Share

Air Mata dan Doa Seorang istri
Air Mata dan Doa Seorang istri
Author: Dahliardi

BAB 1 : Prahara Rumah Tangga

Terik sinar matahari siang ini begitu menyengat, terasa panas saat membakar kulit yang tanpa pelindung. Herman belum juga berteduh ke dangau di tengah sawah, dengan sigapnya dia masih membajak sawah miliknya dengan traktor. Tak peduli dengan keringat yang bercucuran membasahi baju, semangat sekali dia bekerja untuk menuntaskan pekerjaan membajak sebelum petang datang membayang. Sementara di dangau, duduk dengan risau seorang perempuan muda yang memandang dan memanggil-manggil suaminya untuk beristirahat.

                “Kak, istirahatlah dulu! Hari sudah siang,” ucapnya memanggil sang suami, pria muda yang masih sibuk dengan traktor bajak di tengah sawah.

                “Ya, sebentar lagi. Tanggung, Dik,” terdengar jawaban mengalun pelan searah angin bertiup ke   arah danggau tempat sang istri menunggu.

                Tak lama kemudian, Herman berjalan dengan cepat menuju dangaunya. Perasaan haus, gerah oleh panas yang menyengat serta lapar yang menyerang perutnya membuatnya harus tiba di dangau secepatnya.

                “Sudah lama kau dating, Dik?” tanyanya kepada istrinya.

                “Belum,kak. Kukirakan kakak sudah menunggu di dangau begitu aku sampai mengantarkan makan siang, ternyata masih di sawah,” ucap Diana kepada suaminya.

                “Ya, tanggung bajakan sepelang lebar itu ditunda. Kalau sudah selesai kan enak istirahat siang.”

                “Nggak juga diburu-buru kak kerjanya nanti sakit!”

                “Siapa juga yang memburu pekerjaan. Kakak hanya mengefisienkan pekerjaan saja, biar cepat selesai.”

                “Ya, terserah kakaklah yang penting bekerja dengan hati-hati, ingat kalo capek istirahat. Jangan di porsir tenaganya.”

                “Ya, istriku sayang!” ungkap Herman mesra.

                Setelah mencuci tangannya di air mengalir di samping dangaunya, Herman lalu menyantap jatah makan siang yang dibawa oleh istrinya. Sambil bercanda mesra dengan istri, mereka makan dengan lahap ditengah pemandangan coklat tanah sawah yang habis dibajak. Sesekali Herman minta disuapi dengan istri atau dia yang menyuapi istrinya, romantis sekali pasangan muda ini melewati siang hari dengan makan bersama.

                Diana tak lupa membuatkan secangkir kopi hangat untuk sang suami, sebagai penyemangat bekerja di siang ini. Herman tak bisa berleha sebab masih banyak pelang sawah yang menunggu untuk dibajak oleh traktornya. Dia harus bisa menyelesaikan bajakannya dalam dua hari ini sehingga menepatkan perhitungannya untuk mulai menyemaikan bibit padi.

                “Kakak, kerja lagi, Dik! Kalau adik mau pulang, silahkan pulang dulu untuk bantu ibu di rumah!” pamit Herman kepada istrinya untuk kembali ke tengah sawah.

                “Adik, masih mau duduk di dangau dulu,Kak. Nanti agak teduhan, baru pulang,” jawab Diana sambil mengiringi kepergian suaminya ke tengah sawah.

                Tak lama kemudian terdengarlah suara bising dari traktor bajak yang mulai bergerak maju sesuai dengan alur irama yang dijalankan oleh sang pembajak. Herman harus pandai menjalankan mesin traktor ini agar hasil bajakannya bagus dan juga agar mata bajak tidak tersangkut ke batu atau kayu besar yang masih tersimpan di dalam tanah sawah.

                Sembari rebahan, Diana tak hentinya memandangi suaminya yang tengah membajak di tengah sawah. Diana mengagumi semangat kerja kerasnya Herman, walaupun sampai dua tahun usia pernikahan mereka belum mendapatkan hasil yang baik dari sawah yang digarapnya. Selalu saja ada kekurangan perawatan yang menyebabkan kurang mendapatkan hasil panen yang melimpah seperti kebanyakan petani sawah lainnya.

                Semangat itulah yang menjadikan salah satu poin penyemangat Diana dalam menjalankan rumah tangganya bersama Herman. Hanya saja sang ibu mertua yang sering turut campur urusan rumah tangga mereka, akhir-akhirnya semangat tak menyukai Diana karena dianggapnya sebagai wanita pembawa sial, karena usaha Herman menggarap sawah ini masih selalu gagal panen yang memuaskan.

