokus pada ponselnya.

Elena meletakkan teh dengan hati-hati, kemudian ia pergi lagi ke dapur untuk menyiapkan sarapan.

"Elena!"

Decakan tipis keluar dari bibir Elena. Telinganya hampir pecah, mendengar keluhan dan teriakan sang Nyonya.

Saat sampai di hadapan Diana, cangkir teh yang ia berikan dilemparkan.

Elena mundur beberapa langkah, untuk menghindari pecahan cangkir tersebut. Ia semakin menunduk, tanpa berkata apapun.

"Tehnya terlalu panas! Apa bayaranmu kurang, hingga pekerjaanmu semakin tidak becus?!" bentak Diana.

Elena memilin jemarinya, ia tidak menjawab pertanyaan Diana karena takut.

Plak!

Kepala Elena yang tertunduk, ditampar oleh Diana hingga terhuyung dan hampir jatuh.

"Diana!"

Suara bentakan Riven terdengar, langkah kakinya ribut menuruni tangga.

"Apa yang kau lakukan, Diana?!" sentaknya di depan wajah Diana.

Istrinya itu menggeleng miris, lalu menunjuk dada Riven dengan telunjuknya.

"Kenapa kau selalu membelanya?!" seru Diana dengan suara tercekat.

Riven langsung menepis tangan Diana, ia menatap Elena yang masih menunduk.

"Kau bisa kena pasal karena kekerasan pada pelayan, Diana!"

Gerakan Diana langsung tergesa membuka tasnya. Meraih segepok uang tunai yang tudak diikat, lalu melemparkannya di hadapan Elena.

"Aku bisa membayar siapa pun! Aku ini bukan orang biasa, Riven!" seru Diana kemudian.

Wanita yang masih dikelilingi api amarah itu, langsung pergi keluar. Mengabaikan teriakan Riven yang menghentikannya.

"T-Tuan, maaf. Karena aku, Tuan dan Nyonya bertengkar lagi," cetus Elena.

Ia mendongak, menatap wajah Riven dengan tatapan sendu. Tuannya itu justru menepuk puncak kepalanya dua kali, seraya tersenyum lembut.

"Tidak apa, Elena. Istriku memang seperti itu," sahutnya menenangkan.

Elena mengangguk pelan, ia kemudian berlutut untuk mengambil lembaran uang yang dilemparkan Diana.

Riven membantunya, namun pria 27 tahun itu selalu salah fokus pada bongkahan dada Elena yang menggantung.

Meski tertutup kaus tebal dan besar, dadanya masih nampak sangat jelas.

"Ah, Elena. Maafkan perlakuan Diana kepadamu, ya," celetuk Riven tiba-tiba.

Elena mengangguk pelan seraya tersenyum, ia kemudian bangkit. Tubuhnya seketika membeku, ketika Riven mendekapnya dengan erat.

Sedangkan Tuannya itu, menikmati tubuh Elena yang sangat menempel padanya. Terasa sangat kenyal, dan menggoda untuk diremas.

Sepersekian detik berlalu, pelukan itu dilepaskan. Elena dan Riven mengalihkan pandangan mereka, karena getaran di hati keduanya yang semakin kencang.

Tak lama, Jay turun menghampiri mereka. Ia mendapatkan hukuman skorsing untuk satu minggu.

Jay melewati Elena dan Riven begitu saja. Anak itu melangkah ke luar membawa bola karet.

Elena menyusul Jay, begitu pun Riven.

Saat Elena keluar, hujan langsung turun dengan derasnya. Ia berlari menghampiri Jay untuk menariknya masuk.

Namun, ia justru terpeleset dan jatuh. Suara gedebuk terdengar sangat kuat, membuat Riven dan Jay langsung menghampirinya.

"Bibi Elen, Bibi terluka?" tanya Jay dengan raut khawatir.

Riven membantu Elena untuk duduk bersandar padanya. Elena jatuh dalam posisi miring ke kanan dengan tumpuan bahu, membuat bahunya terasa nyeri.

"Tidak, Bibi Elen tidak apa-apa. Hanya ceroboh saja," ujar Elena.

Ketiganya berada di bawah hujan, langit yang mendung justru membuat suasananya semakin hangat.

Melihat kedua tuannya terdiam dengan raut sendu, Elena bangkit perlahan.

"Ayo, Tuan dan Tuan Muda. Aku tidak apa-apa, lebih baik kita main hujan saja!" seru Elena.

Ia langsung berlari ke arah taman belakang rumah, diikuti Jay dan Riven yang tertawa kencang.

