Se connecterAldean menghela napas dalam, mencoba menghapus bayangan malam itu dari pikirannya. Tapi semakin ia berusaha melupakannya, semakin pikirannya terjebak. Karena kini, gadis yang pernah berbagi malam panas bersamanya, tengah berdiri di hadapannya, menunduk kikuk dengan senyum gugup.
Kayra tertawa kecil di samping ayahnya, sama sekali tak menyadari betapa tegangnya suasana antara ayah dan sahabatnya. Sementara Celine hanya bisa tersenyum kaku, menunduk, berharap lantai di bawahnya terbuka dan menelannya hidup-hidup. “Papa, ayo makan malam sekarang!” seru Kayra riang, memecah suasana yang sejak tadi menegang. “Aku udah minta Mbok Sumi masakin menu favorit Papa, loh.” Tanpa menunggu jawaban, Kayra langsung menggandeng tangan Celine dan menariknya dengan semangat. “Ayo, Cel!” katanya ceria. Celine hanya mampu mengangguk pelan, setengah napasnya seolah tertinggal di ruang itu. Aldean menatap keduanya sebentar, lalu ikut melangkah. “Baiklah. Ayo kita makan.” Nada suaranya datar, tapi bagi Celine… setiap kata terdengar berat, menusuk dada. Ruang makan tampak megah di bawah cahaya lampu gantung kristal. Meja panjang sudah tertata rapi. Kayra duduk di sisi kanan ayahnya, sementara Celine... sialnya, harus duduk tepat di seberang Aldean. Posisi yang membuatnya tak bisa menghindar. Udara di ruangan terasa lebih berat dari biasanya. Aldean duduk tenang di kursinya. Sekilas, ia melirik ke arah Celine. Hanya sepersekian detik, tapi cukup membuat gadis itu menegakkan punggung dan berpura-pura sibuk dengan sendoknya. Percakapan ringan mengalir antara Kayra dan ayahnya. Tentang perjalanan bisnis, perusahaan, hingga kabar kampus. Tapi bagi Celine, setiap detik di meja itu terasa seperti duduk di kursi panas. Hening sejenak, lalu Kayra menatap Celine dengan tatapan berbinar. “Oh iya, Cel! Nginep di sini aja malam ini, ya?” Celine spontan menoleh, hampir tersedak air minumnya. “Hah? Nggak usah deh, Kay. Aku harus pulang. Papa-Mama pasti nyariin aku.” “Ah, paling juga enggak, kayak biasanya,” sanggah Kayra cepat. “Kita udah lama nggak nginep bareng. Aku pengen cerita banyak banget malam ini!” Celine tersenyum kikuk, mencoba menolak halus. “Lain kali, ya. Aku takut ganggu Om Dean juga.” Namun Kayra malah menatap ayahnya dengan ekspresi manja. “Papa nggak keberatan, kan, Pa?” Aldean yang sejak tadi diam, perlahan menatap Celine. Tatapannya tenang, tapi ada sesuatu di balik nada suaranya saat menjawab, “Nggak apa-apa. Rumah ini cukup besar untuk satu tamu tambahan.” Celine membeku sejenak. Ia tahu itu cuma jawaban sopan, tapi entah kenapa, suaranya terdengar terlalu dalam. “Ya kan? Papa aja setuju!” Kayra menepuk tangan sahabatnya. “Udah, Cel, nggak boleh nolak. Aku udah kangen banget curhat bareng kamu!” Celine mencoba bertahan dengan alasan terakhir. “Tapi aku nggak bawa baju ganti—” “Tenang aja! Aku masih punya piyama baru yang belum kupakai.” Kayra tersenyum lebar. “Sekarang nggak ada alasan lagi buat nolak!” Celine akhirnya tertawa kecil, antara malu dan pasrah. “Ya udah deh... cuma malam ini aja, ya.” “Yeees!” Kayra bersorak senang. “Kita bakal begadang kayak dulu lagi!” Aldean hanya menatap mereka dari seberang meja, diam. