LOGIN
“Risa! Urusin anak kamu itu! Berisik banget!”
Hentakkan itu membuat Risa mendongak.
Pasalnya, dari pagi ia menahan sakit di tubuhnya.
“Tapi Sara nangis terus dari tadi, Mas. Badanku masih lemes banget ...,” lanjut Risa sembari mengayun tubuh Sara penuh kelembutan. Sebulir keringat mulai bercucuran menandakan bagaimana rasa lelah yang ia derita.
“Kamu baru segitu aja ngeluh. Gimana aku yang baru pulang kerja! Aku tuh capek! Urus anak kamu yang berisik banget!”
Pelipisnya makin basah oleh keringat, satu tangan menimang Sara yang terus menangis tanpa jeda. Matanya sayu, wajahnya pucat, tubuhnya menggigil di bawah lampu redup yang nyaris padam.
Risa menahan napas, menatap bayinya yang menangis di pelukannya.
“Aku cuma minta tolong bikinin susu, Mas,” bisiknya.
“Ya udah, gendong aja. Ntar juga diem sendiri,”
Suara Bara membelah kamar sempit itu seperti cambuk. Jemarinya sibuk menggulir ponsel, seakan dunia Risa dan anak mereka hanya suara latar yang mengganggu.
Risa menatap suaminya lama, antara lelah dan putus asa.
“Mas, tolong banget, aku takut jatuh kalau jalan ke dapur. Aku cuma minta tolong bikinin susu, sebentar aja…” katanya lirih, tapi di akhir kalimatnya suaranya bergetar.
“Risa, kamu tuh bisa nggak sih jangan manja?” Bara mengangkat wajahnya dengan tatapan menusuk. “Lagian kenapa ASI kamu nggak keluar-keluar juga, hah? Pantes anakmu rewel mulu.”
Risa menelan ludah, mencoba tetap lembut. “Aku udah coba, Mas. Tapi—”
“Udah, bawa aja anak kamu keluar. Aku mau tidur.”
Tangannya gemetar. Pandangannya buram.
Risa menggoyang tubuh Sara pelan, memohon pada bayi itu untuk berhenti menangis. Tapi tubuhnya sendiri limbung—dan sebelum sempat ia sadari, langkahnya goyah ke belakang.
Sebuah tangan sigap menahan bahunya.
“Pelan-pelan, Ris.”
Suara itu terdengar melegakan.
Risa menoleh, dan menemukan Damar berdiri di ambang pintu—kaus abu-abu yang dikenakannya kusut, rambutnya sedikit berantakan.
Sudah beberapa hari ini Damar menumpang di rumah itu. Rumah tua peninggalan orang tuanya—yang kini ditempati Bara dan Risa—masih menyimpan aroma masa lalu yang belum sepenuhnya hilang. Karena proyek kerjanya di Berlin baru saja selesai, Damar memutuskan pulang untuk sementara, menunggu waktu sebelum kembali terbang ke luar negeri.
“Mas Damar…,” panggil Risa pelan, suaranya hampir tenggelam di antara detak canggung yang memenuhi udara.
Risa terdengar ragu, seperti takut keberadaannya justru akan memperburuk keadaan.
Damar menatap sekilas pintu kamar yang tertutup rapat, lalu menatap Risa lagi. “Udah, sini. Aku bantu.”
Ia menahan bahu adik iparnya itu, membimbingnya perlahan ke kursi di ruang makan.
Langkah-langkah kecil Risa terdengar samar di sela tangisnya yang melemah.
“Biar aku aja yang buatin susunya,” ucap Damar akhirnya.
“Eh, nggak usah, Mas. Nanti Mas tambah capek … Mas kan baru sampai dari Berlin.”
“Tapi kamu bisa jatuh kalau tetap maksain diri,” potongnya lembut, tanpa nada perintah, tapi juga tak memberi ruang untuk bantahan.
