Se connecter“Cel, kenalin, ini Papa aku.” Nada ceria Kayra mengalir ringan, tanpa beban sedikit pun.
Namun bagi Celine, kalimat itu bagai petir yang menyambar di siang bolong. “Apa?!” serunya refleks, suaranya bergetar. “Papa kamu?” Pandangan Celine membeku. Sosok pria di depannya berdiri tegap dengan aura yang begitu akrab di ingatannya. Wajahnya tampan dan berwibawa, sorot matanya tajam, serta ketenangan yang nyaris mustahil dilupakan. Pria itu—pria yang seminggu lalu menghabiskan malam bersamanya di kamar hotel. Pria yang ia kira seorang gigolo, pesanan bodohnya di tengah mabuk dan patah hati. Kini, pria yang sama berdiri di hadapannya, berbalut kemeja elegan… dan dipanggil dengan sebutan “Papa” oleh sahabatnya, membuat otaknya langsung blank total. Jantung Celine berdebar semakin keras, seolah menghantam rusuknya berkali-kali. Darahnya seakan berhenti mengalir, berganti hawa panas yang menjalar dari leher hingga ujung jari. ‘Mampus aku… ini mimpi, kan? Tolong bilang ini cuma mimpi,’ batinnya kacau, panik. Tatapannya melirik Kayra yang tersenyum cerah, sama sekali tak sadar badai tengah mengamuk di dada sahabatnya. Sementara pria itu—yang kini ia ketahui berstatus ayah sahabatnya—menatapnya balik dengan tatapan tenang. Terlalu tenang, sampai rasanya seperti menelanjangi pikirannya tanpa menyentuh. ‘Ya Tuhan… kenapa harus dia? Kenapa harus Papanya Kayra?!’ Tubuh Celine kaku. Bibirnya berusaha tersenyum sopan, tapi yang keluar hanya gumaman tak jelas. Sumpah, Celine ingin lenyap dari muka bumi saat itu juga. Menelan ludah pelan, ia mencoba menata napas, tapi tatapan pria itu sama sekali tak memberinya ruang. Tajam, tenang, dan mendalam—tatapan yang membawa kuasa tanpa perlu suara. ‘Kira-kira dia ingat aku nggak, ya? Aish… semoga aja enggak!’ batinnya sekali lagi, semakin panik. Pria itu masih menatapnya, datar tapi menusuk. Sudut bibirnya terangkat samar, seolah berkata tanpa suara. ‘Aku tahu siapa kamu.’ “Jadi… namamu Celine,” ucap pria itu pelan. Suaranya berat dan berwibawa—tak keras, tapi penuh tekanan yang menggetarkan dada. Ia mengulurkan tangan santai, tetap dengan wibawa seorang pria yang tahu betul siapa dirinya. “O-Om…” suara Celine tercekat. Pria itu hanya menaikkan satu alis, sudut bibirnya terangkat tipis. “Panggil aja Om Dean,” ujarnya datar. Nama itu menancap kuat di telinga Celine. Aldean Devantara. Pria yang seminggu lalu membuatnya kehilangan kendali di kamar hotel—dan kini memegang rahasia tergila dalam hidupnya. “O-Om Dean... iya, aku Celine,” katanya gugup, menyambut uluran itu dengan tangan gemetar. Kulit mereka bersentuhan. Sekilas saja, tapi cukup untuk meledakkan seluruh kenangan malam itu yang berusaha ia kubur dalam-dalam. ‘Kenapa dia bisa setenang itu? Apa dia beneran nggak ingat? Atau cuma pura-pura?’ pikir Celine panik. Aldean memang terlihat santai, nyaris tak memperlihatkan emosi. Namun di balik ketenangan itu, pikirannya bergolak hebat. Rasa tidak percaya dan sesal menyeruak, tapi ia menahannya rapat-rapat, terutama di hadapan putrinya. Ia tak ingin rahasia malam itu sampai terungkap, bukan hanya demi menjaga citranya di mata Kayra, tapi juga untuk melindungi harga diri Celine di hadapan sahabatnya. Bayangan malam itu kembali menghantui pikirannya—samar, tapi menusuk hati. Aroma parfum manis, tatapan berani, dan hangat kulit seorang gadis yang seharusnya tak pernah ia sentuh. Satu malam. Satu kesalahan yang tak bisa dihapus. Jemarinya mengepal