                “Orang itu jika pembawa berkah ke dalam pernikahan, begitu mencari nafkah langsung berhasiil yang dikerjakan. Tidak seperti kamu, begitu kamu menikah dengan Herman, sawah yang digarapnya tidak pernah panen melimpah seperti sebelumnya. Berarti kamu wanita yang tidak membawa berkah untuk suamimu,” umpat bu Eneng, mertuanya di dangau saat panen sawah beberapa bulan yang lalu.

                “Bu, urusan rejeki itu adalah urusan Allah,bu. Kita hanya bisa bekerja, tetapi hasil Dialah yang menentukan. Bukan saya, Bu,” kata Diana menimbali umpatan mertuanya yang terkenal sadis tersebut.

                “Jangan bawa-bawa nama Allah. Kalau salah ya salah saja,” kata Bu Eneng kepada Diana yang tidak suka menantunya membawa nama Allah dalam ketidakberuntungan suaminya panen sejak menikahinya.

                “Bu, dalam setiap usaha yang kita kerjakan selalu ada peran Allah dalam memberikan hasilnya. Kita hanya menerima hasil yang diberikannya, mau banyak mau sedikit kita tidak bisa protes, karena itu mungkin sudah ketentuanNya,” ucap Diana berusaha menyadarkan ibu mertuanya jika segala sesuatu bermuara kepada takdirnya Allah SWT.

                “Sudahlah jangan mengelak terus dengan mendalilkan firman Tuhan. Kalau nasib di kandung badanmu jelek ya jelek saja,” kata bu Eneng tak mau kalah dengan ketusnya masih kekeuh menyalahkan Diana sebagai wanita pembawa sial.

                Diana tak habis pikir dengan cara pandang sang mertua yang masih kolot, padahal mertuanya tersebut orang yang selalu mengikuti pengajian ibu-ibu di kampung. Secara ilmu agama, mungkin lebih banyak dia yang tahu tentang ketentuan Allah daripada dirinya sebagai menantu yang baru seumur jagung berumah tangga dan mengikuti pengajian ibu-ibu.

                “Emang dasar mertuamu itu Mak Lampir,ya!” kata Bu Encin saat bertemu di pengajian dan ibu mertuanya ribut dengan ibu-ibu pengajian masalah pembagian santunan anak yatim dan fakir miskin.

                “Ya, dimaklumi aja, Bu. Memang sperti itulah sifatnya ibu, pemarah, mau menang sendiri, tidak mau mendengar perkataan orang lain, Pokoknya hanya dia yang mau didengarkan,” ucap Diana memohon agar Bu Encin memaklumi sifat ibu mertuanya yang selalu ingin menang sendiri.

                “Lee..lee.. susah kita dibuatnya. Apa-apa diprotes sama dia. Begitu dikasihkan keputusan kepadanya tidak dapat memutuskan. Bagaimana ya mertuamu itu.”

                “Kita tampung aja sarannya, Bu. Kemudian kalau sarannya tidak sesuai ya jangan dipakai dalam memutuskan sesuatu. Biarin aja dia ngambek, marah kita beritahu saja kalau usulnya belum bisa dilaksanakan.”

                “Tapi, dia pasti marah!”

                “Ya, biarin aja dia marah,Bu. Kita harus bagaimana lagi mengahadapinya?”

                “Ya, juga sih. Tapi ya terserah bu Ustadzah lah yang menyampaikan kepadanya nanti,”  ucap Bu Encin kesal dengan perilaku bu Eneng yang setiap kali rapat selalu membuat gaduh.

                Sepenggal ingatan tentang mertuanya yang tidak bersahabat membuat dirinya malas pulang. Tapi jika dirinya pulang bersama Herman, maka akan tambah marah lagi mertuanya. BIsa-bisa dirinya akan didamprat dan dicacimaki sebagai wanita tidak bertanggungjawab dengan keluarga sebab sudah sore masih mengeloni suami, tidak mengingat pekerjaan dapur untuk memasak buat makan malam mereka serta membersihkan rumah.

                Dengan perasaan enggan dan malas, Diana akhirnya menemui sang suami di tengah sawah untuk izin pulang duluan, takut nanti dimarahi oleh ibu mertuanya kalau kelamaan di sawah.

                “Sudah mau pulang,Dik!”

                “Ya, Kak. Aku pulang duluan nanti Ibu marah lagi kalau kelamaan di sawah!”

                “Ya, pulanglah. Hati-hati di jalan.”

                “Assalamualaikum, Kak!” ucap Diana pamit kepada suaminya, yang dijawab “Waalaikum sallam.”