Elena memancing anak dan ayah itu untuk bermain bola. Hingga keduanya berebut, dan kembali tertawa bersama.

Saat Jay sibuk dengan bolanya, Riven menghampiri Elena yang berada tak jauh dari mereka.

"Elena, terima kasih," ujar Riven. Senyumannya tercipta untuk Elena yang tersipu malu.

Tubuh Elena bergerak ke kanan dan ke kiri, dengan tangan saling bertaut. Tingkahnya itu, membuatnya terlihat semakin imut.

Riven melangkah lebih dekat lagi, hingga tubuhnya dan Elena bertemu. Tangan kiri Riven melingkari pinggang Elena, sedangkan sebelahnya menelusup ke leher belakang.

"Ahh, Tuan ...."

Elena melenguh, saat jemari Rive mengelus telinganya. Ia memejamkan mata, dan menggigit bibir bawahnya sendiri.

Hal itu membuat tatapan Riven semakin sayu, jantungnya berdegup cepat, dengan hawa panas dingin yang menjalar ke kepalanya.

Elena membuka matanya, saat embusan napas Riven terasa semakin dekat. Ia bisa melihat majikannya itu memiringkan wajahnya.

Hingga bibir mereka kembali bertemu. Hanya menempel, dan tetap pada posisi itu selama beberapa saat.

Riven melepaskannya setelah puas, ia beralih menatap Elena. Tubuh majikannya itu membeku, ketika Elena mengecup singkat bibirnya.

"Papa! Bolanya meledak!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   83. Peringatan dari Diana

    Setelah sama-sama sibuk dengan pikiran mereka, Riven dan Elena kembali beraktivitas seperti semula. Riven sudah berangkat lebih dulu, saat dini hari karena harus pulang pergi ke luar kota. Sedangkan Elena masih sibuk mengurus Jay, yang semakin manja seperti ayahnya. "Jay, ayo bangun, Nak. Mandi, lalu pakai bajunya ya, mmmmuah!"Elena membujuk, seraya mengecup pipi Jay. Sesuai kemauan anak itu, yang memintanya membujuk dan mengecupnya dulu baru ia akan bangun. Selesai dengan Jay, Elena langsung ke arah dapur. Di sana sudah ada Jelia yang menyiapkan sarapan, dan dapat Elena lihat dari pintu kaca, Deo tengah mengelap badan mobil di luar sana. "Kau sudah sangat cocok menjadi ibu Jay, Elena," celetuk Jelia. Elena hanya tertawa pelan, tangannya dengan telaten merapihkan isi bekal Jay dan Riven. Katanya, Riven akan kembali dari luar kota siang hari nanti. "Ah, Elena. Nyonya Diana tidak akan pulang, mungkin sekitar sampai lima bulan ke depan," ujar Jelia. Elena langsung menjeda pergera

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   82. Segala Aspek?

    Elena memenuhi segala Aspek, yang tidak diisi oleh Diana. Baik dari segi keibuan, sampai hal-hal yang menyangkut hasratnya. Dilihat dari sisi mana pun, Elena yang paling sempurna menurut Riven. Diana kalah telak, karena sejak awal, kesalahannya terletak pada wanita itu. Riven ingin ketulusan, bukan uang atau status semata seperti yang Diana lakukan padanya. Ia ingin seorang wanita, yang selalu bisa menemaninya, bukan yang sibuk sendiri dengan urusannya. Dan Elena 'lah yang memenuhi semua ekspetasinya. Memang, awalnya Riven hanya ingin menjadikan Elena sebagai pelampiasan napsu. Namun, ia justru jatuh pada pesona Elena, yang memenuhi segala hal yang Riven butuhkan. Elena mengisi kekosongan di hatinya, selama menjalani rumah tangga dengan Diana. Ia yang bersumpah, tidak akan tergoda, justru malah jatuh sedalam-dalamnya, dan enggan kembali pada istri sahnya. Malam ini, akan menjadi malam yang panjang untuk Riven dan Elena. Baru saja, Diana menelponnya, dan mengatakan, bahwa Diana a