Risa hanya bisa diam, menatap punggung Damar yang kini bergerak di dapur. Suara sendok, air panas, dan botol kaca beradu menenangkan hatinya lebih dari apapun.
Tak lama kemudian, lelaki itu kembali dengan botol kecil berisi susu hangat.
“Coba, ini. Udah pas.” Ia mengetes suhu di pergelangan tangan sebelum menyerahkan ke Risa.
Gerakannya hati-hati, nyaris seperti seorang ayah sejati. Oh— sejak kapan ia memikirkan ini?
“Terima kasih, Mas,” bisiknya, suaranya bergetar pelan.
Damar hanya mengangguk, lalu duduk di kursi seberang. Pandangannya tak pernah benar-benar meninggalkan Risa, tapi juga tidak menelanjangi. Ada sesuatu di sana—campuran kasihan, marah, dan sayang yang belum punya nama.
Sara mulai menyusu perlahan.
“Kamu kelihatan pucat,” ucap Damar lirih. “Udah makan?”
Risa menggeleng. Damar menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Abis ini makan, ya. Aku jagain Sara dulu.”
Suara isapannya membuat ruangan itu terasa lebih sunyi dari sebelumnya.
“Bara kayak gitu terus?” Damar akhirnya bertanya, suaranya rendah tapi menusuk.
Risa tak menjawab. Ia hanya menunduk, matanya berkaca. “Dia cuma lagi capek, Mas…” katanya menutupi luka yang tak bisa ditutup.
Ia mengepalkan tangannya di atas meja, lalu melepaskannya lagi perlahan. Damar menghela napas pelan, lalu berdiri, mendekat ke arah mereka.
Saat ia berjongkok, tangan mungil Sara tiba-tiba mencengkeram jari telunjuknya kuat-kuat, membuat lelaki itu tertegun.
Risa ikut menatap pemandangan itu. Ada kehangatan yang menjalar pelan di dadanya—campuran aneh antara haru dan rasa yang tak bisa ia namai.
Ia menghembuskan napas panjang.
“Kamu istirahat dulu. Gantian aku yang jagain Sara,” ujarnya menatap Risa sekilas.
Risa kembali menggelengkan kepalanya, meski matanya tampak sayu akibat rasa lelah yang tak lagi bisa ia tahan. “Nggak usah, Mas. Aku masih kuat kok. Lagian ... aku juga takut kalo Sara nangis dan ganggu tidurnya Mas Bara,” jujur Risa dari lubuk hatinya.
Damar menatap Risa lama dengan alis yang bertaut, seakan ingin mengatakan banyak hal pada adik iparnya itu, tapi ia memutuskan untuk menahannya. “Kamu nggak perlu maksain diri kamu,” ucapnya pelan. “Kamu juga butuh istirahat, kalo kamu tumbang, gimana mau jagain Sara?”
Risa menunduk, di sudut hatinya, ia ingin sekali memejamkan mata, tapi di sudut lainnya, ia tak tega membiarkan pria itu menimang anaknya seorang diri, apalagi Damar tak pernah memegang Sara sebelumnya, pikirannya melayang pada sore itu ketika tangisan Sara yang menggema dan berhasil membuat Bara naik pitam, seakan darah dagingnya itu adalah pengganggu baginya.
“Aku udah biasa, Mas ... nanti juga sembuh sendiri,” jujur Risa dengan nada getir.
Damar menghela napas panjang, tatapan tajam dan menusuk berhasil membuat Risa tak berkutik. “Ris,” pangilnya tegas, membuat Risa mendongakkan kepalanya dan membalas tatapannya. “Tidur.”
Risa terdiam, antara ingin menuruti atau kembali menolak dan bersikukuh dengan pemikirannya sendiri.
Risa terdiam, antara ingin menuruti atau kembali menolak. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Damar bergerak—meletakkan bantal di sisinya, jaraknya hanya sejengkal dari tempat Risa berbaring sementara jemari Damar masih dalam genggaman Sara.
