แชร์

Akhir Pekan yang Damai

ผู้เขียน: Velune Nyvaris Miratha
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-08 10:08:50

Elena mengoleskan pelembab pada kaki dan tangannya dengan lembut disertai pijatan kecil, hingga ketukan pintu membuat Elena menghentikan sejenak aktivitasnya. 

"Elena?"

Suara Riven terdengar di luar sana, Elena menaruh pelembabnya dan melangkah untuk membukakan pintu. 

"Tuan? Ada apa?" tanya Elena. 

Riven tampak mengusap tengkuknya karena perasaan canggung. Matanya menelisik raut wajah Elena yang tidak tampak masam.

"Apa kau masih merajuk, Elena? Maaf, sungguh, aku tidak mengetahui apa kesalahanku," ujarnya dengan nada santai. 

Elena melihat raut Riven yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. 

Kedua tangan pria itu pun masuk ke dalam saku celana, seolah acuh dengan perkataannya sendiri. 

Elena menghela napas kasar. "Jika tidak tau salahmu apa, lantas Tuan meminta maaf untuk hal apa?" ketusnya. 

"Tuan Muda Jay itu masih kecil, Tuan. Kau harus bisa memperhatikannya juga, jangan hanya menilainya anak nakal," sambung Elena. 

Elena dapat melihat Riven membuang wajahnya, kemudian mengangguk ringan. 

"Iya, akan ku pikirkan nan—"

"Sekarang!" cetus Elena menekan. 

Riven membuka pintu kamar Elena lebih lebar, ia mendekap Elena dengan erat. 

"Maafkan aku, ya. Cukup sulit menerima anak itu—"

"Jay! Anakmu memiliki nama, Tuan," potong Elena. Ia membiarkan Riven mendekapnya, karena sangat nyaman.  

Riven menelusupkan wajahnya di perpotongan leher Elena, bergumam tidak jelas di sana. 

Elena mengusap rambut Riven hingga tengkuknya. "Kau harus belajar menerima Jay, Tuan. Bukan keinginannya untuk terlahir," tuturnya. 

Melihat bagaimana hubungan Riven dan Diana, Elena yakin mereka sama-sama egois hingga acuh pada anak mereka sendiri. 

Riven mengangguk pelan. "Ayo tidur bersama? Hanya tidur," tawarnya. 

Jemari Elena mencubit kecil pundak Riven. "Janji hanya tidur? Rasanya masih sakit tau!" 

Anggukan kembali Riven berikan, ia melangkah lebih dulu ke atas ranjang Elena. Menepuk beberapa kali ruang kosong di sebelah kanan. 

Elena mundur beberapa langkah membuat Riven mengernyit, namun ia memekik saat Elena melompat lalu menjatuhkan tubuh tepat di atasnya.

"Akkhh! Elena! Nakal sekali!" pekik Riven, telapak tangan besarnya menepuk pelan bokong Elena. 

Sedangkan Elena terkikik geli, tubuhnya dibawa ke samping dan kembali didekap erat oleh Riven. 

Jemari Riven menarik selimut untuk menutupi keduanya. Elena dapat merasakan usapan lembut di kepala dan pinggangnya, hatinya seolah terisi penuh oleh cinta.

Rumah terasa lebih hangat karena hubungan Riven dan Elena yang semakin erat. 

Kini, keduanya berkutat di dapur. Jay duduk di sofa ruang tamu, sesekali matanya melirik sang ayah dengan bibinya yang sibuk memasak. 

"Aku akan membuat camilan untuk Tuan Muda. Tuan, tolong tuangkan sayurnya di mangkuk yang lebih besar."

Suara Elena terdengar berkali-kali menitah Riven. Sedangkan Riven hanya menurut, selama ini ia tidak pernah memasak dan tidak mengerti bagaimana caranya. 

Riven hanya menurut dan mengikuti apa yang diperintahkan Elena. 

Selesai memasukkan adonan cookies, Elena menyiapkan roti dengan selai cokelat dan jus mangga. 

Ia menyusunnya di sebuah nampan, lalu menghampiri Jay. 

"Tuan Muda, maaf menunggu lama. Makanlah ini sambil menunggu semua masakan siap, ya?" ujarnya seraya menata isi nampan di atas meja. 

Jay mengangguk kecil. "Bibi Elen, Jay juga ingin membantu Bibi Elen seperti Papa, apa boleh?"

Elena membawa tangannya untuk mengusap kepala Jay. "Boleh, tapi sebentar lagi Bibi selesai. Lain kali, Tuan Muda boleh membantu Bibi," tuturnya. 

"Okay, Bibi Elen!" seru Jay antusias. 

Kemudian, suara Riven menggelegar di dapur. "Elena!"

Elena langsung pergi menghampiri Riven yang berdiri di pojokan dengan sumpit khusus memasak yang ia dekap. 

"Ada apa, Tuan?" tanya Elena. 