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   81. Tuanku yang Menawan

    "Selamat siang, Bunda!" sapa Riven di seberang sana. Lelaki itu belum menyadari, apa yang ada di layar laptopnya. Elena sengaja menaikkan tubuhnya yang bersandar, sampai belahan dadanya terlihat jelas. "Selamat siang, Papa ...." Elena membalas sapaan itu, dengan nada yang mendayu. Ia menepuk air dengan lembut, menciptakan suata ambigu, untuk menarik perhatian Riven. Elena juga menggumam sensual beberapa kali, karena sang tuan tidak juga teralihkan. "Suara apa itu, Bun–"Gleg! Jakun Riven naik-turun, karena salivanya sulit diteguk. Elena melihat hal itu, ia melempar tatapan menggoda pada Riven. Telapak tangannya mengusap tubuhnya sendiri, membawa air pada bagian bahu dan dadanya yang terlihat di permukaan air. Elena juga membasahi lehernya, dan menyingkap rambunya yang terurai, yang menutupi bahunya. "Iya, Papa?" Suaranya berbisik, seolah menggoda Riven tepat di pangkuannya. Riven sendiri terpaku, pada belahan dada Elena yang bergoyang, setiap kali Elena bergerak. Terlihat ken

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   80. Menenangkan Diri

    Jay hanya mengangguk, membalas gumaman Leo. Elena membawa anak majikannya pulang, dengan perasaan yang bercampur aduk. Jay juga hanya diam di atas pangkuan Elena, yang tengah mengabari Gez untuk datang ke kediamannya. Saat mereka sampai ke rumah, Gez tidak lama datang juga. Ia memeriksa Jay, lalu mengganti seragam Jay dengan pakaian santai. Sedangkan Elena, menyiapkan bubur, potongan buah, air hangat untuk Jay, dan minuman untuk Gez. "Bunda, kepala Jay pusing," keluh Jay pada Elena. Mendengar panggilan Jay itu, Gez langsung mendelik. Tidak ia sangka, Elena sudah sedekat ini dengan Jay. Jay juga terlihat sangat nyaman, saat Elena membantunya melahap potongan buah. Setelah Jay tidur karena obat yang diberikan Gez, Elena dan dokter itu pergi ke ruang tamu. Elena mengambil camklan dan minuman yang sebelumnya sudah disiapkan, untuk dibawa ke ruang tamu. Gez menatapnya sangat dalam, membuat Elena mengernyit bingung. "Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Elena. Gez menggeleng pelan,

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   79. Kegelisahan Elena

    Setelah mendengar cerita Kio, Elena termenung di lahan kosong itu. Kio sendiri sudah pergi, karena dipanggil oleh salah satu lansia untuk membantunya. Tak lama, Gez menghampiri Elena. "Ada apa? Kau merasa bersalah, setelah mendengar cerita Kio?" tanya Gez, tepat sasaran. Elena enggan menjawab, bibirnya digigit dengan posisi wajah yang tertunduk dalam. Jujur saja, hatinya sangat gelisah. Ia sudah menyayangj Jay, namun bagaimana jika nanti Jay tidak ingin lagi bersamanya, karena kedua orang tuanya yang bisa saja berpisah di masa depan. Bagaimana jika bayangan dan imajinasinya, tentang hidup bersama Riven, akan menjadi abu ke depannya? Jay bisa saja membenci Elena, karena telah membuat Riven dan Diana berpisah, seperti kedua orang tua Kio. Karena Elena justru tidak menjawab, Gez menghela napas pelan. Ia melipat stetoskopnya, lalu ditaruh ke dalam saku celana. Jasnya dibuka, untuk diselimuti pada punggung Elena. Cuaca semakin redup, udara juga jauh lebih dingin. Pakaian Elena cukup

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   78. Bersama Gez

    "Baiklah, Elena. Aku mengizinkanmu, tapi laporkan juga pada Riven, ya? Aku takut, ada kesalahpahaman nanti," ujar Vinzo. Elena baru saja meminta izin pada Vinzo, untuk berjalan ke dalam permukiman bersama Gez. Elena juga menceritakan hal-hal yang ia tangkap dari Gez, dan meminta bantuan Vinzo untuk mengawasinya juga. Vinzo pun menyuruh beberapa anak buahnya membeli makanan dan bahan masak, selagi Elena menunggu dan menyiapkan camilan di tenda untuk anak-anak itu. Kini, Elena berada di dalam tenda, ia mengikat rambutnya secara asal untuk bisa memasak. Ada robot khusus pembuat cookies dan biskuit, yang membuatnya mudah. Namun, kondisi di dalam tenda cukup panas, membuat Elena kurang nyaman. Ponselnya bergetar, menampilkan nama Riven di sana. Elena yakin, Riven sudah menerima laporan dari Gez. "Hallo, Tuan?" sapa Elena. "Elena, tolong hati-hati, ya. Para warga bisa lebih berbahaya dari yang kau kira, aku akan mengirim beberapa anak buahku, untuk mengawasimu juga," ujar Riven. El

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status