"A-apa?Aku?" Aku ternganga, seakan tak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. Ivan mengangguk. "Kamu yakin?" lagi-lagi aku ragu. "Tentu. Sangat yakin." "Tapi aku belum berpengalaman mengelola perusahaan, Van." "Aku tau kemampuan yang kamu miliki, Zahra." Ivan mencoba meyakinkanku. "Tenang, Non. Untuk sementara kamu boleh belajar di kantorku selama satu bulan." Devan menawarkan diri. "Betul, sebaiknya selama sebulan ini kamu training dengan Devan. Karena aku sering keluar kota." sanggah Ivan. "Baiklah. Aku coba," sahutku mulai yakin. Setelahnya kami banyak membahas tentang perusahaan dan produk yang kami pasarkan. Ivan banyak meminta ide-ide dariku untuk menaikkan omzet penjualan perusahaan. Pengalamanku sebagai manager pemasaran di perusahaanku dulu membuatku mampu menciptakan metode-metode jitu dalam memasarkan produk. "Luar biasa kamu Zahra! Aku yakin kantor cabang kita nanti akan berkembang pesat ditanganmu." Kali ini Devan mencoba memujiku. Sungguh ini menjadi sat
Aku menolak dengan halus ketika Devan hendak mengantarku pulang. Aku tak ingin menjadi pusat perhatian oleh tetangga sekitar rumahku. Apalagi jika Liana nanti melihatku diantar oleh mobil pajero sport milik Devan. Bisa kejang-kejang maduku itu. Aku kembali memesan taksi online untuk pulang. Sebelum pulang, Aku sempatkan untuk mampir ke atm. Aku tersenyum puas melihat saldo tabunganku. Sejak menikah dengan Mas Dewa, sedikitpun aku tak pemah menggunakan uang tabungan yang aku kumpulkan selama aku bekerja dulu. Mas Dewa selalu memberikan uang bulanan yang cukup. Ya, hanya cukup untuk keperluan sehari-hari aku dan Ibu. Aku pindahkan sebagian uangku ke dompet digital yang aku punya. Aku harus membeli beberapa pakaian kerja dengan model-model terbaru juga ponsel keluaran terbaru. Sepanjang jalan aku terus membuka-buka gambar-gambar pakaian kerja dengan model kekinian di beberapa online shop dengan brand ternama, pada ponselku. Rasanya sudah lama sekali aku tidak berbelanja. Karena jika u
Aku keluar menuju kamarku. Ketika melewati meja makan, aku tercengang melihat tidak ada satu makanan pun di sana. Apa perempuan itu tidak masak? Lalu makan apa dia? Bagaimana jika Mas Dewa pulang nanti ? Aku mengintip perempuan itu dari pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Tampak Liana sedang berbaring di ranjangnya seraya membuka ponselnya. Sesekali dia terkikik. Apa seperti ini kerjaannya di rumah? Aku menyelesaikan ritual mandiku dan memakai dress lengan pendek dengan panjang selutut. Kemudian mengecek pesan-pesan yang masuk pada ponselku. Ternyata pesananku sedang dalam perjalanan. Aku juga memesan makanan via online untukku nanti malam. Ya, hanya untukku dan Ibu. Aku kembali ke kamar ibu. Liana masih bermalas-malasan di depan televisi. Padahal rumah terlihat berantakan. Gemas aku. Ternyata Ibu tertidur lagi. Aku pun kembali ke kamarku sendiri. Menghubungi salah satu temanku yang bekerja di rumah sakit. Ada yang aku konsultasikan pada temanku itu tentang keanehan yang terja
Deru mesin mobil memasuki halaman. Aku bangkit menghampiri suamiku. Bukan, bukan untuk menyambutnya seperti biasa. Bukan untuk meraih jemarinya agar kucium. Namun, Aku ingin mengingatkan sesuatu pada suamiku itu. Dari dalam mobil avanzanya yang dia beli setahun yang lalu, Mas Dewa menatap heran padaku yang saat ini sedang menunggunya di teras seraya melipat tangan di dada. Sesekali dahinya mengernyit, matanya menyipit. Mungkin dalam hatinya bertanya-tanya tentang sikapku yang tidak seperti biasanya. Laki-laki tampan yang pernah mengaduk-aduk hatiku itu perlahan turun dari mobil. Pandangannya tak lepas terus menatapku. Aku tersentak saat Mas Dewa mengulurkan tangan memintaku untuk mencium punggung tangannya. Dia memang masih suamiku. Perlahan aku meraih tangan kokoh itu dan menciumnya sesaat. Mas Dewa tersenyum lalu mengusap lembut kepalaku. Hatiku menghangat, sudah lama sekali salah satu kebiasaanya ini lenyap. Entah sejak kapan. Lalu kenapa dia melakukannya lagi di saat hatinya