erat di sisi tubuh, menahan beban yang terus menekan dadanya. Takdir benar-benar mempermainkannya, karena gadis itu—gadis yang membuatnya terjerumus ke dalam kesalahan paling gila dalam hidupnya—ternyata adalah sahabat baik putrinya sendiri. Ia menarik napas panjang, tapi tetap saja dadanya terasa sesak. Seharusnya ia menolak malam itu, tapi entah kenapa ia tak mampu. Dan bahkan kini, setiap detailnya masih menempel jelas di kepalanya. Untuk pertama kalinya, Aldean sadar… ada kesalahan yang bahkan waktu pun tak mampu menghapus, dan ia tak tahu harus bagaimana untuk memperbaikinya. “Pa… Papa…” Suara lembut itu membuat Aldean tersentak dari lamunannya. Ia menoleh cepat. Kayra berdiri di sampingnya, menatap dengan dahi berkerut. “Papa, kok ngelamun? Dari tadi aku panggil gak nyaut. Ada apa, Pa?” Aldean berdeham pelan, berusaha menyembunyikan gejolak yang belum sepenuhnya reda. Ia tersenyum tipis, matanya sekilas melirik ke arah Celine—dan di saat yang bersamaan, Celine juga menatapnya. Tatapan itu hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat dada keduanya sama-sama mengencang. “Papa cuma… sedikit capek aja, Nak,” jawab Aldean datar. Kayra menatapnya, seolah belum puas dengan jawaban itu. “Capeknya gara-gara kerjaan, atau gara-gara sesuatu yang lain?” tanyanya polos, tapi kalimat itu cukup membuat jantung Celine nyaris berhenti. Suasana seketika hening. Aldean menatap putrinya sambil menahan senyum, lalu menepuk kepalanya lembut. “Papa nggak kenapa-kenapa,” katanya pelan. “Udah jangan dibahas lagi. Papa beneran cuma kecapean aja, kok.” Kayra mendengus kecil, tapi akhirnya mengangguk. Di sisi lain, Celine tetap diam, menunduk, pura-pura sibuk dengan jemarinya padahal jantungnya berdetak sekeras itu. Dan di tengah keheningan, Aldean sadar—waktu boleh terus berjalan, tapi rasa bersalah itu tidak. Ia tetap terperangkap di detik ketika semuanya seharusnya tidak terjadi. *****Celine berdiri diam di tempat. Pipinya masih panas, bekas tamparan ibu tirinya terasa perih hingga menjalar ke dadanya. Pandangannya buram oleh air mata yang akhirnya tak sanggup lagi ia tahan. Begitu langkah ayahnya menghilang di balik koridor, keheningan itu berubah menjadi lebih dingin, lebih kejam, dan semakin menyesakkan dada. “Lihat tuh,” suara Maya terdengar lagi, penuh kepuasan. “Gadis sepertimu memang pantas diperlakukan begitu. Kalau kamu nggak terus bikin masalah, aku nggak bakal begini sama kamu.” Celine menunduk, bahunya gemetar. “Aku... nggak maksud bikin masalah, Ma—” “Berhenti panggil aku Mama!” potong Maya cepat, suaranya setajam pisau “Kamu bukan anakku. Dan aku nggak pernah anggap kamu bagian dari keluarga ini.” Kata-kata itu menghantam lebih keras dari tamparan barusan. Celine memejamkan mata, menahan air mata yang makin deras mengalir. Sementara itu, Sasha melangkah mendekat, pura-pura lembut menyentuh bahu ibunya. “Sudahlah, Ma… jangan terlalu keras.” Lalu
Aldean hanya menggeleng pelan, memalingkan wajah sejenak sambil berusaha menekan napas berat yang nyaris lolos dari dada. Bukan karena marah, tapi karena ia tahu… kalau ia menuruti emosinya sekarang, semuanya bisa jadi lebih rumit. “Jangan berlebihan,” ucapnya akhirnya, datar tapi tegas. Di sisi lain, Celine mendengus pelan, semakin kesal. Aldean berdiri dan berjalan santai ke arah lemari dapur. Ia mengambil gelas, menuang air dari dispenser, lalu kembali ke meja pantry. Berdiri di samping Celine, ia meneguk air perlahan. Gerakannya tenang, kontras dengan suasana hati Celine yang masih gelisah di kursinya. Celine melirik pria itu diam-diam. Entah kenapa, setiap Aldean bersikap tenang seperti itu… justru membuat dadanya makin tak tenang. Keheningan itu menggantung. Cahaya lampu dapur yang redup memantul lembut di wajah Aldean, menambah aura tenangnya yang sulit dijelaskan. “Om…” panggil Celine akhirnya, pelan. “Hm?” Aldean menoleh setengah, alisnya terangkat ringan. “Aku mau mi