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi matanya… tetap memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan. Campuran antara penyesalan, penasaran, dan sesuatu yang belum selesai. Celine menangkap tatapan itu sekilas sebelum buru-buru menunduk, pura-pura sibuk dengan makanan di piringnya. Namun debar di dadanya tak bisa ia hentikan. Dan di tengah tawa riang Kayra, hanya mereka berdua yang tahu, malam ini akan menjadi malam panjang yang tak mudah dilalui. . . Dini hari, Celine terbangun dengan tenggorokan kering. Gelas di meja kamar sudah kosong sejak tadi. Dengan langkah hati-hati agar tak membangunkan Kayra, ia bangkit dari tempat tidur dan keluar kamar. Begitu sampai di dapur, ia membuka kulkas, mengambil air dingin, lalu melirik ke arah lemari dapur. Pandangannya naik ke rak paling atas, dan ia menghela napas kecil. “Serius, siapa sih yang naro gelas setinggi itu?” keluhnya pelan. Ia berjinjit, berusaha meraih gelas itu. Ujung jarinya nyaris menyentuh dasar gelas, tapi tetap tak terjangkau. Saat ia hendak mencoba lagi, sebuah tangan tiba-tiba terulur dari belakangnya. Gelas itu diambil dengan mudah. Suara berat yang amat dikenalnya terdengar dekat, terlalu dekat. “Ini yang kamu cari?” Deg. Celine menegang. Tubuhnya langsung membeku saat mendengar suara itu terlalu dekat di telinganya. Ia menoleh perlahan. “O-Om Dean…” suaranya serak. Aldean berdiri hanya sejengkal di belakangnya, mengenakan kaus hitam polos dan celana panjang santai. “Maaf,” katanya datar, menyerahkan gelas itu. “Aku nggak bermaksud bikin kaget. Aku lihat kamu kesulitan tadi.” “Oh… i-iya. M-makasih, Om.” Celine menerima gelas itu dengan kedua tangan yang sedikit gemetar. Ia buru-buru menuang air, lalu meneguknya dengan cepat, berusaha menutupi kegugupan yang semakin menjadi-jadi. Setelah itu, ia menunduk sopan. “Aku… balik ke kamar dulu ya, Om,” ucapnya cepat, berusaha kabur dari situasi aneh itu. Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara Aldean lagi. “Bisa kita bicara sebentar?” tanya Aldean dengan nada tenang, tapi cukup untuk membuat langkah Celine terhenti. Gadis itu terdiam, menatap lantai, dadanya berdebar dua kali lebih cepat. Celine ingin bilang tidak. Tapi ada sesuatu dalam cara pria itu memandangnya—tenang, tapi penuh kendali, membuatnya tak bisa menolak. “...Sebentar aja,” tambah Aldean, kali ini lebih lembut, hampir seperti bujukan. Celine menelan ludah, lalu mengangguk pelan. Aldean menarik kursi tinggi di depan pantry, duduk tenang sambil menatap gadis itu yang masih berdiri kaku. “Duduklah,” ujarnya singkat. Celine menurut, duduk di seberang. Tangannya memainkan ujung baju tidur, matanya tak berani menatap. Keheningan menggantung sesaat. Aldean bersandar, tatapannya lurus menembus diam di antara mereka. “Cel, wanita malam itu... kamu, kan?” Celine langsung terpaku. Napasnya tertahan, wajahnya memanas. “A-aku…” suaranya patah, tak ada kata keluar. Tatapan Aldean tak berubah, tetap tajam tapi tidak menghakimi. Ia hanya menunggu. Akhirnya Celine menunduk, suaranya nyaris tak terdengar. “Om… aku nggak tahu harus bilang apa.” “Kenapa kamu lakukan itu?” suaranya berat, dalam, seperti seorang ayah yang sedang menegur anaknya. “Aku… waktu itu lagi kacau.” Celine berusaha berbicara, tapi suaranya bergetar. “Pacarku selingkuh. Aku marah, aku sakit hati, dan aku cuma pengen ngebuktiin kalau aku bisa tanpa dia.” Aldean mendengus kecil. “Dan caranya dengan menyewa gigolo?” Celine menegakkan kepala