Accueil / Romansa / Ah! Sentuh Aku Lagi, Om / Malam Panas di Kamar Hotel

Share

Ah! Sentuh Aku Lagi, Om
Ah! Sentuh Aku Lagi, Om
Auteur: Wisha Berliani

Malam Panas di Kamar Hotel

last update Dernière mise à jour: 2025-11-04 14:51:01

“Engh… ah… pelan-pelan.”

Suara lirih gadis itu pecah di antara helaan napas dan desis seprai yang berkeresek. Lampu temaram memantulkan bayangan dua tubuh yang saling menyesap panas malam.

Pria di atasnya menatap lekat wajah polos yang menahan malu dan rasa asing. Keringat menetes di pelipis, tapi gerakannya tetap terukur, lembut, seolah tengah membaca setiap reaksi tubuh gadis itu.

“Aku terlalu kasar?” suaranya serak, bergetar di antara detak jantung mereka.

Gadis itu hanya menggeleng, matanya terpejam rapat. Nyeri samar yang tadi terasa kini berubah menjadi sensasi aneh yang mengaduk perasaannya—antara takut, bingung, dan candu yang tak bisa ia pahami.

Hening sejenak. Lalu pria itu tersenyum kecil.

“Kau berbeda,” bisiknya di telinga. “Tidak seperti yang kubayangkan.”

Gadis itu menatap balik, jantungnya berdebar tanpa alasan. Ada yang salah. Pria itu bukan sekadar gigolo—dan itu justru yang membuatnya takut.

.

.

“Ah… sepertinya aku sudah gila…”

Celine menatap jemarinya yang masih menggenggam erat setir mobil.

Sudah seminggu berlalu sejak malam itu—malam ketika ia kehilangan kendali dan tanpa pikir panjang menyewa seorang gigolo. Semua bermula dari amarah dan sakit hati setelah memergoki pacarnya mencium wanita lain.

Dan malam ulang tahun sahabatnya yang seharusnya penuh tawa justru berubah jadi titik paling kacau dalam hidupnya. Bukannya pulang dengan senyum, ia malah menghabiskan malam itu dengan pria asing yang kini terus muncul di pikirannya.

Bayangan malam itu datang kembali tanpa diundang... malam panas penuh gairah yang seharusnya tak pernah terjadi. Suara desahan, napas berat yang saling berdekatan, dan sentuhan hangat itu terus menghantuinya selama seminggu terakhir.

“Kenapa sih aku masih mikirin malam itu…” gumamnya lirih, nyaris mengutuk diri sendiri.

Ia menghembuskan napas berat, menegakkan tubuh, berusaha mengusir bayangan itu, tapi yang datang justru bayangan lain. Wajah tampan dengan rahang tegas, suara rendah yang tenang, dan sorot mata teduh pria itu. Sosok yang sama sekali tak pantas disematkan label "cowok bayaran." Jauh dari kesan gigolo. Pria itu terlalu tenang, terlalu berkelas.

“Sial…” desisnya lagi, semakin kesal.

Seolah semesta belum puas mempermainkannya, layar ponselnya tiba-tiba bergetar di dashboard.

Sebuah notifikasi pesan masuk dari seseorang. Celine mengerutkan kening, membuka pesan itu dengan malas.

Velvet Dating App: [Cantik... kamu serius ninggalin aku gitu aja minggu lalu? Aku udah nungguin kamu sampe pagi, tahu nggak? Please next time jangan PHP kayak gitu.]

Mata Celine membulat. Tangannya refleks mencengkeram ponsel kuat-kuat.

“PHP!” ulangnya tak percaya. “Loh PHP apaan? Aku sama dia bahkan udah—”

Ia buru-buru menutup mulutnya sendiri. Napasnya tercekat, amarah dan rasa bingung bertabrakan di dadanya.

Hatinya berdegup cepat. ‘Berarti... pria malam itu bukan gigolo yang sebenarnya?’ pikirnya, panik.

Ia menelan ludah, memejamkan mata sejenak.

“Aku bener-bener gila waktu itu…” bisiknya getir. “Kalau cowok malam itu bukan dia, lalu siapa?”

Keheningan memenuhi kabin mobil. Hanya suara dentuman pelan dari jantungnya yang kacau.

Drrt... Drrt.

Ponsel Celine kembali bergetar, membuat pikirannya yang masih penuh dengan bayangan pria itu buyar seketika. Dengan cepat ia menatap ponsel di tangannya, nama sahabatnya muncul di layar.

Kayra Devantara.

Celine menarik napas pelan sebelum menekan tombol hijau.

“Ya, Kay?” suaranya lembut, meski masih tersisa nada lelah di ujungnya.

“Cel! Kamu di mana sih?” suara riang Kayra langsung terdengar dari seberang. “Aku sama Papa udah nungguin kamu di rumah! Kita kan udah janjian makan malam buat nyambut Papaku yang baru pulang dari luar negeri. Jangan bilang kamu lupa?”

Celine menegakkan tubuh, berusaha terdengar tenang. “Nggak kok. Aku nggak lupa. Ini aku udah mau jalan.”