Aldean menghela napas dalam, mencoba menghapus bayangan malam itu dari pikirannya. Tapi semakin ia berusaha melupakannya, semakin pikirannya terjebak. Karena kini, gadis yang pernah berbagi malam panas bersamanya, tengah berdiri di hadapannya, menunduk kikuk dengan senyum gugup. Kayra tertawa kecil di samping ayahnya, sama sekali tak menyadari betapa tegangnya suasana antara ayah dan sahabatnya. Sementara Celine hanya bisa tersenyum kaku, menunduk, berharap lantai di bawahnya terbuka dan menelannya hidup-hidup. “Papa, ayo makan malam sekarang!” seru Kayra riang, memecah suasana yang sejak tadi menegang. “Aku udah minta Mbok Sumi masakin menu favorit Papa, loh.” Tanpa menunggu jawaban, Kayra langsung menggandeng tangan Celine dan menariknya dengan semangat. “Ayo, Cel!” katanya ceria. Celine hanya mampu mengangguk pelan, setengah napasnya seolah tertinggal di ruang itu. Aldean menatap keduanya sebentar, lalu ikut melangkah. “Baiklah. Ayo kita makan.” Nada suaranya datar, tapi ba
“Cel, kenalin, ini Papa aku.” Nada ceria Kayra mengalir ringan, tanpa beban sedikit pun. Namun bagi Celine, kalimat itu bagai petir yang menyambar di siang bolong. “Apa?!” serunya refleks, suaranya bergetar. “Papa kamu?” Pandangan Celine membeku. Sosok pria di depannya berdiri tegap dengan aura yang begitu akrab di ingatannya. Wajahnya tampan dan berwibawa, sorot matanya tajam, serta ketenangan yang nyaris mustahil dilupakan. Pria itu—pria yang seminggu lalu menghabiskan malam bersamanya di kamar hotel. Pria yang ia kira seorang gigolo, pesanan bodohnya di tengah mabuk dan patah hati. Kini, pria yang sama berdiri di hadapannya, berbalut kemeja elegan… dan dipanggil dengan sebutan “Papa” oleh sahabatnya, membuat otaknya langsung blank total. Jantung Celine berdebar semakin keras, seolah menghantam rusuknya berkali-kali. Darahnya seakan berhenti mengalir, berganti hawa panas yang menjalar dari leher hingga ujung jari. ‘Mampus aku… ini mimpi, kan? Tolong bilang ini cuma mimpi,’ b
“Engh… ah… pelan-pelan.” Suara lirih gadis itu pecah di antara helaan napas dan desis seprai yang berkeresek. Lampu temaram memantulkan bayangan dua tubuh yang saling menyesap panas malam. Pria di atasnya menatap lekat wajah polos yang menahan malu dan rasa asing. Keringat menetes di pelipis, tapi gerakannya tetap terukur, lembut, seolah tengah membaca setiap reaksi tubuh gadis itu. “Aku terlalu kasar?” suaranya serak, bergetar di antara detak jantung mereka. Gadis itu hanya menggeleng, matanya terpejam rapat. Nyeri samar yang tadi terasa kini berubah menjadi sensasi aneh yang mengaduk perasaannya—antara takut, bingung, dan candu yang tak bisa ia pahami. Hening sejenak. Lalu pria itu tersenyum kecil. “Kau berbeda,” bisiknya di telinga. “Tidak seperti yang kubayangkan.” Gadis itu menatap balik, jantungnya berdebar tanpa alasan. Ada yang salah. Pria itu bukan sekadar gigolo—dan itu justru yang membuatnya takut. . . “Ah… sepertinya aku sudah gila…” Celine menatap jemarinya yan