cepat, wajahnya merah padam. “Aku nggak mikir panjang waktu itu! Aku cuma pengen... lari dari semuanya.” “Lari?” Aldean semakin menatap tajam. “Yang kamu lakukan bukan lari, Cel. Itu nyemplung ke jurang. Kamu bahkan nggak tahu siapa laki-laki yang kamu ajak malam itu. Bisa aja kamu disakiti. Atau nggak pulang dalam keadaan selamat.” Celine menunduk kembali, kedua tangannya menggenggam erat. “Aku tau aku salah, Om…” “Bagus kalau tahu,” sahut Aldean cepat, suaranya tajam tapi tenang. “Tapi tahu aja nggak cukup. Kalau kamu masih berpikir harga dirimu bisa ditebus pakai hal kayak gitu, kamu belum belajar apa pun.” Celine menggigit bibir. Kata-kata itu menamparnya keras. Tapi di sisi lain, ada sesuatu di dalam dadanya yang justru bergetar aneh mendengar nada tegas pria itu. Setelah jeda panjang, ia akhirnya berani mengangkat kepala. “Tapi… malam itu Om juga nggak nolak aku, kan?” ucapnya pelan, penuh tantangan. Aldean menatapnya datar kali ini. “Benar,” katanya tenang. “Aku nggak nolak. Tapi jangan salah artikan, Cel. Aku laki-laki normal. Dan laki-laki normal mana yang bisa nolak saat ada wanita cantik datang, menggoda, dan menawarkan dirinya sendiri?” Celine terdiam. Ada bagian dari dirinya yang ingin marah dan membantah, tapi di sisi lain hatinya terasa aneh, seperti tersindir sekaligus malu oleh kejujuran pria itu. Hening beberapa detik, hingga tiba-tiba— Tak! Sebuah jitakan mendarat di dahinya. “Aww! Sakit, Om!” Celine refleks mengusap keningnya, bibirnya cemberut. “Kenapa sih jitak aku?” “Biar otakmu nyambung lagi. Dan balik waras,” sahut Aldean cepat dan tegas. Celine melotot, menatap pria itu kesal. “Ish... Papanya Kayra nyebelin banget sih!” *****Celine berdiri diam di tempat. Pipinya masih panas, bekas tamparan ibu tirinya terasa perih hingga menjalar ke dadanya. Pandangannya buram oleh air mata yang akhirnya tak sanggup lagi ia tahan. Begitu langkah ayahnya menghilang di balik koridor, keheningan itu berubah menjadi lebih dingin, lebih kejam, dan semakin menyesakkan dada. “Lihat tuh,” suara Maya terdengar lagi, penuh kepuasan. “Gadis sepertimu memang pantas diperlakukan begitu. Kalau kamu nggak terus bikin masalah, aku nggak bakal begini sama kamu.” Celine menunduk, bahunya gemetar. “Aku... nggak maksud bikin masalah, Ma—” “Berhenti panggil aku Mama!” potong Maya cepat, suaranya setajam pisau “Kamu bukan anakku. Dan aku nggak pernah anggap kamu bagian dari keluarga ini.” Kata-kata itu menghantam lebih keras dari tamparan barusan. Celine memejamkan mata, menahan air mata yang makin deras mengalir. Sementara itu, Sasha melangkah mendekat, pura-pura lembut menyentuh bahu ibunya. “Sudahlah, Ma… jangan terlalu keras.” Lalu
Aldean hanya menggeleng pelan, memalingkan wajah sejenak sambil berusaha menekan napas berat yang nyaris lolos dari dada. Bukan karena marah, tapi karena ia tahu… kalau ia menuruti emosinya sekarang, semuanya bisa jadi lebih rumit. “Jangan berlebihan,” ucapnya akhirnya, datar tapi tegas. Di sisi lain, Celine mendengus pelan, semakin kesal. Aldean berdiri dan berjalan santai ke arah lemari dapur. Ia mengambil gelas, menuang air dari dispenser, lalu kembali ke meja pantry. Berdiri di samping Celine, ia meneguk air perlahan. Gerakannya tenang, kontras dengan suasana hati Celine yang masih gelisah di kursinya. Celine melirik pria itu diam-diam. Entah kenapa, setiap Aldean bersikap tenang seperti itu… justru membuat dadanya makin tak tenang. Keheningan itu menggantung. Cahaya lampu dapur yang redup memantul lembut di wajah Aldean, menambah aura tenangnya yang sulit dijelaskan. “Om…” panggil Celine akhirnya, pelan. “Hm?” Aldean menoleh setengah, alisnya terangkat ringan. “Aku mau mi