                Langkah terayun gemulai, terselip perasaan sungkan untuk segera pulang. Pastilah ibu mertua akan memarahinya begitu tiba di rumah nanti. Bukankah akhir-akhir ini sang mertua perempuannya begitu sinis kepadanya, seperti kucing dan anjing saja bila bertemu tak pernah akur. Tetapi sebagai istri dia tak bisa berbuat apapun, selagi suaminya belum menalaknya, dia masih akan tetap berada di rumah yang sudah seperti di neraka tersebut.

                Benar saja firasatnya Diana, belum masuk langkahnya ke dalam rumah sudah disambut dengan omelan sang mertua, “Dari mana saja, kamu. Sore-sore begini keluyuran, tidak ingat lagi dengan dapur?”

                Diana menghentikan langkahnya seiring mertuanya muncul dari dalam rumah dan memarahi di teras rumah, disaksikan dari kejauhan oleh tetangga yang sempat mendengar suara tenor sang mertua yang kencang banget.

                “Maaf, Bu. Kan saya dari sawah, mengantar makan siang buat Mas Herman,” jawabnya dengan suara lemah sambil menekuk pandangannya ke lantai.

                Mertuanya menatap garang, seolah siap menerkam mangsanya,”Makanya dari pagi tadi sebelum berangkat ke sawah tu laki, sudah disiapkan bekal makan siangnya. Supaya tidak merepotkan kamu, sehingga tidak ingat pekerjaan lain.”

                “Bukannya, Ibu sendiri yang menyuruh Diana untuk mengantar makan siang Mas Herman. Kata Ibu supaya makanannya masih hangat begitu saat disantap oleh Mas Herman,” bantah Diana membalik kan omongan mertuanya yang menyuruhnya mengantar makanan panas untuk anaknya Herman di sawah.

                “Ya, sudah. Buatin Ibu teh manis beserta gorengan, segera nggak pakai lama!” ucapnya menyuruh Diana melayaninya membuat minuman dan gorengan di sore hari.

                Diana langsung ke dapur, dengan sigap dia membuatkan pesanan mertuanya dengan cepat agar marahnya mereda dan dia bisa melakukan persiapan masak untuk makan malam mereka.

                “Ini Bu, pesanannya,” kata Diana menyodorkan talam kecil yang berisi teh dan gorengan ubi kayu di meja kecil ruang tamu rumahnya.

                “Dia…na, ini teh manis atau teh masin,” teriak Bu Eneng memanggil Diana yang sudah kembali ke dapur begitu dia menyeruput teh panasnya.

                “Teh manis, Bu. Tadi Diana kasih gula bukan garam?” jawab Diana membela diri bahwa dia belum pelupa untuk memberikan gula ke dalam minuman yang dibuatnya dan bukan garam.

                “Kamu mau membunuh, Ibu! Kamu mau darah tinggi Ibu naik!” ungkapnya marah besar kepada Diana. “Ini coba kamu minum sendiri, manis atau masin rasanya?”

                Dengan terpaksa Diana meminum teh tersebut sedikit untuk mengetahui rasanya manis atau masin. “Ini manis, Bu. Kok bisanya ibu menyebutkan masin,” kata Diana  agak keras menyudutkan Ibu mertuanya.

                Seketika terlihat sang mertua merasa kikuk dan salah tingkah, rupanya niatnya untuk menjahati  menantunya tak berhasil untuk kali ini. Bu Eneng menjadi dongkol dengan sikap melawannya Diana yang ditunjukkannya sore ini. Sebab biasanya Diana tidak mau melawan sedikit jika ibu mertuanya marah.

                “Kamu sudah berani dengan Ibu, ya!” hardik bu Eneng menatap Diana kalap.

                “Maaf, Bu. Saya hanya membela diri yang selalu ibu salahkan jika tidak senang dengan pekerjaan saya,” ucap Diana tenang.

                “Saya ini mertua kamu,tahu adab dan sopan santun sedikit!”

                “Saya sudah tahu adab dan sopan, sehingga tidak melawan Ibu.”

                “Adab dan sopan santun dari mana?”

                “Kan ibu yang mengajari saya untuk melawan.”

                Prak …! Terdengar bunyi gelas pecah dilemparkan ke lantai oleh Bu Eneng. Diana hanya terpaku melihatnya, ada perasaan ngeri melihat sifat mertuanya yang seperti kesetanan jika marah. Diana belum juga beranjak dari tempat berdirinya, masih mematung sambil menantikan hal apa yang akan dilakukan oleh mertuanya kepadanya.

                Tiba-tiba sebuah tamparan kecil mengenai pipimu, terasa hangat dan sakit. Dielusnya pipinya dengan tangan halusnya, sambil menyeka air matanya yang jatuh membasahi pipinya yang memar karena tamparan jari kekar sang mertua brutal.

