Share

8. Sakit Hatinya Seorang Ayah

Tami terkesiap mendengar apa yang dikatakan Arindi. Bukan hanya Tami, namun juga Naina.

Namun wanita itu cukup bisa menjaga sikap. Cukup tenang. Karena seperti apapun serangan yang dilakukan Arindi, toh ia dibela mati-matian oleh ibu mertua.

"Ku rasa tidak perlu. Bahkan tidak pantas kamu mengatakan itu Rind. Bukan waktu dan tempat yang pas," ucap Arfaaz dengan dingin.

Arindi memalingkan wajah dengan kesal. Namun sejenak ia tersenyum kecil.

"Terkadang aku pun perlu pengakuan dari orang lain, Mas. Aku juga jengah harga diriku di injak-injak. Diremehkan," jawab Arindi dengan berapi-api.

Tiba-tiba Tami tertawa sumbang.

"Halah ngomongin harga diri segala. Memangnya dirimu yang kotor itu ada harganya?" tanya Tami dengan pedas.

Arindi mencoba untuk tetap berdiri dengan tegarnya. Namun apalah dirinya juga manusia yang tentu merasa sakit. Matanya mulai berembun.

"Ma," tegur Arfaaz. Kalimat Tami memang dinilai menyakitkan.

"Kenapa? Tidak ada yang salah. Aku bisa mengembalikan uang yang kamu pakai untuk turut membangun rumah ini. Namun kamu tidak pernah bisa mengembalikan aib yang engkau coreng kepada keluargaku karena putraku menikahimu," lanjut Tami, tak memperdulikan teguran dari sang putra.

Naina tersenyum penuh kemenangan.

Mereka lupa ada wajah polos yang memperhatikan. Ada anak kecil yang belum tau apa maksud yang mereka katakan.

"Berhenti, Ma." tegur Arfaaz lagi. Mengisyaratkan bahwa ada Keenandra di tengah-tengah mereka.

Seakan mengerti, Tami melirik sedikit ke arah bocah kecil itu.

"Kenapa? Dia bukan cucuku," jawabnya pedas.

*

"Kamu boleh marah Rind. Kamu boleh kecewa. Kamu boleh mengumpat aku sesuka hatimu. Tapi satu yang aku minta, jangan tinggalkan aku," pinta Arfaaz kepada Arindi yang tengah menatap jalanan dari atas balkon rumahnya.

"Kamu tau definisi dari egois, Mas?"

Arfan memalingkan muka. Entah kalimat apa lagi yang dikeluarkan Arindi untuk menamparnya.

"Definisi egois itu adalah kamu."

Alan mengusap wajahnya kasar.

"Sudah cukup Rind. Aku akan berusaha untuk adil. Tanpa condong ke siapapun itu. Jadi berhenti menamparku dengan segala argumenmu itu."

"Kamu fikir sekedar adil saja sudah cukup? Tidak! "

*

"Tidak usah kamu paksa, nak. Jika dirasa sakit, pulanglah. Pintu rumah ini selalu terbuka lebar untukmu," ucap Bu Asih-Ibu Arindi sembari mengelus lembut rambut sang putri.

Arindi memang menangis. Tetapi sepatah katapun, ia tidak menceritakan mengapa ia bisa sesedih ini. Pantang baginya menceritakan aib rumah tangga kepada orang lain.

Termasuk pernikahan kedua Arfaaz pun, turut ia rahasiakan dari orang tuanya.

Yang mereka tau hanyalah keluarga Arfaaz yang menentang kehadiran Arindi. Mereka menganggap ia adalah sebuah aib.

"Tetapi ada Keenandra, Ma."

"Rind, yakinlah Keenan bukan hanya butuh orang tua yang lengkap. Tetapi ia juga butuh Mama yang bahagia," tutur lembut sang ibu.

Namun hati Arindi belum bisa selega itu.

"Arindi, ayah membesarkanmu penuh cinta. Ayah menjagamu penuh kasih. Jika dikemudian hari, kamu tersakiti oleh suamimu, ayah lah orang pertama yang membelamu mati-matian," ucap Pak Asmat.

Siapa kiranya orang tua yang tidak khawatir saat sang putri meneteskan air mata. Namun berbeda dengan Pak Asmat dan istri. Mereka cukup bijak. Tidak akan memaksa putrinya untuk bercerita. Selain karena kemauanya sendiri.

*

"Disaat seorang istri menitikan air mata, disitulah kepercayaan ayahnya kepada sang suami mulai luntur," ujar Pak Asmat dengan dingin.

Arfaaz bangkit berdiri dari kursi empuk sang direktur utama.

"Ayah, aku tidak menyakiti Arindi. Sebelum Rindi ke rumah ayah, aku lihat dia baik-baik saja," jawab Arfaaz.

"Oh iya? Baik fisiknya. Belum tentu hatinya juga baik-baik saja bukan? Ah ayah rasa, tidak perlu mengatakan ini. Tentu kamu tau."

Arfaaz tertunduk. Wajahnya gusar. Apa jadinya jika sampai mereka tau bahwa Arindi memiliki madu? Tentu itu akan menjadi boomerang untuknya. Bahkan bisa saja Arindi akan dipaksa bercerai darinya.

Kehilangan Arindi? Sampai kapanpun Arfaaz tidak akan rela.

"Ayah tidak marah. Karena ayah tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga kalian. Sekali lagi, ayah ingin mengatakan bahwa ayah titip putri ayah yang ayah sayangi sedari kecil. Ayah tau kamu kaya raya, kamu punya segalanya. Tapi bahagia itu diciptakan. Bukan dibeli. Arindi tanpa kamu pun masih bisa hidup berkecukupan. Kamu mengerti bukan?"

*

"Nyonya Arindi," teriak Pak Kodir sang penjaga gerbang dengan panik.

Arindi yang tengah menyapu lantai, meninggalkan pekerjaan itu begitu saja. Tidak biasanya Pak Kodir akan berteriak dengan panik seperti itu.

"Ada Bapak Kapolda yang ingin bertemu," ucapnya sembari mengatur nafas yang tampak ngos-ngosan.

Arindi memicingkan mata. Ah ia merasa tidak pernah mengenal orang-orang berpangkat seperti itu.

"Suruh dia masuk saja, Pak," perintahnya.

Suara sirine tampak bersahutan mengiringi iring-iringan mobil dinas itu. Seseorang pria yang gagah keluar dari mobil polisi itu.

Arindi mendengkus kesal.

"Aku rasa kamu tidak pantas untuk datang kesini...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri konglomerat tapi g punya pembantu. kurang jauh main mu thor. terlalu lebay drama dlm cerita mu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status