Riven menunjuk seekor kecoa yang sudah mati, tepat di bawah lemari kayu khusus menaruh piring. Di sana tampak lembab dan kotor. 

"Hewan apa itu?! Menjijikan sekali, Elena singkirkan dia!" seru Riven. 

Elena tertawa terbahak-bahak, mengambil kecoa dengan mudah menggunakan tangan kosong, dan membuangnya. 

Setelah mencuci tangan, ia menghampiri Riven yang wajahnya sudah merah menahan malu. 

"Itu hanya kecoa, Tuan. Wajar saja, meja itu sepertinya sudah sangat lembab. Kau tidak mau menggantinya?"

Riven duduk di kursi meja tengah dapur, memegang dadanya yang masih berdebum kuat. 

"Aku akan menggantinya. Aku tidak tau jika kondisi dapur pun sudah tidak enak dilihat, tidak pernah ada laporan dari pelayan sebelumnya," sahutnya. 

Elena mengangguk paham, ia mematikan oven dan mengangkat cookies favorit ayah dan anak itu dengan cekatan. 

"Aku juga menemukan beberapa barang yang rusak di ruang olahraga, Tuan," ujarnya.

Riven mengangguk. "Itu ulah Jay, dia sering merusak barang-barang di rumah. Bahkan di sekolah, dia pernah memecahkan kaca kelas dengan tongkat baseball."

"Jay tidak akan melakukannya jika tidak dihina oleh teman-teman, Papa!"

Suara Jay yang berteriak terdengar nyaring, Elena dan Riven tertawa kecil. Kentara sekali Jay menguping pembicaraan mereka. 

"Dengar? Begitulah tingkah aslinya, berteriak dan merusak banyak barang. Dia juga memukul anak-anak lain di sekolah, bagaimana aku bisa menyayanginya?"

Elena menaruh telunjuknya di depan bibir Riven. "Perkataanmu sangat tidak mencerminkan seorang ayah, Tuan."

Kemudian jemari itu pindah ke bahu Riven, menekannya beberapa kali. Menatap dalam mata Riven, dengan banyak harapan di dalamnya. 

"Kau harus bisa berubah, maka Tuan Muda pasti menjadi lebih baik," sambungnya.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   Diana Curiga

    Kondisi Riven dan Jay sudah membaik, setelah tiga hari merepotkan. Keduanya semakin lengket dan manja pada Elena.Seperti saat ini, anak dan ayah itu terus membuntuti Elena yang sedang membersihkan kolam."Makanlah lebih dulu, Elena! Kau melewatkan sarapanmu!" teriak Riven.Elena dengan cepat menghampiri Riven dengan napas terengah-engah, dan keringat yang membasahi pakaiannya.Ia menerima suapan dari Riven, kemudian atensinya beralih ke arah Jay yang berlari menghampiri."Bibi Elen! Ayo makan jelly ini! Jay juga ingin menyuapi Bibi Elen!" seru Jay sambil menyodorkan satu sendok penuh jelly yang terpotong berantakan.Elena membuka mulutnya, menerima suapan dari tangan kecil Jay. Perutnya terasa penuh, setelah menerima banyak suapan dari ayah dan anak di hadapannya.Dering ponsel Riven terdengar, Elena yang duduk di pangkuannya pun merasakan getarannya.Nama Diana tertera di layar, Riven menghela napas malas sebelum mengangkat panggilannya."Riven! Kian bilang padaku, kau bercumbu deng

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   Tuan-Tuan yang Manja

    Suasana kediaman Riven cukup sunyi siang ini. Jay sedang sakit, jadi tidak ada yang membuat keributan dengan ocehannya. Sedangkan Riven masih berkutat di kantor, ada sebuah pertemuan dengan orang-orang besar untuk membahas bisnis. Elena yang sudah dibalut kaus oversize dan celana di atas lutut, menyiapkan bubur, air hangat, kompres, dan handuk. Sesampainya di kamar Jay, Elena duduk di tepi kasur. Tangannya meraba kening Jay yang masih terasa hangat. "Tuan Muda, Bibi menyiapkan bubur. Ayo makan dulu," tuturnya lembut, seraya mengelus kepala Jay. Lenguhan terdengar serak dari bibir Jay. "Bibi Elen, semuanya terasa sangat panas. Jay tidak suka," keluhnya. Tubuh Jay dibantu untuk bersandar pada kepala ranjang. Elena menyuapi Jay dengan bubur yang ia bawa. "Makanlah dulu, setelah itu Tuan Muda mandi agar tidak terasa panas," ujar Elena. Jay membuka mulutnya untuk menerima suapan Elena. Kepala Jay menggeleng saat Elena menyiuk suapan keempat. Elena menaruh mangkuk di atas na