“Kamu nurut, ya,” tukasnya pelan. “Nanti aku bangunin kalau susunya habis.”
Suara itu datar— namun entah mengapa bergetar untuk pertahanannya. Mana pernah suaminya seperti ini?
“Eum, Mas—”Damar membalikkan badannya, memunggungi Risa.“Ini masih panas, Mas.” kata Risa mengeram.Tangannya dicelupkan sebentar sebelum benar-benar menaruh handuk ke bagian dada.“Sebentar. Aku tambahin air dulu.”Risa tersenyum kecil. Sementara Damar berlari ke dapur, Risa membuka kancing piyamanya, mengompresnya perlahan. “Ssshhh ..,” rintihnya menahan nyeri. “Aduh,” rintihnya menggigit sudut bibirnya.Satu menit. Dua menit. Rasanya tak kunjung reda, ia menyerah. Tangannya masih menempelkan handuk hangat di dada Risa ketika pintu kamar terdengar terbuka.Damar muncul sambil membawa mangkuk air hangat baru—nyaris penuh sampai bibirnya—seakan begitu terburu-buru sampai tidak sempat menutup pintu kembali.“Ris—”Ia langsung mendekat, mangkuk hampir tumpah karena tangannya gemetar. Damar terdiam setengah detik, matanya jelas panik melihat piyama Risa setengah terbuka. Lalu matanya memejam seraya melangkah ke arahnya.Handuk di dada Risa jatuh sedikit. Ia buru-buru menutupnya saat
Malam itu, rumah terasa semakin sunyi. Jam di dinding berdetak pelan, seperti mengingatkan bahwa waktu terus berjalan meskipun tanpa kehadiran Bara.Risa duduk di ruang tamu, membiarkan lampu kuning temaram menerangi sebagian wajahnya yang diselimuti kabut kesedihan. Sesekali, ia masih merasakan dadanya nyeri, membuatnya harus meringis kesakitan setiap kali rasa sakit itu kembali menerjang.Damar keluar dari dapur dengan membawa segelas air hangat di tangannya. Ia menaruhnya di meja tepat di hadapan Risa. “Kamu udah minum obat dari dokter?” tanyanya.Risa mengangguk pelan. “Udah, Mas. Katanya nanti kalau demam baru harus balik lagi.”Damar menatapnya sejenak, lalu duduk di kursi seberang. “Bara udah ngabarin?”Risa menggeleng. “Nggak.” Jawaban singkat yang kembali mengurai perasaan ‘tidak diinginkan’ dalam diri Risa.Damar menunduk. “Tadi aku beli bubur. Mau makan dulu?” Ia menunjuk plastik kecil di atas meja. “Masih hangat.”Risa sempat ingin menolaknya, tapi perutnya yang kosong mul
Risa duduk di kursi tunggu ruang laktasi dengan wajah sedikit menahan nyeri.Blusnya basah di bagian dada, sementara Sara tertidur pulas di gendongan.Damar berdiri di sampingnya, canggung. Tangannya disilangkan di depan dada, tak tahu harus melakukan apa.Beberapa menit kemudian, seorang perawat memanggil nama Risa, lalu membawanya masuk ke ruangan pemeriksaan.Ia menatap keluar jendela, mencoba menyembunyikan gugupnya. “Mas, nanti kalo Mas Bara pulang—”“Dia bilang meeting luar negeri. Mungkin nggak balik cepat.” Jawaban itu datar, tapi ada nada lain yang tak ia ucapkan.Risa hanya mengangguk. Ia tahu, tak ada gunanya bertanya lebih jauh.Sesampainya di pintu, Damar membantu mengambil alih tas dan menggendong Sara tanpa banyak bicara. Risa menatap sekilas. Mengapa rasanya makin tak karuan?“Bu Risa Prameswari?”Risa berdiri, lalu menoleh ke Damar. “Mas, tunggu sini aja—”Belum sempat ia melangkah, perawat menatap ke arah Damar. “Bapak ikut aja, ya. Dokternya mau jelasin juga soal p