“Yaudah, buruan, ya!” Suara Kayra terdengar makin antusias.

“Iya. Aku ke sana sekarang.”

“Oke! Aku tunggu. Jangan lama-lama!”

Klik.

Begitu sambungan terputus, keheningan kembali menyelimuti kabin mobil.

Celine menatap layar ponselnya beberapa detik sebelum menaruhnya kembali di dashboard. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.

Sudah cukup. Kesalahan malam itu, tepatnya satu minggu lalu, seharusnya terkubur bersama semua kebodohannya.

“Lupakan, Cel…” gumamnya lirih, menepuk pipinya pelan. “Fokus aja ke acara Papanya Kayra.”

Ia menyalakan mobil. Suara deru mesin mengisi kabin yang sejak tadi sunyi. Kedua tangannya menggenggam setir, tapi pikirannya masih sempat melayang pada wajah pria itu, yang entah kenapa sulit ia singkirkan dari kepala.

Ia menggeleng keras, mencoba menepis bayangan itu.

“Udah, Cel… jangan bego lagi,” bisiknya, setengah menegur diri sendiri. “Itu cuma kesalahan. Titik.”

Pelan-pelan, ia menekan pedal gas, meninggalkan halaman rumah.

Untuk sekarang, Celine memilih menepis semua kegilaan itu dan memaksa dirinya fokus pada acara malam ini.

Beberapa saat kemudian, Celine tiba di rumah Kayra. Mobilnya berhenti tepat di depan halaman luas yang diterangi lampu taman berwarna hangat. Ia menarik napas pelan, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah keluar.

Tok. Tok.

Ketukan ringan dari tangannya terdengar di pintu besar rumah mewah itu. Tak butuh waktu lama, pintu terbuka. Kayra muncul dengan senyum lebarnya yang khas.

“Cel! Akhirnya kamu datang juga. Ayo masuk!” serunya ceria, langsung menarik tangan Celine dan membawanya masuk ke ruang tengah yang elegan namun terasa akrab.

“Aduh, maaf ya telat,” ucap Celine canggung sambil melepas tas kecil dari pundaknya.

“Nggak apa-apa, kok!” sahut Kayra ringan. “Kamu duduk dulu aja ya, aku panggil Papa. Beliau masih di kamarnya.”

Celine mengangguk, mengedarkan pandang ke sekeliling ruang keluarga yang sudah tak asing lagi baginya.

Baru saja Kayra berbalik hendak naik ke lantai dua, langkahnya terhenti ketika terdengar suara langkah kaki menuruni tangga.

Langkah berat itu terdengar mantap, dari arah atas seorang pria turun perlahan. Kemeja putihnya tergulung di lengan, kancing atas terbuka memperlihatkan sedikit lehernya. Rambut hitam legamnya agak berantakan, wajahnya teduh namun penuh wibawa. Aura tenang dan dominan yang terpancar darinya sulit dijelaskan... justru karena itu, pandangan sulit lepas darinya.

“Papa!” seru Kayra spontan. “Ternyata Papa udah turun. Nih, kenalin… Celine, sahabat aku di kampus.”

Celine otomatis ikut menoleh. Pandangannya jatuh pada sosok pria yang sedang menunduk, sibuk merapikan lipatan lengan kemejanya. Rambut depannya sedikit menutupi wajahnya, sehingga membuatnya belum terlihat jelas.

Hingga akhirnya... pria itu mengangkat kepala. Dan dalam sekejap saja.

Deg.

Dunia Celine seolah berhenti berputar. Jantungnya seakan kehilangan detak. Napasnya tercekat. Segalanya mendadak redup di matanya, menyisakan hanya sosok pria itu.

Pria itu… kenapa ada di rumah sahabatnya?!

*****

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Ah! Sentuh Aku Lagi, Om   Firasat Dari Masa Lalu

    Celine berdiri diam di tempat. Pipinya masih panas, bekas tamparan ibu tirinya terasa perih hingga menjalar ke dadanya. Pandangannya buram oleh air mata yang akhirnya tak sanggup lagi ia tahan. Begitu langkah ayahnya menghilang di balik koridor, keheningan itu berubah menjadi lebih dingin, lebih kejam, dan semakin menyesakkan dada. “Lihat tuh,” suara Maya terdengar lagi, penuh kepuasan. “Gadis sepertimu memang pantas diperlakukan begitu. Kalau kamu nggak terus bikin masalah, aku nggak bakal begini sama kamu.” Celine menunduk, bahunya gemetar. “Aku... nggak maksud bikin masalah, Ma—” “Berhenti panggil aku Mama!” potong Maya cepat, suaranya setajam pisau “Kamu bukan anakku. Dan aku nggak pernah anggap kamu bagian dari keluarga ini.” Kata-kata itu menghantam lebih keras dari tamparan barusan. Celine memejamkan mata, menahan air mata yang makin deras mengalir. Sementara itu, Sasha melangkah mendekat, pura-pura lembut menyentuh bahu ibunya. “Sudahlah, Ma… jangan terlalu keras.” Lalu