Aldean menghela napas dalam, mencoba menghapus bayangan malam itu dari pikirannya. Tapi semakin ia berusaha melupakannya, semakin pikirannya terjebak. Karena kini, gadis yang pernah berbagi malam panas bersamanya, tengah berdiri di hadapannya, menunduk kikuk dengan senyum gugup. Kayra tertawa kecil di samping ayahnya, sama sekali tak menyadari betapa tegangnya suasana antara ayah dan sahabatnya. Sementara Celine hanya bisa tersenyum kaku, menunduk, berharap lantai di bawahnya terbuka dan menelannya hidup-hidup. “Papa, ayo makan malam sekarang!” seru Kayra riang, memecah suasana yang sejak tadi menegang. “Aku udah minta Mbok Sumi masakin menu favorit Papa, loh.” Tanpa menunggu jawaban, Kayra langsung menggandeng tangan Celine dan menariknya dengan semangat. “Ayo, Cel!” katanya ceria. Celine hanya mampu mengangguk pelan, setengah napasnya seolah tertinggal di ruang itu. Aldean menatap keduanya sebentar, lalu ikut melangkah. “Baiklah. Ayo kita makan.” Nada suaranya datar, tapi ba
“Cel, kenalin, ini Papa aku.” Nada ceria Kayra mengalir ringan, tanpa beban sedikit pun. Namun bagi Celine, kalimat itu bagai petir yang menyambar di siang bolong. “Apa?!” serunya refleks, suaranya bergetar. “Papa kamu?” Pandangan Celine membeku. Sosok pria di depannya berdiri tegap dengan aura yang begitu akrab di ingatannya. Wajahnya tampan dan berwibawa, sorot matanya tajam, serta ketenangan yang nyaris mustahil dilupakan. Pria itu—pria yang seminggu lalu menghabiskan malam bersamanya di kamar hotel. Pria yang ia kira seorang gigolo, pesanan bodohnya di tengah mabuk dan patah hati. Kini, pria yang sama berdiri di hadapannya, berbalut kemeja elegan… dan dipanggil dengan sebutan “Papa” oleh sahabatnya, membuat otaknya langsung blank total. Jantung Celine berdebar semakin keras, seolah menghantam rusuknya berkali-kali. Darahnya seakan berhenti mengalir, berganti hawa panas yang menjalar dari leher hingga ujung jari. ‘Mampus aku… ini mimpi, kan? Tolong bilang ini cuma mimpi,’ b
“Engh… ah… pelan-pelan.” Suara lirih gadis itu pecah di antara helaan napas dan desis seprai yang berkeresek. Lampu temaram memantulkan bayangan dua tubuh yang saling menyesap panas malam. Pria di atasnya menatap lekat wajah polos yang menahan malu dan rasa asing. Keringat menetes di pelipis, tapi gerakannya tetap terukur, lembut, seolah tengah membaca setiap reaksi tubuh gadis itu. “Aku terlalu kasar?” suaranya serak, bergetar di antara detak jantung mereka. Gadis itu hanya menggeleng, matanya terpejam rapat. Nyeri samar yang tadi terasa kini berubah menjadi sensasi aneh yang mengaduk perasaannya—antara takut, bingung, dan candu yang tak bisa ia pahami. Hening sejenak. Lalu pria itu tersenyum kecil. “Kau berbeda,” bisiknya di telinga. “Tidak seperti yang kubayangkan.” Gadis itu menatap balik, jantungnya berdebar tanpa alasan. Ada yang salah. Pria itu bukan sekadar gigolo—dan itu justru yang membuatnya takut. . . “Ah… sepertinya aku sudah gila…” Celine menatap jemarinya yan