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   Festival Robot

    Ruangan terasa sunyi. Elena tertidur pulas di sofa, sedangkan Riven masih berkutat dengan berkas-berkasnya. Tak lama, pintu terbuka menampilkan Jay dan Dean yang baru saja datang. Dean kembali pulang, sedangkan Jay masuk ke dalam ruangan. Riven acuh pada anaknya yang akan mengganggu tidur Elena. "Bibi Elen! Bibi Elen!" panggil Jay, tangan kecilnya menyentuh pipi Elena beberapa kali. Elena melenguh panjang, kemudian matanya melebar antusias melihat kehadiran Jay. Ia spontan memeluk Jay dengan gemas, mengusap punggung anak itu dengan lembut. "Bibi Elen, Jay lelah sekali! Hari ini Jay lari keliling lapangan," adunya dalam dekapan Elena. Belum sempat Elena menjawab, suara Riven sudah terdengar menyebalkan. "Kau saja yang payah, baru lari sudah mengeluh," ujar Riven meremehkan. Dapat Elena rasakan, Jay melepas paksa dekapannya dan berlari ke arah Riven dengan tangan terkepal. Jay memukul perut Riven beberapa kali, sedangkan Riven hanya tertawa. Melihat mata Jay yang sudah berkac

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   Pergi ke Kantor Riven

    Pagi ini, Elena sudah siap dengan kemeja merah ketat yang menampilkan dada besarnya. Rok hitam di atas lutut, dan stocking hitam yang menyelimuti seluruh kakinya, cocok dengan kemeja yang ia pakai. Ditambah high heels merah, riasan tebal, dengan bibir merona dan bulu mata anti badai. "Mmmuaachh," gumam Elena setelah mengaplikasikan lipstik merah menyala. Ia menekan beberapa kali bibirnya, dan berpose di depan kaca dengan bibir mengerucut.Setelah Jay berangkat sekolah, ia menyiapkan sarapan untuk dibawa ke kantor Riven. Majikannya itu berangkat sangat pagi, hingga tidak sempat sarapan. Setelah menyemprotkan banyak parfum, ia melangkah keluar untuk menghampiri supir yang akan mengantarnya. "Paman Dean, bisa tolong antarkan aku ke kantor Tuan Riven?" tanya Elena, suaranya mengalun lembut dengan nada bicara yang dibuat-buat. Dean, pria yang usianya sudah setengah abad itu mengangguk. Pandangannya tidak beralih dari belahan dada Elena yang tampak sangat jelas. Setelah mengeluarkan

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   Akhir Pekan yang Damai

    Elena mengoleskan pelembab pada kaki dan tangannya dengan lembut disertai pijatan kecil, hingga ketukan pintu membuat Elena menghentikan sejenak aktivitasnya. "Elena?"Suara Riven terdengar di luar sana, Elena menaruh pelembabnya dan melangkah untuk membukakan pintu. "Tuan? Ada apa?" tanya Elena. Riven tampak mengusap tengkuknya karena perasaan canggung. Matanya menelisik raut wajah Elena yang tidak tampak masam."Apa kau masih merajuk, Elena? Maaf, sungguh, aku tidak mengetahui apa kesalahanku," ujarnya dengan nada santai. Elena melihat raut Riven yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. Kedua tangan pria itu pun masuk ke dalam saku celana, seolah acuh dengan perkataannya sendiri. Elena menghela napas kasar. "Jika tidak tau salahmu apa, lantas Tuan meminta maaf untuk hal apa?" ketusnya. "Tuan Muda Jay itu masih kecil, Tuan. Kau harus bisa memperhatikannya juga, jangan hanya menilainya anak nakal," sambung Elena. Elena dapat melihat Riven membuang wajahnya, kemudian m

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   Elena Merajuk?

    "Kenapa rautmu kecewa seperti itu, Elena?" tanya Riven dengan langkah kaki yang sengaja dilambatkan. Elena mendesah malas, jemarinya mengelus rahang kokoh Riven. "Aku belum puas, Tuan," bisiknya sensual dengan lidahnya yang menari di bibir atasnya. Lemah sekali, 'adik' Riven langsung bereaksi hanya karena mendengar hal itu. Elena bisa merasakan langkah Riven yang semakin cepat menuju kamar. Ia mengira akan langsung dibanting ke kasur besar milik Riven. Namun, ia justru dibaringkan dengan sangat lembut di sana. Pakaian atasnya yang sudah basah dibuka oleh Riven. Kini, keduanya bertelanjang dada. Riven menumpukan tubuhnya dengan tangan tertekuk di kedua sisi tubuh Elena. "Apa ini sebenarnya tujuanmu bekerja di sini, Elena?" Elena menatap jahil, bibirnya mengerucut manja. Telunjuknya mengelus dada bidang Riven, dengan paha yang mulai menggesek lagi 'adik' Riven. "Ahhh, jangan lakukan itu! Jawab pertanyaanku, Elena!" pekik Riven tertahan. Sebelah tangan besarnya mencengkram paha El

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status