  • Ah! Sentuh Aku Lagi, Om   Pesona Papa Sahabatku

    Aldean hanya menggeleng pelan, memalingkan wajah sejenak sambil berusaha menekan napas berat yang nyaris lolos dari dada. Bukan karena marah, tapi karena ia tahu… kalau ia menuruti emosinya sekarang, semuanya bisa jadi lebih rumit. “Jangan berlebihan,” ucapnya akhirnya, datar tapi tegas. Di sisi lain, Celine mendengus pelan, semakin kesal. Aldean berdiri dan berjalan santai ke arah lemari dapur. Ia mengambil gelas, menuang air dari dispenser, lalu kembali ke meja pantry. Berdiri di samping Celine, ia meneguk air perlahan. Gerakannya tenang, kontras dengan suasana hati Celine yang masih gelisah di kursinya. Celine melirik pria itu diam-diam. Entah kenapa, setiap Aldean bersikap tenang seperti itu… justru membuat dadanya makin tak tenang. Keheningan itu menggantung. Cahaya lampu dapur yang redup memantul lembut di wajah Aldean, menambah aura tenangnya yang sulit dijelaskan. “Om…” panggil Celine akhirnya, pelan. “Hm?” Aldean menoleh setengah, alisnya terangkat ringan. “Aku mau mi

  • Ah! Sentuh Aku Lagi, Om   Ngobrol Berdua

    Aldean menghela napas dalam, mencoba menghapus bayangan malam itu dari pikirannya. Tapi semakin ia berusaha melupakannya, semakin pikirannya terjebak. Karena kini, gadis yang pernah berbagi malam panas bersamanya, tengah berdiri di hadapannya, menunduk kikuk dengan senyum gugup. Kayra tertawa kecil di samping ayahnya, sama sekali tak menyadari betapa tegangnya suasana antara ayah dan sahabatnya. Sementara Celine hanya bisa tersenyum kaku, menunduk, berharap lantai di bawahnya terbuka dan menelannya hidup-hidup. “Papa, ayo makan malam sekarang!” seru Kayra riang, memecah suasana yang sejak tadi menegang. “Aku udah minta Mbok Sumi masakin menu favorit Papa, loh.” Tanpa menunggu jawaban, Kayra langsung menggandeng tangan Celine dan menariknya dengan semangat. “Ayo, Cel!” katanya ceria. Celine hanya mampu mengangguk pelan, setengah napasnya seolah tertinggal di ruang itu. Aldean menatap keduanya sebentar, lalu ikut melangkah. “Baiklah. Ayo kita makan.” Nada suaranya datar, tapi ba

  • Ah! Sentuh Aku Lagi, Om   Ternyata Pria Itu Adalah...

    “Cel, kenalin, ini Papa aku.” Nada ceria Kayra mengalir ringan, tanpa beban sedikit pun. Namun bagi Celine, kalimat itu bagai petir yang menyambar di siang bolong. “Apa?!” serunya refleks, suaranya bergetar. “Papa kamu?” Pandangan Celine membeku. Sosok pria di depannya berdiri tegap dengan aura yang begitu akrab di ingatannya. Wajahnya tampan dan berwibawa, sorot matanya tajam, serta ketenangan yang nyaris mustahil dilupakan. Pria itu—pria yang seminggu lalu menghabiskan malam bersamanya di kamar hotel. Pria yang ia kira seorang gigolo, pesanan bodohnya di tengah mabuk dan patah hati. Kini, pria yang sama berdiri di hadapannya, berbalut kemeja elegan… dan dipanggil dengan sebutan “Papa” oleh sahabatnya, membuat otaknya langsung blank total. Jantung Celine berdebar semakin keras, seolah menghantam rusuknya berkali-kali. Darahnya seakan berhenti mengalir, berganti hawa panas yang menjalar dari leher hingga ujung jari. ‘Mampus aku… ini mimpi, kan? Tolong bilang ini cuma mimpi,’ b

  • Ah! Sentuh Aku Lagi, Om   Malam Panas di Kamar Hotel

    “Engh… ah… pelan-pelan.” Suara lirih gadis itu pecah di antara helaan napas dan desis seprai yang berkeresek. Lampu temaram memantulkan bayangan dua tubuh yang saling menyesap panas malam. Pria di atasnya menatap lekat wajah polos yang menahan malu dan rasa asing. Keringat menetes di pelipis, tapi gerakannya tetap terukur, lembut, seolah tengah membaca setiap reaksi tubuh gadis itu. “Aku terlalu kasar?” suaranya serak, bergetar di antara detak jantung mereka. Gadis itu hanya menggeleng, matanya terpejam rapat. Nyeri samar yang tadi terasa kini berubah menjadi sensasi aneh yang mengaduk perasaannya—antara takut, bingung, dan candu yang tak bisa ia pahami. Hening sejenak. Lalu pria itu tersenyum kecil. “Kau berbeda,” bisiknya di telinga. “Tidak seperti yang kubayangkan.” Gadis itu menatap balik, jantungnya berdebar tanpa alasan. Ada yang salah. Pria itu bukan sekadar gigolo—dan itu justru yang membuatnya takut. . . “Ah… sepertinya aku sudah gila…” Celine menatap jemarinya yan

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status