"Maaasss, jadi kan kita beli barang-barang brandednya? Masa zahra aja yang kamu beliin?" Liana keluar dari kamarnya menghampiri Mas Dewa. "Barang-barang branded apa?" tanya Mas Dewa tak mengerti. "Jangan pura-pura, Mas. Aku sendiri yang terima barang-barang branded milik Zahra," ujar Liana seraya menatap tajam pada Mas Dewa. Spontan suamiku itu mengalihkan pandangannya padaku seakan minta penjelasan. Pintar sekali istri baru Mas Dewa ini mengalihkan pembicaraanku dengan Mas Dewa. "Bisa kamu jelaskan padaku, Zahra?' Mas Dewa mangangkat alisnya padaku. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Mas. Kita sedang tidak membahas itu!" tegasku seraya melangkah menuju kamar ibu, membawa dua mangkuk bubur ayam. "Ibu ..., ayo makan dulu!" ujarku saat baru saja membuka pintu kamar ibu. "Ada apa ribut-ribut di luar?" tanya ibu seraya mengikuti langkahku dengan gerakan matanya. "Biasalah, Bu. Drama istri tua dan istri muda," sahutku seraya terkekeh. Berusaha untuk terlihat selalu kuat di depan ib
"Mas Dewa, Kamu di dalam?" Gedoran pintu yang cukup keras dari Liana menyadarkanku. Sontak aku mendorong dada Mas Dewa yang nyaris menempel denganku, hingga tubuhnya terhempas ke atas tempat tidur. "Zahra ...! Apa-apaan, sih?" umpat Mas Dewa seraya berusaha bangkit dari tempat tidur sambil memegang pinggangnya. Gegas aku membuka pintu hendak keluar sebelum pria di hadapanku ini kembali mendekatiku. "Hei, kamu juga di dalam? Ngapain berduaan sama suamiku?" Aku terlonjak saat membuka pintu, melihat Liana berkacak pinggang berdiri di hadapanku. "Dasar perempuan aneh. Ngakunya pintar, tapi otak sedikit!" gerutuku. "Ngomong apa kamu?" ketusnya lagi dengan bola mata yang hampir saja keluar dari tempatnya. "Pikir dong pakai otak, Mas Dewa itu sampai sekarang masih suami Aku. Kami sah melakukan apa aja. Pastinya tanpa digerebek oleh warga!" tegasku dengan emosi yang meluap-luap. Liana semakin emosi oleh sindiranku. Kilatan amarah jelas terlihat di matanya. "Maaass, kamu jangan diem
Aku dan Mas Dewa keluar dari kamar ibu. Ternyata Liana sudah berdiri di pintu sejak tadi. Tentunya dia mendengat percakapan kami tadi Aku tak menghiraukan istri muda suamiku itu dan terus berjalan melewatinya tanpa menyapa. Ternyata Mas Dewa melakukan hal yang sama. "Mas ... kamu kenapa, sih? Sejak semalam terus menghindar dariku?" "Sudah, aku sedang tak ingin debat. Sudah siang. Mulai hari ini aku minta rawat ibu dengan baik. Aku pergi dulu." Seperti biasa, Liana yang manja itu masuk ke kamar sambil menghentak-hentakkan kakinya dan diakhiri dengan membanting pintu kamar. Hufff ...! Drama lagi! Aku kembali melihat aplikasi taksi onlineku, ternyata taksi yang aku pesan dengan alamat tujuan sesuai yang diberikan Ivan, sudah dekat. Bergegas aku melangkah ke depan gerbang. "Zahra, tunggu! Ayo aku antar. Aku ingin tau di mana kamu kerja." Mas Dewa berlari kecil menghampiriku. Aku menggeleng. "Tidak usah, Mas. Aku sudah pesan taksi online." Aku pamit tanpa menoleh lagi padanya.
"Selamat Pagi Pak Dewa, perkenalkan karyawan baru kita bernama Mbak Zahra Fatma. Menurut Pak Devan, untuk sementara Mbak Zahra menggantikan Mbak Liana sebagai sekretaris di sini." Mata Mas Dewa membelalak. "Apaa? Zahra?" Spontan Mas Dewa menyebut namaku. "Oh, Pak Dewa sudah kenal?" "B-belum, belum, kok. Mari, silakan duduk!" Mas Dewa gugup, sama sepertilku. Pantas saja aku merasa tidak asing ketika mendengar nama perusahaan Giant House ini. Sepertinya beberapa kali aku pernah membaca tulisan Giant House pada barang milik Mas Dewa. "Silakan, Mbak Zahra. Saya tinggal dulu!" "Baik, Pak." Beruntung aku bisa langsung menyesuaikan diriku dari kegugupan. Dengan menarik napas panjang, berusaha tenang, perlahan duduk pada kursi tepat di hadapan Mas Dewa. "Mimpi apa aku semalam, istriku sendiri menjadi sekretarisku," ucap Mas Dewa dengan seringainya. "Aku harap kita bisa profesional," tegasku. "Zahra ... zahra ... kamu cuma sekretaris di sini. Sedangkan aku manager. Kamu nggak bis