“Mau ke mana?”Suara bariton itu menghentikan langkah Bara yang baru kembali dari luar.“Ambil paspor, Mas. Ada meeting mendadak di luar negeri, sekalian opening cabang baru,” jawabnya datar, tanpa menatap Damar.Damar bersandar di kursi, kedua tangan bersilang di dada, mengamati adiknya yang menenteng koper kecil dan tas selempang. Terlalu rapi untuk disebut “mendadak.”“Kerjaan, ya?” gumam Damar pelan. “Atau… liburan sama pacar kamu itu?”Tatapan Bara langsung berubah tajam. “Mas Damar ngomong apa, sih?”“Aku tau, kamu masih main belakang sama perempuan itu.”Nada Damar meninggi, menahan amarah yang sudah lama mengendap.Bara menghela napas kasar. “Aku juga butuh waktu buat diri sendiri! Aku capek, Mas!”“Waktu buat diri sendiri?” Damar mendekat, tatapannya tajam menusuk. “Kamu punya istri di rumah, punya anak kecil yang masih butuh kamu. Risa nggak pernah minta apa-apa, tapi bukan berarti kamu boleh kabur seenaknya!”“Kamu gak tau anak kamu rewel dan istri kamu sakit? Pergi gitu aj
Semalaman, entah mengapa tidurnya terasa tenang.Tak ada tangisan Sara yang biasanya membangunkannya untuk menyusu—rasanya damai, anehnya.Pagi itu, Risa mengganti popok Sara sambil menahan nyeri di dadanya. Payudaranya menegang– sudah beberapa hari seperti itu. Dulu ASI-nya tak keluar sama sekali, dan sekarang justru mulai menegang dan kencang saat Sara sudah terbiasa pada susu formula.Terlambat. Seperti dirinya yang selalu datang terlambat dalam segalanya.“Risa!”Suara Bara memecah pagi.Risa menoleh, lalu menunduk cepat-cepat. “Ngapain aja semaleman? Rumah berantakan, cucian numpuk, makanan nggak ada! Hari libur gini, aku pengen santai, bukan ngeliat kapal pecah kayak gini!”BRAK!Pintu terguncang. Sara nyaris menangis. Risa refleks memeluknya, tubuhnya ikut bergetar.“Mas … aku semaleman jagain Sara, dia rewel terus. Aku belum sempat—”“Alasan terus!”Bentakan itu menampar telinganya.Dari kamar, Damar mendengar semua. Suaranya datar saat akhirnya keluar, tapi dingin.“Cukup, B
“Risa! Urusin anak kamu itu! Berisik banget!”Hentakkan itu membuat Risa mendongak. Pasalnya, dari pagi ia menahan sakit di tubuhnya. “Tapi Sara nangis terus dari tadi, Mas. Badanku masih lemes banget ...,” lanjut Risa sembari mengayun tubuh Sara penuh kelembutan. Sebulir keringat mulai bercucuran menandakan bagaimana rasa lelah yang ia derita.“Kamu baru segitu aja ngeluh. Gimana aku yang baru pulang kerja! Aku tuh capek! Urus anak kamu yang berisik banget!”Pelipisnya makin basah oleh keringat, satu tangan menimang Sara yang terus menangis tanpa jeda. Matanya sayu, wajahnya pucat, tubuhnya menggigil di bawah lampu redup yang nyaris padam.Risa menahan napas, menatap bayinya yang menangis di pelukannya.“Aku cuma minta tolong bikinin susu, Mas,” bisiknya.“Ya udah, gendong aja. Ntar juga diem sendiri,”Suara Bara membelah kamar sempit itu seperti cambuk. Jemarinya sibuk menggulir ponsel, seakan dunia Risa dan anak mereka hanya suara latar yang mengganggu.Risa menatap suaminya lama