                “Sudah, lanjutkan pekerjaan kamu di dapur, dasar wanita pembawa sial. Belum bisa ngasih cucu, belum bisa ngasih materi yang cukup untuk Ibu,” usirnya sambil menuju kamarnya, meninggalkan Diana dengan tangis kecilnya.

                Diana berjongkok memunguti remah pecahan gelas yang dilemparkan Bu Eneng tadi. Karena kurang fokus dengan pekerjaan, tak disadarinya remah pecahan merobek kulit ujung tangannya hingga mengeluarkan darah. Cepat diambilnya obat merah dan disobekkannya ujung kain pengelap yang sudah lapuk untuk membalut luka kecil bekas tusukan beling.

                Dengan hati yang sendu dan pilu, masih diteruskannya menyelesaikan urusan memasak untuk makan malam dengan perasaan sedih yang mendalam. Dia tak terima selalu disebut sebagai perempuan hina pembawa sial di keluarga mertuanya ini. Selama ini dia selalu berusaha tabah dan sabar tapi entah mengapa dia seakan tak sanggup lagi menahan kesabarannya setiap kali  melihat perlakuan sadis ibu mertua kepadanya.

****************************

                “Dik, kenapa keningmu memar dan tanganmu terluka?” kata Herman sepulang dari sawah ketika melihat kening dan tangan istrinya yang terluka.

                “Ini pasti ulah ibu lagi,ya?” tanyanya tersulut emosi menatap Diana lekat-lekat.

                Diana hanya diam membisu, dia tak bisa menjawab. Suaminya pasti tahu, itu perbuatan ibunya yang tidak senang dengan kehadiran dirinya sebagai menantu di rumah ini.

                “Mas, bagaimana kalau kita ngontrak rumah aja,” ucapnya memohon kepada Herman.

                “Ngontrak! Untuk apa kita ngontrak, lah rumah Ibu yang besar ini untuk apa, kalau kita pergi?” jawab Herman belum menyetujui saran istrinya.

                “Aku sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan ibu, Mas,” ucap Diana mengaku tak betah lagi tingggal di rumah mertuanya karena perlakuan sadis kepada dirinya.

                “Dik, kamu tahu kan, kita tidak punya uang untuk menyewa rumah saat ini. Lah kita makan sehari-hari saja masih dari uang Ibu,” kata herman lirih.

                “Tapi setidaknya kita punya ikhtiar untuk tidak serumah dengan Ibu. Sebab ibu tidak senang tinggal denganku, Mas,” ucap Diana memberikan alasan.

                “Sabar, toh tidak setiap hari Ibu memarahimu, kan!” bujuk Herman mencoba mendamaikan hati istrinya.

                “Kamu tidak merasakannya, Mas. Begitu kamu tidak ada dirumah, Ibu akan selalu menghakimi diriku dengan omelan, cacian ,hinaan dan tamparan.”

                “Tapi, itu mungkin kamu yang sering melawan Ibu, jika dia marah. Wajar kamu dihajar ibu,” kata Herman menyalahkan istrinya.

                Mendengar suaminya selalu menyalahkannya dalam menghadapi tingkah ibunya, Diana mendadak marah, “Makanya sesekali kamu intip kelakuan ibu kepadaku dengan pura-pura pergi ke sawah dan pulang dengan mengendap-endap, kemudian dengarkan ibumu bicara apa denganku.”

                “Jangan kamu fitnah Ibuku seperti itu,” teriak lantang Herman yang membuat Diana menjadi takut dengan emosi suaminya.

                “Baik, Mas. Kalau kamu tak mempercayai aku lagi. Lebih baik aku pulang dulu ke rumah orangtuaku,” spontan Diana mengancam suaminya dengan suara yang tak kalah kerasnya juga.

                Diana membuka lemari pakaiannya, lalu mengambil kopor dan memasukkan baju-bajunya ke dalam tanpa dirapihkan terlebih dahulu. Semuatnya saja, lalu dia menutupnya dan siap pergi meninggalkan kamar, namun dengan sigap Herman menahan lajunya, “Diana, kita masih bisa selesaikan ini dengan baik-baik. Maaf, aku capek seharian ini, jadi wajar aku menjadi emosi begitu mendengar kamu selalu ribut dengan Ibuku.”

                Diana tak mempedulikannya, dia menuju pintu kamar untuk segera keluar. Tapi Herman menghalanginya dengan merentangkan tangannya menutupi pintu, sehingga tertahanlah laju Diana untuk pergi ke rumah orangtuanya malam ini.

BERSAMBUNG BAB 2

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status